Share

Chapter 3

“Kakak …. Aku pulang dulu, ya.” Pamit Jihan-salah satu karyawati yang  ceria dan humoris saat melintas di samping meja Purple. Wanita itu membalasnya dengan senyuman manis. “Iya, bye….”

“Kerjaan Ibu masih banyak?” tanya Dilan-karyawan junior di tim marketing. Purple mengangguk lemas. Melihat wanita itu udah kehabisan tenaga, Dilan berinisiatif menawarkan bantuan agar pekerjaannya cepat selesai dan bisa pulang bareng.

“Hmmm … nggak usah. Kamu bisa pulang duluan.”

“Beneran nggak apa saya tinggal pulang? Atau saya temani Ibu aja, ya, saya juga nggak buru-buru, kok.” Dilan masih bersikeras tak enak mau pulang lebih dulu.

“Serius nggak usah Dilan, saya malah nggak bisa fokus kerja kalau ditungguin.” Purple melempar senyum kecil.

“Lagipula masih ada pak Alfa dan bosnya di sana.” Kepalanya mengarah ke ruangan yang masih menyala. Akhirnya Dilan menyerah. Dia pulang terlebih dulu. Namun sebelum pulang dia membelikan minuman cokelat hangat untuk menemani Purple bekerja agar tidak mengantuk.

Pukul 19.00 WIB

“Pak ….”

“Kenapa? Mau pulang duluan?” Morgan menjawab tanpa melihat sekretarisnya yang sedari tadi tampak resah.

Alfa cengar-cengir malu maksud hatinya terbaca Morgan. “Hehehe, iya, kalau boleh.”

“Ya, udah sana pulang. Sebentar lagi saya juga selesai, kok.”

Sepuluh menit kemudian setelah Alfa selesai membereskan dokumen di meja, dia lalu keluar dari ruangan.

“Lho, Ibu belum pulang?” Alfa tampak kaget melihat masih ada orang tersisa di kantor.

“Tanggung, Pak. Tinggal dikit lagi. Saya juga mau sekalian laporan.”

“Oh…. Kalau gitu saya duluan ya, Bu.” Purple mengangguk seraya tersenyum.

Baru beberapa langkah meninggalkan Purple, pria itu kembali lagi.

“Bu … nitip pak bos, ya. Dia belum makan malam.” Purple tersenyum kecil seraya mengusap pelipis kanannya.

Pukul 20.00 WIB

Tok… tok…tok

Purple memberanikan diri memasuki ruangan setelah orang yang ada di dalamnya memersilakan masuk. Kehadirannya sama sekali tak mengusik ketenangan pria itu.

“Pak, RAB-nya sudah selesai. Silakan Bapak periksa terlebih dulu.”

“Hmmm …. taruh di atas meja aja,” jawabnya singkat.

“Kalau Bapak sibuk, bisa memeriksanya besok.” Morgan hanya mengangguk seolah sosok Purple tak kasat mata.

“Pak… saya boleh bicara sebentar?”

“Kenapa? Ngomong aja saya denger, kok.”

“Hmmm …. Boleh nggak, Pak, saya kerja dari rumah aja?” Morgan menghentikan jarinya yang sedari tadi sibuk memeriksa laporan keuangan.

“Saya, kan bukan termasuk ….”

“Nggak boleh.” Morgan melipat kedua tangannya ke dada seraya menatap tajam Purple. Tatapan mematikan yang membuat lawan bicaranya tak sanggup membantah.

“Ke-napa nggak boleh?”

“Ya, karena saya nggak suka sesuatu yang ribet. Kalau mendadak ada hal yang perlu saya diskusin denganmu, tinggal panggil aja. Kalau jauh mesti telepon dulu terus nunggu lagi. Se-simple itu alasannya.” Purple nampak mengatupkan bibirnya. Tak akan menang berdebat dengan pria keras kepala itu.

“Sekarang saya tanya balik, kenapa nggak mau kerja di sini? Apa fasilitasnya kurang? Mau disiapkan computer yang lebih besar? Besok saya minta Alfa…”

“Bukan… bukan soal itu. Lebih ke perasaan nyaman aja, sih, Pak. Saya lebih nyaman di rumah. Dan nggak enak juga sama karyawan yang lain, karena saya kan hanya kerja sampai kontrak selesai. Rasanya….”

“Oh, karena nggak enak sama yang lain. Ya udah mulai besok pindah ke sana aja.” Kepalanya mengarah ke meja Alfa.

