Share

4. Playing Victim

Hely hanya bisa bergumam, "Jangan, jangan lakukan ini padaku!" Kakinya digerak-gerakkan dan tangannya tidak bisa berhenti memukuli dada bidang Ze.

Sambil berusaha berontak, Hely terus bergumam diiringi buliran-buliran bening yang menetes. Seluruh tubuhnya yang berlumuran darah seakan tidak sebanding dengan luka hati dan rasa takutnya. Sementara Ze, pria itu semakin bersemangat menggagahi tubuh Hely. Semakin wanita itu ketakutan dan berontak, maka semangatnya untuk terus menyakitinya terus meningkat.

"Lihat saja! Aku akan membuatmu hidup segan mati pun segan," tekad Ze.

Pria itu benar-benar kejam. Sejak awal, ia yang membuat kesalahan dengan menodai Hely, tetapi ia tidak mau disalahkan. Ia justru melimpahkan semua kesalahan pada Hely yang jelas-jelas statusnya di sana sebagai korban dan bersikap seolah ia adalah orang yang paling tersakiti atau istilah kerennya playing victim.

"Buka matamu, Hely!" Ze menampar wajah Hely karena wanita itu terlihat memejamkan matanya, "Buka matamu, bodoh! Atau kau mau merasakan ikat pinggangku lagi?" imbuhnya mengancam sambil mencengkeram dagu Hely.

Meski ia sibuk memarahi Hely, tetapi terus bergerak lincah. Ze sama sekali tidak sadar bahwa selain menikmati rasa sakit Hely, ia juga menikmati tubuh sang istri. Bukan tatapan jijik yang pria itu tunjukkan, tetapi tatapan senang. Tatapan senang itu jelas bisa diartikan bahwa ia menikmati pergelutan panas yang begitu menggelora. Selain itu, tatapan senangnya juga sudah jelas bisa diartikan sebagai pembalasan dendam yang terlampiaskan.

"Tutupi tubuh kotormu itu!" seru Ze setelah selesai.

Pria itu beranjak turun dan memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai. Sudut bibirnya naik sebelah dan membatin, "Apa yang terjadi saat ini bukan apa-apa. Aku akan menyiksamu lebih kejam daripada ini." Setelah itu, ia keluar sambil membanting pintu menuju kamarnya.

Hely hanya berbaring tanpa mempedulikan tubuh polosnya yang terekspos. Air matanya mengerucuk deras dan tiba-tiba ia menangis sesenggukan sambil menyusutkan tubuhnya. Ia membekap mulutnya agar suara tangisnya tidak terdengar. Karena setelah dipikir-pikir, Ze akan semakin senang jika melihatnya menderita.

Wanita itu terus menangis sampai hatinya merasa lega. Sekitar tiga puluh menit kemudian, ia beranjak bangun dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi. Ia berdiri di bawah kucuran air dan membiarkan luka di punggungnya terkena air.

"Ssstt! Ah, sakit!" Hely mendesis dan memeluk kesakitan. Ia mengulurkan tangannya ke belakang dan berusaha menyentuh lukanya, "A-aww! Bagaimana cara mengobati lukaku?" tanyanya bingung.

Kenapa Ze tidak memukul di bagian yang bisa ia jangkau? Kenapa harus di punggung yang tidak bisa ia jangkau. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus pergi ke rumah sakit?

"Tidak-tidak. Pasti butuh biaya banyak untuk berobat ke rumah sakit." Wanita itu menggeleng cepat karena tidak memungkinkan baginya untuk pergi ke rumah sakit.

Akhirnya, ia memutuskan untuk membersihkan diri lebih dulu. Meskipun rasanya teramat sakit, tetapi ia tetap harus membersihkan tubuhnya. Setelah itu, ia bergegas keluar dan memakai baju. Melihat tempat tidur yang penuh bercak darah membuatnya harus bergegas mengganti seprai.

***

Beberapa jam kemudian, Hely keluar kamar dengan perut yang keroncongan. Sebentar lagi waktu makan malam tiba dan ia harus memasak. Ia turun ke bawah menuju dapur. Kemudian, memeriksa lemari pendingin dan tempat-tempat penyimpanan lainnya.

"Seharusnya aku tahu kalau rumah ini masih kosong," lirih Hely sambil menghela nafas berat.

Semua perlengkapan rumah sudah ada di sana. Hanya persediaan makanan saja yang tidak ada. Lalu, apa yang harus ia lakukan?

"Apa aku harus pergi berbelanja? Tapi aku tidak tahu daerah sini," batin Hely berkecamuk.

Di tengah kegundahan hatinya, Hely mendengar suara bel berbunyi. Ia beranjak melangkah hendak melihat, tetapi ia justru dikejutkan dengan kedatangan Ze yang tiba-tiba. Pria itu berlarian ke arah pintu keluar. Tidak lama kemudian, pria itu kembali membawa dua bungkus pizza dan satu botol minuman bersoda.

