"Makanan apa ini? Kenapa rasanya tidak jelas sekali?" Ze menghentakkan sendok ke piring hingga terdengar suara dentingan yang cukup keras.
"Maaf, Tuan, tapi saya sudah mengetes rasanya dulu sebelum disajikan di meja makan," sanggah Hely. Pagi-pagi sekali, wanita itu memesan taksi dan pergi ke pasar. Ia membeli, ayam, ikan, daging, telur, sayur-mayur, dan rempah-rempah untuk persediaan selama satu Minggu. Hari ini, ia memasak ayam rica-rica dan sayur jagung muda dicampur buncis. Namun sayangnya, masakan yang ia buat dengan sepenuh hati justru tidak dihargai sama sekali oleh Ze. "Apa kau bilang? Kalau aku bilang rasanya tidak jelas, itu artinya harus diganti. Kau tidak berhak menyanggah dan kau harus memasak menu yang lain," geram Ze sambil menggertakkan giginya. "Baiklah," balas Hely lesu. Ia lekas berbalik dan membuka lemari pendingin. "Sebelum kau memasak, kau buatkan aku kopi lebih dulu. Aku mau menunggu sambil menikmati kopi dan membaca koran," ujar Ze seolah lupa sudah waktunya pergi bekerja. "Baik, Tuan." Hely menutup kembali lemari pendingin dan bergegas membuat kopi. "Aku mau ke ruang tamu. Jangan lupa antar kopinya ke sana," kata Ze sambil beranjak bangun dan keluar area meja makan. Hely hanya menoleh sekilas, lalu ia melanjutkan aktivitasnya. Meraih cangkir dan mengisinya dengan gula juga kopi hitam. Kemudian, menuangkan air panas ke dalamnya. Setelah itu, ia mengantarkannya ke ruang tamu. "Ini, Tuan, kopinya," kata Hely sambil meletakkan cangkir kopi di meja. Ze hanya melirik sekilas dan meraih cangkir kopi itu. Lalu, sudut bibirnya naik sebelah terlihat seperti orang yang memiliki niat jahat. Sepersekian detik kemudian, ia mulai melancarkan aksinya. "Kopinya terlalu pahit, cepat buatkan lagi," kata Ze setelah meneguk kopi buatan Hely. "Tidak mungkin terlalu pahit, Tuan. Biasanya, saya membuatkan kopi untuk Tuan dengan takaran itu," sanggah Hely tidak percaya. "Jadi menurutmu aku berbohong?" Ze menatap Hely sambil menggertakkan giginya. "Tidak, bukan itu maksud saya." Hely terlihat kebingungan. Ia takut menggugah amarah Ze lagi, "Ya sudah, saya buatkan lagi kopinya." Hely lekas menuju dapur dan membuatkan kopi lagi untuk Ze. Ia menambahkan sedikit gula pada kopi yang baru ia buat. Kemudian, ia kembali ke ruang tamu mengantarkan kopi itu pada suaminya. "Astaga, Hely! Sebenarnya kau bisa buat kopi tidak, sih? Ini terlalu manis dan kau harus membuatkanku yang baru," kesal Ze. Sebenarnya, kopi pertama sudah pas. Hanya saja, Ze sengaja ingin mengerjai Hely. Jadi, ia sengaja berkata kopinya terlalu pahit dan sekarang justru menjadi terlalu manis. "Perasaan aku hanya menambahkan sedikit gula, tapi kenapa malah jadi terlalu manis?" batin Hely bertanya-tanya. "Kenapa malah bengong? Cepat buatkan aku kopi lagi!" tanya Ze kesal. Bagaimana bisa wanita itu melamun di saat ia menyuruhnya membuat kopi yang baru. "Ah iya, Tuan, maaf. Kalau begitu, saya ke dapur dulu untuk