Hely hanya bisa bergumam, "Jangan, jangan lakukan ini padaku!" Kakinya digerak-gerakkan dan tangannya tidak bisa berhenti memukuli dada bidang Ze.
Sambil berusaha berontak, Hely terus bergumam diiringi buliran-buliran bening yang menetes. Seluruh tubuhnya yang berlumuran darah seakan tidak sebanding dengan luka hati dan rasa takutnya. Sementara Ze, pria itu semakin bersemangat menggagahi tubuh Hely. Semakin wanita itu ketakutan dan berontak, maka semangatnya untuk terus menyakitinya terus meningkat. "Lihat saja! Aku akan membuatmu hidup segan mati pun segan," tekad Ze. Pria itu benar-benar kejam. Sejak awal, ia yang membuat kesalahan dengan menodai Hely, tetapi ia tidak mau disalahkan. Ia justru melimpahkan semua kesalahan pada Hely yang jelas-jelas statusnya di sana sebagai korban dan bersikap seolah ia adalah orang yang paling tersakiti atau istilah kerennya playing victim. "Buka matamu, Hely!" Ze menampar wajah Hely karena wanita itu terlihat memejamkan matanya, "Buka matamu, bodoh! Atau kau mau merasakan ikat pinggangku lagi?" imbuhnya mengancam sambil mencengkeram dagu Hely. Meski ia sibuk memarahi Hely, tetapi terus bergerak lincah. Ze sama sekali tidak sadar bahwa selain menikmati rasa sakit Hely, ia juga menikmati tubuh sang istri. Bukan tatapan jijik yang pria itu tunjukkan, tetapi tatapan senang. Tatapan senang itu jelas bisa diartikan bahwa ia menikmati pergelutan panas yang begitu menggelora. Selain itu, tatapan senangnya juga sudah jelas bisa diartikan sebagai pembalasan dendam yang terlampiaskan. "Tutupi tubuh kotormu itu!" seru Ze setelah selesai. Pria itu beranjak turun dan memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai. Sudut bibirnya naik sebelah dan membatin, "Apa yang terjadi saat ini bukan apa-apa. Aku akan menyiksamu lebih kejam daripada ini." Setelah itu, ia keluar sambil membanting pintu menuju kamarnya. Hely hanya berbaring tanpa mempedulikan tubuh polosnya yang terekspos. Air matanya mengerucuk deras dan tiba-tiba ia menangis sesenggukan sambil menyusutkan tubuhnya. Ia membekap mulutnya agar suara tangisnya tidak terdengar. Karena setelah dipikir-pikir, Ze akan semakin senang jika melihatnya menderita. Wanita itu terus menangis sampai hatinya merasa lega. Sekitar tiga puluh menit kemudian, ia beranjak bangun dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi. Ia berdiri di bawah kucuran air dan membiarkan luka di punggungnya terkena air. "Ssstt! Ah, sakit!" Hely mendesis dan memeluk kesakitan. Ia mengulurkan tangannya ke belakang dan berusaha menyentuh lukanya, "A-aww! Bagaimana cara mengobati lukaku?" tanyanya bingung. Kenapa Ze tidak memukul di bagian yang bisa ia jangkau? Kenapa harus di punggung yang tidak bisa ia jangkau. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus ia lakukan? Apa ia harus pergi ke rumah sakit? "Tidak-tidak. Pasti butuh biaya banyak untuk berobat ke rumah sakit." Wanita itu menggeleng cepat karena tidak memungkinkan baginya untuk pergi ke rumah sakit. Akhirnya, ia memutuskan untuk membersihkan diri lebih dulu. Meskipun rasanya teramat sakit, tetapi ia tetap harus membersihkan tubuhnya. Setelah itu, ia bergegas keluar dan memakai baju. Melihat tempat tidur yang penuh bercak darah membuatnya