"Dari mana saja kau?" tanya Ze dingin.
"Sa-saya la-lapar, Tuan. Berhubung di rumah ini tidak ada bahan makanan apa pun, jadi saya keluar untuk membeli makanan," jelas Hely terbata. Kepalanya senantiasa tertunduk tidak berani mengangkatnya meski hanya sejenak. Ze menatap Hely dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum licik dan berbalik masuk ke dalam. Sedangkan Hely, wanita itu mengangkat pandangan sambil menghela nafas lega. Lalu, ia berjalan masuk menuju dapur. Meraih piring dan gelas untuk diisi air. Setelah itu, ia mulai membuka bungkus bebek goreng dan hendak menikmatinya. "Aku juga lapar. Kenapa kau makan sendiri?" Ze tiba-tiba datang sambil menarik kursi makan dan duduk, "Aku juga mau nasi bebeknya," lanjut Ze sambil menarik piring bebek Hely. "Saya hanya beli satu dan itu belinya di pinggir jalan, Tuan," kata Hely berharap pria itu akan mengurungkan niatnya. Perutnya sudah sangat keroncongan dan di saat melihat nasi bebek juga sambal hitam yang menggoda justru ada yang mengambilnya. Ia pikir, jika ia mengatakan di mana tempat membelinya Ze akan keberatan dan mengembalikan makanan itu padanya. Sayangnya, ia salah menilai karena pria itu sama sekali tidak peduli. "Benarkah? Ya sudah, aku mau coba makanan yang dijual di pinggir jalan. Cepat ambilkan aku sendok!" tanya Ze malas. Pria itu terlihat bersemangat untuk mengganggu Hely. "Pakai tangan, Tuan. Nanti Tuan akan kesulitan kalau menggunakan sendok," sanggah Hely menjelaskan. "Ambilkan aku sendok!" seru Ze geram. Berani-beraninya Hely menyanggah perintahnya. "I-iya, Tuan." Hely lekas beranjak berdiri melihat manik mata pria itu yang membola ketika menatapnya, "Ini, Tuan," kata wanita itu sambil menyodorkan sendok dan garpu. Ze mulai menggerakkan sendok dan garpu pada potongan bebek goreng. Namun sayangnya, ia terlihat kesulitan membuat Hely gemas. Merasakan ada yang menatapnya dengan ekspresi lapar, Zu memutuskan untuk meletakkan sendok juga garpu dan makan menggunakan tangan. "Astaga! Seumur-umur aku belum pernah makan nasi bebek seenak ini," kata Ze sambil mencocol potongan bebek goreng pada sambal hitam. "Kelihatannya juga enak sekali, Tuan. Bolehkah saya--" "Tidak boleh. Kalau kau mau, kau beli saja lagi," potong Ze padahal Hely belum menyelesaikan kalimatnya, tetapi ia sudah bisa menebaknya. Sambil menghela nafas pasrah, Hely meraih kantung plastik hitam di sebelah kirinya. Beruntung, tadi ia membeli batagor juga. Jadi, ia bisa menahan rasa lapar hingga keesokan harinya. "Kau makan apa?" tanya Ze. "Ini namanya batagor, Tuan. Apa Tuan mau? Tapi maaf karena saya sudah memakannya." Hely menunjuk plastik bungkus batagor yang berlumuran bumbu kacang. Ia memakannya langsung dari plastik itu tanpa menggunakan memindahkannya ke piring dan tanpa menggunakan sendok. "Sial! Sepertinya aku gagal membuat Hely kelaparan," umpat Ze dalam hati. Tanpa berkata apa pun, Ze beranjak berdiri dan pergi. Ia benar-benar kesal karena gagal menyiksa perut Hely. Padahal, ia baru makan nasi bebek beberapa suap saja. Namun, semangat untuk menyiksa Hely yang semula menggebu kini telah sirna. "Sayang sekali nasi bebekku." Hely