"Oke. Tere sudah lumayan bisa karena mengikuti arahan ayah. Sekarang, Tere main air dulu di sini dan giliran ayah ajarin Bunda berenang," ujar Ze setelah mengajari putrinya."Oke, Ayah," balas Teressa. Gadis kecil itu belajar menahan nafas di dalam air tepat di tangga kolam renang. Sesekali akan mencelupkan wajahnya dan menghitung sampai lima. Ia terus melakukannya lagi dan lagi. Sementara itu, Ze berjalan ke arah istrinya yang duduk di pinggir dengan menunjukkan seringaian tipisnya."Aku tidak perlu belajar renang, Mas," ujar Hely menggeleng cepat. Ia curiga melihat seringaian suaminya yang menjengkelkan.Tanpa membalas, Ze langsung mengangkat tubuh Hely dan membuat seluruh tubuhnya basah. "Kau tidak bisa menolak, Sayang. Sekarang, buat posisi seperti yang Tere lakukan tadi."Hely menghela nafas berat. Kemudian, ia lekas membuat posisi tertelungkup dengan kedua tangan Ze yang membentang di dua tempat. Tangan kiri berada di bagian dada dan tangan kanan di bagian bawah, tempat paling
Tiga bulan kemudian."Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mengalami mimpi buruk? Apa kita perlu pergi ke psikiater lagi?" tanya Ze bertepatan dengan waktu konseling Hely yang ketiga.Sudah lewat dari tiga bulan setelah hari pertama Hely pergi ke psikiater. Seharusnya, bulan ini wanita itu pergi lagi untuk konsultasi yang ketiga. Untuk menanyakan seberapa besar kemajuan kesehatan mentalnya setelah tiga bulan berlalu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah jarang mengalami mimpi buruk. Aku perhatikan, paling-paling satu Minggu sekali aku mengalami mimpi buruk. Mungkin tidak lama lagi aku akan segera sembuh," tolak Hely merasa kesehatan mental akibat dari trauma yang ia alami sebelumnya sudah semakin membaik."Apa kau yakin? Kalau tidak, satu kali lagi saja. Ini untuk yang terakhir kalinya kau pergi ke psikiater. Setidaknya, untuk memastikan agar kita yakin," ujar Ze membujuk."Tidak perlu, Mas. Aku sudah sangat-sangat yakin kalau aku akan segera sembuh meski tanpa pergi ke psikiater la
Ze mendekatkan wajahnya bersiap untuk mengecup bibir sang istri. Namun sebelum itu, ia menatap manik mata Hely dalam-dalam. Merapikan anak rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Lalu, menatap lapar bibir candunya dan mendekat."Sial!" umpat Ze kesal.Suara ketukan pintu berhasil mengganggu konsentrasinya. Ia yakin, Mbok Bariyah sudah menunggu di depan pintu kamar membawa air minum yang ia minta sebelumnya."Tidak apa-apa, buka pintu dulu. Setelah itu, kita bisa lanjut lagi," kata Hely sambil mengedipkan matanya dan tersenyum lembut.Akhirnya, Ze mengangguk dan beranjak bangun. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Menerima nampan berisi gelas dan teko air putih. Lalu, ia menutup pintu dan kembali. Menuang air di gelas dan menyodorkannya pada sang istri."Minumlah!" kata Ze sambil membantu istrinya duduk."Terimakasih, Mas," balas Hely."Baiklah. Jadi, apa kita bisa melanjutkan apa yang sempat tertunda?" Ze menatap Hely penuh harap."Ya, tapi pelan-pelan saja. Lebih pelan dari
