Melihat tidak ada pergerakan apa pun membuat Ze khawatir. Ia beranjak berdiri dan menendang kaki Hely. Namun sayangnya, ia sama sekali tidak mendapat respon apa pun dan hanya melihat wajah wanita itu yang sudah pucat pasi seperti mayat."Hely?" terkejut Ze.Pria itu lekas mengangkat tubuh Hely dan berjalan tergopoh-gopoh keluar. Lalu, ia membaringkan tubuh wanita itu di lantai. Setelah itu, ia memeriksa detak jantungnya."Ya Tuhan ... Hely, bangun!" panik Ze.Ia lekas memangku kepala Hely dan menjepit hidung wanita itu perlahan. Kemudian, ia mulai merapatkan bibirnya pada mulut Hely. Ia menarik nafas dalam-dalam dan meniupkannya perlahan. Ze melakukan beberapa kali hingga akhirnya Hely bangun dan mengeluarkan air dari mulutnya."Uhuk-uhuk!" Hely terbatuk dengan manik mata yang membola.Sontak, Ze menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menghembuskan nafas lega. Hampir saja ia menjadi pembunuh jika ia gagal menyelamatkan Hely. Namun sayangnya, belum ada tiga menit wanita itu kembali ping
"Hei! Kenapa diam saja? Apa saya ... Ah tidak, sepertinya kita akan menjadi teman. Jadi, apa aku perlu mengenalkanmu pada pengacara kenalanku?" tanya Dokter Rani sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Hely.Dokter cantik itu merasa tidak nyaman berbicara dengan Hely yang jauh lebih muda darinya. Jadi, ia berusaha berbicara sedikit santai agar ia dan Hely sama-sama nyaman."Tidak perlu, Dok. Suami saya--""Aku, pakai aku kau saja biar lebih nyaman. Kau juga boleh menganggapku sebagai kakakmu," potong Dokter Rani mengoreksi."Suamiku memang orang yang dingin, tapi dia tidak sekejam itu. Dia hanya tidak bisa menerima saya menjadi istrinya," lanjut Hely setelah ucapannya sempat terpotong.Bagaimana bisa wanita itu membela Zu? Sudah jelas-jelas ia selalu disiksa hingga dirawat di rumah sakit dan koma berhari-hari."Tidak kejam bagaimana? Sudah jelas-jelas dia hampir membunuhmu. Lalu, kenapa kalian bisa sampai menikah kalau dia tidak mau menerimamu menjadi istrinya?" tanya Dokter Rani
"Siapa bilang? Saya hanya terkejut karena Tuan tiba-tiba ada di sini. Lagi pula, mana berani saya menganggap Tuan Ze hantu," sanggah Hely datar.Wanita itu berusaha menekan kuat-kuat rasa takutnya. Paling tidak, ia tidak boleh terlalu menunjukkannya karena pria itu akan semakin senang jika melihatnya ketakutan."Jadi, bagaimana kondisimu?" tanya Ze mengalihkan perhatian.Setelah memanggil dokter, ia sama sekali tidak menunggu dan menanyakan keadaan Hely. Jadi, ia cukup penasaran mengenai kondisi terkini wanita itu."Kata dokter, sih, saya sudah baik-baik saja," sahut Hely."Bagaimana tidak baik-baik saja sedangkan tiga hari ini kau hanya tidur? Aku yakin seharian ini pun kau hanya tidur. Benar bukan?" tanya Ze sinis."A-apa? Tiga hari?" tanya Hely terbelalak. Ia begitu terkejut mendengar pernyataan Ze tentang dirinya yang tidur selama tiga hari."Ya. Sejak pertama kali aku membawamu ke sini, sekarang sudah hari ketiga," jelas Ze mengangguk."Ya Tuhan ... Bagaimana bisa?" Hely terlihat
