Udara dingin menembus kemeja biru yang dikenakan Purple. Dia berusaha menghangatkan diri dengan mendekapkan kedua tangannya ke dada. Karena tadi pagi pergi dengan terburu-buru, dia lupa tidak membawa sweater. Ditambah dia mengenakan rok mini yang membuat bulu kuduknya merinding saat angin berembus.
Beberapa kali dia memerhatikan kendaraan yang melintas di depannya. Sudah 30 menit berlalu dan belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang yang ditunggu. Baterai gawai-nya pun habis saat dia akan menelepon orang itu.
Sementara itu di tempat yang tak jauh dari Purple berdiri ada sebuah mobil sedan putih yang sedari tadi memerhatikannya. Selama 30 menit pria itu masih diliputi rasa gundah dan bimbang. Berusaha menenangkan diri dengan mengetukkan jarinya di atas setir. Pertanyaan, “Ajak bareng, nggak?” terus memenuhi pikirannya. “Kalau aku anterin pulang nanti dia salah paham dikira aku udah maafin dia. Emang aku cowok apaan?”
Tapi pertanyaan itu diabaikan saat dia melihat kondisi wanita di depannya yang kedinginan.
“Kalau nggak aku anterin, dia sendirian, kasian. Ini udah malam, sepi pula. Tega banget gue sebagai laki-laki.”
“Ah, tau, ah. Tunggu 5 menit lagi aja deh.”
Di tengah rasa galau yang tak berujung itu tiba-tiba ada sebuah motor besar menghampiri. Pria berperawakan tinggi besar yang mengenakan helm itu mendaratkan motornya tepat di depan wanita itu berdiri. Lalu melepaskan hoodie yang dikenakan dan memberikannya pada Purple. Perhatiannya tak hanya sampai di situ.
Saat wanita itu tengah memakai hoodie, pria itu dengan sigap mengambil tas laptop yang dijinjing Purple. Tatapan pria itu tak lepas dari wanita di hadapannya. Sesekali mereka terlihat bersenda gurau.
“Sial!” ucap Morgan sembari memukul setir mobilnya. Dengan kecepatan tinggi dia menyalip motor dua orang yang tengah berboncengan tadi.
Di sepanjang perjalanan
“Lama banget jemputnya.”
“Sorry, tadi gue mesti revisi kerjaan dulu. Kliennya minta malam ini dikirim. Lo udah nunggu lama, ya?”
“Banget. Sampai lumutan kaki gue.”
“Lebay banget.”
“1/2 jam eeeuuyyy. Itu kalau muterin lapangan bola udah dapat keringet.”
“Iya, iya. Maaf.”
“Kirain tadi lo ada kencan terus lupa jemput gue.”
“Kencan apaan, sih? Sama siapa juga?”
“Itu cewek yang dijodohin sama Mama lo, tuh. Siapa namanya gue lupa.”
“Gak tahu. Gue juga nggak inget-inget.”
“Emang udah gak pernah berhubungan lagi?”
“Males. Manja banget orangnya. Dikit-dikit jemput dong, temenin dong, ke sini dong. Emang gue supirnya.”
“Lah gue juga sama kek gitu, tapi lo gak pernah marah. Atau jangan-jangan dalam hati lo ngedumel tiap gue minta jemput.”
“Baru sadar lo kalau nyusahin.”
“Sialan,” ucapnya sambil memukul helm si cowok.
“Sakit, ih.”
“Besok gak usah jemput lagi.”
“Ya udah bagus. Awas aja kalau tiba-tiba WA, “Ru, di mana? Bisa jemput gak?” Purple tertawa terbahak-bahak mendengarkan pria itu menirukan kalimat WA yang sudah dihafal di luar kepala.
Sesampainya di depan rumah Purple
“Lo nggak mampir dulu?”
“Gak, ah, udah malem, gak enak.”
“Ya udah, makasih ya.”
“Makasih doang? Traktir dong yang habis dapat project baru.”
“Iya, iya. Mau makan apa lo?”
“Makanan Jepang.”
“Ya udah, kapan?”
