"Pembantu murahan lagi? Astaga!" Hely mencengkeram rambutnya kasar, "Aku memang seorang pembantu, tapi aku bukan wanita murahan. Jadi, berhenti menyebutku murahan!" lanjut Hely tegas.Lelah sudah selama ini ia bersikap sopan. Sekarang, ia tidak ingin berbicara sopan dengan laki-laki yang sering sekali menyiksanya.Zeus cukup tersentak dengan cara bicara Helios. "Kau memang murahan, Hely. Kenapa kau harus marah dan menyangkal?" Ze tersenyum smirk menatap Hely."Baiklah, aku memang wanita murahan. Jadi, apa kau masih ingin meniduri wanita murahan sepertiku ini?" Hely menggertakkan giginya sambil melepas dua kain yang tersisa.Wanita itu berusaha menahan rasa malunya kuat-kuat. Ia pikir, dengan apa yang ia lakukan saat ini akan membuat Ze mengurungkan niatnya untuk menidurinya."Tentu saja masih. Lumayan 'kan ada kau di sini yang bisa aku nikmati secara gratis. Daripada aku harus mencari di luaran sana dan harus membayar mahal. Jadi lebih baik, aku memanfaatkan apa yang ada di depan mata
"Apa maksudmu berkata seperti itu?" tanya Hely sambil meletakkan sandal di rak."Jangan bersikap seolah kau tidak tahu. Kau membuat alasan dengan membuang sampah, tapi ternyata kau bertemu dengan pria brengsek yang menghubungimu tadi siang, 'kan?" sergah Ze menuduh.Sebenarnya, pria itu sama sekali tidak tahu seperti apa sosok Draka. Ia hanya menebak-nebak saja karena pria yang menghubungi Hely adalah pengacara itu."Oh, jadi kau melihatku bersama Pengacara Aka?" Hely melangkah masuk melewati Ze begitu saja, "Aku tidak sengaja bertemu dengan dia dan ternyata, dia penghuni apartemen ini juga," imbuh wanita itu datar.Hely menjelaskan seolah tidak memiliki rasa takut sedikitpun. Mungkin karena ia merasa benar dan tidak melakukan sesuatu yang salah. Jadi, ia tidak perlu menyembunyikan hal yang hanya akan membuat Ze curiga dan marah."Benarkah? Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Tidak, Hely. Dilihat dari sikap pria brengsek itu, sepertinya kalian bukan sekedar orang yang baru bertemu
"Kalau aku tidak mau bagaimana?" Hely takut Ze semakin giat menyiksanya jika tidur satu kamar."Memangnya kau berani menolakku?" Ze mengangkat pandangan sambil menunjukkan seringaiannya."Sebenarnya tidak, tapi kenapa? Bukankah kau yang memintaku agar tidak satu kamar denganmu?" tanya Hely tidak mengerti.Bagaimana bisa ia pindah ke kamar Ze begitu saja tanpa mencurigainya? Hely yakin, alasan pria itu memintanya pindah kamar karena ingin lebih leluasa ketika menyiksanya. Selain alasan itu, ia tidak yakin dan sama sekali tidak ada pemikiran tentang alasan lain."Tidak perlu banyak tanya! Kalau aku bilang pindah ke kamarku, itu artinya kau harus pindah," sergah Ze tidak berencana untuk menjelaskan."Tapi aku tidak mau," tolak Hely dengan nada mengeluh."Kau tahu, kalau kau tidak bisa menolak. Jadi setelah aku pergi bekerja, kau harus langsung memindahkan seluruh barang-barangmu ke kamarku. Setelah aku pulang nanti, aku akan memeriksanya dan kalau masih ada barang yang tertinggal meski h