Mendengar pertanyaan dokter itu membuat Ze menoleh. Sejak tadi, ia sibuk menatap ke arah Hely yang sedang diperiksa dan sama sekali tidak sadar bahwa Dokter Rani menatapnya."Sial! Ada apa dengan dokter ini? Kenapa dia tidak melakukan tugasnya saja sebagai seorang dokter? Kenapa dia malah menanyakan hal yang bukan menjadi tugasnya? Dasar dokter sensus!" geram Ze dalam hati."I-ini ka-karena sa-saya ... Ini karena saja jatuh bergulingan, Dokter," sanggah Hely gelagapan. Ia memberi isyarat dengan mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali agar Dokter Rani tidak bertanya lagi. Saat ini, Ze dalam mode aman dan ia tidak boleh mengubah mode aman itu menjadi mode siaga."Oh, jadi begitu. Baiklah, kalau begitu saya permisi karena pemeriksaan sudah selesai," pamit Dokter Rani. Wanita itu mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum dan pergi.Melihat bagaimana sikap Dokter Rani, Ze mulai curiga. Pria itu melipat kedua tangannya di depan dan menatap tajam Hely."Ke-kenapa? Apa ada yang salah?" t
Hely menatap serius suaminya dengan dahi yang berkerut dalam. Ia begitu penasaran dengan apa yang akan pria itu katakan padanya. Apalagi, pembahasan yang mulai dibuka tentang permasalahan pernikahan mereka yang belum lama digelar."Tuan? Kenapa Tuan malah bengong?" panggil Hely melihat suaminya melamun. "Ah, tidak. Aku hanya lapar dan aku ingin makan," sanggah Ze bergegas memakai bajunya dan berjalan ke arah sofa.Alih-alih lekas menikmati makanannya, Ze justru menatap Hely lekat. "Jika aku berkata seperti itu dan Hely mengadu pada Papa bagaimana?"Ternyata, apa yang pria itu katakan tadi hanya ada dalam ilusinya saja. Ia ingin sekali mengatakan hal itu pada Hely. Barangkali saja wanita itu mau menceraikannya, tetapi setelah dipikir-pikir, ia takut Hely akan mengadu pada ayahnya dan semuanya menjadi kacau.***Satu minggu kemudian, Hely sudah diizinkan pulang ke rumah. Kondisi luka di tubuhnya pun sudah mulai sembuh."Kartu ini untukmu dan kau bisa gunakan untuk segala kebutuhanmu ju
"Hei! Kenapa melamun? Aku Aka, siapa namamu?"Tangan kanan Draka senantiasa diulurkan dan tangan kirinya diayunkan di depan wajah Hely. Jujur, ini adalah pertama kali bagi pria itu mendapati seorang wanita yang seolah sama sekali tidak tertarik dengannya. Selama ini, ia tidak pernah mengajak satu wanita pun untuk berkenalan. Bahkan tanpa mengajak berkenalan pun, semua wanita akan berbondong-bondong menghampirinya."Maaf, aku sedang terburu-buru dan aku harus segera pulang," kata Hely bergegas pergi ke kasir meninggalkan Draka."Astaga! Hahaha ... Aku tidak salah lihat, 'kan? Bagaimana bisa aku diabaikan begitu saja? Menarik. Wanita itu benar-benar menarik." Draka tersenyum canggung sambil menggeleng pelan. Kemudian, ia berbalik dan mengejar Hely ke kasir.Di sana, wanita itu sedang meletakkan barang belanjaan di meja kasir. Setelah selesai, ia menoleh ke kanan dan mendapati Draka sedang memperhatikannya."Maaf, Mbak. Bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely sambil melirik Draka kh
Melihat temannya berusaha membongkar rahasianya di depan Hely, Draka langsung memberi isyarat agar Dokter Rani berhenti. Namun sayangnya, wanita itu mengabaikan isyaratnya. Hingga pada akhirnya, ia bergerak maju dan menarik Dokter Rani. Ia juga membungkam mulut temannya menggunakan telapak tangannya."Apa yang kau lakukan, Aka?" kesal Dokter Rani setelah memukul tangan Draka dan menjauhkan tangan pria itu dari mulutnya."Kalian saling kenal?" tanya Helios menatap dua orang itu bergantian."Kau kenal Rani?" tanya Draka pada Hely."Ya," sahut Hely singkat.Draka menoleh ke arah Dokter Rani dan menatapnya tidak percaya. Kenapa dunia begitu sempit? Andai ia tahu Dokter Rani mengenal Hely, maka selama satu Minggu ini ia tidak akan pergi ke supermarket hanya untuk melihat Hely. Ia hanya perlu bertanya pada temannya dan akan langsung bisa bertemu dengan Hely."Astaga, Rani! Kenapa kau tidak bilang?" ujar Draka frustasi."Bilang apa? Hely?" Dokter Rani balik bertanya karena tidak tahu maksud