“Nanti gue kabarin.” Purple mengangguk.
“Hoodie-nya besok aja, ya. Gue cuci dulu.”
“Tahu aja udah waktunya nyuci.”
“Tahulah, orang bau banget.”
“Padahal tadi udah gue semprot itu pake parfum sebotol.”
“Parfum sebotol gak ngilangin bau ketek lo.”
“Sialan!”
“Udah, ah, gue masuk dulu.”
“Iya udah sana. Mandi pake air anget ya.”
“Bawel.”
“Yeee, dikasih tahu baek-baek dibilang bawel.”
Purple meninggalkan pria itu seraya melambaikan tangan. Setelah memastikan Purple masuk rumah, pria itu menyalakan motornya kembali. Menuju ke beberapa rumah di depannya.
“Baru pulang? Malem banget pulangnya padahal hari pertama kerja.”
“Hmmm …,” jawab Purple malas.
“Pulang sendiri?”
“Sama Rudra.” Mendengar nama Rudra sang Mama langsung menghampiri Purple yang selesai melepas sepatu.
“Kalian belum ada tanda-tanda akan menjalin hubungan lebih serius? Mama lihat Rudra sayang sekali lho, sama kamu. Sering antar jemput kamu. Dia juga selalu ada buat kamu.”
“Udah, deh, Ma tiap hari itu terus yang diomongin, emang gak capek apa? Udah berapa kali Purple bilang kalau kita gak ada hubungan apa-apa. Gak ada yang punya perasaan lebih, baik Rudra maupun Purple. Tolong, ya, Mah, saya baru pulang jangan bikin bad mood.” Purple bergegas menaiki tangga menuju kamarnya. Menghindari topik pembicaraan yang terus berulang setiap hari itu.
Setelah gagal menjodohkannya dengan duda kaya 5 tahun lalu dan melihat dirinya belum punya pacar juga, entah sudah berapa pria yang disodorkan Mamanya. Tak hanya mencarikan pria baru, mamanya juga gencar menjodohkannya dengan Rudra-sahabat kecilnya. Sejak kapan mereka ada apa-apa? Itu nggak akan pernah terjadi.
“Gue capek dengerin Mama yang tiap hari nyebutin nama lo terus. Lo kasih pelet apa sih sama Mama gue? Heran.” Rudra yang baru membuka chat Purple langsung tersenyum lebar.
“Pelet ikan. Puas, lo?”
“????”
“Lagi sembarangan aja nuduh gue pake pelet. Gak usah pake pellet, cewek-cewek juga udah klepek-klepek sama gue.”
“Iya cewek yang antri banyak, tapi status masih jomlo aja.”
“Bawa-bawa status lagi.”
“The fact.”
“Gue bukan gak bisa dapet cewek ya, tapi gue lagi masa memantau.”
“Kayak mau razia narkoba aja memantau segala. Udah, ah gue mau mandi.”
“Siapa juga yang chat duluan.”
Obrolan mereka berakhir saat Mama Rudra menyuruhnya untuk segera mandi.
“Kamu tuh hampir tiap hari antar jemput anak tetangga, emang gak capek apa?” Topik obrolan yang sebenarnya sangat ingin Rudra hindari setiap kali di meja makan.
“Apaan, sih, Ma. Rudra sama Purple udah temenan sejak kecil. Purple juga sering bantu Rudra pas sekolah. Nggak usah kayak gitulah, Ma.”
“Gak pa-pa, sih, asal nggak ada hubungan spesial aja.”
“….” Rudra memilih tak menjawab agar topik itu segera berakhir.
Rudra kembali ke kamar tidur usai makan dengan kedua orang tuanya dalam suasana yang kurang menyenangkan. Dia raih telepon genggamnya yang ada di atas Kasur.
“Udah tidur?” Rudra melihat terakhir kali wanita itu online 30 menit yang lalu. Sudah tidur mungkin, pikirnya. Dia letakkan kembali gawainya ke tempat semula. Memilih mengambil rokok di atas nakas, lalu menuju balkon. Berdiri menatap langit pekat dengan hiasan bulan sabit. Perlahan menyesap sebatang rokok yang ujungnya sudah disulut api. Menikmati angin malam seraya menatap ke salah satu rumah.
