"Sial! Kenapa Hely terus mengulum jariku?" umpat Ze kesal.Saat ini, Hely masih terus saja mengulum jari Ze. Mungkin karena darahnya masih keluar. Akan tetapi, wanita itu sama sekali tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan saat ini mampu membangunkan sisi liar Ze yang semula sedang tertidur pulas."Kenapa? Itu darahnya masih keluar," tanya Hely ketika Ze menarik tangannya tiba-tiba."Air liurmu hanya akan membuat jariku infeksi," sahut Ze lekas mengguyur jarinya dengan air keran."Memangnya aku ini apa? Dasar Tuan Iblis menyebalkan," sewot Hely. Ternyata niat baiknya malah dibalas dengan ocehan yang menyakitkan hatinya."Apa kau bilang?" geram Ze.Belum lama ia mengingatkan agar Hely tidak menyebutnya dengan tuan iblis, tetapi Hely sudah mengulanginya lagi."Aku tidak bilang apa-apa. Aku cuma bilang Ze yang tampan seperti dewa," balas Hely berbohong. "Aku memang tampan. Kenapa kau baru menyadarinya?' Ze menanggapi ucapan Hely dengan bangga."Dari dulu kau memang tampan, Ze. Hanya saja
"Ze selalu memperlakukan Hely dengan baik, Pa," timpal Ze ketar-ketir. Ia takut Hely akan membuka mulut dan dirinya akan hancur."Papa tanya Hely dan bukan kau, Ze," sergah Asilas sewot.Entah sejak kapan putranya jadi suka menyela. Padahal sebelumnya, Ze akan berbicara di waktu yang tepat. "Tidak, Pa. Ze selalu bersikap baik, kok. Suka bantu-bantu masak sama beres-beres rumah," balas Hely."Ze?" terkejut Diana. Bagaimana bisa Hely memanggil suaminya hanya dengan nama saja? Terlebih, usianya dengan Ze berbeda tujuh tahun. Hely menoleh ke arah ibu mertuanya. "Ada apa, Ma?" tanyanya penasaran."Kau memanggil suamimu, Ze?" ulang Diana masih tidak percaya."I-iya, Ma," sahut Hely terbata."Astaga, Hely! Panggil suamimu Mas, Abang, atau Sayang," ujar Diana sambil menghempaskan tubuhnya ke belakang.Wanita itu benar-benar tidak habis pikir dengan menantunya. Haruskah hal sekecil itu ia ajari? Ze juga, kenapa pria itu tidak mengajari istrinya cara memanggilnya sebagai seorang suami?"M-m-
"Kau mau ke mana?" tanya Zeus melihat Hely mengambil bantal dan selimut.Hely menghentikan langkahnya dan menoleh. Lalu, ia menjawab, "Aku mau tidur di sofa. Kau tidak ingin aku bergerak sembarangan menimpa tubuhmu, bukan?""Tidak apa-apa. Aku rasa, kau harus belajar tidur bersama agar tidak bergerak ke sana kemari ketika sedang tidur. Setidaknya setelah kita bercerai nanti, kau tidak akan menendang suamimu ketika tidur," jelas Ze tiba-tiba mengungkit perceraian dengan Hely."Siapa yang mau bercerai?" tanya Hely terbelalak."Kita. Memangnya kau mau terus aku siksa?" sahut Ze balik bertanya.Mendengar Ze bertanya seperti itu membuat Hely menghela nafas berat. Tatapan mata wanita itu terlihat tidak fokus. Memikirkan bagaimana pemikirannya dulu tentang ibunya yang terus bertahan, meski selalu disiksa membuatnya tersenyum kecut. Apalagi saat ini ia berada di posisi sang ibu di mana menjadi seorang istri yang selalu disiksa."Ternyata ini yang ibu rasakan dulu. Aku yang dulu bersumpah akan
