Share

Chapter 4

Udara dingin menembus kemeja biru yang dikenakan Purple. Dia berusaha menghangatkan diri dengan mendekapkan kedua tangannya ke dada. Karena tadi pagi pergi dengan terburu-buru, dia lupa tidak membawa sweater. Ditambah dia mengenakan rok mini yang membuat bulu kuduknya merinding saat angin berembus.

Beberapa kali dia memerhatikan kendaraan yang melintas di depannya. Sudah 30 menit berlalu dan belum ada tanda-tanda kedatangan seseorang yang ditunggu. Baterai gawai-nya pun habis saat dia akan menelepon orang itu.

Sementara itu di tempat yang tak jauh dari Purple berdiri ada sebuah mobil sedan putih yang sedari tadi memerhatikannya. Selama 30 menit pria itu masih diliputi rasa gundah dan bimbang. Berusaha menenangkan diri dengan mengetukkan jarinya di atas setir. Pertanyaan, “Ajak bareng, nggak?” terus memenuhi pikirannya. “Kalau aku anterin pulang nanti dia salah paham dikira aku udah maafin dia. Emang aku cowok apaan?”

Tapi pertanyaan itu diabaikan saat dia melihat kondisi wanita di depannya yang kedinginan.

“Kalau nggak aku anterin, dia sendirian, kasian. Ini udah malam, sepi pula. Tega banget gue sebagai laki-laki.”

“Ah, tau, ah. Tunggu 5 menit lagi aja deh.”

Di tengah rasa galau yang tak berujung itu tiba-tiba ada sebuah motor besar menghampiri. Pria berperawakan tinggi besar yang mengenakan helm itu mendaratkan  motornya tepat di depan wanita itu berdiri. Lalu melepaskan hoodie yang dikenakan dan memberikannya pada Purple. Perhatiannya tak hanya sampai di situ.

Saat wanita itu tengah memakai hoodie, pria itu dengan sigap mengambil tas laptop yang dijinjing Purple. Tatapan pria itu tak lepas dari wanita di hadapannya. Sesekali mereka terlihat bersenda gurau.

“Sial!” ucap Morgan sembari memukul setir mobilnya. Dengan kecepatan tinggi dia menyalip motor dua orang yang tengah berboncengan tadi.

Di sepanjang perjalanan

“Lama banget jemputnya.”

“Sorry, tadi gue mesti revisi kerjaan dulu. Kliennya minta malam ini dikirim. Lo udah nunggu lama, ya?”

“Banget. Sampai lumutan kaki gue.”

“Lebay banget.”

“1/2 jam eeeuuyyy. Itu kalau muterin lapangan bola udah dapat keringet.”

“Iya, iya. Maaf.”

“Kirain tadi lo ada kencan terus lupa jemput gue.”

“Kencan apaan, sih? Sama siapa juga?”

“Itu cewek yang dijodohin sama Mama lo, tuh. Siapa namanya gue lupa.”

“Gak tahu. Gue juga nggak inget-inget.”

“Emang udah gak pernah berhubungan lagi?”

“Males. Manja banget orangnya. Dikit-dikit jemput dong, temenin dong, ke sini dong. Emang gue supirnya.”

“Lah gue juga sama kek gitu, tapi lo gak pernah marah. Atau jangan-jangan dalam hati lo ngedumel tiap gue minta jemput.”

“Baru sadar lo kalau nyusahin.”

“Sialan,” ucapnya sambil memukul helm si cowok.

“Sakit, ih.”

“Besok gak usah jemput lagi.”

“Ya udah bagus. Awas aja kalau tiba-tiba WA, “Ru, di mana? Bisa jemput gak?” Purple tertawa terbahak-bahak mendengarkan pria itu menirukan kalimat WA yang sudah dihafal di luar kepala.

Sesampainya di depan rumah Purple

“Lo nggak mampir dulu?”

“Gak, ah, udah malem, gak enak.”

“Ya udah, makasih ya.”

“Makasih doang? Traktir dong yang habis dapat project baru.”

“Iya, iya. Mau makan apa lo?”

“Makanan Jepang.”

“Ya udah, kapan?”

“Nanti gue kabarin.” Purple mengangguk.

Hoodie-nya besok aja, ya. Gue cuci dulu.”

“Tahu aja udah waktunya nyuci.”

“Tahulah, orang bau banget.”

