“Selamat pagi…,” sapa Purpleramah pada beberapa karyawan kantor yang melintas.
“Dia udah sarapan?” Alfa yang sejak tadi berdiri di depan bosnya dan melihat kelakuan kekanakan itu segera tanggap jika yang ditanyakan adalah wanita yang sejak tadi jadi pusat perhatian atasannya itu.
“Tampaknya beliau berangkat tergesa-gesa, mungkin belum sempat sarapan. Tadi saya tidak menanyakannya.”
Bosnya diam sejenak, lalu berkata: “Tolong belikan sandwich dan susu hangat masing-masing 2 buah. Tapi jangan bilang….”
“Dari, Bos?” tebak Alfa. Dibalas dengan lirikan tajam lelaki yang hari ini wajahnya tampak ceria.
“2 aja, Bos, bukan 3?” Morgan acuh tak acuh.
“Saya lapar juga Bos, belum sarapan….” Dengan tampang memelas dia memegangi perutnya yang tampak rata.
“Huh…” Morgan mendengus, pura-pura kesal dengan tingkah sekretarisnya itu.
“Ya udah, sana beli.”
“Siap.... Makasih, Bos.” Alfa segera meninggalkan ruangan, lalu bergegas menuju salah satu franchise Korea yang menjual sandwich. Pria yang ditinggalkan hanya senyam-senyum melihat kelakuan manja Sekretarisnya. Kemudian perhatiannya kembali teralihkan pada wanita di sebrang ruangan. Kali ini wanita itu tampak serius menatap laptop.
“Pekerjaanku nggak akan beres jika begini terus,” gumam pria itu seraya membuka kembali berkas yang tadi sempat ditutup. Dia mulai memeriksa beberapa report yang harus mendapatkan persetujuannya.
Purple kaget saat tiba-tiba ada pria yang menaruh sebuah plastik di atas mejanya. Saat dirinya mendongak, pria itu menundukkan kepala sambil berbisik, “Ini untuk Ibu sebagai ucapan sambutan telah bergabung di perusahaan ini.” Purple tersenyum paksa lalu mengangguk pelan seraya mengucapkan terima kasih.
Langkah panjang laki-laki itu hanya memerlihatkan punggungnya yang kekar. Sepanjang menuju ruangan, pria itu menyapa setiap karyawan yang dijumpainya.
“Ternyata dia memang ramah pada semua orang,” gumam Purple sambil menganggukkan kepala pelan. Lalu segera membuka isi dalam plastik.
“Wah, ini sandwich kesukaanku.” Kegembiraan Purple terasa lengkap saat melihat ada juga sebotol susu hangat. Kenapa dia tahu sandwich kesukaanku? Dia juga tahu aku lebih suka susu di pagi hari daripada teh atau kopi. Ah…, aku tahu ini bukan dari Alfa. Purple tersenyum tipis.
Sambil mengunyah sandwich, Purple kembali fokus melihat beberapa hal yang sudah dia ketik. Memeriksa dengan detail apakah ada yang terlewat. Sesekali dia menekan ikon save yang ada di barisan atas program microsoft wordnya.
“Alhamdulillah… kenyang.” Ucapannya diikuti gerakan mengelus perut seolah sedang hamil muda. Tentu gerakan lucu itu kembali mengundang senyum pria yang kembali memerhatikannya seraya mengunyah sandwich juga.
“Tingkahmu bikin aku kenyang walau nggak sarapan,” gumam Morgan tanpa sadar.
“Kenapa, Bos?” tanya Alfa yang duduk di sebrang meja.
“Ehem, bukan apa-apa.” Morgan tampak mengubah posisi duduk menjadi serius kembali. Malu mengakui jika dia sedang bersikap di luar kebiasaannya.
Tik tok tik tok tik tok
Ruangan besar yang hanya berisi dua orang pria itu hanya terdengar suara jarum jam yang terus bergerak. Sudah menjelang jam istirahat, tapi dokumen yang menggunung seakan tak ada habisnya.
“Al, panggil manager marketing ke sini.”
“Baik, Pak.”
Tak ada 5 menit, terdengar seseorang mengetuk pintu.
“Silakan duduk.” Morgan menunjuk sofa yang ada di tengah-tengah ruangan.
“Baik, Pak.” Walau sikapnya tampak tenang, hati pria itu sungguh berdebar-debar. Berusaha menebak kesalahan apa yang diperbuat hingga dipanggil atasannya.
“Bapak tahu, kan, jika tim marketing itu adalah ujung tombak perusahaan?”
“Tahu, Pak.”