Bahkan aku bisa melihat kamarmu dari jarak sedekat ini, tapi kenapa terasa jauh dari jangkauanku.
Rudra memejamkan mata, pikirannya mendadak kalut dengan sikap Mamanya yang sejak dulu tak menyukai Purple. Entah kapan hati wanita yang menyayanginya itu akan luluh.
Morgan melepas asal sepatu dari kakinya. Melonggarkan dasi di lehernya dengan kasar, lalu menuju sofa. Brak! Dia menghentakkan kepalan tangannya ke atas meja dengan sorot mata berapi-api.Sial! Bisa-bisanya gue tergoda lagi sama perempuan itu. Jelas-jelas dia sudah bersuami.Dia merebahkan badannya ke sofa seraya memijat pelan pangkal hidung. Matanya terpejam. Dan tak terasa matanya tiba-tiba terasa sembab.Bodoh banget gue. Segitu hebatnya dia sampai bisa bikin gue jadi kayak gini. Tuhan … tega sekali Engkau hukum aku seperti ini. Aku pernah tulus mencintainya dan dengan susah payah aku berusaha melupakan. Tapi dengan takdir-Mu aku bertemu lagi dengannya secepat ini. Dan bodohnya aku sempat merasa berdebar lagi saat di dekatnya. Aku harus bagaimana Tuhan?Drttt ….Getaran gawai Morgan membuyarkan lamunannya.“Pak, sudah makan? Mau dipesenin makan apa?”“Gak usah, Al. Lagi males makan.”“Nanti sakit, Pak.” Morgan kembali meletakkan gawainya lalu menuju kamar mandi. Tak ada niatan untu
“Pagi, Pak.”Para karyawan yang semula serius dengan pekerjaan masing-masing segera bangkit dari duduknya. Mengucap salam pada bosnya yang baru menunjukkan batang hidung pada pukul 10 pagi. Padahal tim marketing sudah menunggu sejak satu jam yang lalu.Morgan ditemani Alfa segera menuju ruang meeting.“Maaf, saya terlambat,” ucapnya sambil berjalan menuju seliri yang telah disediakan.“Langsung saja, ya. Secara garis besar mungkin sudah disampaikan oleh manajer kalian. Dengan pembagian tugas yang jelas ini saya harap kinerja tim pemasaran bisa lebih baik lagi.” Netra Morgan memerhatikan dengan saksama semua peserta meeting yang terlihat tegang.“Saya sudah menerima laporan penjualan perusahaan selama beberapa bulan ini dan tidak ada perubahan signifikan. Hasilnya ya, segitu-segitu aja.” Morgan menarik napas dalam.“Sebuah perusahaan jika ingin maju harus menaikkan angka penjualannya. Saya rasa tim pemasaran tahu betul akan hal itu. Jadi, saya ingin setiap minggu manajer ada laporan pro
"Mood Bapak udah baikan?” sindir Purple seraya menutup rancangan gambar yang masih harus direvisi lagi. Morgan memilih bungkam.Semilir angin berembus dari air conditioner yang mengarah ke tempat duduk mereka membuat suasana makin canggung dan kaku. Sesekali tercium wangi lavender dari pengharum ruangan yang tergantung pada alat pengatur suhu ruangan itu.Melihat Morgan yang tetap bungkam, Purple memiringkan kepala, menatap lekat-lekat pria itu. Memerhatikan dengan saksama setiap sentuhan Tuhan pada makhluk yang sangat tampan itu. Semua masih sama seperti dulu. Mata almond yang membuat lawan bicaranya bertekuk lutut serasi dengan alis tebal di atasnya. Dan jika diperhatikan dalam-dalam, hidung buttonnya selalu menjadi bagian paling manis di antara bagian lainnya.“Kenapa?” Purple menggeleng.“Bibir Bapak seksi.”Deg!“Ehem ….” Sungguh sebuah kalimat di luar dugaan. Entah sejak kapan wanita yang dulu dikenal kalem jadi sevulgar ini. Apa karena dia sudah menikah jadi bebas bicara hal-hal