"Aawww!" Hely memekik terkejut. "Ma-maaf, Tuan. Sa-saya tidak bermaksud untuk masuk ke kamar Tuan tanpa izin. Sa-saya ha-hanya ingin meletakkan baju pengantin, Tuan, saja." Hely menoleh menatap tuxedo yang ia letakkan di atas tempat tidur sebelumnya. Wanita itu terus menunduk sama sekali tidak berani menatap majikannya. "Kalau begitu, saya permisi." Hely pamit dan bersiap keluar. Sayangnya, ia kembali didorong ke tempat tidur. "A-aww!" Merasa ada yang aneh, Hely memberanikan diri untuk mengangkat kepala. Namun, ia dikejutkan dengan gerakan tangan majikannya yang sedang melepas jas dan melemparnya ke sembarang arah. Terlebih selang beberapa detik, pria itu mulai melepas kancing kemejanya. "Tu-tuan? A-apa ya-yang sedang Tuan lakukan?" tanya Hely terbata. Tubuh dan suaranya sudah mulai bergetar Di sana, Ze terlihat sedang melucuti pakaiannya satu per satu. Takut terjadi hal buruk, Hely beranjak melangkah maju hendak keluar. "Maaf, Tuan. Saya mau permisi keluar karena baju pengant
"Kau masih berani bertanya? Harusnya papa yang tanya, sebenarnya ada apa denganmu? Apa yang kau lakukan pada Hely, sedangkan besok pagi kau akan menikah?" sanggah Asilas menggebu. Pria paruh baya itu berkata sambil menggertakkan giginya. Manik matanya menatap tajam sang putra bak mata belati. "Maksud Papa apa? Memangnya apa yang aku lakukan pada Hely?" tanya Ze masih belum sadar atas apa yang telah ia lakukan pada Hely. Tatapan mata Asilas tertuju pada Hely yang meringkuk di lantai menggunakan selimut. Kemudian, Ze mengikuti arah pandangnya. "Hely? Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Ze terkejut. Hely semakin terisak dan semakin menenggelamkan wajahnya. Ia merasa hidupnya sudah hancur karena sesuatu yang paling berharga darinya sudah direnggut paksa oleh Ze. Terlebih, pria itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Jangan tanya pada Hely! Tanyakan saja pada dirimu sendiri, apa yang telah kau lakukan padanya. Kau lihat? Tubuhmu terlihat sangat kotor dan menjijikan," timpal
"Ini kamarku dan kau tidak boleh memasukinya. Terserah kau mau tidur di mana yang penting bukan di kamarku," ujar Ze mengingatkan.Setelah sah menikah, Ze langsung memboyong Hely pindah ke apartemen yang sebelumnya ia siapkan untuknya dan Minerva. Namun alih-alih Minerva yang ia bawa sebagai seorang istri, justru Hely si pembantu di rumah orang tuanya yang ia bawa."Baik, Tuan," jawab Helios mengangguk.Sementara Ze masuk ke dalam kamarnya, Hely mencari kamar lain. Dengan cepat, ia menemukan kamar tidak jauh dari kamar Ze. Ia lekas masuk ke dalam dan beristirahat.Baru saja merapikan pakaian di lemari dan membaringkan tubuhnya, ia mendengar suara pintu dibanting. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dan melihat Ze sedang berlarian menuruni anak tangga. Hampir saja pria itu jatuh menggelinding, jika tangannya tidak bergegas berpegangan pada besi penjagaan."Tuan Ze mau ke mana? Kenapa kelihatannya buru-buru sekali?" batin Hely bertanya-tanya.Wanita itu beranjak menuruni anak tangga de
Hely hanya bisa bergumam, "Jangan, jangan lakukan ini padaku!" Kakinya digerak-gerakkan dan tangannya tidak bisa berhenti memukuli dada bidang Ze.Sambil berusaha berontak, Hely terus bergumam diiringi buliran-buliran bening yang menetes. Seluruh tubuhnya yang berlumuran darah seakan tidak sebanding dengan luka hati dan rasa takutnya. Sementara Ze, pria itu semakin bersemangat menggagahi tubuh Hely. Semakin wanita itu ketakutan dan berontak, maka semangatnya untuk terus menyakitinya terus meningkat."Lihat saja! Aku akan membuatmu hidup segan mati pun segan," tekad Ze.Pria itu benar-benar kejam. Sejak awal, ia yang membuat kesalahan dengan menodai Hely, tetapi ia tidak mau disalahkan. Ia justru melimpahkan semua kesalahan pada Hely yang jelas-jelas statusnya di sana sebagai korban dan bersikap seolah ia adalah orang yang paling tersakiti atau istilah kerennya playing victim."Buka matamu, Hely!" Ze menampar wajah Hely karena wanita itu terlihat memejamkan matanya, "Buka matamu, bodoh
