Akhirnya ada scene kissing juga. Ini kan yang kalian tunggu? Hehehe....
Sudah 10 menit berlalu dan Purple belum merasa jemu menatap paras tampan pria yang duduk di sampingnya. Sesekali pria yang sibuk dengan kemudinya itu menoleh ke arahnya sebentar lalu fokus lagi ke depan. Tak ada niatan sedikit pun untuk melepas genggaman tangan sejak keduanya memasuki sedan putih itu.“Why?” tanya Morgan penasaran. Purple menggeleng sambil tersenyum.“Aku sangat bahagia sampai bingung bagaimana harus mengekspresikannya.” Morgan tersenyum mendengar pengakuan jujur wanita itu. Keduanya memutuskan pulang bersama setelah memastikan perasaan masing-masing kembali seperti dulu.“Kalau udah mutusin buat ugal-ugalan, kamu harus bertanggung jawab sampai akhir, lho.”Purple kembali tersenyum lalu menjawab, “Siap, Bos.” Dilanjutkan dengan mengecup punggung tangan pria yang mengenggam erat jarinya. Sikap manis yang membuat jantung Morgan jadi tak karuan.“Aku lagi nyetir, Sayang….”“Iya tahu, kok. Terus kenapa?”“Kalau kamu godain aku terus bisa-bisa tujuan kita bukan pulang ke ru
Morgan menghentikan tangannya yang tengah menandatangani sebuah laporan saat melihat Dilan menyambangi meja wanita yang semalam sudah dipatenkan menjadi miliknya. Tanpa sadar dia memindahkan pulpen di tangannya ke atas bibir seraya memutar roda bangkunya. Mata almond-nya mengamati dengan saksama apa yang tengah dilakukan salah satu karyawan juniornya itu.Penasaran apa yang Purple terima dari pria itu, Morgan bergegas keluar ruangan. menuju meja kerja wanita itu.Tok … tok.Purple mendongakkan kepala saat mendengar ketukan di mejanya.“Ya …, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan itu nyaris lewat begitu saja karena perhatian pria itu justru tertuju pada kue lapis dan satu cangkir kopi susu di atas meja yang didatanginya.“Pak?”“Ehem …. Saya ingin tahu update perkembangan renovasi kantor lama sampai mana.”“Baik, Pak, saya akan segera ke ruangan Bapak
Sebuah mobil sedan putih pabrikan Jepang mendarat perlahan di sebuah gedung perkantoran berlantai 5. Tak lama berselang, turun seorang pria berwajah oriental dilengkapi kacamata bulat. Pria itu bergegas menuju bangku penumpang untuk membukakan pintu.Sepatu mengkilat yang pertama kali ditampakkan, membuat para petinggi yang menunggu di lobi pun penasaran. Seperti tak percaya bahwa atasan baru mereka ternyata pria muda tiga puluh tahunan. Walau masih muda, vibes bos-nya sudah terlihat.Saat memasuki lobby, langkah pria itu kembali terhenti."Ini serius kantor?" Pria itu menoleh ke pria berkacamata yang berdiri di sampingnya."Bapak hanya menugaskan saya untuk mengakuisisi perusahaan yang akan bangkrut dengan melihat prospek ke depannya." Pria itu tak mau kalah menjawab pertanyaan dari atasannya."Tapi bukan berarti bangunan tua kaya begini, kan? Kamu lihat itu?” Pria itu menunjuk sudut ruangan.“Dinding retak di mana-mana, plafon yang hampir jatuh, lantai yang tampak kusam, debu berteb
“Selamat pagi…,” sapa Purpleramah pada beberapa karyawan kantor yang melintas.“Dia udah sarapan?” Alfa yang sejak tadi berdiri di depan bosnya dan melihat kelakuan kekanakan itu segera tanggap jika yang ditanyakan adalah wanita yang sejak tadi jadi pusat perhatian atasannya itu.“Tampaknya beliau berangkat tergesa-gesa, mungkin belum sempat sarapan. Tadi saya tidak menanyakannya.”Bosnya diam sejenak, lalu berkata: “Tolong belikan sandwich dan susu hangat masing-masing 2 buah. Tapi jangan bilang….”“Dari, Bos?” tebak Alfa. Dibalas dengan lirikan tajam lelaki yang hari ini wajahnya tampak ceria.“2 aja, Bos, bukan 3?” Morgan acuh tak acuh.“Saya lapar juga Bos, belum sarapan….” Dengan tampang memelas dia memegangi perutnya yang tampak rata.“Huh…” Morgan mendengus, pura-pura kesal dengan tingkah sekretarisnya itu.“Ya udah, sana beli.”“Siap.... Makasih, Bos.” Alfa segera meninggalkan ruangan, lalu bergegas menuju salah satu franchise Korea yang menjual sandwich. Pria yang ditinggalka
