Tiga bulan kemudian."Bagaimana kondisimu sekarang? Apa masih sering mengalami mimpi buruk? Apa kita perlu pergi ke psikiater lagi?" tanya Ze bertepatan dengan waktu konseling Hely yang ketiga.Sudah lewat dari tiga bulan setelah hari pertama Hely pergi ke psikiater. Seharusnya, bulan ini wanita itu pergi lagi untuk konsultasi yang ketiga. Untuk menanyakan seberapa besar kemajuan kesehatan mentalnya setelah tiga bulan berlalu."Tidak perlu, Mas. Aku sudah jarang mengalami mimpi buruk. Aku perhatikan, paling-paling satu Minggu sekali aku mengalami mimpi buruk. Mungkin tidak lama lagi aku akan segera sembuh," tolak Hely merasa kesehatan mental akibat dari trauma yang ia alami sebelumnya sudah semakin membaik."Apa kau yakin? Kalau tidak, satu kali lagi saja. Ini untuk yang terakhir kalinya kau pergi ke psikiater. Setidaknya, untuk memastikan agar kita yakin," ujar Ze membujuk."Tidak perlu, Mas. Aku sudah sangat-sangat yakin kalau aku akan segera sembuh meski tanpa pergi ke psikiater la
Ze mendekatkan wajahnya bersiap untuk mengecup bibir sang istri. Namun sebelum itu, ia menatap manik mata Hely dalam-dalam. Merapikan anak rambut yang menjuntai ke belakang telinga. Lalu, menatap lapar bibir candunya dan mendekat."Sial!" umpat Ze kesal.Suara ketukan pintu berhasil mengganggu konsentrasinya. Ia yakin, Mbok Bariyah sudah menunggu di depan pintu kamar membawa air minum yang ia minta sebelumnya."Tidak apa-apa, buka pintu dulu. Setelah itu, kita bisa lanjut lagi," kata Hely sambil mengedipkan matanya dan tersenyum lembut.Akhirnya, Ze mengangguk dan beranjak bangun. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Menerima nampan berisi gelas dan teko air putih. Lalu, ia menutup pintu dan kembali. Menuang air di gelas dan menyodorkannya pada sang istri."Minumlah!" kata Ze sambil membantu istrinya duduk."Terimakasih, Mas," balas Hely."Baiklah. Jadi, apa kita bisa melanjutkan apa yang sempat tertunda?" Ze menatap Hely penuh harap."Ya, tapi pelan-pelan saja. Lebih pelan dari
"Aawww!" Hely memekik terkejut. "Ma-maaf, Tuan. Sa-saya tidak bermaksud untuk masuk ke kamar Tuan tanpa izin. Sa-saya ha-hanya ingin meletakkan baju pengantin, Tuan, saja." Hely menoleh menatap tuxedo yang ia letakkan di atas tempat tidur sebelumnya. Wanita itu terus menunduk sama sekali tidak berani menatap majikannya. "Kalau begitu, saya permisi." Hely pamit dan bersiap keluar. Sayangnya, ia kembali didorong ke tempat tidur. "A-aww!" Merasa ada yang aneh, Hely memberanikan diri untuk mengangkat kepala. Namun, ia dikejutkan dengan gerakan tangan majikannya yang sedang melepas jas dan melemparnya ke sembarang arah. Terlebih selang beberapa detik, pria itu mulai melepas kancing kemejanya. "Tu-tuan? A-apa ya-yang sedang Tuan lakukan?" tanya Hely terbata. Tubuh dan suaranya sudah mulai bergetar Di sana, Ze terlihat sedang melucuti pakaiannya satu per satu. Takut terjadi hal buruk, Hely beranjak melangkah maju hendak keluar. "Maaf, Tuan. Saya mau permisi keluar karena baju pengant
"Kau masih berani bertanya? Harusnya papa yang tanya, sebenarnya ada apa denganmu? Apa yang kau lakukan pada Hely, sedangkan besok pagi kau akan menikah?" sanggah Asilas menggebu. Pria paruh baya itu berkata sambil menggertakkan giginya. Manik matanya menatap tajam sang putra bak mata belati. "Maksud Papa apa? Memangnya apa yang aku lakukan pada Hely?" tanya Ze masih belum sadar atas apa yang telah ia lakukan pada Hely. Tatapan mata Asilas tertuju pada Hely yang meringkuk di lantai menggunakan selimut. Kemudian, Ze mengikuti arah pandangnya. "Hely? Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Ze terkejut. Hely semakin terisak dan semakin menenggelamkan wajahnya. Ia merasa hidupnya sudah hancur karena sesuatu yang paling berharga darinya sudah direnggut paksa oleh Ze. Terlebih, pria itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Jangan tanya pada Hely! Tanyakan saja pada dirimu sendiri, apa yang telah kau lakukan padanya. Kau lihat? Tubuhmu terlihat sangat kotor dan menjijikan," timpal