"Sore," balas Ze ketus."Bagaimana keadaan Nona Hely? Mudah-mudahan sudah sehat, yah," tanya Dokter Rani basa-basi."Ya. Maaf, saya masuk dulu," pamit Ze bergegas menutup pintu dan masuk.Pria itu berdiri sejenak dan bergumam, "Pengacara sok hebat itu memang tampan, tapi tidak bisa dibandingkan dengan ketampananku. Seharusnya Hely merasa bersyukur karena menikah dengan pria tampan dan mapan sepertiku.""Ze? Kenapa kau lama sekali?" panggil Diana."Ah iya, Ma, sebentar," sahut Ze tersentak dari lamunannya.Pria itu lekas berbalik dan menghampiri ayah juga ibunya di ruang tamu. "Baru jam segini, kok, sudah sampai? Ze sama Hely belum selesai memasak," kata Ze bersikap seolah rumah tangganya dengan Hely akur-akur saja.Akhirnya, terbongkar sudah alasan mengapa Ze meminta Hely untuk pindah ke kamarnya. Hal itu terjadi karena semalam orang tuanya menelepon dan berkata akan datang berkunjung besok malamnya bertepatan dengan waktu makan malam tiba. Jadi takut kedua orang tuanya memeriksa kond
Alih-alih ikut menikmati seperti Ze yang menikmati momen itu, Helios justru merasa takut. Ia takut pria itu akan tiba-tiba melepaskannya dan membuatnya terjatuh. Apalagi melihat seringaian tipis Ze membuatnya ingin cepat-cepat melepaskan diri. Dalam hitungan detik, Hely berencana untuk membuka mulut dan melepaskan diri. Namun sayangnya, ia terlambat satu langkah dan tubuhnya mendarat di kerasnya lantai marmer."Aaaww! Dasar Tuan Iblis!" pekik Hely kesakitan sambil mengumpat. Ia melirik sinis ke arah Ze sambil menahan sakit."Siapa suruh kau menikmati ketampanan wajahku?" balas Ze sinis."Hah? Apa? Hahaha ..." Hely begitu terkejut mendengar ucapan Ze, "Apa aku tidak salah dengar?" Sambil menyentuh telinga, wanita itu tersenyum mengejek, "Bukankah kau yang menikmati kecantikan wajahku yang dibalut riasan?"Tebakan Hely memang benar. Karena kecantikan wajahnya, Ze sampai tidak bisa mengalihkan pandangan. Terus ingin menatap, tetapi tidak ingin Hely tahu. Jadi, ia sengaja menjatuhkan wani
"Sial! Kenapa Hely terus mengulum jariku?" umpat Ze kesal.Saat ini, Hely masih terus saja mengulum jari Ze. Mungkin karena darahnya masih keluar. Akan tetapi, wanita itu sama sekali tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan saat ini mampu membangunkan sisi liar Ze yang semula sedang tertidur pulas."Kenapa? Itu darahnya masih keluar," tanya Hely ketika Ze menarik tangannya tiba-tiba."Air liurmu hanya akan membuat jariku infeksi," sahut Ze lekas mengguyur jarinya dengan air keran."Memangnya aku ini apa? Dasar Tuan Iblis menyebalkan," sewot Hely. Ternyata niat baiknya malah dibalas dengan ocehan yang menyakitkan hatinya."Apa kau bilang?" geram Ze.Belum lama ia mengingatkan agar Hely tidak menyebutnya dengan tuan iblis, tetapi Hely sudah mengulanginya lagi."Aku tidak bilang apa-apa. Aku cuma bilang Ze yang tampan seperti dewa," balas Hely berbohong. "Aku memang tampan. Kenapa kau baru menyadarinya?' Ze menanggapi ucapan Hely dengan bangga."Dari dulu kau memang tampan, Ze. Hanya saja
"Ze selalu memperlakukan Hely dengan baik, Pa," timpal Ze ketar-ketir. Ia takut Hely akan membuka mulut dan dirinya akan hancur."Papa tanya Hely dan bukan kau, Ze," sergah Asilas sewot.Entah sejak kapan putranya jadi suka menyela. Padahal sebelumnya, Ze akan berbicara di waktu yang tepat. "Tidak, Pa. Ze selalu bersikap baik, kok. Suka bantu-bantu masak sama beres-beres rumah," balas Hely."Ze?" terkejut Diana. Bagaimana bisa Hely memanggil suaminya hanya dengan nama saja? Terlebih, usianya dengan Ze berbeda tujuh tahun. Hely menoleh ke arah ibu mertuanya. "Ada apa, Ma?" tanyanya penasaran."Kau memanggil suamimu, Ze?" ulang Diana masih tidak percaya."I-iya, Ma," sahut Hely terbata."Astaga, Hely! Panggil suamimu Mas, Abang, atau Sayang," ujar Diana sambil menghempaskan tubuhnya ke belakang.Wanita itu benar-benar tidak habis pikir dengan menantunya. Haruskah hal sekecil itu ia ajari? Ze juga, kenapa pria itu tidak mengajari istrinya cara memanggilnya sebagai seorang suami?"M-m-
