“Kakak …. Aku pulang dulu, ya.” Pamit Jihan-salah satu karyawati yang ceria dan humoris saat melintas di samping meja Purple. Wanita itu membalasnya dengan senyuman manis. “Iya, bye….”
“Kerjaan Ibu masih banyak?” tanya Dilan-karyawan junior di tim marketing. Purple mengangguk lemas. Melihat wanita itu udah kehabisan tenaga, Dilan berinisiatif menawarkan bantuan agar pekerjaannya cepat selesai dan bisa pulang bareng.
“Hmmm … nggak usah. Kamu bisa pulang duluan.”
“Beneran nggak apa saya tinggal pulang? Atau saya temani Ibu aja, ya, saya juga nggak buru-buru, kok.” Dilan masih bersikeras tak enak mau pulang lebih dulu.
“Serius nggak usah Dilan, saya malah nggak bisa fokus kerja kalau ditungguin.” Purple melempar senyum kecil.
“Lagipula masih ada pak Alfa dan bosnya di sana.” Kepalanya mengarah ke ruangan yang masih menyala. Akhirnya Dilan menyerah. Dia pulang terlebih dulu. Namun sebelum pulang dia membelikan minuman cokelat hangat untuk menemani Purple bekerja agar tidak mengantuk.
Pukul 19.00 WIB
“Pak ….”
“Kenapa? Mau pulang duluan?” Morgan menjawab tanpa melihat sekretarisnya yang sedari tadi tampak resah.
Alfa cengar-cengir malu maksud hatinya terbaca Morgan. “Hehehe, iya, kalau boleh.”
“Ya, udah sana pulang. Sebentar lagi saya juga selesai, kok.”
Sepuluh menit kemudian setelah Alfa selesai membereskan dokumen di meja, dia lalu keluar dari ruangan.
“Lho, Ibu belum pulang?” Alfa tampak kaget melihat masih ada orang tersisa di kantor.
“Tanggung, Pak. Tinggal dikit lagi. Saya juga mau sekalian laporan.”
“Oh…. Kalau gitu saya duluan ya, Bu.” Purple mengangguk seraya tersenyum.
Baru beberapa langkah meninggalkan Purple, pria itu kembali lagi.
“Bu … nitip pak bos, ya. Dia belum makan malam.” Purple tersenyum kecil seraya mengusap pelipis kanannya.
Pukul 20.00 WIB
Tok… tok…tok
Purple memberanikan diri memasuki ruangan setelah orang yang ada di dalamnya memersilakan masuk. Kehadirannya sama sekali tak mengusik ketenangan pria itu.
“Pak, RAB-nya sudah selesai. Silakan Bapak periksa terlebih dulu.”
“Hmmm …. taruh di atas meja aja,” jawabnya singkat.
“Kalau Bapak sibuk, bisa memeriksanya besok.” Morgan hanya mengangguk seolah sosok Purple tak kasat mata.
“Pak… saya boleh bicara sebentar?”
“Kenapa? Ngomong aja saya denger, kok.”
“Hmmm …. Boleh nggak, Pak, saya kerja dari rumah aja?” Morgan menghentikan jarinya yang sedari tadi sibuk memeriksa laporan keuangan.
“Saya, kan bukan termasuk ….”
“Nggak boleh.” Morgan melipat kedua tangannya ke dada seraya menatap tajam Purple. Tatapan mematikan yang membuat lawan bicaranya tak sanggup membantah.
“Ke-napa nggak boleh?”
“Ya, karena saya nggak suka sesuatu yang ribet. Kalau mendadak ada hal yang perlu saya diskusin denganmu, tinggal panggil aja. Kalau jauh mesti telepon dulu terus nunggu lagi. Se-simple itu alasannya.” Purple nampak mengatupkan bibirnya. Tak akan menang berdebat dengan pria keras kepala itu.
“Sekarang saya tanya balik, kenapa nggak mau kerja di sini? Apa fasilitasnya kurang? Mau disiapkan computer yang lebih besar? Besok saya minta Alfa…”
“Bukan… bukan soal itu. Lebih ke perasaan nyaman aja, sih, Pak. Saya lebih nyaman di rumah. Dan nggak enak juga sama karyawan yang lain, karena saya kan hanya kerja sampai kontrak selesai. Rasanya….”
“Oh, karena nggak enak sama yang lain. Ya udah mulai besok pindah ke sana aja.” Kepalanya mengarah ke meja Alfa.
“Hah?” Purple bengong lalu keluar ruangan dengan tubuh lemas. Percuma ngomong sama batu, bukannya dapat solusi justru dapat masalah baru.