"Ini kamarku dan kau tidak boleh memasukinya. Terserah kau mau tidur di mana yang penting bukan di kamarku," ujar Ze mengingatkan.Setelah sah menikah, Ze langsung memboyong Hely pindah ke apartemen yang sebelumnya ia siapkan untuknya dan Minerva. Namun alih-alih Minerva yang ia bawa sebagai seorang istri, justru Hely si pembantu di rumah orang tuanya yang ia bawa."Baik, Tuan," jawab Helios mengangguk.Sementara Ze masuk ke dalam kamarnya, Hely mencari kamar lain. Dengan cepat, ia menemukan kamar tidak jauh dari kamar Ze. Ia lekas masuk ke dalam dan beristirahat.Baru saja merapikan pakaian di lemari dan membaringkan tubuhnya, ia mendengar suara pintu dibanting. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dan melihat Ze sedang berlarian menuruni anak tangga. Hampir saja pria itu jatuh menggelinding, jika tangannya tidak bergegas berpegangan pada besi penjagaan."Tuan Ze mau ke mana? Kenapa kelihatannya buru-buru sekali?" batin Hely bertanya-tanya.Wanita itu beranjak menuruni anak tangga de
Hely hanya bisa bergumam, "Jangan, jangan lakukan ini padaku!" Kakinya digerak-gerakkan dan tangannya tidak bisa berhenti memukuli dada bidang Ze.Sambil berusaha berontak, Hely terus bergumam diiringi buliran-buliran bening yang menetes. Seluruh tubuhnya yang berlumuran darah seakan tidak sebanding dengan luka hati dan rasa takutnya. Sementara Ze, pria itu semakin bersemangat menggagahi tubuh Hely. Semakin wanita itu ketakutan dan berontak, maka semangatnya untuk terus menyakitinya terus meningkat."Lihat saja! Aku akan membuatmu hidup segan mati pun segan," tekad Ze.Pria itu benar-benar kejam. Sejak awal, ia yang membuat kesalahan dengan menodai Hely, tetapi ia tidak mau disalahkan. Ia justru melimpahkan semua kesalahan pada Hely yang jelas-jelas statusnya di sana sebagai korban dan bersikap seolah ia adalah orang yang paling tersakiti atau istilah kerennya playing victim."Buka matamu, Hely!" Ze menampar wajah Hely karena wanita itu terlihat memejamkan matanya, "Buka matamu, bodoh
"Dari mana saja kau?" tanya Ze dingin."Sa-saya la-lapar, Tuan. Berhubung di rumah ini tidak ada bahan makanan apa pun, jadi saya keluar untuk membeli makanan," jelas Hely terbata. Kepalanya senantiasa tertunduk tidak berani mengangkatnya meski hanya sejenak.Ze menatap Hely dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum licik dan berbalik masuk ke dalam. Sedangkan Hely, wanita itu mengangkat pandangan sambil menghela nafas lega. Lalu, ia berjalan masuk menuju dapur. Meraih piring dan gelas untuk diisi air. Setelah itu, ia mulai membuka bungkus bebek goreng dan hendak menikmatinya."Aku juga lapar. Kenapa kau makan sendiri?" Ze tiba-tiba datang sambil menarik kursi makan dan duduk, "Aku juga mau nasi bebeknya," lanjut Ze sambil menarik piring bebek Hely."Saya hanya beli satu dan itu belinya di pinggir jalan, Tuan," kata Hely berharap pria itu akan mengurungkan niatnya.Perutnya sudah sangat keroncongan dan di saat melihat nasi bebek juga sambal hitam yang menggoda justru ada yang
"Bahkan luka yang tadi siang Tuan Ze buat masih basah," lirih Hely sendu.Mengetahui ikat pinggang yang sebentar lagi mendarat di tubuhnya, sontak Hely memejamkan matanya erat. Tidak ada gunanya melawan dan pasrah adalah pilihan terbaik. Tentu saja karena ia telah mengenal siapa sebenarnya pria itu beberapa hari ini. Padahal sebelumnya, ia sempat mengagumi pria dengan paras tampan yang memiliki aura kuat itu."Sabar, Hely, sabar. Nanti setelah luka di tubuhmu sembuh, kau boleh membalasnya. Kau gigit saja tangannya yang suka sekali memukulmu," batin Hely berusaha menenangkan dirinya sendiri."Brengsek!" umpat Ze kesal. Pria itu melempar ikat pinggangnya ke sembarang arah karena lagi-lagi perutnya kembali terasa sakit. Andai rasa sakit itu tidak tiba-tiba datang, mungkin akan terdengar suara indah akibat dari erangan kesakitan Hely."Syukurlah, aku masih selamat." Hely menghembuskan nafas lega melihat Ze melangkah menjauh ke arah kamar mandi.Kini, wanita itu beranjak berdiri dan menung