“Hah?” Purple bengong lalu keluar ruangan dengan tubuh lemas. Percuma ngomong sama batu, bukannya dapat solusi justru dapat masalah baru.

Sebelum pulang Purple ke kamar mandi terlebih dulu agar di perjalanan tidak berhenti di tengah jalan karena kebelet pipis. Sekembalinya dari kamar mandi RAB yang tadi diserahkan sudah ada di mejanya kembali. Setelah dia buka, terdapat  banyak coretan di dalamnya.

“Morgan, apa-apaan ini?” Purple kembali masuk ke ruangan tanpa mengetuk pintu.

“Ini kantor, panggil yang benar.”

“Nggak bisa, aku lagi marah.” Morgan menutup bibirnya yang tersenyum dengan jarinya. Mana ada orang marah bilang-bilang.

“Kamu nggak salah coret sebanyak ini?” Purple berdiri di samping bangku Morgan sembari membuka RAB-nya. Memerlihatkan sebanyak apa dia harus revisi ulang.

“Kamu tahu nggak aku kasih harga ini setelah survei lapangan. Semua material yang kupake di sini adalah harga yang paling kompetitif dengan kualitas yang standart. Kenapa semua dicoret? Kalau ….”

See ….” Morgan menuliskan koreksi di sebelah coretan satu per satu dengan sabar. Purple memerhatikannya dengan saksama. Ternyata ada beberapa material yang Morgan minta agar pakai yang kualitasnya lebih bagus. Ada juga yang sebaliknya. Keduanya juga mendiskuskusikan warna cat dan keramik yang lebih cocok daripada sebelumnya.

“Sudah semua, Pak?” tanya Purple setelah Morgan menghentikan tulisannya.

“Hmmm ….”

“Baik, besok saya perbaiki.”

“Besok?” Purple mengangkat tangan dan mengetuk jam tangannya. Menunjukkan sudah jam 8 malam.

“Saya capek…. Besok, ya, revisinya.” Purple menopang wajahnya yang mungil dengan satu tangan seraya menatap wajah Morgan yang terlihat sama lelahnya. Pria itu tampak salah tingkah hingga mengangguk tanpa sadar.

“Kamu mau pulang jam berapa?”

“Kerjaanku masih banyak.”

“Oh….Ya, udah, aku pulang duluan, ya.” Morgan mengangguk lagi.

See you, Babe….” Wajah Morgan langsung memerah mendengar sapaan sayang yang tak terduga itu. Benar-benar wanita yang susah sekali ditebak dan membuat perasaannya campur aduk. Marahnya wanita itu pun juga masih terlihat manis. Sejauh mana dia bisa bertahan dengan godaan-godaan kecil seperti itu?

Purple menuju mejanya kembali untuk merapikan laptop, berkas-berkas serta handphone di meja dia masukkan ke dalam tas mungilnya. Memastikan tak ada barang tertinggal. Kemudian berjalan menuju lift yang letaknya tak jauh dari ruangan.

Dia menekan tanda panah yang ada di dinding. Tak berselang lama pintu lift pun terbuka dan dia melangkah masuk. Saat pintu akan menutup tiba-tiba Morgan menahannya.

“Lho … tadi katanya kerjaan masih banyak?” Morgan memilih tak menjawab karena malu menjilat ludah sendiri atas ucapannya tadi. Sementara Purple tersenyum melihat Morgan yang salah tingkah.

“Mau … makan bareng?” tanya Purple. Morgan menggeleng ragu. Tubuhnya bertolak belakang dengan hatinya yang bilang, “iya, mau.”

“Mau … anterin aku pulang, nggak?” Kali ini Morgan menatap Purple tajam.

“Bercanda, ih. Serius banget.”

Ting

“Jangan bersikap kayak gitu di depan laki-laki lain.” Morgan mengatakannya sembari melangkah keluar lift.

“Apa? Apa? Aku nggak denger.”

“Besok pergi ke THT,” teriak Morgan sambil melangkah menuju bassment. Dia mengatakannya seraya tersenyum meledek.

“Ih, jahat banget ngatain aku budek.” Purple bergumul seraya menyentak-nyetakkan sepatunya.

“Kenapa, Mbak?” Seorang OB yang tengah mengepel lantai kaget dengan wanita yang tiba-tiba kesal itu.

“Nggak apa-apa, Mas. Kaki saya kesemutan.”

“Oh, kirain kenapa.” OB itu kembali menyelesaikan pekerjaannya. Sementara Purple masih ngedumel seraya berjalan keluar gedung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status