“Pagi, Pak.”
Para karyawan yang semula serius dengan pekerjaan masing-masing segera bangkit dari duduknya. Mengucap salam pada bosnya yang baru menunjukkan batang hidung pada pukul 10 pagi. Padahal tim marketing sudah menunggu sejak satu jam yang lalu.
Morgan ditemani Alfa segera menuju ruang meeting.
“Maaf, saya terlambat,” ucapnya sambil berjalan menuju seliri yang telah disediakan.
“Langsung saja, ya. Secara garis besar mungkin sudah disampaikan oleh manajer kalian. Dengan pembagian tugas yang jelas ini saya harap kinerja tim pemasaran bisa lebih baik lagi.” Netra Morgan memerhatikan dengan saksama semua peserta meeting yang terlihat tegang.
“Saya sudah menerima laporan penjualan perusahaan selama beberapa bulan ini dan tidak ada perubahan signifikan. Hasilnya ya, segitu-segitu aja.” Morgan menarik napas dalam.
“Sebuah perusahaan jika ingin maju harus menaikkan angka penjualannya. Saya rasa tim pemasaran tahu betul akan hal itu. Jadi, saya ingin setiap minggu manajer ada laporan progress pekerjaan kalian. Entah new customer, repeat order atau perluasan area penjualan. Agar saya bisa ikut memantau dan memperbaiki apa yang kurang. Dan tentu jika hasil kalian sesuai dengan harapan perusahaan, saya akan memberikan bonus yang sesuai.”
Prok … prok.
Morgan menutup meeting dengan suasana menyenangkan. Tim pemasaran juga mulai menunjukkan gairah kerja yang berbeda dari biasanya. Saat Morgan melintasi meja Purple entah mengapa ada perasaan berbeda dari sebelumnya. Padahal dia pikir kemarin adalah awal pertemuan yang baik.
“Kenapa dia datang siang dengan mata merah?” Dia juga terlihat kesal.
Tok … tok … tok.
Alfa memersilakan Purple yang berada di luar ruangan untuk masuk.
“Ada yang mau saya bicarakan dengan pak Morgan.” Alfa merentangkan tangan memersilakan.
“Pak … ada yang mau saya diskusikan mengenai ….”
“Diskusi dengan Alfa aja, saya sibuk.” Lelaki itu mengatakannya tanpa menatap wajah Purple. Walau bertanya-tanya, Purple dengan langkah berat menuju meja Alfa. Sekretaris yang kerap memakai kacamata itu menyuruh Purple agar duduk di sofa saja. Wanita itu segera membuka draft gambar yang baru selesai dia buat.
“Begini, Pak, untuk ruang sekretaris di kantor lama, saya rasa kurang privasi. Apalagi jika nanti ada beberapa orang sekretaris. Terlalu sempit juga. Saya sudah mendesain ulang untuk ruangan yang baru agar lebih fresh, terlihat luas dan lebih private, yang ini Pak.” Purple menunjuk ke salah satu gambar yang dia lingkari.
Keduanya terlihat sangat serius mendiskusikan perihal letak ruang sekretaris yang akan ditata ulang.
“Ehem ….” Serentak Alfa dan Purple memandang ke arah Morgan yang baru saja berdehem. Tak sadar mereka duduk berdekatan. Menyadari hal itu keduanya saling menjauhkan diri.
“Bos … mau kopi?” Alfa menawarkan bosnya yang tadi pura-pura batuk agar suasana mencair.
“Hmmm ….” Purple menggeleng seraya mengucap terima kasih saat Alfa menawarinya kopi juga.
Ruangan itu jadi hening setelah kepergian Alfa ke pantri. Purple yang kebetulan membawa gawai memilih untuk membuka benda pipih itu lalu memainkannya asal. Dia membuka aplikasi W******p dan melihat status teman-temannya.
“Bisa pulang jam 20.00 lagi, nih.” Status itu disertai dengan foto sebuah komputer yang memerlihatkan desain belum selesai milik Rudra.
“Kenceng, nih.” Purple memberikan tanggapan atas status Rudra itu.
“Ototnya.” Purple tersenyum membaca balasan Rudra. Morgan melirik tajam pada wanita yang duduk di sofa sambil senyum-senyum sendiri itu.