“Kamu cemburu?” Purple berjalan pelan menuju meja Morgan yang pura-pura serius dengan pekerjaannya.“Mau gak dengerin penjelasan aku dulu?” Wanita itu memberanikan diri menyentuh jari kelingking kiri Morgan.Deg! Hati Morgan kembali goyah hanya dengan sentuhan kecil seperti itu.“Pria yang semalam menjemputku namanya Rudra. Dia teman masa kecilku sekaligus tetangga.” Morgan menghentikan tangan kanannya yang sedari tadi sibuk dengan mousenya. Sambil mengatakan itu Purple kembali menyentuh jari manis Morgan.“Sejak kecil kita selalu main bareng, sekolah pun berangkat dan pulang bersama. Dia juga suka kumintain tolong buat jemput kalau aku pulang malam. Kadang juga berangkat kerja bareng.” Kali ini jemari Purple sudah menyentuh jari telunjuk Morgan.“Nanti kalau ada waktu aku kenalin sama dia biar kamu gak cemburu lagi.” Purple berhasil mengenggam jemari Morgan seluruhnya lalu mengenggamnya. Membuat pria itu mati kutu.“Aku bisa ceritain lebih banyak lagi tentang dia kalau kamu mau. Yang
Suasana di dalam mobil begitu hening hingga membuat kedua orang yang baru selesai mengisi perut di sebuah restoran seafood itu merasa canggung. Tak ada topik yang bisa dijadikan bahan obrolan.“Kapan kekasihmu akan ke Indonesia?” Morgan mengangkat bahunya.“Kalian gak ada niat buat putus?” Hampir saja Morgan menginjak pedal rem mendadak mendengar pertanyaan mengejutkan itu. Benar-benar gadis random yang tak bisa ditebak isi pikirannya sama sekali. Dia pikir dengan berpura-pura memiliki pacar, gadis di sampingnya ini akan berhenti menggodanya dan cemburu, ternyata pemikirannya justru sebaliknya.“LDR itu berat, lho. Mending cari yang lain aja, yang sudah teruji kesetiaannya. Nanti kalau di sana dia selingkuh juga gimana? Kamu gak takut?”“Mana mungkin keponakanku yang masih balita itu bisa selingkuh?” batin Morgan menahan tawa.“Aku lebih takut pada wanita yang sudah kudampingi bertahun-tahun tiba-tiba berkhianat dan akan menikah dengan pria lain.”Purple merapatkan bibirnya, sebelum a
“Al, reschedule meeting dengan supplier kopi di Lampung. Kalau bisa besok.” Instruksi bosnya saat jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Entah ada apa dengan atasannya itu, tapi sejak bersua kembali dengan mantan pacarnya yang bikin gagal move on, mood-nya naik turun tak menentu. Seperti wanita yang lagi PMS.Padahal kemarin saat dirinya mengajukan jadwal pertemuan dengan supplier lebih cepat dengan tegas bosnya itu menolak karena berbagai alasan. Sekarang tiba-tiba memberikan perintah yang tak masuk akal. Ingin sekali rasanya berteriak jika tak ingat sudah tengah malam.Dia kembali meraih telepon genggam yang tadi sempat dilemparkan ke tilam sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Membuka aplikasi chat lalu mengetikkan sebuah nama yang beberapa hari lalu dia hubungi untuk mengatur ulang jadwal pertemuan dengan bosnya. Saat menemukan kontak wanita itu dan masih berstatus online, Alfa merasa Tuhan menyelamatkan dirinya dari teriakan maut bosnya besok pagi andai reschedule gagal.“Malam Ibu