Berhubung Hely sudah sangat kelelahan dan tubuhnya terasa remuk redam, ia sama sekali tidak berniat untuk bangun. Rasanya ingin terus berlama-lama berada di atas tempat tidur dan bergelung dalam selimut. Namun sayangnya, Ze tidak tinggal diam. Pria itu mengangkatnya dan bahkan membantunya membersihkan diri."Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Hely dengan mata yang terpejam. Sementara Ze hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa Hely menolak, tetapi justru tertidur meringkuk di dalam bathtub. Jadi meskipun wanita itu menolak, Ze tidak akan mendengar penolakannya. "Hely, Hely," lirih Ze sambil menggeleng.Mungkin sekitar tiga puluh menit, Ze dan Hely selesai membersihkan diri. Pria itu mengangkat tubuh Hely dan mengeringkannya. Kemudian, meletakkan wanita itu ke tempat tidur dan menyelimutinya. Setelah itu, ia pergi ke ruang ganti, memakai baju, dan mengambilkan pakaian santai untuk Hely. Ze cukup kesulitan membantu Hely memakai baju. "Akhirnya selesai ju
Bel terus saja berbunyi membuat Hely mematikan kompor. Ia lekas ke depan dan membukakan pintu. "Mas Aka? Ada apa Mas Aka ke sini?" terkejut Hely mendapati Draka memencet bel rumahnya. Padahal, ia tidak pernah memberitahu berapa nomor rumahnya."Tidak apa-apa. Sudah satu Minggu aku tidak melihatmu dan ketika aku telpon pun tidak aktif. Apa terjadi sesuatu padamu?" sahut Draka khawatir karena terakhir kali bertemu kondisi kesehatan Hely sedang kurang baik."Oh itu, ponselku rusak dan aku belum sempat membeli yang baru. Aku juga jarang keluar karena sibuk menonton drama," ujar Hely menjelaskan.Ponsel jadulnya jatuh dari nakas ketika ada panggilan dari Ze dan selama satu minggu ini juga ia tidak pernah keluar rumah karena asyik menonton drama romantis. Awal-awal menonton biasa saja dan lama-kelamaan mulai kecanduan."Sudah kuduga. Kalau begitu, ini untukmu." Draka menyerahkan paper bag pada Hely.Hely menerimanya dan memeriksa isinya. "Apa ini?""Ponsel baru. Aku pikir, ponselmu rusak d
Mendengar suara-suara itu membuat tubuh Hely serasa tidak memiliki tulang. Jatuh terduduk sambil bersandar pada daun pintu. Kedua tangannya diletakkan pada telinga agar tidak mendengar suara menjijikan itu. Air matanya mengerucuk deras diiringi rasa sakit di hatinya. Akhirnya, ia sadar bahwa dirinya telah mengabaikan peringatan Dokter Rani untuk tidak mencintai Ze. Buktinya, apa yang dokter itu katakan terbukti sekarang bahwa Hely hanya merasakan sakit. Tidak bisa menahan kekecewaan, Hely beranjak bangun dan berlari masuk ke dalam kamar yang sebelumnya pernah ia gunakan. Membanting pintu dan menguncinya, lalu melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur dan menyembunyikannya di dalam selimut.Sayangnya, suara-suara itu terus terdengar. Sesak di dadanya pun kian menyergap hingga suara tangisnya mulai terdengar kencang. Untuk menyamarkan semua suara itu, Hely berbaring dengan posisi telungkup dan menutup kepalanya dengan bantal."Entah aku yang terlalu bodoh atau Tuan Iblis yang terlalu
"Bagaimana? Kau benar hamil 'kan?" tanya Dokter Rani.Sampai di rumah sakit, Hely langsung menemui Dokter Rani. Ia menjelaskan keluhan-keluhan apa saja yang ia alami saat ini. Lalu, dokter itu mulai memeriksa kondisinya dan menebak tentang kemungkinan yang terjadi. Akhirnya, Dokter Rani menyarankan agar Hely pergi ke bagian dokter kandungan."Iya, aku hamil tiga .inggu," sahut Hely lesu."Kenapa? Hamil bukannya senang kenapa malah murung?" tanya Dokter Rani heran."Hey, kenapa? Ayo, cerita!" Dokter Rani kembali bertanya karena Hely hanya diam sambil mendesah."Sebenarnya, aku ingin menceraikan suamiku. Kalau aku hamil sekarang, bagaimana nasib anakku nanti? Aku tidak bisa membiarkan anakku lahir tanpa seorang ayah," jelas Hely sendu.Belum genap dua jam Hely berencana untuk menceraikan Ze dan ia sudah mendapat kabar bahwa saat ini ia tengah hamil. Padahal, ia sudah mantap ingin menceraikan suaminya dan sekarang justru dilanda kebingungan. Lalu, apa yang harus ia lakukan saat ini? "Ad