"Dari mana saja kau?" tanya Ze dingin."Sa-saya la-lapar, Tuan. Berhubung di rumah ini tidak ada bahan makanan apa pun, jadi saya keluar untuk membeli makanan," jelas Hely terbata. Kepalanya senantiasa tertunduk tidak berani mengangkatnya meski hanya sejenak.Ze menatap Hely dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum licik dan berbalik masuk ke dalam. Sedangkan Hely, wanita itu mengangkat pandangan sambil menghela nafas lega. Lalu, ia berjalan masuk menuju dapur. Meraih piring dan gelas untuk diisi air. Setelah itu, ia mulai membuka bungkus bebek goreng dan hendak menikmatinya."Aku juga lapar. Kenapa kau makan sendiri?" Ze tiba-tiba datang sambil menarik kursi makan dan duduk, "Aku juga mau nasi bebeknya," lanjut Ze sambil menarik piring bebek Hely."Saya hanya beli satu dan itu belinya di pinggir jalan, Tuan," kata Hely berharap pria itu akan mengurungkan niatnya.Perutnya sudah sangat keroncongan dan di saat melihat nasi bebek juga sambal hitam yang menggoda justru ada yang
Ze mendekatkan wajahnya bersiap untuk mengecup bibir sang istri. Namun sebelum itu, ia menatap manik mata Hely dalam-dalam. Merapikan anak rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Lalu, menatap lapar bibir candunya dan mendekat."Sial!" umpat Ze kesal.Suara ketukan pintu berhasil mengganggu konsentrasinya. Ia yakin, Mbok Bariyah sudah menunggu di depan pintu kamar membawa air minum yang ia minta sebelumnya."Tidak apa-apa, buka pintu dulu. Setelah itu, kita bisa lanjut lagi," kata Hely sambil mengedipkan matanya dan tersenyum lembut.Akhirnya, Ze mengangguk dan beranjak bangun. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Menerima nampan berisi gelas dan teko air putih. Lalu, ia menutup pintu dan kembali. Menuang air di gelas dan menyodorkannya pada sang istri."Minumlah!" kata Ze sambil membantu istrinya duduk."Terimakasih, Mas," balas Hely."Baiklah. Jadi, apa kita bisa melanjutkan apa yang sempat tertunda?" Ze menatap Hely penuh harap."Ya, tapi pelan-pelan saja. Lebih pelan dari
Tiga bulan kemudian."Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mengalami mimpi buruk? Apa kita perlu pergi ke psikiater lagi?" tanya Ze bertepatan dengan waktu konseling Hely yang ketiga.Sudah lewat dari tiga bulan setelah hari pertama Hely pergi ke psikiater. Seharusnya, bulan ini wanita itu pergi lagi untuk konsultasi yang ketiga. Untuk menanyakan seberapa besar kemajuan kesehatan mentalnya setelah tiga bulan berlalu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah jarang mengalami mimpi buruk. Aku perhatikan, paling-paling satu Minggu sekali aku mengalami mimpi buruk. Mungkin tidak lama lagi aku akan segera sembuh," tolak Hely merasa kesehatan mental akibat dari trauma yang ia alami sebelumnya sudah semakin membaik."Apa kau yakin? Kalau tidak, satu kali lagi saja. Ini untuk yang terakhir kalinya kau pergi ke psikiater. Setidaknya, untuk memastikan agar kita yakin," ujar Ze membujuk."Tidak perlu, Mas. Aku sudah sangat-sangat yakin kalau aku akan segera sembuh meski tanpa pergi ke psikiater la