“Jika tim marketing tidak dapat mendongkrak penjualan, maka perusahaan ini bisa mati perlahan. Dan mungkin bisa saja dalam hitungan bulan perusahaan ini bisa gulung tikar. Dampak dari itu Bapak tahu? Bapak dan yang lainnya bisa di-PHK.” Lawan bicaranya hanya dapat tertunduk lesu dan sesekali mengangguk.
“Saya beri waktu 3 bulan. Jika tim marketing tidak dapat melakukan terobosan dan meningkatkan penjualan, saya akan rombak besar-besaran. Bisa jadi ada tambahan member, pergantian member, atau bahkan pergantian atasan. Agar hal itu tidak terjadi, saya harap Bapak bisa menunjukkan peningkatan kinerja dalam waktu yang saya berikan tersebut.”
“Baik, Pak.”
“Apa mungkin Bapak ada kendala dalam bekerja?”
“Tidak ada, Pak. Hanya saja mungkin karena tim ini merangkap jadi tim sales juga. Di samping memikirkan konsep marketing kami juga harus turun ke lapangan untuk selling. Jadi saya harap tim marketing lebih bisa difokuskan ke satu hal, Pak.”
Tak tak tak tak
Morgan mengetukkan pulpen ke atas meja seraya berpikir.
“Tim marketing ada berapa orang?”
“10 orang, Pak.”
“Bagi jadi dua tim. Satu tim marketing, satu tim sales. Beri mereka pemahaman dan penjelasan struktur baru ini. Per besok saya harap sudah mulai bekerja dengan tim yang baru dibentuk tersebut.”
“Baik, Pak.”
“Cukup itu saja, silakan kembali bekerja.” Pria itu meninggalkan ruangan.
“Banyak banget PR yang mesti aku bereskan. Kamu beli perusahaan apa toko kelontong, sih, Al? Toko kelontong aja rasanya lebih simple dari ini.”
“Pffttt….” Alfa tak dapat menahan tawanya.
“Bapak mau segelas kopi?”
“Boleh….”
Saat di pantry dia bertemu dengan Purple. Wanita itu ingin melakukan hal yang sama karena matanya mulai terasa mengantuk melihat deretan angka di komputer.
“Mau saya buatkan sekalian, Pak?” Pria itu menolak dengan alasan jika nanti takarannya berbeda, maka bosnya bisa marah.
Drttt….drttt….drrrtt
Alfa merogoh kantong jas berisi hp yang baru saja bergetar.
“Kamu bikin kopinya di mana?”
“Di pantry, Bos.”
“Oh… kirain di Maroko.” Tut
“Tuh, kan, baru juga diomong.”
“Kenapa?”
“Ibu tahu nggak dia ngomong apa?” Alfa menirukan ucapan Morgan tadi yang membuat Purple tertawa terbahak-bahak.
“Bapak mau pakai kopi ini? Belum saya minum, kok. Baru aja diseduh. Rasio gulanya 2 banding 1.”
“Wah, kebetulan sama banget dengan selera Bos. Boleh saya bawa?”
“Boleh, silakan. Saya bisa bikin lagi.” Alfa meninggalkan Purple setelah mengucapkan terima kasih.
Purple kembali membuat kopi. Kali ini dia ingin membuatkan 2 kopi. Satu untuk Alfa yang tadi belum sempat bikin.
“Segelas kopi saya taruh di pantry untuk Bapak.” Alfa tersenyum melihat chat yang baru saja masuk.
“Kenapa senyum-senyum?” tanya Morgan yang duduk di hapadannya.
“Itu tadi saya ketemu bu Purple di pantry dan tahu saya belum sempat bikin kopi jadi dibikinin sekalian.”
“Uhuk.” Morgan kesedak kopi yang baru saja diteguknya.
“Apa kamu bilang? Siapa yang bikin?”
“Bu … Purple. Kenapa, Bos?” Morgan hanya terdiam, tapi wajahnya terlihat merengut tak senang.
“Kopi yang Bos minum juga buatan dia, kok. Nggak usah cemburu, gitu.” Alfa berbisik menggoda atasannya lantas berlalu.
Morgan yang tadinya sempat tak senang mendadak senyam-senyum mendengar ucapan Alfa barusan. Sehabis menyeruput kopi, jarinya berputar di tepi cangkir membayangkan wanita yang tadi membuatkannya.