harus bergegas mengganti seprai. *** Beberapa jam kemudian, Hely keluar kamar dengan perut yang keroncongan. Sebentar lagi waktu makan malam tiba dan ia harus memasak. Ia turun ke bawah menuju dapur. Kemudian, memeriksa lemari pendingin dan tempat-tempat penyimpanan lainnya. "Seharusnya aku tahu kalau rumah ini masih kosong," lirih Hely sambil menghela nafas berat. Semua perlengkapan rumah sudah ada di sana. Hanya persediaan makanan saja yang tidak ada. Lalu, apa yang harus ia lakukan? "Apa aku harus pergi berbelanja? Tapi aku tidak tahu daerah sini," batin Hely berkecamuk. Di tengah kegundahan hatinya, Hely mendengar suara bel berbunyi. Ia beranjak melangkah hendak melihat, tetapi ia justru dikejutkan dengan kedatangan Ze yang tiba-tiba. Pria itu berlarian ke arah pintu keluar. Tidak lama kemudian, pria itu kembali membawa dua bungkus pizza dan satu botol minuman bersoda. Pria itu melihat sosok Hely yang terdiam menatapnya, tetapi ia sama sekali tidak peduli. Meletakkan dua bungkus pizza dan botol minuman bersoda itu di atas meja dan duduk. "Astaga, aku lapar sekali," gumam Ze sambil melirik sinis ke arah Hely. Ia tahu wanita itu sudah sangat kelaparan dan ia ingin mengganggunya. Sambil mengambil satu potong pizza, Ze bergumam, "Waaah ... harumnya." Hely hanya bisa meneguk salivanya kasar. Melihat pizza yang masih hangat dan terlihat sangat enak itu membuat air liurnya hampir menetes. Perutnya semakin keroncongan tidak terkendali. "Astaga, aku kenyang sekali." Ze menutup kembali bungkus pizza itu. Merasa sudah cukup dengan memakan tiga potong, pria Itu mengangkat dua bungkus pizza dan botol minuman bersoda. Kemudian, ia berjalan melewati Hely ke arah dapur. "Aku lapar sekali. Apa aku minta satu potong saja sama Tuan Ze?" Hely mengecap mulutnya beberapa kali melihat pizza yang begitu menggugah selera, "Ya, minta satu potong saja. Aku yakin Tuan Ze tidak akan masalah karena pizza-nya masih banyak," imbuhnya memutuskan. Wanita itu membalikkan tubuhnya dan mengikuti Ze ke dapur tanpa sadar. Ia sudah tidak bisa menahannya lagi dan hendak meminta satu potong. Namun, baru saja membuka mulut dan belum sempat mengucapkan sepatah kata pun, ia melihat Ze membuang semua pizza ke dalam tempat sampah. Sontak, Hely membuka mata dan mulutnya lebar-lebar. Sedangkan Ze hanya tersenyum sinis menatap Hely. Ia merasa sangat bangga telah membuat wanita itu terkejut. Daripada membagi pizza itu pada Helios, lebih baik ia membuangnya. "Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Ze sambil tersenyum menyeringai. "Kenapa pizza-nya dibuang, Tuan?" tanya Hely sambil berjongkok. Tatapan matanya terlihat sangat sedih menyaksikan pizza-pizza itu dibuang. "Memangnya kenapa?" Pria itu balik bertanya dengan nada malas. "Kalau Tuan sudah tidak mau, biar saya saja yang makan. Tapi kenapa malah dibuang 'kan sayang," balas Hely masih menatap sedih ke arah tempat sampah. Selang beberapa detik, Hely mengulurkan tangannya dan meraih bungkus pizza. Ia pikir, pizza itu masih bersih karena masih di dalam bungkusnya dan tempat sampah itu masih dalam keadaan baru. Jadi, ia ingin menyelamatkan pizza-pizza itu sebelum lewat dari lima menit. "Justru itu. Lebih baik aku buang pizza itu daripada kau yang