"Oke. Tere sudah lumayan bisa karena mengikuti arahan ayah. Sekarang, Tere main air dulu di sini dan giliran ayah ajarin Bunda berenang," ujar Ze setelah mengajari putrinya."Oke, Ayah," balas Teressa. Gadis kecil itu belajar menahan nafas di dalam air tepat di tangga kolam renang. Sesekali akan mencelupkan wajahnya dan menghitung sampai lima. Ia terus melakukannya lagi dan lagi. Sementara itu, Ze berjalan ke arah istrinya yang duduk di pinggir dengan menunjukkan seringaian tipisnya."Aku tidak perlu belajar renang, Mas," ujar Hely menggeleng cepat. Ia curiga melihat seringaian suaminya yang menjengkelkan.Tanpa membalas, Ze langsung mengangkat tubuh Hely dan membuat seluruh tubuhnya basah. "Kau tidak bisa menolak, Sayang. Sekarang, buat posisi seperti yang Tere lakukan tadi."Hely menghela nafas berat. Kemudian, ia lekas membuat posisi tertelungkup dengan kedua tangan Ze yang membentang di dua tempat. Tangan kiri berada di bagian dada dan tangan kanan di bagian bawah, tempat paling
"Apa kau berusaha menghindar lagi?" tanya Ze melihat sikap Hely yang lagi-lagi berusaha menghindar."Menghindar dari apa, Mas?" tanya Hely sambil mengerutkan keningnya."Kau tahu maksud dari pertanyaanku, Hely. Jadi--.""Aku tahu, Mas. Nanti siang kita akan pergi. Jadi, kau tidak perlu khawatir karena aku tidak akan menghindar lagi untuk berobat," potong Hely menjelaskan.Mendengar ucapan sang istri berhasil membuat Ze menghembuskan nafas lega. Kekhawatirannya yang tidak perlu kini bisa ia enyahkan dalam sekejap mata. Sekarang, ia hanya perlu mendukung agar proses penyembuhan berjalan dengan lancar dan cepat."Terimakasih, Sayang. Sekarang, kita lihat-lihat rumah kita dulu," ujar Ze mengajak istrinya melihat-lihat rumah barunya.Sepasang suami istri itu mulai melihat-lihat di setiap sudut rumah. Dari lantai satu ke lantai dua dan melihat-lihat di area luar rumah. Sementara Teressa, gadis kecil itu berlarian ke sana kemari sambil tersenyum takjub mengagumi rumah barunya."Bunda! Cepat
"Kenapa aku harus ke pergi ke psikiater?" tanya Hely sambil membuang muka. Sejak dulu, ia paling tidak suka disuruh pergi ke psikiater."Untuk menanyakan tentang apa yang seharusnya kau lakukan. Kau tidak ingin terus-menerus bermimpi buruk bukan? Setidaknya setelah konsultasi, kita akan tahu bagaimana cara untuk menyembuhkan trauma yang aku buat," sahut Ze berusaha menjelaskan.Hely kembali menatap suaminya. Lalu, ia menatap ke atas dengan raut bingung. Terlihat sekali bahwa ia tidak ingin pergi ke psikiater untuk pergi berkonsultasi. Entah apa yang membuatnya begitu sulit dibujuk, bahkan sejak dulu."Kita pergi ke psikolog saja. Bukankah psikolog dan psikiater sama saja?" kata Hely memutuskan."Ya. Psikolog dan psikiater tidak beda jauh. Kalau kau tidak ingin pergi ke psikiater dan memilih pergi ke psikolog, maka mari kita pergi," balas Ze mendukung.Ze tidak akan mempermasalahkan ke mana istrinya akan pergi untuk berkonsultasi. Asalkan tempat itu bisa menyembuhkan trauma yang ia bua
"Sekarang, Tere sedang ada di rumah sakit mana? Atau kalau tidak, coba Tere tanyakan pada suster," tanya Hely berusaha tenang."Rumah Sakit Internasional Heaven, Bunda," sahut gadis kecil itu."Baiklah. Tere tenang dulu, yah? Bunda akan pergi ke sana sekarang juga.""Iya, Bunda."Tanpa mempedulikan pakaian yang menggunung meminta untuk diselesaikan, Hely langsung mengakhiri panggilan dan beranjak berdiri. Melangkah ke dalam kamar dan meraih tas. Memasukkan ponsel dan dompet ke dalamnya. Kemudian, ia lekas keluar dan mengunci pintu. Dengan langkah setengah berlari, ia menuju bibir jalan raya. Melambaikan tangannya ketika taksi melintas."Rumah Sakit Internasional Heaven, Pak," celetuk Hely bertepatan ketika ia masuk ke dalam mobil."Baik, Bu."Taksi pun melintas dengan kecepatan sedang. Merasa sedang terburu-buru, Hely meminta agar supir taksi menaikkan kecepatan. Pokoknya apa pun yang terjadi, ia harus segera sampai di rumah sakit."Pak, bisa lebih cepat sedikit, tidak?" pinta Hely kh