Morgan agak kecewa saat mengetahui jika wanita yang dirindukannya ternyata hari ini tidak datang ke kantor. Padahal dia sudah berangkat lebih awal daripada biasanya agar bisa bertemu dengannya. Kantor yang terasa lebih hangat dengan kehadiran wanita itu jadi terasa sepi dan asing. Ah, mood-ku jadi berantakan, batinnya seraya menatap ke arah meja Purple yang tak berpenghuni.Demi mengembalikan mood-nya yang buruk, dia berdiri di dekat jendela. Menatap mentari yang malu-malu menampakkan diri dari ufuk timur. Dan saat menatap ke bawah terlihat rumah penduduk yang lebih padat dibanding 5 tahun yang lalu. Satu persatu warga mulai memerlihatkan aktivitas hariannya.Merasa cukup dengan kegiatan bersantai itu Morgan kembali ke tempat duduknya. Membuka salah satu tumpukan dokumen di atas meja dengan malas. Padahal baru sehari ditinggal pergi, tapi tumpukan itu sudah bertambah lagi dan lagi, seakan tak ada habisnya. Dia akan fokus menyelesaikan semua dokumen itu agar bisa melupakan wanita mungil
Sudah 10 menit berlalu dan Purple belum merasa jemu menatap paras tampan pria yang duduk di sampingnya. Sesekali pria yang sibuk dengan kemudinya itu menoleh ke arahnya sebentar lalu fokus lagi ke depan. Tak ada niatan sedikit pun untuk melepas genggaman tangan sejak keduanya memasuki sedan putih itu.“Why?” tanya Morgan penasaran. Purple menggeleng sambil tersenyum.“Aku sangat bahagia sampai bingung bagaimana harus mengekspresikannya.” Morgan tersenyum mendengar pengakuan jujur wanita itu. Keduanya memutuskan pulang bersama setelah memastikan perasaan masing-masing kembali seperti dulu.“Kalau udah mutusin buat ugal-ugalan, kamu harus bertanggung jawab sampai akhir, lho.”Purple kembali tersenyum lalu menjawab, “Siap, Bos.” Dilanjutkan dengan mengecup punggung tangan pria yang mengenggam erat jarinya. Sikap manis yang membuat jantung Morgan jadi tak karuan.“Aku lagi nyetir, Sayang….”“Iya tahu, kok. Terus kenapa?”“Kalau kamu godain aku terus bisa-bisa tujuan kita bukan pulang ke ru
Selangor, Malaysia – 09.00 pagi“Sial!” umpat Morgan setelah mematikan sambungan telepon dari sang kekasih. Walau tadi dia berusaha tenang dan menyembunyikan rasa cemburunya tetap saja dia merasa was-was jika sudah menyangkut sahabat kecil dari kekasihnya itu.Alfa yang berdiri di sampingnya tak berani menanyakan apa yang tengah membuat bosnya mendadak kesal saat meeting akan dimulai beberapa menit lagi.“Al, kita usahakan meeting ini selesai secepat mungkin. Ga usah terlalu banyak basa-basi. Jika pihak mereka banyak permintaan kita cari investor lain.“Baik, Pak.”Ting.Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka, keduanya menuju ruangan ujung sebelah kanan, tempat berlangsungnya meeting yang akan menguras banyak waktu.Samarinda, IndonesiaSaat Purple akan membuka pintu mobil hitam yang mengantarkannya sampai depan rumah, Rudra bertanya, “Akankah hubungan kita berubah?”“Kalau udah tahu hubungan kita gak akan sama seperti dulu lagi, bukankah sebaiknya gue ngak perlu tahu gimana perasaan
Chapter 26Tin … tinSuara klakson dari sebuah mobil hitam yang terasa sangat familiar menarik perhatian Purple yang tengah berdiri di pinggir jalan menunggu taksi dengan tangan menenteng sebuah koper. Dia akhirnya memilih pulang sendiri karena Alfa hari ini sakit dan pacarnya mendadak harus ke Malaysia untuk negoisasi harga dengan customer barunya.“Masuk,” perintah laki-laki dari dalam mobil setelah kaca bagian penumpang terbuka. Sebelum memutuskan untuk mengikuti perintah laki-laki itu, Purple mengangkat kopernya. Sebagai kode minta tolong agar supir ganteng itu mau menaruh kopernya di bagasi. Begitu sang supir keluar dari mobil dan mengambil alih koper dari tangan Purple, sang pemilik justru dengan santainya masuk ke dalam mobil.“Lo habis dari mana?” tanya Purple seraya memakai sabuk pengamannya.“Abis service monitorku rusak.”“Oh ….” Setelah mengucapkan sepatah kata itu Purple menyandarkan kepalanya dan perlahan menutup mata.“Lo habis dari mana? Berhari-hari ngak bisa dihubungi