“Padahal tadi udah gue semprot itu pake parfum sebotol.”

“Parfum sebotol gak ngilangin bau ketek lo.”

“Sialan!”

“Udah, ah, gue masuk dulu.”

“Iya udah sana. Mandi pake air anget ya.”

“Bawel.”

Yeee, dikasih tahu baek-baek dibilang bawel.”

Purple meninggalkan pria itu seraya melambaikan tangan. Setelah memastikan Purple masuk rumah, pria itu menyalakan motornya kembali. Menuju ke beberapa rumah di depannya.

“Baru pulang? Malem banget pulangnya padahal hari pertama kerja.”

“Hmmm …,” jawab Purple malas.

“Pulang sendiri?”

“Sama Rudra.” Mendengar nama Rudra sang Mama langsung menghampiri Purple yang selesai melepas sepatu.

“Kalian belum ada tanda-tanda akan menjalin hubungan lebih serius? Mama lihat Rudra sayang sekali lho, sama kamu. Sering antar jemput kamu. Dia juga selalu ada buat kamu.”

“Udah, deh, Ma tiap hari itu terus yang diomongin, emang gak capek apa? Udah berapa kali Purple bilang kalau kita gak ada hubungan apa-apa. Gak ada yang punya perasaan lebih, baik Rudra maupun Purple. Tolong, ya, Mah, saya baru pulang jangan bikin bad mood.” Purple bergegas menaiki tangga menuju kamarnya. Menghindari topik pembicaraan yang terus berulang setiap hari itu.

Setelah gagal menjodohkannya dengan duda kaya 5 tahun lalu dan melihat dirinya belum punya pacar juga, entah sudah berapa pria yang disodorkan Mamanya. Tak hanya mencarikan pria baru, mamanya juga gencar menjodohkannya dengan Rudra-sahabat kecilnya. Sejak kapan mereka ada apa-apa? Itu nggak akan pernah terjadi.

“Gue capek dengerin Mama yang tiap hari nyebutin nama lo terus. Lo kasih pelet apa sih sama Mama gue? Heran.” Rudra yang baru membuka chat Purple langsung tersenyum lebar.

“Pelet ikan. Puas, lo?”

“????”

“Lagi sembarangan aja nuduh gue pake pelet. Gak usah pake pellet, cewek-cewek juga udah klepek-klepek sama gue.”

“Iya cewek yang antri banyak, tapi status masih jomlo aja.”

“Bawa-bawa status lagi.”

The fact.”

“Gue bukan gak bisa dapet cewek ya, tapi gue lagi masa memantau.”

“Kayak mau razia narkoba aja memantau segala. Udah, ah gue mau mandi.”

“Siapa juga yang chat duluan.”

Obrolan mereka berakhir saat Mama Rudra menyuruhnya untuk segera mandi.

“Kamu tuh hampir tiap hari antar jemput anak tetangga, emang gak capek apa?” Topik obrolan yang sebenarnya sangat ingin Rudra hindari setiap kali di meja makan.

“Apaan, sih, Ma. Rudra sama Purple udah temenan sejak kecil. Purple juga sering bantu Rudra pas sekolah. Nggak usah kayak gitulah, Ma.”

“Gak pa-pa, sih, asal nggak ada hubungan spesial aja.”

“….” Rudra memilih tak menjawab agar topik itu segera berakhir.

Rudra kembali ke kamar tidur usai makan dengan kedua orang tuanya dalam suasana yang kurang menyenangkan. Dia raih telepon genggamnya yang ada di atas Kasur.

“Udah tidur?” Rudra melihat terakhir kali wanita itu online 30 menit yang lalu. Sudah tidur mungkin, pikirnya. Dia letakkan kembali gawainya ke tempat semula. Memilih mengambil rokok di atas nakas, lalu menuju balkon. Berdiri menatap langit pekat dengan hiasan bulan sabit. Perlahan menyesap sebatang rokok yang ujungnya sudah disulut api. Menikmati angin malam seraya menatap ke salah satu rumah.

Bahkan aku bisa melihat kamarmu dari jarak sedekat ini, tapi kenapa terasa jauh dari jangkauanku.

Rudra memejamkan mata, pikirannya mendadak kalut dengan sikap Mamanya yang sejak dulu tak menyukai Purple. Entah kapan hati wanita yang menyayanginya itu akan luluh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status