"Kau mau ke mana?" tanya Zeus melihat Hely mengambil bantal dan selimut.Hely menghentikan langkahnya dan menoleh. Lalu, ia menjawab, "Aku mau tidur di sofa. Kau tidak ingin aku bergerak sembarangan menimpa tubuhmu, bukan?""Tidak apa-apa. Aku rasa, kau harus belajar tidur bersama agar tidak bergerak ke sana kemari ketika sedang tidur. Setidaknya setelah kita bercerai nanti, kau tidak akan menendang suamimu ketika tidur," jelas Ze tiba-tiba mengungkit perceraian dengan Hely."Siapa yang mau bercerai?" tanya Hely terbelalak."Kita. Memangnya kau mau terus aku siksa?" sahut Ze balik bertanya.Mendengar Ze bertanya seperti itu membuat Hely menghela nafas berat. Tatapan mata wanita itu terlihat tidak fokus. Memikirkan bagaimana pemikirannya dulu tentang ibunya yang terus bertahan, meski selalu disiksa membuatnya tersenyum kecut. Apalagi saat ini ia berada di posisi sang ibu di mana menjadi seorang istri yang selalu disiksa."Ternyata ini yang ibu rasakan dulu. Aku yang dulu bersumpah akan
Ze mendekatkan wajahnya bersiap untuk mengecup bibir sang istri. Namun sebelum itu, ia menatap manik mata Hely dalam-dalam. Merapikan anak rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Lalu, menatap lapar bibir candunya dan mendekat."Sial!" umpat Ze kesal.Suara ketukan pintu berhasil mengganggu konsentrasinya. Ia yakin, Mbok Bariyah sudah menunggu di depan pintu kamar membawa air minum yang ia minta sebelumnya."Tidak apa-apa, buka pintu dulu. Setelah itu, kita bisa lanjut lagi," kata Hely sambil mengedipkan matanya dan tersenyum lembut.Akhirnya, Ze mengangguk dan beranjak bangun. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Menerima nampan berisi gelas dan teko air putih. Lalu, ia menutup pintu dan kembali. Menuang air di gelas dan menyodorkannya pada sang istri."Minumlah!" kata Ze sambil membantu istrinya duduk."Terimakasih, Mas," balas Hely."Baiklah. Jadi, apa kita bisa melanjutkan apa yang sempat tertunda?" Ze menatap Hely penuh harap."Ya, tapi pelan-pelan saja. Lebih pelan dari
Tiga bulan kemudian."Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mengalami mimpi buruk? Apa kita perlu pergi ke psikiater lagi?" tanya Ze bertepatan dengan waktu konseling Hely yang ketiga.Sudah lewat dari tiga bulan setelah hari pertama Hely pergi ke psikiater. Seharusnya, bulan ini wanita itu pergi lagi untuk konsultasi yang ketiga. Untuk menanyakan seberapa besar kemajuan kesehatan mentalnya setelah tiga bulan berlalu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah jarang mengalami mimpi buruk. Aku perhatikan, paling-paling satu Minggu sekali aku mengalami mimpi buruk. Mungkin tidak lama lagi aku akan segera sembuh," tolak Hely merasa kesehatan mental akibat dari trauma yang ia alami sebelumnya sudah semakin membaik."Apa kau yakin? Kalau tidak, satu kali lagi saja. Ini untuk yang terakhir kalinya kau pergi ke psikiater. Setidaknya, untuk memastikan agar kita yakin," ujar Ze membujuk."Tidak perlu, Mas. Aku sudah sangat-sangat yakin kalau aku akan segera sembuh meski tanpa pergi ke psikiater la