Chapter 25Lebih baik dari perkiraan, ternyata tak sampai seminggu luka Morgan sudah mengering. Lima hari berlalu begitu saja tanpa terasa. Seperti sebelumnya, Purple tetap tekun dengan pekerjaannya. Sama sekali tak goyah dengan rengekan Morgan tiap kali wanita itu ingin berangkat kerja. Dan entah disengaja atau memang benar sibuk, Purple selalu pulang malam. Itulah yang ada di pikiran Morgan tiap kali pacarnya pulang jam 19.00 WITA.Aktivitasnya yang begitu padat membuat rumah Morgan hanya jadi tempat persinggahan untuk tidur. Tiap selesai memberikan obat dan mengganti perban, mereka mengobrol ringan. Kadang Purple tertidur saat obrolan mereka belum berakhir. Dan seperti biasa Morgan hanya dapat menahan hasratnya selama beberapa hari itu dengan amat tersiksa. Apalagi saat wanita itu tertidur di bahunya dengan hanya mengenakan tank top dibalut outer tipis. Outer berbahan satin yang kadang terbuka tanpa sengaja seakan terus mengejek dirinya ya
Chapter 24Selepas kepergian Desi yang berhasil membuat mood-nya berantakan, Purple membereskan sisa sarapan yang baru dia makan setengah. Dia buang sisanya karena nafsu makannya hilang seketika. Menutup jatah sarapan Morgan dengan tudung saji di atas meja makan, lalu pergi ke kamar mandi.30 menit kemudianKeluar dari kamar mandi Purple merapikan sedikit bagian dapur yang berantakan. Membuang sampah yang berserakan di meja, menaruh beberapa makanan dan minuman ke dalam kulkas, terakhir dia manyapu dan mengepel lantai agar terlihat bersih. Kemudian menuju kamar tidur mengambil shoulder bag-nya. Mengeluarkan beberapa buah peralatan make up yang akan dia gunakan untuk merias diri.Merasa penampilannya sudah sempurna dengan baju kasualnya, Purple menghampiri Morgan yang masih tertidur. Mengecup kening pria itu sambil berkata, “Aku berangkat kerja, ya.” Diikuti senyuman tipis di bibirnya yang berwarna peach.
Samarinda-Sinar baskara yang menerobos gorden putih di kamar tidur Morgan membuat mata Purple terasa silau. Dia mengerjap untuk sesaat. Berusaha menyadarkan diri bahwa ini adalah kali pertama dia tidur di rumah seorang pria yang bahkan tidak pernah terpikir sedikit pun mereka akan bertemu lagi setelah sekian lama. Sebuah takdir yang sulit dipercaya. Di tengah keputus asaannya dulu mencari cinta yang hilang ternyata Tuhan sudah mengatur waktu yang paling tepat bagi mereka untuk bertemu kembali. Entah takdir atau kebetulan, dia tetap merasa bersyukur.Purple memiringkan badannya ke kanan. Mengamati dengan saksama durja rupawan seorang pria yang menemaninya tidur semalam. Setiap pahatan indah dalam diri pria itu seakan tak memiliki cela di dalamnya. Dalam tuturnya yang lembut dan setiap perlakuan terhadap dirinya penuh dengan perhatian serta pertimbangan. Agar tak menyakiti atau melukai. Menggambarkan dengan jelas perasaan takut kehilangan dan ditinggalkan seperti dulu.S