Sebelum pulang Purple ke kamar mandi terlebih dulu agar di perjalanan tidak berhenti di tengah jalan karena kebelet pipis. Sekembalinya dari kamar mandi RAB yang tadi diserahkan sudah ada di mejanya kembali. Setelah dia buka, terdapat banyak coretan di dalamnya.
“Morgan, apa-apaan ini?” Purple kembali masuk ke ruangan tanpa mengetuk pintu.
“Ini kantor, panggil yang benar.”
“Nggak bisa, aku lagi marah.” Morgan menutup bibirnya yang tersenyum dengan jarinya. Mana ada orang marah bilang-bilang.
“Kamu nggak salah coret sebanyak ini?” Purple berdiri di samping bangku Morgan sembari membuka RAB-nya. Memerlihatkan sebanyak apa dia harus revisi ulang.
“Kamu tahu nggak aku kasih harga ini setelah survei lapangan. Semua material yang kupake di sini adalah harga yang paling kompetitif dengan kualitas yang standart. Kenapa semua dicoret? Kalau ….”
“See ….” Morgan menuliskan koreksi di sebelah coretan satu per satu dengan sabar. Purple memerhatikannya dengan saksama. Ternyata ada beberapa material yang Morgan minta agar pakai yang kualitasnya lebih bagus. Ada juga yang sebaliknya. Keduanya juga mendiskuskusikan warna cat dan keramik yang lebih cocok daripada sebelumnya.
“Sudah semua, Pak?” tanya Purple setelah Morgan menghentikan tulisannya.
“Hmmm ….”
“Baik, besok saya perbaiki.”
“Besok?” Purple mengangkat tangan dan mengetuk jam tangannya. Menunjukkan sudah jam 8 malam.
“Saya capek…. Besok, ya, revisinya.” Purple menopang wajahnya yang mungil dengan satu tangan seraya menatap wajah Morgan yang terlihat sama lelahnya. Pria itu tampak salah tingkah hingga mengangguk tanpa sadar.
“Kamu mau pulang jam berapa?”
“Kerjaanku masih banyak.”
“Oh….Ya, udah, aku pulang duluan, ya.” Morgan mengangguk lagi.
“See you, Babe….” Wajah Morgan langsung memerah mendengar sapaan sayang yang tak terduga itu. Benar-benar wanita yang susah sekali ditebak dan membuat perasaannya campur aduk. Marahnya wanita itu pun juga masih terlihat manis. Sejauh mana dia bisa bertahan dengan godaan-godaan kecil seperti itu?
Purple menuju mejanya kembali untuk merapikan laptop, berkas-berkas serta handphone di meja dia masukkan ke dalam tas mungilnya. Memastikan tak ada barang tertinggal. Kemudian berjalan menuju lift yang letaknya tak jauh dari ruangan.
Dia menekan tanda panah yang ada di dinding. Tak berselang lama pintu lift pun terbuka dan dia melangkah masuk. Saat pintu akan menutup tiba-tiba Morgan menahannya.
“Lho … tadi katanya kerjaan masih banyak?” Morgan memilih tak menjawab karena malu menjilat ludah sendiri atas ucapannya tadi. Sementara Purple tersenyum melihat Morgan yang salah tingkah.
“Mau … makan bareng?” tanya Purple. Morgan menggeleng ragu. Tubuhnya bertolak belakang dengan hatinya yang bilang, “iya, mau.”
“Mau … anterin aku pulang, nggak?” Kali ini Morgan menatap Purple tajam.
“Bercanda, ih. Serius banget.”
Ting
“Jangan bersikap kayak gitu di depan laki-laki lain.” Morgan mengatakannya sembari melangkah keluar lift.
“Apa? Apa? Aku nggak denger.”
“Besok pergi ke THT,” teriak Morgan sambil melangkah menuju bassment. Dia mengatakannya seraya tersenyum meledek.
“Ih, jahat banget ngatain aku budek.” Purple bergumul seraya menyentak-nyetakkan sepatunya.
“Kenapa, Mbak?” Seorang OB yang tengah mengepel lantai kaget dengan wanita yang tiba-tiba kesal itu.
“Nggak apa-apa, Mas. Kaki saya kesemutan.”
“Oh, kirain kenapa.” OB itu kembali menyelesaikan pekerjaannya. Sementara Purple masih ngedumel seraya berjalan keluar gedung.
