"Aawww!" Hely memekik terkejut. "Ma-maaf, Tuan. Sa-saya tidak bermaksud untuk masuk ke kamar Tuan tanpa izin. Sa-saya ha-hanya ingin meletakkan baju pengantin, Tuan, saja."
Hely menoleh menatap tuxedo yang ia letakkan di atas tempat tidur sebelumnya. Wanita itu terus menunduk sama sekali tidak berani menatap majikannya. "Kalau begitu, saya permisi." Hely pamit dan bersiap keluar. Sayangnya, ia kembali didorong ke tempat tidur. "A-aww!" Merasa ada yang aneh, Hely memberanikan diri untuk mengangkat kepala. Namun, ia dikejutkan dengan gerakan tangan majikannya yang sedang melepas jas dan melemparnya ke sembarang arah. Terlebih selang beberapa detik, pria itu mulai melepas kancing kemejanya. "Tu-tuan? A-apa ya-yang sedang Tuan lakukan?" tanya Hely terbata. Tubuh dan suaranya sudah mulai bergetar Di sana, Ze terlihat sedang melucuti pakaiannya satu per satu. Takut terjadi hal buruk, Hely beranjak melangkah maju hendak keluar. "Maaf, Tuan. Saya mau permisi keluar karena baju pengantinnya sudah saya antar." Baru berdiri , pergelangan tangannya direngkuh dengan paksa. "Kau mau ke mana, hum?" tanya Ze dengan nada menggoda. "Saya mau ke dapur, Tuan, ada yang harus saya kerjakan," jawab Hely menunjukkan raut takut. "Nanti. Kau boleh ke dapur setelah urusan kita selesai, Mine," ujar Ze sambil mendorong Hely ke tempat tidur. Karena pengaruh alkohol, Ze berhalusinasi bahwa wanita yang ada di hadapannya adalah Minerva, calon istrinya. "Saya Hely, Tuan, bukan Nona Minerva," ujar Hely berusaha menjelaskan. Lagi-lagi, Hely beranjak bangun. Namun belum sempat berdiri, Ze sudah kembali mendorongnya hingga ia jatuh terlentang di atas tempat tidur. "Ayolah, Mine. Besok pagi kita menikah. Jadi, tidak masalah kalau kita melakukannya sekarang." "Jangan lakukan ini, Tuan, saya mohon! Saya Hely dan bukan Nona Minerva," lirih Hely memohon. Ia beranjak duduk dan bergerak mundur secara perlahan. Sementara Ze, dia melihat Hely yang memberingsut ketakutan di ujung kepala ranjang membuatnya ikut naik. Ia menarik paksa tangan Hely dan langsung mengungkung tubuh wanita itu. "Aku akan melakukannya dengan lembut. Jadi, kau perlu takut," bisik Ze di telinga Hely. "Tidak, Tuan, jangan! Jangan lakukan ini pada saya, Tuan!" teriak Hely memohon. Tangannya bergerak memukuli dada bidang pria itu dan kakinya pun tidak berhenti menendang. Air matanya sudah memgerucuk deras bak menganak sungai. Namun sayangnya, hal itu tidak membuat Ze merasa kasihan. Pria itu semakin giat menggerilya menikmati setiap jengkal tubuh Hely. Di tengah keputusasaan Hely, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki yang terburu-buru. Suara sepatu pantofel yang diadu dengan lantai marmer itu semakin mendekat. Sepersekian detik kemudian, terdengar suara ketukan pintu berkali-kali. Melihat secercah harapan, Hely berteriak meminta tolong sambil menatap ke arah pintu. "To-tolong! Siapa pun di luar, tolong aku!" Mendengar suara wanita itu, sontak Ze mengangkat kepala dan membungkam bibir Hely dengan bibirnya. Tubuhnya terus bergerak lincah tanpa merasa kelelahan sedikit pun. Dalam hitungan detik, kenop pintu bergerak ke bawah, dan pintu terbuka lebar. Terpampanglah dua sosok paruh baya dengan setelan pasangan berdiri di depan pintu dengan terkejut. "To-long sa-ya, Tu-an, Nyo-nya," lirih Hely terputus-putus. "Apa yang kau lakukan, Ze?" tanya Asilas dingin. Asilas Cartwheel merupakan ayah dari Ze Cartwheel. Pria paruh baya itu