"Tidak, aku tidak menyembunyikan apa-apa," sangkal Hely dengan suara yang mulai bergetar.Sebenarnya, sebelum masuk kamar dan melihat foto janin yang ada di perutnya, Hely duduk di meja makan menunggu Ze pulang. Namun sayangnya, sampai pukul sebelas lewat sang suami tak kunjung pulang. Akhirnya, wanita itu memutuskan untuk pergi ke kamar dan mengganti bajunya dengan piyama. Lalu, ia menatap foto janinnya dan sialnya Ze tiba-tiba muncul."Jangan bohong." Ze melangkah maju membuat Hely melangkah mundur, "Apa yang kau sembunyikan di belakang tubuhmu, Hely?" geram Ze."Aku bilang, aku tidak menyembunyikan apa-apa," sangkal Helios lagi. Semakin mengelak, maka semakin membuat Ze percaya bahwa ia menyembunyikan sesuatu darinya. "Baiklah, tunjukan tanganmu," ujar Ze sambil berkacak pinggang.Mendengar permintaan sang suami, Hely mengulurkan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya senantiasa ia sembunyikan di belakang tubuhnya. Tentu saja karena saat ini ia sedang memegang foto hasil USG."
Ze mendekatkan wajahnya bersiap untuk mengecup bibir sang istri. Namun sebelum itu, ia menatap manik mata Hely dalam-dalam. Merapikan anak rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Lalu, menatap lapar bibir candunya dan mendekat."Sial!" umpat Ze kesal.Suara ketukan pintu berhasil mengganggu konsentrasinya. Ia yakin, Mbok Bariyah sudah menunggu di depan pintu kamar membawa air minum yang ia minta sebelumnya."Tidak apa-apa, buka pintu dulu. Setelah itu, kita bisa lanjut lagi," kata Hely sambil mengedipkan matanya dan tersenyum lembut.Akhirnya, Ze mengangguk dan beranjak bangun. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Menerima nampan berisi gelas dan teko air putih. Lalu, ia menutup pintu dan kembali. Menuang air di gelas dan menyodorkannya pada sang istri."Minumlah!" kata Ze sambil membantu istrinya duduk."Terimakasih, Mas," balas Hely."Baiklah. Jadi, apa kita bisa melanjutkan apa yang sempat tertunda?" Ze menatap Hely penuh harap."Ya, tapi pelan-pelan saja. Lebih pelan dari
Tiga bulan kemudian."Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mengalami mimpi buruk? Apa kita perlu pergi ke psikiater lagi?" tanya Ze bertepatan dengan waktu konseling Hely yang ketiga.Sudah lewat dari tiga bulan setelah hari pertama Hely pergi ke psikiater. Seharusnya, bulan ini wanita itu pergi lagi untuk konsultasi yang ketiga. Untuk menanyakan seberapa besar kemajuan kesehatan mentalnya setelah tiga bulan berlalu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah jarang mengalami mimpi buruk. Aku perhatikan, paling-paling satu Minggu sekali aku mengalami mimpi buruk. Mungkin tidak lama lagi aku akan segera sembuh," tolak Hely merasa kesehatan mental akibat dari trauma yang ia alami sebelumnya sudah semakin membaik."Apa kau yakin? Kalau tidak, satu kali lagi saja. Ini untuk yang terakhir kalinya kau pergi ke psikiater. Setidaknya, untuk memastikan agar kita yakin," ujar Ze membujuk."Tidak perlu, Mas. Aku sudah sangat-sangat yakin kalau aku akan segera sembuh meski tanpa pergi ke psikiater la