Udara dingin menembus kemeja biru yang dikenakan Purple. Dia berusaha menghangatkan diri dengan mendekapkan kedua tangannya ke dada. Karena tadi pagi pergi dengan terburu-buru, dia lupa tidak membawa sweater. Ditambah dia mengenakan rok mini yang membuat bulu kuduknya merinding saat angin berembus.Beberapa kali dia memerhatikan kendaraan yang melintas di depannya. Sudah 30 menit berlalu dan belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang yang ditunggu. Baterai gawai-nya pun habis saat dia akan menelepon orang itu.Sementara itu di tempat yang tak jauh dari Purple berdiri ada sebuah mobil sedan putih yang sedari tadi memerhatikannya. Selama 30 menit pria itu masih diliputi rasa gundah dan bimbang. Berusaha menenangkan diri dengan mengetukkan jarinya di atas setir. Pertanyaan, “Ajak bareng, nggak?” terus memenuhi pikirannya. “Kalau aku anterin pulang nanti dia salah paham dikira aku udah maafin dia. Emang aku cowok apaan?”Tapi pertanyaan itu diabaikan saat dia melihat kondisi wanita di dep
Morgan melepas asal sepatu dari kakinya. Melonggarkan dasi di lehernya dengan kasar, lalu menuju sofa. Brak! Dia menghentakkan kepalan tangannya ke atas meja dengan sorot mata berapi-api.Sial! Bisa-bisanya gue tergoda lagi sama perempuan itu. Jelas-jelas dia sudah bersuami.Dia merebahkan badannya ke sofa seraya memijat pelan pangkal hidung. Matanya terpejam. Dan tak terasa matanya tiba-tiba terasa sembab.Bodoh banget gue. Segitu hebatnya dia sampai bisa bikin gue jadi kayak gini. Tuhan … tega sekali Engkau hukum aku seperti ini. Aku pernah tulus mencintainya dan dengan susah payah aku berusaha melupakan. Tapi dengan takdir-Mu aku bertemu lagi dengannya secepat ini. Dan bodohnya aku sempat merasa berdebar lagi saat di dekatnya. Aku harus bagaimana Tuhan?Drttt ….Getaran gawai Morgan membuyarkan lamunannya.“Pak, sudah makan? Mau dipesenin makan apa?”“Gak usah, Al. Lagi males makan.”“Nanti sakit, Pak.” Morgan kembali meletakkan gawainya lalu menuju kamar mandi. Tak ada niatan untu
“Pagi, Pak.”Para karyawan yang semula serius dengan pekerjaan masing-masing segera bangkit dari duduknya. Mengucap salam pada bosnya yang baru menunjukkan batang hidung pada pukul 10 pagi. Padahal tim marketing sudah menunggu sejak satu jam yang lalu.Morgan ditemani Alfa segera menuju ruang meeting.“Maaf, saya terlambat,” ucapnya sambil berjalan menuju seliri yang telah disediakan.“Langsung saja, ya. Secara garis besar mungkin sudah disampaikan oleh manajer kalian. Dengan pembagian tugas yang jelas ini saya harap kinerja tim pemasaran bisa lebih baik lagi.” Netra Morgan memerhatikan dengan saksama semua peserta meeting yang terlihat tegang.“Saya sudah menerima laporan penjualan perusahaan selama beberapa bulan ini dan tidak ada perubahan signifikan. Hasilnya ya, segitu-segitu aja.” Morgan menarik napas dalam.“Sebuah perusahaan jika ingin maju harus menaikkan angka penjualannya. Saya rasa tim pemasaran tahu betul akan hal itu. Jadi, saya ingin setiap minggu manajer ada laporan pro
"Mood Bapak udah baikan?” sindir Purple seraya menutup rancangan gambar yang masih harus direvisi lagi. Morgan memilih bungkam.Semilir angin berembus dari air conditioner yang mengarah ke tempat duduk mereka membuat suasana makin canggung dan kaku. Sesekali tercium wangi lavender dari pengharum ruangan yang tergantung pada alat pengatur suhu ruangan itu.Melihat Morgan yang tetap bungkam, Purple memiringkan kepala, menatap lekat-lekat pria itu. Memerhatikan dengan saksama setiap sentuhan Tuhan pada makhluk yang sangat tampan itu. Semua masih sama seperti dulu. Mata almond yang membuat lawan bicaranya bertekuk lutut serasi dengan alis tebal di atasnya. Dan jika diperhatikan dalam-dalam, hidung buttonnya selalu menjadi bagian paling manis di antara bagian lainnya.“Kenapa?” Purple menggeleng.“Bibir Bapak seksi.”Deg!“Ehem ….” Sungguh sebuah kalimat di luar dugaan. Entah sejak kapan wanita yang dulu dikenal kalem jadi sevulgar ini. Apa karena dia sudah menikah jadi bebas bicara hal-hal