membuat kopi yang baru," pamit Hely. Ia masih kepikiran dengan kopi kedua yang katanya terlalu manis. Wanita itu menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke belakang. Ia melihat Ze yang sedang tersenyum alih-alih marah karena rasa kopi buatannya tidak sesuai seleranya. "Aku yakin ada yang tidak beres," bisik Hely dalam hati. Beberapa detik kemudian, Hely melanjutkan langkahnya ke dapur. Ia mencicipi dua gelas kopi yang telah ditolak oleh Ze karena merasa curiga. Dan ternyata, rasa manisnya pas dengan rasa pahit kopi hitam. "Oh, jadi Tuan Ze sengaja mau mengerjai aku." Hely tersenyum menyeringai mendapati niat buruk sang suami, "Oke, sekarang kita buat kopi spesial untuk suami yang sangat-sangat spesial," imbuhnya setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Hely meletakkan dua cangkir gelas kopi ke wastafel dan meraih cangkir baru. Tatapan matanya tertuju pada toples kaca berukuran kecil bertuliskan garam. Ia mengulurkan tangannya meraih toples garam dan sendok teh. "Sekarang bukan pakai satu sendok teh gula lagi. Sekalian saja pakai dua sendok makan garam," lirih Hely sambil memasukkan dua sendok makan garam dan satu sendok makan kopi ke cangkir. Setelah itu, ia menuangkan air panas ke dalam cangkir dan mengaduknya. Kemudian, ia ke ruang tamu dan menyerahkannya pada Ze. "Ini, Tuan, kopinya. Mudah-mudahan saja kali ini sesuai selera, Tuan," ucap Hely sambil meletakkan cangkir kopi di meja. "Mmm." Ze melipat koran dan meletakkannya di meja. Lalu, ia meraih cangkir kopi dan meneguknya, "Bbrrrbb!" Pria itu menyemburkan kopi yang ada di mulutnya. "Untung aku sudah bisa menebaknya. Kalau tidak, mungkin wajahku akan bernasib sama seperti semalam," bisik Hely menghembuskan nafas lega. Andai ia tidak bergerak cepat menutup wajahnya dengan nampan. Mungkin wajahnya akan berlumuran air kopi panas yang Ze semburkan. "Helios!" teriak Ze sambil menghentakkan cangkir ke meja. Manik matanya membola menatap wanita yang ia buat kerja tiga kali dalam membuatkan kopi untuknya. "Kenapa Tuan?" tanya Hely berpura-pura bodoh. "Kenapa kau bilang?" Pria itu meraih kembali cangkir kopi dan menyiramkannya pada tubuh Hely, "Kau sengaja membuat kopiku asin, bukan?" "Aww, panas!" Hely memekik kesakitan sambil menarik bajunya sedikit, "Ssssttt! Tidak, Tuan, saya tidak sengaja," imbuhnya menyangkal. Ia mendesis menahan rasa sakit di tubuhnya. Tubuh yang semula penuh luka disiram menggunakan air panas sekaligus asin membuat Hely terkejut sekaligus kesakitan. Rasanya benar-benar sakit sampai air matanya jatuh begitu saja. "Mana mungkin kau tidak tahu? Bagaimana mungkin kau lupa yang mana garam dan yang mana gula." Ze beranjak berdiri dan berjalan memutari Hely, "Aku pikir kau tidak memiliki rasa takut. Atau kau mau aku menakut-nakutimu?" "Tidak, Tuan. Maaf karena saya sudah ceroboh dengan masukkan garam di cangkir kopi, Tuan," sanggah Hely menyesal. "Tidak ada kata maaf dan