menatap piring nasi bebek di hadapannya, "Lain kali kalau mau beli makanan apa pun makan di tempatnya saja deh. Sayang 'kan kalau dibuang-buang begini. Mana satu porsi nasi bebek lebih mahal dari makanan lainnya," sambung wanita itu menggerutu. Sambil menghela nafas berat, Hely merapikan meja makan dan mencuci piring juga gelas. Kemudian, ia pergi ke kamarnya meninggalkan dapur. Namun belum sempat masuk kamar, ia mendengar suara teriakan Ze. "Iya, Tuan." Hely berbelok ke kamar suaminya. Ia mengetuk pintu dan langsung membukanya. Tepat setelah pintu terbuka, ia melihat sesuatu melayang ke arahnya. "Kau memasukkan apa ke dalam makanan tadi, huh?!" bentak Ze sambil melempar bantal. Kepala Hely sedikit terhuyung ke samping karena wajahnya terkena lemparan bantal. "Saya tidak memasukkan apa pun ke dalam piring nasi bebek, Tuan," jawab wanita itu. "Kau pikir aku akan percaya, huh?!" Ze kembali melempar bantal, tetapi Hely berhasil menghindar. Melihat hal itu, kemarahannya semakin meningkat. Ia melangkah mendekat dan mendorong tubuh Hely hingga tersungkur di lantai. "Aawww!" Wanita itu memekik kesakitan merasakan sakit di sekujur tubuhnya, "Sumpah Demi Tuhan, saya tidak memasukkan apa pun ke dalam nasi bebek itu," imbuh Hely menggebu. Tubuhnya penuh dengan luka akibat perbuatan Ze sebelumnya. Bahkan luka itu masih sangat basah dan belum sempat diobati. Lalu, dengan mudahnya pria itu mendorong tubuh Hely sekuat tenaga, tanpa mempedulikan kondisi fisik wanita itu. "Apa sakit?" Ze bertanya dengan raut berbinar. Sudut bibirnya naik sebelah melihat wanita itu kesakitan. Hely memejamkan matanya sejenak sambil menghirup udara banyak-banyak dan membuangnya perlahan. Kemudian, ia menoleh menatap pria itu sinis. "Tidak," jawabnya singkat. "Benarkah? Apa kau ingin merasakan ikat pinggangku lagi?" tanya Ze sambil menggertakkan giginya. "Tidak sama sekali, Tuan," jawab Helios datar. Ze tersenyum sambil menggerakkan tangannya melepas ikat pinggang yang tersemat di celananya. "Sayangnya, aku mengartikan ucapanmu sebaliknya." "Apa yang Tuan Ze lakukan?" tanya Hely terbelalak melihat gerakan tangan suaminya. "Tentu saja menyiksamu. Memangnya kau pikir aku mau menidurimu? Cih! Dasar wanita murahan!" sanggah Ze sinis. Pria itu berhasil melepas ikat pinggangnya dan mengangkat tangannya. Ia berencana melayangkan ikat pinggang itu ke tubuh Hely. Bahkan wanita itu sudah memejamkan matanya bersiap untuk menikmati sentuhan ikat pinggang. Namun sayangnya, rencana Ze terpaksa harus dibatalkan karena perutnya terasa sakit. "Ah sial! Perutku sakit lagi," desis Ze sambil meremas perutnya. "Kau tunggu di sini dan jangan pergi ke mana-mana. Kalau kau berani keluar dari kamar ini, kau akan tahu sendiri akibatnya." Setelah mengatakannya, Ze langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi. Melihat sang suami menghilang di balik pintu kamar mandi, akhirnya Hely bisa menghembuskan nafas lega. Setidaknya, penyiksaannya akan ditunda beberapa saat. Ketika itu, ia akan menyiapkan hati dan fisiknya. "Sepertinya besok aku harus pergi ke dokter," lirih wanita itu merasakan perih di seluruh tubuhnya. Sejak