makan." Ze melipat kedua tangannya di depan sambil menatap Hely sinis. Mendengar ucapan Ze, Hely menelan salivanya tiba-tiba dengan susah payah. Hanya karena tidak sudi membagi makanan itu dengannya, Ze membuang semua pizza itu. "Dasar menjijikkan!" Ze beranjak pergi meninggalkan Hely yang saat ini sedang memegang dua bungkus pizza. Meskipun Ze sudah pergi, tetapi Hely masih terdiam membeku. Ia lekas berdiri dan melempar kembali dua bungkus pizza itu ke tempat sampah. Hely kembali ke kamar dan meraih dompet di tas selempang miliknya. Beruntung ia baru mendapat gaji sebelum kejadian nahas itu. Jadi, ia tidak akan merasa kesulitan untuk mengisi perutnya karena sikap Ze yang kejam. "Aku harus mempelajari area sekitar dan sekarang aku mau jalan-jalan sambil membeli makanan," lirih Hely sebelum akhirnya melangkah pergi. Wanita itu keluar apartemen dan berjalan menyusuri trotoar. Ia mencari mini market karena tiba-tiba ingin menikmati mie instan. Namun sayangnya, meski ia sudah berjalan lebih dari lima belas menit, ia tetap tidak menemukan mini market. Akan tetapi, ia melihat banyak penjual makanan di pinggir jalan. "Beli nasi bebek sama batagor aja, deh." Setelah membeli, ia bergegas pulang karena sudah tidak sabar ingin menikmati bebek goreng yang membuat perutnya semakin keroncongan. Ia memencet tombol sandi pintu apartemen dan membukanya. "Astaga!" terkejut Hely sambil melompat ke belakang. Wanita itu melihat Ze berdiri tepat di depan pintu dengan posisi kedua tangan yang dilipat di depan tubuhnya. Tatapan matanya tajam bak busur panah yang siap diluncurkan ke jantung Hely. Raut wajahnya terlihat sangat dingin membuat seluruh tubuh wanita itu seakan membeku."Dari mana saja kau?" tanya Ze dingin."Sa-saya la-lapar, Tuan. Berhubung di rumah ini tidak ada bahan makanan apa pun, jadi saya keluar untuk membeli makanan," jelas Hely terbata. Kepalanya senantiasa tertunduk tidak berani mengangkatnya meski hanya sejenak.Ze menatap Hely dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum licik dan berbalik masuk ke dalam. Sedangkan Hely, wanita itu mengangkat pandangan sambil menghela nafas lega. Lalu, ia berjalan masuk menuju dapur. Meraih piring dan gelas untuk diisi air. Setelah itu, ia mulai membuka bungkus bebek goreng dan hendak menikmatinya."Aku juga lapar. Kenapa kau makan sendiri?" Ze tiba-tiba datang sambil menarik kursi makan dan duduk, "Aku juga mau nasi bebeknya," lanjut Ze sambil menarik piring bebek Hely."Saya hanya beli satu dan itu belinya di pinggir jalan, Tuan," kata Hely berharap pria itu akan mengurungkan niatnya.Perutnya sudah sangat keroncongan dan di saat melihat nasi bebek juga sambal hitam yang menggoda justru ada yang
"Bahkan luka yang tadi siang Tuan Ze buat masih basah," lirih Hely sendu.Mengetahui ikat pinggang yang sebentar lagi mendarat di tubuhnya, sontak Hely memejamkan matanya erat. Tidak ada gunanya melawan dan pasrah adalah pilihan terbaik. Tentu saja karena ia telah mengenal siapa sebenarnya pria itu beberapa hari ini. Padahal sebelumnya, ia sempat mengagumi pria dengan paras tampan yang memiliki aura kuat itu."Sabar, Hely, sabar. Nanti setelah luka di tubuhmu sembuh, kau boleh membalasnya. Kau gigit saja tangannya yang suka sekali memukulmu," batin Hely berusaha menenangkan dirinya sendiri."Brengsek!" umpat Ze kesal. Pria itu melempar ikat pinggangnya ke sembarang arah karena lagi-lagi perutnya kembali terasa sakit. Andai rasa sakit itu tidak tiba-tiba datang, mungkin akan terdengar suara indah akibat dari erangan kesakitan Hely."Syukurlah, aku masih selamat." Hely menghembuskan nafas lega melihat Ze melangkah menjauh ke arah kamar mandi.Kini, wanita itu beranjak berdiri dan menung