“Kamu cemburu?” Purple berjalan pelan menuju meja Morgan yang pura-pura serius dengan pekerjaannya.“Mau gak dengerin penjelasan aku dulu?” Wanita itu memberanikan diri menyentuh jari kelingking kiri Morgan.Deg! Hati Morgan kembali goyah hanya dengan sentuhan kecil seperti itu.“Pria yang semalam menjemputku namanya Rudra. Dia teman masa kecilku sekaligus tetangga.” Morgan menghentikan tangan kanannya yang sedari tadi sibuk dengan mousenya. Sambil mengatakan itu Purple kembali menyentuh jari manis Morgan.“Sejak kecil kita selalu main bareng, sekolah pun berangkat dan pulang bersama. Dia juga suka kumintain tolong buat jemput kalau aku pulang malam. Kadang juga berangkat kerja bareng.” Kali ini jemari Purple sudah menyentuh jari telunjuk Morgan.“Nanti kalau ada waktu aku kenalin sama dia biar kamu gak cemburu lagi.” Purple berhasil mengenggam jemari Morgan seluruhnya lalu mengenggamnya. Membuat pria itu mati kutu.“Aku bisa ceritain lebih banyak lagi tentang dia kalau kamu mau. Yang
Suasana di dalam mobil begitu hening hingga membuat kedua orang yang baru selesai mengisi perut di sebuah restoran seafood itu merasa canggung. Tak ada topik yang bisa dijadikan bahan obrolan.“Kapan kekasihmu akan ke Indonesia?” Morgan mengangkat bahunya.“Kalian gak ada niat buat putus?” Hampir saja Morgan menginjak pedal rem mendadak mendengar pertanyaan mengejutkan itu. Benar-benar gadis random yang tak bisa ditebak isi pikirannya sama sekali. Dia pikir dengan berpura-pura memiliki pacar, gadis di sampingnya ini akan berhenti menggodanya dan cemburu, ternyata pemikirannya justru sebaliknya.“LDR itu berat, lho. Mending cari yang lain aja, yang sudah teruji kesetiaannya. Nanti kalau di sana dia selingkuh juga gimana? Kamu gak takut?”“Mana mungkin keponakanku yang masih balita itu bisa selingkuh?” batin Morgan menahan tawa.“Aku lebih takut pada wanita yang sudah kudampingi bertahun-tahun tiba-tiba berkhianat dan akan menikah dengan pria lain.”Purple merapatkan bibirnya, sebelum a
“Al, reschedule meeting dengan supplier kopi di Lampung. Kalau bisa besok.” Instruksi bosnya saat jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Entah ada apa dengan atasannya itu, tapi sejak bersua kembali dengan mantan pacarnya yang bikin gagal move on, mood-nya naik turun tak menentu. Seperti wanita yang lagi PMS.Padahal kemarin saat dirinya mengajukan jadwal pertemuan dengan supplier lebih cepat dengan tegas bosnya itu menolak karena berbagai alasan. Sekarang tiba-tiba memberikan perintah yang tak masuk akal. Ingin sekali rasanya berteriak jika tak ingat sudah tengah malam.Dia kembali meraih telepon genggam yang tadi sempat dilemparkan ke tilam sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Membuka aplikasi chat lalu mengetikkan sebuah nama yang beberapa hari lalu dia hubungi untuk mengatur ulang jadwal pertemuan dengan bosnya. Saat menemukan kontak wanita itu dan masih berstatus online, Alfa merasa Tuhan menyelamatkan dirinya dari teriakan maut bosnya besok pagi andai reschedule gagal.“Malam Ibu
Morgan agak kecewa saat mengetahui jika wanita yang dirindukannya ternyata hari ini tidak datang ke kantor. Padahal dia sudah berangkat lebih awal daripada biasanya agar bisa bertemu dengannya. Kantor yang terasa lebih hangat dengan kehadiran wanita itu jadi terasa sepi dan asing. Ah, mood-ku jadi berantakan, batinnya seraya menatap ke arah meja Purple yang tak berpenghuni.Demi mengembalikan mood-nya yang buruk, dia berdiri di dekat jendela. Menatap mentari yang malu-malu menampakkan diri dari ufuk timur. Dan saat menatap ke bawah terlihat rumah penduduk yang lebih padat dibanding 5 tahun yang lalu. Satu persatu warga mulai memerlihatkan aktivitas hariannya.Merasa cukup dengan kegiatan bersantai itu Morgan kembali ke tempat duduknya. Membuka salah satu tumpukan dokumen di atas meja dengan malas. Padahal baru sehari ditinggal pergi, tapi tumpukan itu sudah bertambah lagi dan lagi, seakan tak ada habisnya. Dia akan fokus menyelesaikan semua dokumen itu agar bisa melupakan wanita mungil