tadi, ia melupakan rasa sakitnya karena perutnya sudah meminta diisi. Jadi setelah merasa sedikit kenyang dan kembali mendapatkan perlakuan kejam, barulah ia bisa merasakan kembali rasa sakit bekas luka pecutan ikat pinggang yang Ze layangkan siang tadi. Tidak lama kemudian, Ze kembali. Pria itu tersenyum menyeringai melihat Hely yang masih terduduk di lantai. Ia merasa, wanita itu benar-benar cocok berada di bawah sana. "Apa kau sudah siap, Hely?" tanya Ze sambil mengayun-ayunkan ikat pinggangnya hingga menimbulkan suara. "Tuan? Sumpah demi Tuhan, saya tidak menaruh apa pun di piring nasi bebek itu. Mungkin karena sambalnya terlalu pedas makanya Tuan sakit perut," sanggah Hely berusaha menjelaskan. Ia pikir, alasan mengapa pria itu menjadi marah karena sakit perut setelah memakan beberapa suap nasi bebek. "Apa pun itu, aku tidak peduli. Aku sudah tidak tertarik dengan alasan mengapa aku sakit perut. Yang aku pedulikan saat ini adalah kesenanganku di saat melihatmu kesakitan," balas Ze tersenyum jahat. Pria itu semakin memantapkan langkahnya dengan tangan yang tidak berhenti bergerak mengayun ikat pinggang. Entah sudah berapa langkah, ia sudah berada tepat di depan Hely. "Selamat menikmati pembantu murahan," kata Ze sebelum akhirnya mengayunkan ikat pinggangnya ke punggung wanita yang kini berstatus sebagai istrinya."Bahkan luka yang tadi siang Tuan Ze buat masih basah," lirih Hely sendu.Mengetahui ikat pinggang yang sebentar lagi mendarat di tubuhnya, sontak Hely memejamkan matanya erat. Tidak ada gunanya melawan dan pasrah adalah pilihan terbaik. Tentu saja karena ia telah mengenal siapa sebenarnya pria itu beberapa hari ini. Padahal sebelumnya, ia sempat mengagumi pria dengan paras tampan yang memiliki aura kuat itu."Sabar, Hely, sabar. Nanti setelah luka di tubuhmu sembuh, kau boleh membalasnya. Kau gigit saja tangannya yang suka sekali memukulmu," batin Hely berusaha menenangkan dirinya sendiri."Brengsek!" umpat Ze kesal. Pria itu melempar ikat pinggangnya ke sembarang arah karena lagi-lagi perutnya kembali terasa sakit. Andai rasa sakit itu tidak tiba-tiba datang, mungkin akan terdengar suara indah akibat dari erangan kesakitan Hely."Syukurlah, aku masih selamat." Hely menghembuskan nafas lega melihat Ze melangkah menjauh ke arah kamar mandi.Kini, wanita itu beranjak berdiri dan menung
"Makanan apa ini? Kenapa rasanya tidak jelas sekali?" Ze menghentakkan sendok ke piring hingga terdengar suara dentingan yang cukup keras."Maaf, Tuan, tapi saya sudah mengetes rasanya dulu sebelum disajikan di meja makan," sanggah Hely.Pagi-pagi sekali, wanita itu memesan taksi dan pergi ke pasar. Ia membeli, ayam, ikan, daging, telur, sayur-mayur, dan rempah-rempah untuk persediaan selama satu Minggu. Hari ini, ia memasak ayam rica-rica dan sayur jagung muda dicampur buncis. Namun sayangnya, masakan yang ia buat dengan sepenuh hati justru tidak dihargai sama sekali oleh Ze."Apa kau bilang? Kalau aku bilang rasanya tidak jelas, itu artinya harus diganti. Kau tidak berhak menyanggah dan kau harus memasak menu yang lain," geram Ze sambil menggertakkan giginya."Baiklah," balas Hely lesu. Ia lekas berbalik dan membuka lemari pendingin."Sebelum kau memasak, kau buatkan aku kopi lebih dulu. Aku mau menunggu sambil menikmati kopi dan membaca koran," ujar Ze seolah lupa sudah waktunya pe