"Oke. Tere sudah lumayan bisa karena mengikuti arahan ayah. Sekarang, Tere main air dulu di sini dan giliran ayah ajarin Bunda berenang," ujar Ze setelah mengajari putrinya."Oke, Ayah," balas Teressa. Gadis kecil itu belajar menahan nafas di dalam air tepat di tangga kolam renang. Sesekali akan mencelupkan wajahnya dan menghitung sampai lima. Ia terus melakukannya lagi dan lagi. Sementara itu, Ze berjalan ke arah istrinya yang duduk di pinggir dengan menunjukkan seringaian tipisnya."Aku tidak perlu belajar renang, Mas," ujar Hely menggeleng cepat. Ia curiga melihat seringaian suaminya yang menjengkelkan.Tanpa membalas, Ze langsung mengangkat tubuh Hely dan membuat seluruh tubuhnya basah. "Kau tidak bisa menolak, Sayang. Sekarang, buat posisi seperti yang Tere lakukan tadi."Hely menghela nafas berat. Kemudian, ia lekas membuat posisi tertelungkup dengan kedua tangan Ze yang membentang di dua tempat. Tangan kiri berada di bagian dada dan tangan kanan di bagian bawah, tempat paling
"Apa kau berusaha menghindar lagi?" tanya Ze melihat sikap Hely yang lagi-lagi berusaha menghindar."Menghindar dari apa, Mas?" tanya Hely sambil mengerutkan keningnya."Kau tahu maksud dari pertanyaanku, Hely. Jadi--.""Aku tahu, Mas. Nanti siang kita akan pergi. Jadi, kau tidak perlu khawatir karena aku tidak akan menghindar lagi untuk berobat," potong Hely menjelaskan.Mendengar ucapan sang istri berhasil membuat Ze menghembuskan nafas lega. Kekhawatirannya yang tidak perlu kini bisa ia enyahkan dalam sekejap mata. Sekarang, ia hanya perlu mendukung agar proses penyembuhan berjalan dengan lancar dan cepat."Terimakasih, Sayang. Sekarang, kita lihat-lihat rumah kita dulu," ujar Ze mengajak istrinya melihat-lihat rumah barunya.Sepasang suami istri itu mulai melihat-lihat di setiap sudut rumah. Dari lantai satu ke lantai dua dan melihat-lihat di area luar rumah. Sementara Teressa, gadis kecil itu berlarian ke sana kemari sambil tersenyum takjub mengagumi rumah barunya."Bunda! Cepat
"Kenapa aku harus ke pergi ke psikiater?" tanya Hely sambil membuang muka. Sejak dulu, ia paling tidak suka disuruh pergi ke psikiater."Untuk menanyakan tentang apa yang seharusnya kau lakukan. Kau tidak ingin terus-menerus bermimpi buruk bukan? Setidaknya setelah konsultasi, kita akan tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan trauma yang aku buat," sahut Ze berusaha menjelaskan.Hely kembali menatap suaminya. Lalu, ia menatap ke atas dengan raut bingung. Terlihat sekali bahwa ia tidak ingin pergi ke psikiater untuk pergi berkonsultasi. Entah apa yang membuatnya begitu sulit dibujuk, bahkan sejak dulu."Kita pergi ke psikolog saja. Bukankah psikolog dan psikiater sama saja?" kata Hely memutuskan."Ya. Psikolog dan psikiater tidak beda jauh. Kalau kau tidak ingin pergi ke psikiater dan memilih pergi ke psikolog, maka mari kita pergi," balas Ze mendukung.Ze tidak akan mempermasalahkan ke mana istrinya akan pergi untuk berkonsultasi. Asalkan tempat itu bisa menyembuhkan trauma yang ia bua
"Sekarang, Tere sedang ada di rumah sakit mana? Atau kalau tidak, coba Tere tanyakan pada suster," tanya Hely berusaha tenang."Rumah Sakit Internasional Heaven, Bunda," sahut gadis kecil itu."Baiklah. Tere tenang dulu, yah? Bunda akan pergi ke sana sekarang juga.""Iya, Bunda."Tanpa mempedulikan pakaian yang menggunung meminta untuk diselesaikan, Hely langsung mengakhiri panggilan dan beranjak berdiri. Melangkah ke dalam kamar dan meraih tas. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya. Kemudian, ia lekas keluar dan mengunci pintu. Dengan langkah setengah berlari, ia menuju bibir jalan raya. Melambaikan tangannya ketika taksi melintas."Rumah Sakit Internasional Heaven, Pak," celetuk Hely bertepatan ketika ia masuk ke dalam mobil."Baik, Bu."Taksi pun melintas dengan kecepatan sedang. Merasa sedang terburu-buru, Hely meminta agar supir taksi menaikkan kecepatan. Pokoknya apa pun yang terjadi, ia harus segera sampai di rumah sakit."Pak, bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely kh