begitu terkejut melihat putranya sedang berada di atas tubuh seorang asisten rumah tangga. Terlebih dengan istrinya, Diana. Wanita itu menutup mulutnya yang terbuka lebar dengan manik mata terbelalak. Bahkan tubuhnya terhuyung ke samping dan hampir terjatuh. "Sayang." Asilas terkejut mendapati istrinya terhuyung. Pria paruh baya itu lekas meraih tubuh sang istri dan memeluknya. "Ze, Pa. Bagaimana bisa putra kita melakukan hal keji itu pada Hely? Bagaimana bisa dia melakukannya di saat ke esokan harinya akan menikah dengan Mine?" Wanita itu menangis meratapi perbuatan putranya. "Papa juga tidak tahu, Ma, tapi yang paling penting sekarang Mama tenang dulu," balas Asilas menenangkan. Padahal, ia sama kacaunya dengan sang istri. "Tapi, Pa--." "Tidak ada kata tapi, Sayang. Kita akan menyelesaikan masalah ini sama-sama," potong Asilas percaya diri. Sementara itu, Ze mulai bergerak dan berbaring di samping. Sementara Hely, wanita itu lekas menyembunyikan tubuh polosnya menggunakan selimut. Ia bergerak turun dan duduk meringkuk di lantai. "Anak itu benar-benar," ujar Asilas geram. Ia sudah berteriak sebelumnya dan sang putra sama sekali tidak menghiraukannya. "Mama tunggu di sini sebentar!" Lalu, ia melangkah cepat ke arah kamar mandi. "Papa mau apa ke kamar mandi?" tanya Diana khawatir. Namun sayangnya, sang suami tak menghiraukan pertanyaannya. Tidak berselang lama, Asilas keluar dari kamar mandi sambil membawa seember penuh air dingin. "Bangun, Ze!" teriak Asilas sambil menumpahkan air itu ke tubuh putranya. Sontak, Ze langsung terbangun. Pria itu terduduk dengan terkejut. Raut wajahnya memerah dan terdengar suara eratan gigi yang saling diadu. "Siapa yang berani melakukan ini padaku?!" Ze sama sekali tidak melihat kondisi tubuh polosnya. Ia juga sama sekali tidak menyadari keberadaan ayah dan ibunya di sana. Ze bertanya, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Namun tiba-tiba, pukulan keras mendarat di kepalanya. Sontak, kepala pria itu terdorong ke samping. Dengan tangan yang terkepal kuat, ia menggertakkan giginya. "Siapa kau? Beraninya ...." Ze menoleh ke belakang dan mendapati sang ayah berada tepat di sampingnya, "Pa-papa? Apa yang Papa lakukan di sini? Lalu, kenapa Papa memukul kepalaku?" tanya pria itu terkejut."Kau masih berani bertanya? Harusnya papa yang tanya, sebenarnya ada apa denganmu? Apa yang kau lakukan pada Hely, sedangkan besok pagi kau akan menikah?" sanggah Asilas menggebu. Pria paruh baya itu berkata sambil menggertakkan giginya. Manik matanya menatap tajam sang putra bak mata belati. "Maksud Papa apa? Memangnya apa yang aku lakukan pada Hely?" tanya Ze masih belum sadar atas apa yang telah ia lakukan pada Hely. Tatapan mata Asilas tertuju pada Hely yang meringkuk di lantai menggunakan selimut. Kemudian, Ze mengikuti arah pandangnya. "Hely? Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanya Ze terkejut. Hely semakin terisak dan semakin menenggelamkan wajahnya. Ia merasa hidupnya sudah hancur karena sesuatu yang paling berharga darinya sudah direnggut paksa oleh Ze. Terlebih, pria itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Jangan tanya pada Hely! Tanyakan saja pada dirimu sendiri, apa yang telah kau lakukan padanya. Kau lihat? Tubuhmu terlihat sangat kotor dan menjijikan," timpal