Hely sedang tidak siap dan ketika wajahnya masuk ke dalam air, ia membelalakkan matanya. Terlebih, ia tersedak air di dalam sana. Sontak, kedua tangan wanita itu bergerak berusaha menyelamatkan diri. Ia menarik-narik tangan sang suami agar menjauh dari kepalanya, tetapi tidak berguna sama sekali. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Ze, terlebih posisinya saat ini sedang kesulitan untuk bernafas."Bagaimana? Rasanya sangat menyegarkan bukan?" tanya Ze sambil tersenyum lebar.Baru saja hendak menekan kepala Helios lagi, tiba-tiba ponselnya berdering. "Sial! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?" umpat Ze kesal. Lalu, ia mendorong kepala Hely sebelum akhirnya meraih ponselnya di saku celana."Nick? Kenapa dia menghubungiku?" Melihat nama sekretarisnya di layar ponsel membuat Ze mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menekan tombol hijau dan berkata, "Ada apa? Kenapa pagi-pagi begini kau menghubungiku?"Sekarang sudah pukul delapan dan sebentar lagi Anda akan ada rapat penting, Pak.
"Apa yang kau lakukan di sini, Hely?" tanya Ze dingin."Sa-saya ... Saya sedang bekerja, Tuan," jawab Hely terbata. Pria itu beralih menatap sekretarisnya. "Kau urus pertemuan ini dan lakukan yang terbaik," ujar Ze memerintah. "Baik, Pak," jawab Nick tegas.Setelah mendapat jawaban, Ze menyentuh tangan Hely dan menariknya keluar. Pria itu ke arah parkiran yang masih kosong. Kemudian, ia menghempaskan tangan Helios kuat-kuat."Bekerja kau bilang? Semua orang sudah tahu kalau kau istriku dan kau bekerja di cafe kecil seperti ini?" tanya Ze geram."Maaf. Saya hanya--""Hanya apa? Kalau kau butuh uang, kau tinggal bilang dan aku akan memberikannya padamu," potong Ze menggebu."Bagaimana cara saya memintanya pada Tuan? Bahkan membagi makanan dengan saya saja, Tuan, tidak sudi," sanggah Hely menunduk sambil memainkan jemarinya.Mendengar ucapan wanita itu membuat Ze berpikir sejenak. Meskipun terdengar masuk akal, ia tetap tidak bisa membenarkan keputusan Hely yang bisa mempermalukannya d
Melihat tidak ada pergerakan apa pun membuat Ze khawatir. Ia beranjak berdiri dan menendang kaki Hely. Namun sayangnya, ia sama sekali tidak mendapat respon apa pun dan hanya melihat wajah wanita itu yang sudah pucat pasi seperti mayat."Hely?" terkejut Ze.Pria itu lekas mengangkat tubuh Hely dan berjalan tergopoh-gopoh keluar. Lalu, ia membaringkan tubuh wanita itu di lantai. Setelah itu, ia memeriksa detak jantungnya."Ya Tuhan ... Hely, bangun!" panik Ze.Ia lekas memangku kepala Hely dan menjepit hidung wanita itu perlahan. Kemudian, ia mulai merapatkan bibirnya pada mulut Hely. Ia menarik nafas dalam-dalam dan meniupkannya perlahan. Ze melakukan beberapa kali hingga akhirnya Hely bangun dan mengeluarkan air dari mulutnya."Uhuk-uhuk!" Hely terbatuk dengan manik mata yang membola.Sontak, Ze menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menghembuskan nafas lega. Hampir saja ia menjadi pembunuh jika ia gagal menyelamatkan Hely. Namun sayangnya, belum ada tiga menit wanita itu kembali ping