Hely mendadak terdiam mendengar pertanyaan yang Ze lontarkan. Tatapan matanya pun jadi tidak fokus. Bola matanya bergerak ke sana kemari."Hey, Sayang? Kenapa diam saja?" tanya Ze bingung.Alih-alih menjawab, Hely justru mengecup bibir suaminya. Berhubung Ze pria yang sudah lama tidak mendapat belaian, jadi sekali mendapat perlakuan itu membuat semangatnya bangkit dan melupakan pertanyaannya. Apalagi, ia sudah merencanakan peraduan beronde-ronde. Jadi, Ia lekas beranjak duduk dan menatap Hely dengan raut berbinar."Kenapa kau jadi tidak sabaran begini, Sayang? Apa kita perlu memulainya sekarang?" tanya Ze bersemangat.Sementara Hely masih tidak fokus. Ia masih memikirkan pertanyaan suaminya dan bagaimana harus menjawabnya. Haruskah ia berkata jujur atau terus menyembunyikan trauma yang selalu menghantui di setiap tidurnya. Namun sayangnya, Ze salah satu pria yang tidak memiliki kepekaan. Ia justru langsung merenggut bibir dan mengungkung tubuh Hely."Kau ingat apa yang kau katakan tad
"Bisa diam tidak, sih, Mas. Kali ini saja biarkan aku tidur. Nanti malam, terserah Mas Ze deh mau berapa kali." Manik mata Hely terasa sangat berat. Sudut mata mengeluarkan cairan bening terus. Hal itu terjadi karena semalam ia tidak bisa tidur. Baru saja memejamkan matanya langsung mimpi buruk. Jadi meskipun ia mengantuk, ia tetap tidak bisa tidur karena selalu dibangunkan oleh mimpi buruk itu."Oke-oke aku diam, tapi kau harus janji dulu nanti malam akan melakukannya berkali-kali sampai puas." Ze meminta istrinya berjanji agar tidak berani mengingkari."Iya, Mas Ze, bawel," balas Hely.Mungkin sekitar lima menit berlalu, terdengar suara napas teratur Hely. Ternyata wanita itu benar-benar mengantuk dan tertidur."Mimpi indah, Sayang," kata Ze setelah mengecup kening istrinya. Mengingat pintu masih dalam keadaan terkunci, Ze lekas turun dan membukanya. Ia takut putrinya bangun dan mencarinya ke kamar. Setelah itu, ia kembali berbaring dan ikut memejamkan matanya.Di kamar sebelah, T
"Euuum." Terdengar suara lenguhan yang melengking indah di telinga Ze. Hal itu berhasil membuat semangatnya meningkat. Tangannya bergerak menyentuh punggung Hely dan tubuhnya menekan kuat-kuat hingga tubuh istrinya berada di bawah kendalinya."Aku mencintaimu, Hely," ujar Ze lirih sebelum akhirnya melucuti pakaian yang melekat di tubuh sang istri dan juga dirinya.Setelah tidak ada selembar kain pun yang melekat di tubuh keduanya, Ze kembali melumat bibir Hely. Perlahan, tapi pasti hingga bergerak ke tulang selangka, dan ke setiap inchi bagian tubuh Hely lainnya."Yang?" panggil Ze dengan manik mata berkabut dan napas yang memburu."Eum, ada apa?" tanya Hely melebarkan matanya yang sedikit mengabur."Kenapa sempit sekali?" Alih-alih menjawab, Ze justru balik bertanya. Suaranya terdengar sangat berat dan terdengar seolah sedang menahan sesuatu.Sudah enam tahun tidak terjamah dan sudah lima tahun bekas dijahit karena melahirkan Tere. Jadi, pantas saja kalau sempit."Sempit? Lalu, apa