“Kakak …. Aku pulang dulu, ya.” Pamit Jihan-salah satu karyawati yang ceria dan humoris saat melintas di samping meja Purple. Wanita itu membalasnya dengan senyuman manis. “Iya, bye….”“Kerjaan Ibu masih banyak?” tanya Dilan-karyawan junior di tim marketing. Purple mengangguk lemas. Melihat wanita itu udah kehabisan tenaga, Dilan berinisiatif menawarkan bantuan agar pekerjaannya cepat selesai dan bisa pulang bareng.“Hmmm … nggak usah. Kamu bisa pulang duluan.”“Beneran nggak apa saya tinggal pulang? Atau saya temani Ibu aja, ya, saya juga nggak buru-buru, kok.” Dilan masih bersikeras tak enak mau pulang lebih dulu.“Serius nggak usah Dilan, saya malah nggak bisa fokus kerja kalau ditungguin.” Purple melempar senyum kecil.“Lagipula masih ada pak Alfa dan bosnya di sana.” Kepalanya mengarah ke ruangan yang masih menyala. Akhirnya Dilan menyerah. Dia pulang terlebih dulu. Namun sebelum pulang dia membelikan minuman cokelat hangat untuk menemani Purple bekerja agar tidak mengantuk.Puk
Udara dingin menembus kemeja biru yang dikenakan Purple. Dia berusaha menghangatkan diri dengan mendekapkan kedua tangannya ke dada. Karena tadi pagi pergi dengan terburu-buru, dia lupa tidak membawa sweater. Ditambah dia mengenakan rok mini yang membuat bulu kuduknya merinding saat angin berembus.Beberapa kali dia memerhatikan kendaraan yang melintas di depannya. Sudah 30 menit berlalu dan belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang yang ditunggu. Baterai gawai-nya pun habis saat dia akan menelepon orang itu.Sementara itu di tempat yang tak jauh dari Purple berdiri ada sebuah mobil sedan putih yang sedari tadi memerhatikannya. Selama 30 menit pria itu masih diliputi rasa gundah dan bimbang. Berusaha menenangkan diri dengan mengetukkan jarinya di atas setir. Pertanyaan, “Ajak bareng, nggak?” terus memenuhi pikirannya. “Kalau aku anterin pulang nanti dia salah paham dikira aku udah maafin dia. Emang aku cowok apaan?”Tapi pertanyaan itu diabaikan saat dia melihat kondisi wanita di dep
Morgan melepas asal sepatu dari kakinya. Melonggarkan dasi di lehernya dengan kasar, lalu menuju sofa. Brak! Dia menghentakkan kepalan tangannya ke atas meja dengan sorot mata berapi-api.Sial! Bisa-bisanya gue tergoda lagi sama perempuan itu. Jelas-jelas dia sudah bersuami.Dia merebahkan badannya ke sofa seraya memijat pelan pangkal hidung. Matanya terpejam. Dan tak terasa matanya tiba-tiba terasa sembab.Bodoh banget gue. Segitu hebatnya dia sampai bisa bikin gue jadi kayak gini. Tuhan … tega sekali Engkau hukum aku seperti ini. Aku pernah tulus mencintainya dan dengan susah payah aku berusaha melupakan. Tapi dengan takdir-Mu aku bertemu lagi dengannya secepat ini. Dan bodohnya aku sempat merasa berdebar lagi saat di dekatnya. Aku harus bagaimana Tuhan?Drttt ….Getaran gawai Morgan membuyarkan lamunannya.“Pak, sudah makan? Mau dipesenin makan apa?”“Gak usah, Al. Lagi males makan.”“Nanti sakit, Pak.” Morgan kembali meletakkan gawainya lalu menuju kamar mandi. Tak ada niatan untu
“Pagi, Pak.”Para karyawan yang semula serius dengan pekerjaan masing-masing segera bangkit dari duduknya. Mengucap salam pada bosnya yang baru menunjukkan batang hidung pada pukul 10 pagi. Padahal tim marketing sudah menunggu sejak satu jam yang lalu.Morgan ditemani Alfa segera menuju ruang meeting.“Maaf, saya terlambat,” ucapnya sambil berjalan menuju seliri yang telah disediakan.“Langsung saja, ya. Secara garis besar mungkin sudah disampaikan oleh manajer kalian. Dengan pembagian tugas yang jelas ini saya harap kinerja tim pemasaran bisa lebih baik lagi.” Netra Morgan memerhatikan dengan saksama semua peserta meeting yang terlihat tegang.“Saya sudah menerima laporan penjualan perusahaan selama beberapa bulan ini dan tidak ada perubahan signifikan. Hasilnya ya, segitu-segitu aja.” Morgan menarik napas dalam.“Sebuah perusahaan jika ingin maju harus menaikkan angka penjualannya. Saya rasa tim pemasaran tahu betul akan hal itu. Jadi, saya ingin setiap minggu manajer ada laporan pro