"Oke. Tere sudah lumayan bisa karena mengikuti arahan ayah. Sekarang, Tere main air dulu di sini dan giliran ayah ajarin Bunda berenang," ujar Ze setelah mengajari putrinya."Oke, Ayah," balas Teressa. Gadis kecil itu belajar menahan nafas di dalam air tepat di tangga kolam renang. Sesekali akan mencelupkan wajahnya dan menghitung sampai lima. Ia terus melakukannya lagi dan lagi. Sementara itu, Ze berjalan ke arah istrinya yang duduk di pinggir dengan menunjukkan seringaian tipisnya."Aku tidak perlu belajar renang, Mas," ujar Hely menggeleng cepat. Ia curiga melihat seringaian suaminya yang menjengkelkan.Tanpa membalas, Ze langsung mengangkat tubuh Hely dan membuat seluruh tubuhnya basah. "Kau tidak bisa menolak, Sayang. Sekarang, buat posisi seperti yang Tere lakukan tadi."Hely menghela nafas berat. Kemudian, ia lekas membuat posisi tertelungkup dengan kedua tangan Ze yang membentang di dua tempat. Tangan kiri berada di bagian dada dan tangan kanan di bagian bawah, tempat paling
"Apa kau berusaha menghindar lagi?" tanya Ze melihat sikap Hely yang lagi-lagi berusaha menghindar."Menghindar dari apa, Mas?" tanya Hely sambil mengerutkan keningnya."Kau tahu maksud dari pertanyaanku, Hely. Jadi--.""Aku tahu, Mas. Nanti siang kita akan pergi. Jadi, kau tidak perlu khawatir karena aku tidak akan menghindar lagi untuk berobat," potong Hely menjelaskan.Mendengar ucapan sang istri berhasil membuat Ze menghembuskan nafas lega. Kekhawatirannya yang tidak perlu kini bisa ia enyahkan dalam sekejap mata. Sekarang, ia hanya perlu mendukung agar proses penyembuhan berjalan dengan lancar dan cepat."Terimakasih, Sayang. Sekarang, kita lihat-lihat rumah kita dulu," ujar Ze mengajak istrinya melihat-lihat rumah barunya.Sepasang suami istri itu mulai melihat-lihat di setiap sudut rumah. Dari lantai satu ke lantai dua dan melihat-lihat di area luar rumah. Sementara Teressa, gadis kecil itu berlarian ke sana kemari sambil tersenyum takjub mengagumi rumah barunya."Bunda! Cepat
"Kenapa aku harus ke pergi ke psikiater?" tanya Hely sambil membuang muka. Sejak dulu, ia paling tidak suka disuruh pergi ke psikiater."Untuk menanyakan tentang apa yang seharusnya kau lakukan. Kau tidak ingin terus-menerus bermimpi buruk bukan? Setidaknya setelah konsultasi, kita akan tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan trauma yang aku buat," sahut Ze berusaha menjelaskan.Hely kembali menatap suaminya. Lalu, ia menatap ke atas dengan raut bingung. Terlihat sekali bahwa ia tidak ingin pergi ke psikiater untuk pergi berkonsultasi. Entah apa yang membuatnya begitu sulit dibujuk, bahkan sejak dulu."Kita pergi ke psikolog saja. Bukankah psikolog dan psikiater sama saja?" kata Hely memutuskan."Ya. Psikolog dan psikiater tidak beda jauh. Kalau kau tidak ingin pergi ke psikiater dan memilih pergi ke psikolog, maka mari kita pergi," balas Ze mendukung.Ze tidak akan mempermasalahkan ke mana istrinya akan pergi untuk berkonsultasi. Asalkan tempat itu bisa menyembuhkan trauma yang ia bua
"Sekarang, Tere sedang ada di rumah sakit mana? Atau kalau tidak, coba Tere tanyakan pada suster," tanya Hely berusaha tenang."Rumah Sakit Internasional Heaven, Bunda," sahut gadis kecil itu."Baiklah. Tere tenang dulu, yah? Bunda akan pergi ke sana sekarang juga.""Iya, Bunda."Tanpa mempedulikan pakaian yang menggunung meminta untuk diselesaikan, Hely langsung mengakhiri panggilan dan beranjak berdiri. Melangkah ke dalam kamar dan meraih tas. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya. Kemudian, ia lekas keluar dan mengunci pintu. Dengan langkah setengah berlari, ia menuju bibir jalan raya. Melambaikan tangannya ketika taksi melintas."Rumah Sakit Internasional Heaven, Pak," celetuk Hely bertepatan ketika ia masuk ke dalam mobil."Baik, Bu."Taksi pun melintas dengan kecepatan sedang. Merasa sedang terburu-buru, Hely meminta agar supir taksi menaikkan kecepatan. Pokoknya apa pun yang terjadi, ia harus segera sampai di rumah sakit."Pak, bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely kh