Pria itu melihat sosok Hely yang terdiam menatapnya, tetapi ia sama sekali tidak peduli. Meletakkan dua bungkus pizza dan botol minuman bersoda itu di atas meja dan duduk.

"Astaga, aku lapar sekali," gumam Ze sambil melirik sinis ke arah Hely. Ia tahu wanita itu sudah sangat kelaparan dan ia ingin mengganggunya. Sambil mengambil satu potong pizza, Ze bergumam, "Waaah ... harumnya."

Hely hanya bisa meneguk salivanya kasar. Melihat pizza yang masih hangat dan terlihat sangat enak itu membuat air liurnya hampir menetes. Perutnya semakin keroncongan tidak terkendali.

"Astaga, aku kenyang sekali." Ze menutup kembali bungkus pizza itu.

Merasa sudah cukup dengan memakan tiga potong, pria Itu mengangkat dua bungkus pizza dan botol minuman bersoda. Kemudian, ia berjalan melewati Hely ke arah dapur.

"Aku lapar sekali. Apa aku minta satu potong saja sama Tuan Ze?" Hely mengecap mulutnya beberapa kali melihat pizza yang begitu menggugah selera, "Ya, minta satu potong saja. Aku yakin Tuan Ze tidak akan masalah karena pizza-nya masih banyak," imbuhnya memutuskan.

Wanita itu membalikkan tubuhnya dan mengikuti Ze ke dapur tanpa sadar. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi dan hendak meminta satu potong. Namun, baru saja membuka mulut dan belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, ia melihat Ze membuang semua pizza ke dalam tempat sampah.

Sontak, Hely membuka mata dan mulutnya lebar-lebar. Sedangkan Ze hanya tersenyum sinis menatap Hely. Ia merasa sangat bangga telah membuat wanita itu terkejut. Daripada membagi pizza itu pada Helios, lebih baik ia membuangnya.

"Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Ze sambil tersenyum menyeringai.

"Kenapa pizza-nya dibuang, Tuan?" tanya Hely sambil berjongkok. Tatapan matanya terlihat sangat sedih menyaksikan pizza-pizza itu dibuang.

"Memangnya kenapa?" Pria itu balik bertanya dengan nada malas.

"Kalau Tuan sudah tidak mau, biar saya saja yang makan. Tapi kenapa malah dibuang 'kan sayang," balas Hely masih menatap sedih ke arah tempat sampah.

Selang beberapa detik, Hely mengulurkan tangannya dan meraih bungkus pizza. Ia pikir, pizza itu masih bersih karena masih di dalam bungkusnya dan tempat sampah itu masih dalam keadaan baru. Jadi, ia ingin menyelamatkan pizza-pizza itu sebelum lewat dari lima menit.

"Justru itu. Lebih baik aku buang pizza itu daripada kau yang makan." Ze melipat kedua tangannya di depan sambil menatap Hely sinis.

Mendengar ucapan Ze, Hely menelan salivanya tiba-tiba dengan susah payah. Hanya karena tidak sudi membagi makanan itu dengannya, Ze membuang semua pizza itu.

"Dasar menjijikkan!" Ze beranjak pergi meninggalkan Hely yang saat ini sedang memegang dua bungkus pizza.

Meskipun Ze sudah pergi, tetapi Hely masih terdiam membeku. Ia lekas berdiri dan melempar kembali dua bungkus pizza itu ke tempat sampah. Hely kembali ke kamar dan meraih dompet di tas selempang miliknya. Beruntung ia baru mendapat gaji sebelum kejadian nahas itu. Jadi, ia tidak akan merasa kesulitan untuk mengisi perutnya karena sikap Ze yang kejam.

"Aku harus mempelajari area sekitar dan sekarang aku mau jalan-jalan sambil membeli makanan," lirih Hely sebelum akhirnya melangkah pergi.

Wanita itu keluar apartemen dan berjalan menyusuri trotoar. Ia mencari mini market karena tiba-tiba ingin menikmati mie instan. Namun sayangnya, meski ia sudah berjalan lebih dari lima belas menit, ia tetap tidak menemukan mini market. Akan tetapi, ia melihat banyak penjual makanan di pinggir jalan.

"Beli nasi bebek sama batagor aja, deh."

Setelah membeli, ia bergegas pulang karena sudah tidak sabar ingin menikmati bebek goreng yang membuat perutnya semakin keroncongan. Ia memencet tombol sandi pintu apartemen dan membukanya.

"Astaga!" terkejut Hely sambil melompat ke belakang.

Wanita itu melihat Ze berdiri tepat di depan pintu dengan posisi kedua tangan yang dilipat di depan tubuhnya. Tatapan matanya tajam bak busur panah yang siap diluncurkan ke jantung Hely. Raut wajahnya terlihat sangat dingin membuat seluruh tubuh wanita itu seakan membeku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status