kau harus menebus kesalahanmu ini. Jadi, bersiaplah!" Ze tersenyum menyeringai sambil merengkuh tangan Hely. Pria itu menarik tangan Hely dengan keras. Langkahnya begitu besar hingga membuat wanita itu kesulitan mensejajarkan langkahnya dan hampir jatuh terseret. Apalagi Ze menariknya ke arah lantai dua menyusuri banyaknya anak tangga. Lalu, membawa Hely masuk ke dalam kamarnya. Melewati tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi. "Kau pasti kepanasan karena kopi tadi, bukan?" Ze menunjukkan seringaian tipisnya membuat Hely menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Lalu, pria itu meraih shower dan menyemprotkan air ke tubuh istrinya. Kemudian, tangan kirinya diulurkan mengisi air di bathtub. "Ssstt, aww!" pekik Hely kedinginan sekaligus merasa perih di sekujur tubuhnya. "Enak sekali bukan rasanya? Ah, sial! Kenapa aku senang sekali melihatmu kesakitan seperti ini?" tanya Ze menyeringai. "Cukup, Tuan, saya mohon!" Hely mengatupkan kedua telapak tangannya dan menggosoknya. "Tidak, ini sama sekali tidak cukup. Aku harus menghukummu karena kau berani memasukkan garam ke dalam cangkir kopiku," sergah Ze mencebikkan bibirnya malas. Pria itu terus menyemprotkan air ke tubuh Hely. Lalu, ia menoleh ke samping dan mendapati air di bathtub sudah terisi setengah. Merasa apa yang ia lakukan pada Hely belum cukup, Ze menarik tangan wanita itu dan mendorongnya hingga jatuh terduduk. "Tidak, Tuan, jangan!" ujar Hely sambil menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Apalagi melihat pria itu membungkukkan tubuhnya sambil mengulurkan tangannya. Hal itu membuatnya curiga dengan apa yang akan sang suami lakukan padanya. "Apa maksudmu, tidak? Memangnya apa yang akan aku lakukan?" tanya Ze menyeringai. Setelah berkata seperti itu, Ze langsung menyentuh kepala bagian belakang Hely dan menekannya ke dalam bathtub yang penuh dengan air.Hely sedang tidak siap dan ketika wajahnya masuk ke dalam air, ia membelalakkan matanya. Terlebih, ia tersedak air di dalam sana. Sontak, kedua tangan wanita itu bergerak berusaha menyelamatkan diri. Ia menarik-narik tangan sang suami agar menjauh dari kepalanya, tetapi tidak berguna sama sekali. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Ze, terlebih posisinya saat ini sedang kesulitan untuk bernafas."Bagaimana? Rasanya sangat menyegarkan bukan?" tanya Ze sambil tersenyum lebar.Baru saja hendak menekan kepala Helios lagi, tiba-tiba ponselnya berdering. "Sial! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?" umpat Ze kesal. Lalu, ia mendorong kepala Hely sebelum akhirnya meraih ponselnya di saku celana."Nick? Kenapa dia menghubungiku?" Melihat nama sekretarisnya di layar ponsel membuat Ze mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menekan tombol hijau dan berkata, "Ada apa? Kenapa pagi-pagi begini kau menghubungiku?"Sekarang sudah pukul delapan dan sebentar lagi Anda akan ada rapat penting, Pak.