"Makanan apa ini? Kenapa rasanya tidak jelas sekali?" Ze menghentakkan sendok ke piring hingga terdengar suara dentingan yang cukup keras."Maaf, Tuan, tapi saya sudah mengetes rasanya dulu sebelum disajikan di meja makan," sanggah Hely.Pagi-pagi sekali, wanita itu memesan taksi dan pergi ke pasar. Ia membeli, ayam, ikan, daging, telur, sayur-mayur, dan rempah-rempah untuk persediaan selama satu Minggu. Hari ini, ia memasak ayam rica-rica dan sayur jagung muda dicampur buncis. Namun sayangnya, masakan yang ia buat dengan sepenuh hati justru tidak dihargai sama sekali oleh Ze."Apa kau bilang? Kalau aku bilang rasanya tidak jelas, itu artinya harus diganti. Kau tidak berhak menyanggah dan kau harus memasak menu yang lain," geram Ze sambil menggertakkan giginya."Baiklah," balas Hely lesu. Ia lekas berbalik dan membuka lemari pendingin."Sebelum kau memasak, kau buatkan aku kopi lebih dulu. Aku mau menunggu sambil menikmati kopi dan membaca koran," ujar Ze seolah lupa sudah waktunya pe
Hely sedang tidak siap dan ketika wajahnya masuk ke dalam air, ia membelalakkan matanya. Terlebih, ia tersedak air di dalam sana. Sontak, kedua tangan wanita itu bergerak berusaha menyelamatkan diri. Ia menarik-narik tangan sang suami agar menjauh dari kepalanya, tetapi tidak berguna sama sekali. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Ze, terlebih posisinya saat ini sedang kesulitan untuk bernafas."Bagaimana? Rasanya sangat menyegarkan bukan?" tanya Ze sambil tersenyum lebar.Baru saja hendak menekan kepala Helios lagi, tiba-tiba ponselnya berdering. "Sial! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?" umpat Ze kesal. Lalu, ia mendorong kepala Hely sebelum akhirnya meraih ponselnya di saku celana."Nick? Kenapa dia menghubungiku?" Melihat nama sekretarisnya di layar ponsel membuat Ze mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menekan tombol hijau dan berkata, "Ada apa? Kenapa pagi-pagi begini kau menghubungiku?"Sekarang sudah pukul delapan dan sebentar lagi Anda akan ada rapat penting, Pak.
"Apa yang kau lakukan di sini, Hely?" tanya Ze dingin."Sa-saya ... Saya sedang bekerja, Tuan," jawab Hely terbata. Pria itu beralih menatap sekretarisnya. "Kau urus pertemuan ini dan lakukan yang terbaik," ujar Ze memerintah. "Baik, Pak," jawab Nick tegas.Setelah mendapat jawaban, Ze menyentuh tangan Hely dan menariknya keluar. Pria itu ke arah parkiran yang masih kosong. Kemudian, ia menghempaskan tangan Helios kuat-kuat."Bekerja kau bilang? Semua orang sudah tahu kalau kau istriku dan kau bekerja di cafe kecil seperti ini?" tanya Ze geram."Maaf. Saya hanya--""Hanya apa? Kalau kau butuh uang, kau tinggal bilang dan aku akan memberikannya padamu," potong Ze menggebu."Bagaimana cara saya memintanya pada Tuan? Bahkan membagi makanan dengan saya saja, Tuan, tidak sudi," sanggah Hely menunduk sambil memainkan jemarinya.Mendengar ucapan wanita itu membuat Ze berpikir sejenak. Meskipun terdengar masuk akal, ia tetap tidak bisa membenarkan keputusan Hely yang bisa mempermalukannya d