"Ini kamarku dan kau tidak boleh memasukinya. Terserah kau mau tidur di mana yang penting bukan di kamarku," ujar Ze mengingatkan.Setelah sah menikah, Ze langsung memboyong Hely pindah ke apartemen yang sebelumnya ia siapkan untuknya dan Minerva. Namun alih-alih Minerva yang ia bawa sebagai seorang istri, justru Hely si pembantu di rumah orang tuanya yang ia bawa."Baik, Tuan," jawab Helios mengangguk.Sementara Ze masuk ke dalam kamarnya, Hely mencari kamar lain. Dengan cepat, ia menemukan kamar tidak jauh dari kamar Ze. Ia lekas masuk ke dalam dan beristirahat.Baru saja merapikan pakaian di lemari dan membaringkan tubuhnya, ia mendengar suara pintu dibanting. Akhirnya, ia memutuskan untuk keluar dan melihat Ze sedang berlarian menuruni anak tangga. Hampir saja pria itu jatuh menggelinding, jika tangannya tidak bergegas berpegangan pada besi penjagaan."Tuan Ze mau ke mana? Kenapa kelihatannya buru-buru sekali?" batin Hely bertanya-tanya.Wanita itu beranjak menuruni anak tangga de
Hely hanya bisa bergumam, "Jangan, jangan lakukan ini padaku!" Kakinya digerak-gerakkan dan tangannya tidak bisa berhenti memukuli dada bidang Ze.Sambil berusaha berontak, Hely terus bergumam diiringi buliran-buliran bening yang menetes. Seluruh tubuhnya yang berlumuran darah seakan tidak sebanding dengan luka hati dan rasa takutnya. Sementara Ze, pria itu semakin bersemangat menggagahi tubuh Hely. Semakin wanita itu ketakutan dan berontak, maka semangatnya untuk terus menyakitinya terus meningkat."Lihat saja! Aku akan membuatmu hidup segan mati pun segan," tekad Ze.Pria itu benar-benar kejam. Sejak awal, ia yang membuat kesalahan dengan menodai Hely, tetapi ia tidak mau disalahkan. Ia justru melimpahkan semua kesalahan pada Hely yang jelas-jelas statusnya di sana sebagai korban dan bersikap seolah ia adalah orang yang paling tersakiti atau istilah kerennya playing victim."Buka matamu, Hely!" Ze menampar wajah Hely karena wanita itu terlihat memejamkan matanya, "Buka matamu, bodoh
"Dari mana saja kau?" tanya Ze dingin."Sa-saya la-lapar, Tuan. Berhubung di rumah ini tidak ada bahan makanan apa pun, jadi saya keluar untuk membeli makanan," jelas Hely terbata. Kepalanya senantiasa tertunduk tidak berani mengangkatnya meski hanya sejenak.Ze menatap Hely dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia tersenyum licik dan berbalik masuk ke dalam. Sedangkan Hely, wanita itu mengangkat pandangan sambil menghela nafas lega. Lalu, ia berjalan masuk menuju dapur. Meraih piring dan gelas untuk diisi air. Setelah itu, ia mulai membuka bungkus bebek goreng dan hendak menikmatinya."Aku juga lapar. Kenapa kau makan sendiri?" Ze tiba-tiba datang sambil menarik kursi makan dan duduk, "Aku juga mau nasi bebeknya," lanjut Ze sambil menarik piring bebek Hely."Saya hanya beli satu dan itu belinya di pinggir jalan, Tuan," kata Hely berharap pria itu akan mengurungkan niatnya.Perutnya sudah sangat keroncongan dan di saat melihat nasi bebek juga sambal hitam yang menggoda justru ada yang
"Bahkan luka yang tadi siang Tuan Ze buat masih basah," lirih Hely sendu.Mengetahui ikat pinggang yang sebentar lagi mendarat di tubuhnya, sontak Hely memejamkan matanya erat. Tidak ada gunanya melawan dan pasrah adalah pilihan terbaik. Tentu saja karena ia telah mengenal siapa sebenarnya pria itu beberapa hari ini. Padahal sebelumnya, ia sempat mengagumi pria dengan paras tampan yang memiliki aura kuat itu."Sabar, Hely, sabar. Nanti setelah luka di tubuhmu sembuh, kau boleh membalasnya. Kau gigit saja tangannya yang suka sekali memukulmu," batin Hely berusaha menenangkan dirinya sendiri."Brengsek!" umpat Ze kesal. Pria itu melempar ikat pinggangnya ke sembarang arah karena lagi-lagi perutnya kembali terasa sakit. Andai rasa sakit itu tidak tiba-tiba datang, mungkin akan terdengar suara indah akibat dari erangan kesakitan Hely."Syukurlah, aku masih selamat." Hely menghembuskan nafas lega melihat Ze melangkah menjauh ke arah kamar mandi.Kini, wanita itu beranjak berdiri dan menung