Mengetahui bahwa istrinya telah bertemu dengan pria lain. Apalagi dengan alasan pergi belanja membuat rahang Ze mengeras. Tangannya terkepal kuat dan wajahnya pun sudah merah padam.Melihat reaksi Ze, Hely menggeleng pelan. Ia lekas menekan tombol merah tanpa menjawab pertanyaan Draka lebih dulu."Tuan? Saya dan Pengacara Aka tidak memiliki hubungan apa-apa. Kami hanya--""Berhenti membela diri!" sentak Ze memotong kalimat Hely."Tuan, sungguh. Saya dan Pengacara Aka baru bertemu dua kali. Kami benar-benar tidak memiliki hubungan apa pun," ujar Hely berusaha menjelaskan."Benarkah? Baru dua kali bertemu, tapi dia sudah tahu nomor teleponmu. Kau benar-benar murahan, Hely. Baru kenal, tapi sudah memberikan nomor telepon. Kau benar-benar luar biasa!" Ze sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Lalu, bertepuk tangan sambil tersenyum mengejek. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Hely akan semurah itu."Tidak, Tuan, tidak seperti itu kenyataannya. Saya hanya memberikan nomor telepon saya
Ze mendekatkan wajahnya bersiap untuk mengecup bibir sang istri. Namun sebelum itu, ia menatap manik mata Hely dalam-dalam. Merapikan anak rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Lalu, menatap lapar bibir candunya dan mendekat."Sial!" umpat Ze kesal.Suara ketukan pintu berhasil mengganggu konsentrasinya. Ia yakin, Mbok Bariyah sudah menunggu di depan pintu kamar membawa air minum yang ia minta sebelumnya."Tidak apa-apa, buka pintu dulu. Setelah itu, kita bisa lanjut lagi," kata Hely sambil mengedipkan matanya dan tersenyum lembut.Akhirnya, Ze mengangguk dan beranjak bangun. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Menerima nampan berisi gelas dan teko air putih. Lalu, ia menutup pintu dan kembali. Menuang air di gelas dan menyodorkannya pada sang istri."Minumlah!" kata Ze sambil membantu istrinya duduk."Terimakasih, Mas," balas Hely."Baiklah. Jadi, apa kita bisa melanjutkan apa yang sempat tertunda?" Ze menatap Hely penuh harap."Ya, tapi pelan-pelan saja. Lebih pelan dari
Tiga bulan kemudian."Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mengalami mimpi buruk? Apa kita perlu pergi ke psikiater lagi?" tanya Ze bertepatan dengan waktu konseling Hely yang ketiga.Sudah lewat dari tiga bulan setelah hari pertama Hely pergi ke psikiater. Seharusnya, bulan ini wanita itu pergi lagi untuk konsultasi yang ketiga. Untuk menanyakan seberapa besar kemajuan kesehatan mentalnya setelah tiga bulan berlalu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah jarang mengalami mimpi buruk. Aku perhatikan, paling-paling satu Minggu sekali aku mengalami mimpi buruk. Mungkin tidak lama lagi aku akan segera sembuh," tolak Hely merasa kesehatan mental akibat dari trauma yang ia alami sebelumnya sudah semakin membaik."Apa kau yakin? Kalau tidak, satu kali lagi saja. Ini untuk yang terakhir kalinya kau pergi ke psikiater. Setidaknya, untuk memastikan agar kita yakin," ujar Ze membujuk."Tidak perlu, Mas. Aku sudah sangat-sangat yakin kalau aku akan segera sembuh meski tanpa pergi ke psikiater la