Melihat tidak ada pergerakan apa pun membuat Ze khawatir. Ia beranjak berdiri dan menendang kaki Hely. Namun sayangnya, ia sama sekali tidak mendapat respon apa pun dan hanya melihat wajah wanita itu yang sudah pucat pasi seperti mayat."Hely?" terkejut Ze.Pria itu lekas mengangkat tubuh Hely dan berjalan tergopoh-gopoh keluar. Lalu, ia membaringkan tubuh wanita itu di lantai. Setelah itu, ia memeriksa detak jantungnya."Ya Tuhan ... Hely, bangun!" panik Ze.Ia lekas memangku kepala Hely dan menjepit hidung wanita itu perlahan. Kemudian, ia mulai merapatkan bibirnya pada mulut Hely. Ia menarik nafas dalam-dalam dan meniupkannya perlahan. Ze melakukan beberapa kali hingga akhirnya Hely bangun dan mengeluarkan air dari mulutnya."Uhuk-uhuk!" Hely terbatuk dengan manik mata yang membola.Sontak, Ze menjatuhkan tubuhnya ke lantai sambil menghembuskan nafas lega. Hampir saja ia menjadi pembunuh jika ia gagal menyelamatkan Hely. Namun sayangnya, belum ada tiga menit wanita itu kembali ping
"Hei! Kenapa diam saja? Apa saya ... Ah tidak, sepertinya kita akan menjadi teman. Jadi, apa aku perlu mengenalkanmu pada pengacara kenalanku?" tanya Dokter Rani sambil mengayunkan tangannya di depan wajah Hely.Dokter cantik itu merasa tidak nyaman berbicara dengan Hely yang jauh lebih muda darinya. Jadi, ia berusaha berbicara sedikit santai agar ia dan Hely sama-sama nyaman."Tidak perlu, Dok. Suami saya--""Aku, pakai aku kau saja biar lebih nyaman. Kau juga boleh menganggapku sebagai kakakmu," potong Dokter Rani mengoreksi."Suamiku memang orang yang dingin, tapi dia tidak sekejam itu. Dia hanya tidak bisa menerima saya menjadi istrinya," lanjut Hely setelah ucapannya sempat terpotong.Bagaimana bisa wanita itu membela Zu? Sudah jelas-jelas ia selalu disiksa hingga dirawat di rumah sakit dan koma berhari-hari."Tidak kejam bagaimana? Sudah jelas-jelas dia hampir membunuhmu. Lalu, kenapa kalian bisa sampai menikah kalau dia tidak mau menerimamu menjadi istrinya?" tanya Dokter Rani
"Siapa bilang? Saya hanya terkejut karena Tuan tiba-tiba ada di sini. Lagi pula, mana berani saya menganggap Tuan Ze hantu," sanggah Hely datar.Wanita itu berusaha menekan kuat-kuat rasa takutnya. Paling tidak, ia tidak boleh terlalu menunjukkannya karena pria itu akan semakin senang jika melihatnya ketakutan."Jadi, bagaimana kondisimu?" tanya Ze mengalihkan perhatian.Setelah memanggil dokter, ia sama sekali tidak menunggu dan menanyakan keadaan Hely. Jadi, ia cukup penasaran mengenai kondisi terkini wanita itu."Kata dokter, sih, saya sudah baik-baik saja," sahut Hely."Bagaimana tidak baik-baik saja sedangkan tiga hari ini kau hanya tidur? Aku yakin seharian ini pun kau hanya tidur. Benar bukan?" tanya Ze sinis."A-apa? Tiga hari?" tanya Hely terbelalak. Ia begitu terkejut mendengar pernyataan Ze tentang dirinya yang tidur selama tiga hari."Ya. Sejak pertama kali aku membawamu ke sini, sekarang sudah hari ketiga," jelas Ze mengangguk."Ya Tuhan ... Bagaimana bisa?" Hely terlihat