Hely mendadak terdiam mendengar pertanyaan yang Ze lontarkan. Tatapan matanya pun jadi tidak fokus. Bola matanya bergerak ke sana kemari."Hey, Sayang? Kenapa diam saja?" tanya Ze bingung.Alih-alih menjawab, Hely justru mengecup bibir suaminya. Berhubung Ze pria yang sudah lama tidak mendapat belaian, jadi sekali mendapat perlakuan itu membuat semangatnya bangkit dan melupakan pertanyaannya. Apalagi, ia sudah merencanakan peraduan beronde-ronde. Jadi, Ia lekas beranjak duduk dan menatap Hely dengan raut berbinar."Kenapa kau jadi tidak sabaran begini, Sayang? Apa kita perlu memulainya sekarang?" tanya Ze bersemangat.Sementara Hely masih tidak fokus. Ia masih memikirkan pertanyaan suaminya dan bagaimana harus menjawabnya. Haruskah ia berkata jujur atau terus menyembunyikan trauma yang selalu menghantui di setiap tidurnya. Namun sayangnya, Ze salah satu pria yang tidak memiliki kepekaan. Ia justru langsung merenggut bibir dan mengungkung tubuh Hely."Kau ingat apa yang kau katakan tad
"Bisa diam tidak, sih, Mas. Kali ini saja biarkan aku tidur. Nanti malam, terserah Mas Ze deh mau berapa kali." Manik mata Hely terasa sangat berat. Sudut mata mengeluarkan cairan bening terus. Hal itu terjadi karena semalam ia tidak bisa tidur. Baru saja memejamkan matanya langsung mimpi buruk. Jadi meskipun ia mengantuk, ia tetap tidak bisa tidur karena selalu dibangunkan oleh mimpi buruk itu."Oke-oke aku diam, tapi kau harus janji dulu nanti malam akan melakukannya berkali-kali sampai puas." Ze meminta istrinya berjanji agar tidak berani mengingkari."Iya, Mas Ze, bawel," balas Hely.Mungkin sekitar lima menit berlalu, terdengar suara napas teratur Hely. Ternyata wanita itu benar-benar mengantuk dan tertidur."Mimpi indah, Sayang," kata Ze setelah mengecup kening istrinya. Mengingat pintu masih dalam keadaan terkunci, Ze lekas turun dan membukanya. Ia takut putrinya bangun dan mencarinya ke kamar. Setelah itu, ia kembali berbaring dan ikut memejamkan matanya.Di kamar sebelah, T
"Euuum." Terdengar suara lenguhan yang melengking indah di telinga Ze. Hal itu berhasil membuat semangatnya meningkat. Tangannya bergerak menyentuh punggung Hely dan tubuhnya menekan kuat-kuat hingga tubuh istrinya berada di bawah kendalinya."Aku mencintaimu, Hely," ujar Ze lirih sebelum akhirnya melucuti pakaian yang melekat di tubuh sang istri dan juga dirinya.Setelah tidak ada selembar kain pun yang melekat di tubuh keduanya, Ze kembali melumat bibir Hely. Perlahan, tapi pasti hingga bergerak ke tulang selangka, dan ke setiap inchi bagian tubuh Hely lainnya."Yang?" panggil Ze dengan manik mata berkabut dan napas yang memburu."Eum, ada apa?" tanya Hely melebarkan matanya yang sedikit mengabur."Kenapa sempit sekali?" Alih-alih menjawab, Ze justru balik bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan terdengar seolah sedang menahan sesuatu.Sudah enam tahun tidak terjamah dan sudah lima tahun bekas dijahit karena melahirkan Tere. Jadi, pantas saja kalau sempit."Sempit? Lalu, apa