"Makanan apa ini? Kenapa rasanya tidak jelas sekali?" Ze menghentakkan sendok ke piring hingga terdengar suara dentingan yang cukup keras."Maaf, Tuan, tapi saya sudah mengetes rasanya dulu sebelum disajikan di meja makan," sanggah Hely.Pagi-pagi sekali, wanita itu memesan taksi dan pergi ke pasar. Ia membeli, ayam, ikan, daging, telur, sayur-mayur, dan rempah-rempah untuk persediaan selama satu Minggu. Hari ini, ia memasak ayam rica-rica dan sayur jagung muda dicampur buncis. Namun sayangnya, masakan yang ia buat dengan sepenuh hati justru tidak dihargai sama sekali oleh Ze."Apa kau bilang? Kalau aku bilang rasanya tidak jelas, itu artinya harus diganti. Kau tidak berhak menyanggah dan kau harus memasak menu yang lain," geram Ze sambil menggertakkan giginya."Baiklah," balas Hely lesu. Ia lekas berbalik dan membuka lemari pendingin."Sebelum kau memasak, kau buatkan aku kopi lebih dulu. Aku mau menunggu sambil menikmati kopi dan membaca koran," ujar Ze seolah lupa sudah waktunya pe
Hely sedang tidak siap dan ketika wajahnya masuk ke dalam air, ia membelalakkan matanya. Terlebih, ia tersedak air di dalam sana. Sontak, kedua tangan wanita itu bergerak berusaha menyelamatkan diri. Ia menarik-narik tangan sang suami agar menjauh dari kepalanya, tetapi tidak berguna sama sekali. Tenaganya tidak sebanding dengan tenaga Ze, terlebih posisinya saat ini sedang kesulitan untuk bernafas."Bagaimana? Rasanya sangat menyegarkan bukan?" tanya Ze sambil tersenyum lebar.Baru saja hendak menekan kepala Helios lagi, tiba-tiba ponselnya berdering. "Sial! Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?" umpat Ze kesal. Lalu, ia mendorong kepala Hely sebelum akhirnya meraih ponselnya di saku celana."Nick? Kenapa dia menghubungiku?" Melihat nama sekretarisnya di layar ponsel membuat Ze mengerutkan keningnya. Kemudian, ia menekan tombol hijau dan berkata, "Ada apa? Kenapa pagi-pagi begini kau menghubungiku?"Sekarang sudah pukul delapan dan sebentar lagi Anda akan ada rapat penting, Pak.
"Apa yang kau lakukan di sini, Hely?" tanya Ze dingin."Sa-saya ... Saya sedang bekerja, Tuan," jawab Hely terbata. Pria itu beralih menatap sekretarisnya. "Kau urus pertemuan ini dan lakukan yang terbaik," ujar Ze memerintah. "Baik, Pak," jawab Nick tegas.Setelah mendapat jawaban, Ze menyentuh tangan Hely dan menariknya keluar. Pria itu ke arah parkiran yang masih kosong. Kemudian, ia menghempaskan tangan Helios kuat-kuat."Bekerja kau bilang? Semua orang sudah tahu kalau kau istriku dan kau bekerja di cafe kecil seperti ini?" tanya Ze geram."Maaf. Saya hanya--""Hanya apa? Kalau kau butuh uang, kau tinggal bilang dan aku akan memberikannya padamu," potong Ze menggebu."Bagaimana cara saya memintanya pada Tuan? Bahkan membagi makanan dengan saya saja, Tuan, tidak sudi," sanggah Hely menunduk sambil memainkan jemarinya.Mendengar ucapan wanita itu membuat Ze berpikir sejenak. Meskipun terdengar masuk akal, ia tetap tidak bisa membenarkan keputusan Hely yang bisa mempermalukannya d