"Oke. Tere sudah lumayan bisa karena mengikuti arahan ayah. Sekarang, Tere main air dulu di sini dan giliran ayah ajarin Bunda berenang," ujar Ze setelah mengajari putrinya."Oke, Ayah," balas Teressa. Gadis kecil itu belajar menahan nafas di dalam air tepat di tangga kolam renang. Sesekali akan mencelupkan wajahnya dan menghitung sampai lima. Ia terus melakukannya lagi dan lagi. Sementara itu, Ze berjalan ke arah istrinya yang duduk di pinggir dengan menunjukkan seringaian tipisnya."Aku tidak perlu belajar renang, Mas," ujar Hely menggeleng cepat. Ia curiga melihat seringaian suaminya yang menjengkelkan.Tanpa membalas, Ze langsung mengangkat tubuh Hely dan membuat seluruh tubuhnya basah. "Kau tidak bisa menolak, Sayang. Sekarang, buat posisi seperti yang Tere lakukan tadi."Hely menghela nafas berat. Kemudian, ia lekas membuat posisi tertelungkup dengan kedua tangan Ze yang membentang di dua tempat. Tangan kiri berada di bagian dada dan tangan kanan di bagian bawah, tempat paling
"Apa kau berusaha menghindar lagi?" tanya Ze melihat sikap Hely yang lagi-lagi berusaha menghindar."Menghindar dari apa, Mas?" tanya Hely sambil mengerutkan keningnya."Kau tahu maksud dari pertanyaanku, Hely. Jadi--.""Aku tahu, Mas. Nanti siang kita akan pergi. Jadi, kau tidak perlu khawatir karena aku tidak akan menghindar lagi untuk berobat," potong Hely menjelaskan.Mendengar ucapan sang istri berhasil membuat Ze menghembuskan nafas lega. Kekhawatirannya yang tidak perlu kini bisa ia enyahkan dalam sekejap mata. Sekarang, ia hanya perlu mendukung agar proses penyembuhan berjalan dengan lancar dan cepat."Terimakasih, Sayang. Sekarang, kita lihat-lihat rumah kita dulu," ujar Ze mengajak istrinya melihat-lihat rumah barunya.Sepasang suami istri itu mulai melihat-lihat di setiap sudut rumah. Dari lantai satu ke lantai dua dan melihat-lihat di area luar rumah. Sementara Teressa, gadis kecil itu berlarian ke sana kemari sambil tersenyum takjub mengagumi rumah barunya."Bunda! Cepat
"Kenapa aku harus ke pergi ke psikiater?" tanya Hely sambil membuang muka. Sejak dulu, ia paling tidak suka disuruh pergi ke psikiater."Untuk menanyakan tentang apa yang seharusnya kau lakukan. Kau tidak ingin terus-menerus bermimpi buruk bukan? Setidaknya setelah konsultasi, kita akan tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan trauma yang aku buat," sahut Ze berusaha menjelaskan.Hely kembali menatap suaminya. Lalu, ia menatap ke atas dengan raut bingung. Terlihat sekali bahwa ia tidak ingin pergi ke psikiater untuk pergi berkonsultasi. Entah apa yang membuatnya begitu sulit dibujuk, bahkan sejak dulu."Kita pergi ke psikolog saja. Bukankah psikolog dan psikiater sama saja?" kata Hely memutuskan."Ya. Psikolog dan psikiater tidak beda jauh. Kalau kau tidak ingin pergi ke psikiater dan memilih pergi ke psikolog, maka mari kita pergi," balas Ze mendukung.Ze tidak akan mempermasalahkan ke mana istrinya akan pergi untuk berkonsultasi. Asalkan tempat itu bisa menyembuhkan trauma yang ia bua
"Sekarang, Tere sedang ada di rumah sakit mana? Atau kalau tidak, coba Tere tanyakan pada suster," tanya Hely berusaha tenang."Rumah Sakit Internasional Heaven, Bunda," sahut gadis kecil itu."Baiklah. Tere tenang dulu, yah? Bunda akan pergi ke sana sekarang juga.""Iya, Bunda."Tanpa mempedulikan pakaian yang menggunung meminta untuk diselesaikan, Hely langsung mengakhiri panggilan dan beranjak berdiri. Melangkah ke dalam kamar dan meraih tas. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya. Kemudian, ia lekas keluar dan mengunci pintu. Dengan langkah setengah berlari, ia menuju bibir jalan raya. Melambaikan tangannya ketika taksi melintas."Rumah Sakit Internasional Heaven, Pak," celetuk Hely bertepatan ketika ia masuk ke dalam mobil."Baik, Bu."Taksi pun melintas dengan kecepatan sedang. Merasa sedang terburu-buru, Hely meminta agar supir taksi menaikkan kecepatan. Pokoknya apa pun yang terjadi, ia harus segera sampai di rumah sakit."Pak, bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely kh