“Ehem ….” Refleks Purple menoleh ke asal suara, lalu memasukkan gawainya segera ke saku blazer yang dikenakan. Kemudian berjalan pelan tanpa menimbulkan suara sepatu ke arah meja Morgan.
“Bapak haus? Mau diambilkan minum?” Purple mengatakannya seraya memiringkan kepala, menggoda Morgan yang sedari tadi tak fokus bekerja. Dengan wajah cemberut Morgan menjawab, “Gak usah.”
“Ya, sudah.” Purple mengangguk-angguk pelan lalu berjalan kembali menuju sofa. Membuka kembali gambar yang tadi sempat ditutup.
Drrrttt … drrttt … drrrttt.
Sebuah panggilan masuk ke telepon genggam Morgan. Tertulis nama Laura.
“Hi, Babe …. How are you?”
“I’m fine, Uncle. When you come back here?”
“Why? Do you miss me?” Morgan mengencangkan suaranya seraya berjalan menuju tempat dispenser yang berdekatan dengan sofa untuk mengambil air mineral.
“Yeah, I miss you.”
“I miss you, too. Muaaccchhh.” Morgan melirik wanita di sampingnya. Purple tak bergeming. Dia masih fokus melihat gambarnya dan menandai beberapa object yang nanti akan dia diskusikan kembali dengan Alfa. Sama sekali tak tertarik dengan percakapan mesra yang berlangsung antara laki-laki yang berdiri di sampingnya entah dengan siapa.
Tok … tok.
“Ini Pak, kopinya.” Alfa meletakkan sebuah cangkir berisi kopi ke atas meja atasannya lalu kembali ke sofa. Melanjutkan diskusinya dengan Purple.
“Jadi gimana, Pak? Bapak setuju dengan konsep ini?” Terlihat Morgan berjalan menuju meja kerja Alfa, mencari-cari sesuatu, lalu mengambilnya dan kembali ke mejanya.
“Al, periksa email dulu. Pak Frans bilang ada email ke kita.”
“Baik, Pak.” Alfa kembali ke meja dan melaksanakan perintah bosnya. Setelah selesai, dia kembali berbicara dengan Purple untuk menyetujui konsep yang diajukan. Morgan ke meja Alfa lagi, entah apa yang dicari tapi sekarang lebih lama dan seperti seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka berdua.
“Cari apa, Bos?”
“Emmm …. Itu laporan penjualan bulan Mei.”
“Sudah saya taruh di meja Bapak.”
“Kalau ada saya gak cari di sini.” Dengan jengkel Alfa menghampiri atasannya sambil berbisik, “ Bilang aja kalau emang gak suka saya ngobrol sama dia.” Morgan melotot. Alfa pura-pura tak melihat reaksi bosnya dan justru membalikkan badan menatap Purple.
“Bu, maaf sepertinya saya harus pergi sebentar. Ada barang pesanan yang harus saya ambil sekarang.”
“Oh, iya gak apa-apa, Pak. Kita bisa lanjutkan nanti aja,” jawab Purple santai.
“Saya pergi agak lama, Bu, jadi silakan dilanjutkan dengan pak Morgan.” Morgan masih bengong menatap kepergian Alfa yang buru-buru.
Emang aku pesan barang apa? Dengan muka bingung dia berjalan ke arah sofa.
“Kalau memang Bapak sibuk saya bisa lanjutkan lagi nanti sama pak Alfa. Saya tak ingin jadi beban orang yang se-da-ng si-buk.” Purple berdiri, berniat akan meninggalkan ruangan.
“Tunggu!” Refleks tangan Morgan meraih tangan Purple yang sudah berdiri.
“Kalian diskusi sampai mana?” Sadar sikapnya membuat Purple bingung, Morgan segera menarik tangannya kembali.
“Sampai sini, Pak.” Purple menunjuk objek terakhir yang tadi dia bicarakan dengan Alfa. Pria itu menanggapinya dengan serius dan memberikan masukan sesuai keinginannya.
“Bikin satu ruangan lagi di dekat ruangan saya.”
“Ini sudah saya siapkan untuk ruangan pak Alfa, Pak.”
“Bukan buat Alfa.”
“Lantas?”
“Buat kucing kesayanganku.”
“Pffttt ….”
“Kenapa ketawa? Aku serius, lho.” Tatapannya tajam melihat Purple yang menahan tawa.