"Hei! Kenapa diam saja? Apa saya ... Ah tidak, sepertinya kita akan menjadi teman. Jadi, apa aku perlu mengenalkanmu pada pengacara kenalanku?" tanya Dokter Rani sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Hely.Dokter cantik itu merasa tidak nyaman berbicara dengan Hely yang jauh lebih muda darinya. Jadi, ia berusaha berbicara sedikit santai agar ia dan Hely sama-sama nyaman."Tidak perlu, Dok. Suami saya--""Aku, pakai aku kau saja biar lebih nyaman. Kau juga boleh menganggapku sebagai kakakmu," potong Dokter Rani mengoreksi."Suamiku memang orang yang dingin, tapi dia tidak sekejam itu. Dia hanya tidak bisa menerima saya menjadi istrinya," lanjut Hely setelah ucapannya sempat terpotong.Bagaimana bisa wanita itu membela Zu? Sudah jelas-jelas ia selalu disiksa hingga dirawat di rumah sakit dan koma berhari-hari."Tidak kejam bagaimana? Sudah jelas-jelas dia hampir membunuhmu. Lalu, kenapa kalian bisa sampai menikah kalau dia tidak mau menerimamu menjadi istrinya?" tanya Dokter Rani
"Siapa bilang? Saya hanya terkejut karena Tuan tiba-tiba ada di sini. Lagi pula, mana berani saya menganggap Tuan Ze hantu," sanggah Hely datar.Wanita itu berusaha menekan kuat-kuat rasa takutnya. Paling tidak, ia tidak boleh terlalu menunjukkannya karena pria itu akan semakin senang jika melihatnya ketakutan."Jadi, bagaimana kondisimu?" tanya Ze mengalihkan perhatian.Setelah memanggil dokter, ia sama sekali tidak menunggu dan menanyakan keadaan Hely. Jadi, ia cukup penasaran mengenai kondisi terkini wanita itu."Kata dokter, sih, saya sudah baik-baik saja," sahut Hely."Bagaimana tidak baik-baik saja sedangkan tiga hari ini kau hanya tidur? Aku yakin seharian ini pun kau hanya tidur. Benar bukan?" tanya Ze sinis."A-apa? Tiga hari?" tanya Hely terbelalak. Ia begitu terkejut mendengar pernyataan Ze tentang dirinya yang tidur selama tiga hari."Ya. Sejak pertama kali aku membawamu ke sini, sekarang sudah hari ketiga," jelas Ze mengangguk."Ya Tuhan ... Bagaimana bisa?" Hely terlihat
Mendengar pertanyaan dokter itu membuat Ze menoleh. Sejak tadi, ia sibuk menatap ke arah Hely yang sedang diperiksa dan sama sekali tidak sadar bahwa Dokter Rani menatapnya."Sial! Ada apa dengan dokter ini? Kenapa dia tidak melakukan tugasnya saja sebagai seorang dokter? Kenapa dia malah menanyakan hal yang bukan menjadi tugasnya? Dasar dokter sensus!" geram Ze dalam hati."I-ini ka-karena sa-saya ... Ini karena saja jatuh bergulingan, Dokter," sanggah Hely gelagapan. Ia memberi isyarat dengan mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali agar Dokter Rani tidak bertanya lagi. Saat ini, Ze dalam mode aman dan ia tidak boleh mengubah mode aman itu menjadi mode siaga."Oh, jadi begitu. Baiklah, kalau begitu saya permisi karena pemeriksaan sudah selesai," pamit Dokter Rani. Wanita itu mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum dan pergi.Melihat bagaimana sikap Dokter Rani, Ze mulai curiga. Pria itu melipat kedua tangannya di depan dan menatap tajam Hely."Ke-kenapa? Apa ada yang salah?" t