"Apa yang kau lakukan di sini, Hely?" tanya Ze dingin."Sa-saya ... Saya sedang bekerja, Tuan," jawab Hely terbata. Pria itu beralih menatap sekretarisnya. "Kau urus pertemuan ini dan lakukan yang terbaik," ujar Ze memerintah. "Baik, Pak," jawab Nick tegas.Setelah mendapat jawaban, Ze menyentuh tangan Hely dan menariknya keluar. Pria itu ke arah parkiran yang masih kosong. Kemudian, ia menghempaskan tangan Helios kuat-kuat."Bekerja kau bilang? Semua orang sudah tahu kalau kau istriku dan kau bekerja di cafe kecil seperti ini?" tanya Ze geram."Maaf. Saya hanya--""Hanya apa? Kalau kau butuh uang, kau tinggal bilang dan aku akan memberikannya padamu," potong Ze menggebu."Bagaimana cara saya memintanya pada Tuan? Bahkan membagi makanan dengan saya saja, Tuan, tidak sudi," sanggah Hely menunduk sambil memainkan jemarinya.Mendengar ucapan wanita itu membuat Ze berpikir sejenak. Meskipun terdengar masuk akal, ia tetap tidak bisa membenarkan keputusan Hely yang bisa mempermalukannya d
Melihat tidak ada pergerakan apa pun membuat Ze khawatir. Ia beranjak berdiri dan menendang kaki Hely. Namun sayangnya, ia sama sekali tidak mendapat respon apa pun dan hanya melihat wajah wanita itu yang sudah pucat pasi seperti mayat."Hely?" terkejut Ze.Pria itu lekas mengangkat tubuh Hely dan berjalan tergopoh-gopoh keluar. Lalu, ia membaringkan tubuh wanita itu di lantai. Setelah itu, ia memeriksa detak jantungnya."Ya Tuhan ... Hely, bangun!" panik Ze.Ia lekas memangku kepala Hely dan menjepit hidung wanita itu perlahan. Kemudian, ia mulai merapatkan bibirnya pada mulut Hely. Ia menarik nafas dalam-dalam dan meniupkannya perlahan. Ze melakukan beberapa kali hingga akhirnya Hely bangun dan mengeluarkan air dari mulutnya."Uhuk-uhuk!" Hely terbatuk dengan manik mata yang membola.Sontak, Ze menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menghembuskan nafas lega. Hampir saja ia menjadi pembunuh jika ia gagal menyelamatkan Hely. Namun sayangnya, belum ada tiga menit wanita itu kembali ping
"Hei! Kenapa diam saja? Apa saya ... Ah tidak, sepertinya kita akan menjadi teman. Jadi, apa aku perlu mengenalkanmu pada pengacara kenalanku?" tanya Dokter Rani sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Hely.Dokter cantik itu merasa tidak nyaman berbicara dengan Hely yang jauh lebih muda darinya. Jadi, ia berusaha berbicara sedikit santai agar ia dan Hely sama-sama nyaman."Tidak perlu, Dok. Suami saya--""Aku, pakai aku kau saja biar lebih nyaman. Kau juga boleh menganggapku sebagai kakakmu," potong Dokter Rani mengoreksi."Suamiku memang orang yang dingin, tapi dia tidak sekejam itu. Dia hanya tidak bisa menerima saya menjadi istrinya," lanjut Hely setelah ucapannya sempat terpotong.Bagaimana bisa wanita itu membela Zu? Sudah jelas-jelas ia selalu disiksa hingga dirawat di rumah sakit dan koma berhari-hari."Tidak kejam bagaimana? Sudah jelas-jelas dia hampir membunuhmu. Lalu, kenapa kalian bisa sampai menikah kalau dia tidak mau menerimamu menjadi istrinya?" tanya Dokter Rani
"Siapa bilang? Saya hanya terkejut karena Tuan tiba-tiba ada di sini. Lagi pula, mana berani saya menganggap Tuan Ze hantu," sanggah Hely datar.Wanita itu berusaha menekan kuat-kuat rasa takutnya. Paling tidak, ia tidak boleh terlalu menunjukkannya karena pria itu akan semakin senang jika melihatnya ketakutan."Jadi, bagaimana kondisimu?" tanya Ze mengalihkan perhatian.Setelah memanggil dokter, ia sama sekali tidak menunggu dan menanyakan keadaan Hely. Jadi, ia cukup penasaran mengenai kondisi terkini wanita itu."Kata dokter, sih, saya sudah baik-baik saja," sahut Hely."Bagaimana tidak baik-baik saja sedangkan tiga hari ini kau hanya tidur? Aku yakin seharian ini pun kau hanya tidur. Benar bukan?" tanya Ze sinis."A-apa? Tiga hari?" tanya Hely terbelalak. Ia begitu terkejut mendengar pernyataan Ze tentang dirinya yang tidur selama tiga hari."Ya. Sejak pertama kali aku membawamu ke sini, sekarang sudah hari ketiga," jelas Ze mengangguk."Ya Tuhan ... Bagaimana bisa?" Hely terlihat