Hely mendadak terdiam mendengar pertanyaan yang Ze lontarkan. Tatapan matanya pun jadi tidak fokus. Bola matanya bergerak ke sana kemari."Hey, Sayang? Kenapa diam saja?" tanya Ze bingung.Alih-alih menjawab, Hely justru mengecup bibir suaminya. Berhubung Ze pria yang sudah lama tidak mendapat belaian, jadi sekali mendapat perlakuan itu membuat semangatnya bangkit dan melupakan pertanyaannya. Apalagi, ia sudah merencanakan peraduan beronde-ronde. Jadi, Ia lekas beranjak duduk dan menatap Hely dengan raut berbinar."Kenapa kau jadi tidak sabaran begini, Sayang? Apa kita perlu memulainya sekarang?" tanya Ze bersemangat.Sementara Hely masih tidak fokus. Ia masih memikirkan pertanyaan suaminya dan bagaimana harus menjawabnya. Haruskah ia berkata jujur atau terus menyembunyikan trauma yang selalu menghantui di setiap tidurnya. Namun sayangnya, Ze salah satu pria yang tidak memiliki kepekaan. Ia justru langsung merenggut bibir dan mengungkung tubuh Hely."Kau ingat apa yang kau katakan tad
"Bisa diam tidak, sih, Mas. Kali ini saja biarkan aku tidur. Nanti malam, terserah Mas Ze deh mau berapa kali." Manik mata Hely terasa sangat berat. Sudut mata mengeluarkan cairan bening terus. Hal itu terjadi karena semalam ia tidak bisa tidur. Baru saja memejamkan matanya langsung mimpi buruk. Jadi meskipun ia mengantuk, ia tetap tidak bisa tidur karena selalu dibangunkan oleh mimpi buruk itu."Oke-oke aku diam, tapi kau harus janji dulu nanti malam akan melakukannya berkali-kali sampai puas." Ze meminta istrinya berjanji agar tidak berani mengingkari."Iya, Mas Ze, bawel," balas Hely.Mungkin sekitar lima menit berlalu, terdengar suara napas teratur Hely. Ternyata wanita itu benar-benar mengantuk dan tertidur."Mimpi indah, Sayang," kata Ze setelah mengecup kening istrinya. Mengingat pintu masih dalam keadaan terkunci, Ze lekas turun dan membukanya. Ia takut putrinya bangun dan mencarinya ke kamar. Setelah itu, ia kembali berbaring dan ikut memejamkan matanya.Di kamar sebelah, T
"Euuum." Terdengar suara lenguhan yang melengking indah di telinga Ze. Hal itu berhasil membuat semangatnya meningkat. Tangannya bergerak menyentuh punggung Hely dan tubuhnya menekan kuat-kuat hingga tubuh istrinya berada di bawah kendalinya."Aku mencintaimu, Hely," ujar Ze lirih sebelum akhirnya melucuti pakaian yang melekat di tubuh sang istri dan juga dirinya.Setelah tidak ada selembar kain pun yang melekat di tubuh keduanya, Ze kembali melumat bibir Hely. Perlahan, tapi pasti hingga bergerak ke tulang selangka, dan ke setiap inchi bagian tubuh Hely lainnya."Yang?" panggil Ze dengan manik mata berkabut dan napas yang memburu."Eum, ada apa?" tanya Hely melebarkan matanya yang sedikit mengabur."Kenapa sempit sekali?" Alih-alih menjawab, Ze justru balik bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan terdengar seolah sedang menahan sesuatu.Sudah enam tahun tidak terjamah dan sudah lima tahun bekas dijahit karena melahirkan Tere. Jadi, pantas saja kalau sempit."Sempit? Lalu, apa