Hely mendadak terdiam mendengar pertanyaan yang Ze lontarkan. Tatapan matanya pun jadi tidak fokus. Bola matanya bergerak ke sana kemari."Hey, Sayang? Kenapa diam saja?" tanya Ze bingung.Alih-alih menjawab, Hely justru mengecup bibir suaminya. Berhubung Ze pria yang sudah lama tidak mendapat belaian, jadi sekali mendapat perlakuan itu membuat semangatnya bangkit dan melupakan pertanyaannya. Apalagi, ia sudah merencanakan peraduan beronde-ronde. Jadi, Ia lekas beranjak duduk dan menatap Hely dengan raut berbinar."Kenapa kau jadi tidak sabaran begini, Sayang? Apa kita perlu memulainya sekarang?" tanya Ze bersemangat.Sementara Hely masih tidak fokus. Ia masih memikirkan pertanyaan suaminya dan bagaimana harus menjawabnya. Haruskah ia berkata jujur atau terus menyembunyikan trauma yang selalu menghantui di setiap tidurnya. Namun sayangnya, Ze salah satu pria yang tidak memiliki kepekaan. Ia justru langsung merenggut bibir dan mengungkung tubuh Hely."Kau ingat apa yang kau katakan tad
"Bisa diam tidak, sih, Mas. Kali ini saja biarkan aku tidur. Nanti malam, terserah Mas Ze deh mau berapa kali." Manik mata Hely terasa sangat berat. Sudut mata mengeluarkan cairan bening terus. Hal itu terjadi karena semalam ia tidak bisa tidur. Baru saja memejamkan matanya langsung mimpi buruk. Jadi meskipun ia mengantuk, ia tetap tidak bisa tidur karena selalu dibangunkan oleh mimpi buruk itu."Oke-oke aku diam, tapi kau harus janji dulu nanti malam akan melakukannya berkali-kali sampai puas." Ze meminta istrinya berjanji agar tidak berani mengingkari."Iya, Mas Ze, bawel," balas Hely.Mungkin sekitar lima menit berlalu, terdengar suara napas teratur Hely. Ternyata wanita itu benar-benar mengantuk dan tertidur."Mimpi indah, Sayang," kata Ze setelah mengecup kening istrinya. Mengingat pintu masih dalam keadaan terkunci, Ze lekas turun dan membukanya. Ia takut putrinya bangun dan mencarinya ke kamar. Setelah itu, ia kembali berbaring dan ikut memejamkan matanya.Di kamar sebelah, T
"Euuum." Terdengar suara lenguhan yang melengking indah di telinga Ze. Hal itu berhasil membuat semangatnya meningkat. Tangannya bergerak menyentuh punggung Hely dan tubuhnya menekan kuat-kuat hingga tubuh istrinya berada di bawah kendalinya."Aku mencintaimu, Hely," ujar Ze lirih sebelum akhirnya melucuti pakaian yang melekat di tubuh sang istri dan juga dirinya.Setelah tidak ada selembar kain pun yang melekat di tubuh keduanya, Ze kembali melumat bibir Hely. Perlahan, tapi pasti hingga bergerak ke tulang selangka, dan ke setiap inchi bagian tubuh Hely lainnya."Yang?" panggil Ze dengan manik mata berkabut dan napas yang memburu."Eum, ada apa?" tanya Hely melebarkan matanya yang sedikit mengabur."Kenapa sempit sekali?" Alih-alih menjawab, Ze justru balik bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan terdengar seolah sedang menahan sesuatu.Sudah enam tahun tidak terjamah dan sudah lima tahun bekas dijahit karena melahirkan Tere. Jadi, pantas saja kalau sempit."Sempit? Lalu, apa