Mendengar pertanyaan dokter itu membuat Ze menoleh. Sejak tadi, ia sibuk menatap ke arah Hely yang sedang diperiksa dan sama sekali tidak sadar bahwa Dokter Rani menatapnya."Sial! Ada apa dengan dokter ini? Kenapa dia tidak melakukan tugasnya saja sebagai seorang dokter? Kenapa dia malah menanyakan hal yang bukan menjadi tugasnya? Dasar dokter sensus!" geram Ze dalam hati."I-ini ka-karena sa-saya ... Ini karena saja jatuh bergulingan, Dokter," sanggah Hely gelagapan. Ia memberi isyarat dengan mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali agar Dokter Rani tidak bertanya lagi. Saat ini, Ze dalam mode aman dan ia tidak boleh mengubah mode aman itu menjadi mode siaga."Oh, jadi begitu. Baiklah, kalau begitu saya permisi karena pemeriksaan sudah selesai," pamit Dokter Rani. Wanita itu mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum dan pergi.Melihat bagaimana sikap Dokter Rani, Ze mulai curiga. Pria itu melipat kedua tangannya di depan dan menatap tajam Hely."Ke-kenapa? Apa ada yang salah?" t
Hely menatap serius suaminya dengan dahi yang berkerut dalam. Ia begitu penasaran dengan apa yang akan pria itu katakan padanya. Apalagi, pembahasan yang mulai dibuka tentang permasalahan pernikahan mereka yang belum lama digelar."Tuan? Kenapa Tuan malah bengong?" panggil Hely melihat suaminya melamun. "Ah, tidak. Aku hanya lapar dan aku ingin makan," sanggah Ze bergegas memakai bajunya dan berjalan ke arah sofa.Alih-alih lekas menikmati makanannya, Ze justru menatap Hely lekat. "Jika aku berkata seperti itu dan Hely mengadu pada Papa bagaimana?"Ternyata, apa yang pria itu katakan tadi hanya ada dalam ilusinya saja. Ia ingin sekali mengatakan hal itu pada Hely. Barangkali saja wanita itu mau menceraikannya, tetapi setelah dipikir-pikir, ia takut Hely akan mengadu pada ayahnya dan semuanya menjadi kacau.***Satu minggu kemudian, Hely sudah diizinkan pulang ke rumah. Kondisi luka di tubuhnya pun sudah mulai sembuh."Kartu ini untukmu dan kau bisa gunakan untuk segala kebutuhanmu ju
"Hei! Kenapa melamun? Aku Aka, siapa namamu?"Tangan kanan Draka senantiasa diulurkan dan tangan kirinya diayunkan di depan wajah Hely. Jujur, ini adalah pertama kali bagi pria itu mendapati seorang wanita yang seolah sama sekali tidak tertarik dengannya. Selama ini, ia tidak pernah mengajak satu wanita pun untuk berkenalan. Bahkan tanpa mengajak berkenalan pun, semua wanita akan berbondong-bondong menghampirinya."Maaf, aku sedang terburu-buru dan aku harus segera pulang," kata Hely bergegas pergi ke kasir meninggalkan Draka."Astaga! Hahaha ... Aku tidak salah lihat, 'kan? Bagaimana bisa aku diabaikan begitu saja? Menarik. Wanita itu benar-benar menarik." Draka tersenyum canggung sambil menggeleng pelan. Kemudian, ia berbalik dan mengejar Hely ke kasir.Di sana, wanita itu sedang meletakkan barang belanjaan di meja kasir. Setelah selesai, ia menoleh ke kanan dan mendapati Draka sedang memperhatikannya."Maaf, Mbak. Bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely sambil melirik Draka kh