“Kakak …. Aku pulang dulu, ya.” Pamit Jihan-salah satu karyawati yang ceria dan humoris saat melintas di samping meja Purple. Wanita itu membalasnya dengan senyuman manis. “Iya, bye….”“Kerjaan Ibu masih banyak?” tanya Dilan-karyawan junior di tim marketing. Purple mengangguk lemas. Melihat wanita itu udah kehabisan tenaga, Dilan berinisiatif menawarkan bantuan agar pekerjaannya cepat selesai dan bisa pulang bareng.“Hmmm … nggak usah. Kamu bisa pulang duluan.”“Beneran nggak apa saya tinggal pulang? Atau saya temani Ibu aja, ya, saya juga nggak buru-buru, kok.” Dilan masih bersikeras tak enak mau pulang lebih dulu.“Serius nggak usah Dilan, saya malah nggak bisa fokus kerja kalau ditungguin.” Purple melempar senyum kecil.“Lagipula masih ada pak Alfa dan bosnya di sana.” Kepalanya mengarah ke ruangan yang masih menyala. Akhirnya Dilan menyerah. Dia pulang terlebih dulu. Namun sebelum pulang dia membelikan minuman cokelat hangat untuk menemani Purple bekerja agar tidak mengantuk.Puk
Udara dingin menembus kemeja biru yang dikenakan Purple. Dia berusaha menghangatkan diri dengan mendekapkan kedua tangannya ke dada. Karena tadi pagi pergi dengan terburu-buru, dia lupa tidak membawa sweater. Ditambah dia mengenakan rok mini yang membuat bulu kuduknya merinding saat angin berembus.Beberapa kali dia memerhatikan kendaraan yang melintas di depannya. Sudah 30 menit berlalu dan belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang yang ditunggu. Baterai gawai-nya pun habis saat dia akan menelepon orang itu.Sementara itu di tempat yang tak jauh dari Purple berdiri ada sebuah mobil sedan putih yang sedari tadi memerhatikannya. Selama 30 menit pria itu masih diliputi rasa gundah dan bimbang. Berusaha menenangkan diri dengan mengetukkan jarinya di atas setir. Pertanyaan, “Ajak bareng, nggak?” terus memenuhi pikirannya. “Kalau aku anterin pulang nanti dia salah paham dikira aku udah maafin dia. Emang aku cowok apaan?”Tapi pertanyaan itu diabaikan saat dia melihat kondisi wanita di dep
Morgan melepas asal sepatu dari kakinya. Melonggarkan dasi di lehernya dengan kasar, lalu menuju sofa. Brak! Dia menghentakkan kepalan tangannya ke atas meja dengan sorot mata berapi-api.Sial! Bisa-bisanya gue tergoda lagi sama perempuan itu. Jelas-jelas dia sudah bersuami.Dia merebahkan badannya ke sofa seraya memijat pelan pangkal hidung. Matanya terpejam. Dan tak terasa matanya tiba-tiba terasa sembab.Bodoh banget gue. Segitu hebatnya dia sampai bisa bikin gue jadi kayak gini. Tuhan … tega sekali Engkau hukum aku seperti ini. Aku pernah tulus mencintainya dan dengan susah payah aku berusaha melupakan. Tapi dengan takdir-Mu aku bertemu lagi dengannya secepat ini. Dan bodohnya aku sempat merasa berdebar lagi saat di dekatnya. Aku harus bagaimana Tuhan?Drttt ….Getaran gawai Morgan membuyarkan lamunannya.“Pak, sudah makan? Mau dipesenin makan apa?”“Gak usah, Al. Lagi males makan.”“Nanti sakit, Pak.” Morgan kembali meletakkan gawainya lalu menuju kamar mandi. Tak ada niatan untu
“Pagi, Pak.”Para karyawan yang semula serius dengan pekerjaan masing-masing segera bangkit dari duduknya. Mengucap salam pada bosnya yang baru menunjukkan batang hidung pada pukul 10 pagi. Padahal tim marketing sudah menunggu sejak satu jam yang lalu.Morgan ditemani Alfa segera menuju ruang meeting.“Maaf, saya terlambat,” ucapnya sambil berjalan menuju seliri yang telah disediakan.“Langsung saja, ya. Secara garis besar mungkin sudah disampaikan oleh manajer kalian. Dengan pembagian tugas yang jelas ini saya harap kinerja tim pemasaran bisa lebih baik lagi.” Netra Morgan memerhatikan dengan saksama semua peserta meeting yang terlihat tegang.“Saya sudah menerima laporan penjualan perusahaan selama beberapa bulan ini dan tidak ada perubahan signifikan. Hasilnya ya, segitu-segitu aja.” Morgan menarik napas dalam.“Sebuah perusahaan jika ingin maju harus menaikkan angka penjualannya. Saya rasa tim pemasaran tahu betul akan hal itu. Jadi, saya ingin setiap minggu manajer ada laporan pro