"Mood Bapak udah baikan?” sindir Purple seraya menutup rancangan gambar yang masih harus direvisi lagi. Morgan memilih bungkam.Semilir angin berembus dari air conditioner yang mengarah ke tempat duduk mereka membuat suasana makin canggung dan kaku. Sesekali tercium wangi lavender dari pengharum ruangan yang tergantung pada alat pengatur suhu ruangan itu.Melihat Morgan yang tetap bungkam, Purple memiringkan kepala, menatap lekat-lekat pria itu. Memerhatikan dengan saksama setiap sentuhan Tuhan pada makhluk yang sangat tampan itu. Semua masih sama seperti dulu. Mata almond yang membuat lawan bicaranya bertekuk lutut serasi dengan alis tebal di atasnya. Dan jika diperhatikan dalam-dalam, hidung buttonnya selalu menjadi bagian paling manis di antara bagian lainnya.“Kenapa?” Purple menggeleng.“Bibir Bapak seksi.”Deg!“Ehem ….” Sungguh sebuah kalimat di luar dugaan. Entah sejak kapan wanita yang dulu dikenal kalem jadi sevulgar ini. Apa karena dia sudah menikah jadi bebas bicara hal-hal
“Kamu cemburu?” Purple berjalan pelan menuju meja Morgan yang pura-pura serius dengan pekerjaannya.“Mau gak dengerin penjelasan aku dulu?” Wanita itu memberanikan diri menyentuh jari kelingking kiri Morgan.Deg! Hati Morgan kembali goyah hanya dengan sentuhan kecil seperti itu.“Pria yang semalam menjemputku namanya Rudra. Dia teman masa kecilku sekaligus tetangga.” Morgan menghentikan tangan kanannya yang sedari tadi sibuk dengan mousenya. Sambil mengatakan itu Purple kembali menyentuh jari manis Morgan.“Sejak kecil kita selalu main bareng, sekolah pun berangkat dan pulang bersama. Dia juga suka kumintain tolong buat jemput kalau aku pulang malam. Kadang juga berangkat kerja bareng.” Kali ini jemari Purple sudah menyentuh jari telunjuk Morgan.“Nanti kalau ada waktu aku kenalin sama dia biar kamu gak cemburu lagi.” Purple berhasil mengenggam jemari Morgan seluruhnya lalu mengenggamnya. Membuat pria itu mati kutu.“Aku bisa ceritain lebih banyak lagi tentang dia kalau kamu mau. Yang
Suasana di dalam mobil begitu hening hingga membuat kedua orang yang baru selesai mengisi perut di sebuah restoran seafood itu merasa canggung. Tak ada topik yang bisa dijadikan bahan obrolan.“Kapan kekasihmu akan ke Indonesia?” Morgan mengangkat bahunya.“Kalian gak ada niat buat putus?” Hampir saja Morgan menginjak pedal rem mendadak mendengar pertanyaan mengejutkan itu. Benar-benar gadis random yang tak bisa ditebak isi pikirannya sama sekali. Dia pikir dengan berpura-pura memiliki pacar, gadis di sampingnya ini akan berhenti menggodanya dan cemburu, ternyata pemikirannya justru sebaliknya.“LDR itu berat, lho. Mending cari yang lain aja, yang sudah teruji kesetiaannya. Nanti kalau di sana dia selingkuh juga gimana? Kamu gak takut?”“Mana mungkin keponakanku yang masih balita itu bisa selingkuh?” batin Morgan menahan tawa.“Aku lebih takut pada wanita yang sudah kudampingi bertahun-tahun tiba-tiba berkhianat dan akan menikah dengan pria lain.”Purple merapatkan bibirnya, sebelum a
“Al, reschedule meeting dengan supplier kopi di Lampung. Kalau bisa besok.” Instruksi bosnya saat jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Entah ada apa dengan atasannya itu, tapi sejak bersua kembali dengan mantan pacarnya yang bikin gagal move on, mood-nya naik turun tak menentu. Seperti wanita yang lagi PMS.Padahal kemarin saat dirinya mengajukan jadwal pertemuan dengan supplier lebih cepat dengan tegas bosnya itu menolak karena berbagai alasan. Sekarang tiba-tiba memberikan perintah yang tak masuk akal. Ingin sekali rasanya berteriak jika tak ingat sudah tengah malam.Dia kembali meraih telepon genggam yang tadi sempat dilemparkan ke tilam sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Membuka aplikasi chat lalu mengetikkan sebuah nama yang beberapa hari lalu dia hubungi untuk mengatur ulang jadwal pertemuan dengan bosnya. Saat menemukan kontak wanita itu dan masih berstatus online, Alfa merasa Tuhan menyelamatkan dirinya dari teriakan maut bosnya besok pagi andai reschedule gagal.“Malam Ibu