Ruangan yang semula dipenuhi suara erangan Purple mendadak berubah hening karena kepergian dua manusia itu ke tempat yang berbeda. Purple memutuskan untuk membersihkan diri, sementara Morgan memilih untuk menahan gairah yang tadi sempat membara dengan menyulut sebatang tembakau di teras rumah. Hanya itu satu-satunya pelarian yang tersisa mengingat dia sudah bertekad untuk tak menjadi pecandu alkohol lagi dan hidup lebih baik demi wanita yang dicintainya.“Kenapa merokok? Kondisimu kan lagi ngak baik.” Suara lembut wanita yang muncul di belakangnya membuat Morgan kaget. Buru-buru dia membuang rokok yang baru terisap setengah itu dengan asal, lalu menyeka bibirnya agar tidak terlalu bau.“Apa ada hal buruk sampai kamu merokok lagi?” Morgan menggeleng.“Aku hanya sedang melampiaskan hasrat yang tak tersalurkan. Kamu tahu, kan aku ini pria dewasa dengan usia yang tepat untuk menyalurkan hasrat.”Deg!Purple tahu betu
Peringatan: Konten ini mengandung adegan dewasa, seperti pakaian minim, konsumsi minuman keras, rokok, adegan intim, adegan lainnya yang tidak sesuai untuk pembaca di bawah umur. Bagi pembaca di bawah umur, atau tidak nyaman dengan hal tersebut, tidak dianjurkan untuk membacanya.Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WITA. Langit yang semula terang perlahan meredup. Diiringi matahari yang berangsur membenamkan diri. Usai membantu Morgan merapikan diri, Purple kembali ke dapur. Memanasi sisa sayur tadi siang yang masih banyak, lalu memasukkan baju-baju kotor ke keranjang di samping mesin cuci.“Sayurnya udah kupanasin, nanti kalau mau makan tinggal ambil aja.”“Memang kamu mau pergi ke mana?”“Aku mau beresin barang-barangku dulu, besok pagi baru ke sini lagi.”Raut wajah Morgan terlihat tak senang mendengar pernyataan kekasihnya.“Aduh …,” teriak Morgan tiba-tib
Belum puas dengan ciuman yang berlangsung hampir 20 menit, Morgan dengan terpaksa mengakhirinya.“Jika aku tak berhenti sekarang mungkin akan terjadi hal di luar batas kendaliku. Sebab aku sudah tak bisa menahannya lebih lama lagi. Apa kamu tetap ingin meneruskannya?”Purple terlihat kebingungan dan terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya dia memutuskan untuk menggeleng. Morgan justru tersenyum melihat reaksi Purple yang tampak malu-malu.“Aku tahu kamu akan menolak, maka dari itu aku menanyakannya terlebih dulu. Karena aku sangat menghormatimu, jadi aku tak akan melakukan hal-hal yang nantinya akan membuatmu membenciku. Terima kasih sudah membantuku keramas.” Purple mengangguk. Entah kenapa dia berubah jadi lebih kalem.“Ka…mu ngak ma…rah?”“Marah? Ngak, tuh. Marah kenapa?”“Karena aku ….”“Justru aneh kalau kamu mau melakukannya sekarang seba
Selesai memasak bersama keduanya duduk di ruang makan. Satu persatu Purple meletakkan makanannya di atas kenap. Sementara Morgan tak sabar ingin menyantap makanan yang dibuat Purple seraya memegangi sendok dan garpu di kedua sakalnya. Terakhir, tak lupa Purple mengambil air mineral dingin beserta dengan dua buah gelas untuk mereka minum.Usai berdoa, kedua serempak berucap, “selamat makan.”Piring yang berisi tumpukan nasi mulai dihiasi dengan lauk pauk dan sayur yang baru saja matang. Purple memutuskan memasak baby buncis bumbu bawang putih dan ayam goreng terasi.“Hmmm ….”“Gimana rasanya? Enak ga?” Morgan tak bisa menjawab pertanyaan Purple karena mulutnya dipenuhi makanan. Dia hanya bisa memberikan isyarat dengan mengacungkan jempol.“Khas Purple sekali. Aku kangen banget masakanmu.” Pernyataan Morgan itu entah mengapa membuat Purple merasa terharu.“Makan yang banyak,