“Iya, iya, Pak, nanti saya buatkan di dekat ruangan Bapak.”
“Bikin ruangan yang luas, serba hijau, karena dia suka warna hijau dengan dekorasi minimalis.” Purple menuliskannya seraya menahan senyum.
“Jadi, piaran Bapak kucing atau kambing ini?”
“Singa! Puas?” Purple tak dapat menahan gelak tawanya. Morgan memandangi wajah mungil itu dalam-dalam. Baru kali ini dia mendengar tawa renyah gadis itu.
Happy Monday... Nungguin, ya? Maaf kemarin sempat sakit dan ngak kuat ngapa-ngapain kayak orang jompo jadi baru sempat update lagi. Cus langsung baca. Jangan lupa tinggalkan jejak, like dan share sebanyak-banyaknya untuk dukung penulis. Thank you. Happy reading
"Mood Bapak udah baikan?” sindir Purple seraya menutup rancangan gambar yang masih harus direvisi lagi. Morgan memilih bungkam.Semilir angin berembus dari air conditioner yang mengarah ke tempat duduk mereka membuat suasana makin canggung dan kaku. Sesekali tercium wangi lavender dari pengharum ruangan yang tergantung pada alat pengatur suhu ruangan itu.Melihat Morgan yang tetap bungkam, Purple memiringkan kepala, menatap lekat-lekat pria itu. Memerhatikan dengan saksama setiap sentuhan Tuhan pada makhluk yang sangat tampan itu. Semua masih sama seperti dulu. Mata almond yang membuat lawan bicaranya bertekuk lutut serasi dengan alis tebal di atasnya. Dan jika diperhatikan dalam-dalam, hidung buttonnya selalu menjadi bagian paling manis di antara bagian lainnya.“Kenapa?” Purple menggeleng.“Bibir Bapak seksi.”Deg!“Ehem ….” Sungguh sebuah kalimat di luar dugaan. Entah sejak kapan wanita yang dulu dikenal kalem jadi sevulgar ini. Apa karena dia sudah menikah jadi bebas bicara hal-hal
“Kamu cemburu?” Purple berjalan pelan menuju meja Morgan yang pura-pura serius dengan pekerjaannya.“Mau gak dengerin penjelasan aku dulu?” Wanita itu memberanikan diri menyentuh jari kelingking kiri Morgan.Deg! Hati Morgan kembali goyah hanya dengan sentuhan kecil seperti itu.“Pria yang semalam menjemputku namanya Rudra. Dia teman masa kecilku sekaligus tetangga.” Morgan menghentikan tangan kanannya yang sedari tadi sibuk dengan mousenya. Sambil mengatakan itu Purple kembali menyentuh jari manis Morgan.“Sejak kecil kita selalu main bareng, sekolah pun berangkat dan pulang bersama. Dia juga suka kumintain tolong buat jemput kalau aku pulang malam. Kadang juga berangkat kerja bareng.” Kali ini jemari Purple sudah menyentuh jari telunjuk Morgan.“Nanti kalau ada waktu aku kenalin sama dia biar kamu gak cemburu lagi.” Purple berhasil mengenggam jemari Morgan seluruhnya lalu mengenggamnya. Membuat pria itu mati kutu.“Aku bisa ceritain lebih banyak lagi tentang dia kalau kamu mau. Yang
Suasana di dalam mobil begitu hening hingga membuat kedua orang yang baru selesai mengisi perut di sebuah restoran seafood itu merasa canggung. Tak ada topik yang bisa dijadikan bahan obrolan.“Kapan kekasihmu akan ke Indonesia?” Morgan mengangkat bahunya.“Kalian gak ada niat buat putus?” Hampir saja Morgan menginjak pedal rem mendadak mendengar pertanyaan mengejutkan itu. Benar-benar gadis random yang tak bisa ditebak isi pikirannya sama sekali. Dia pikir dengan berpura-pura memiliki pacar, gadis di sampingnya ini akan berhenti menggodanya dan cemburu, ternyata pemikirannya justru sebaliknya.“LDR itu berat, lho. Mending cari yang lain aja, yang sudah teruji kesetiaannya. Nanti kalau di sana dia selingkuh juga gimana? Kamu gak takut?”“Mana mungkin keponakanku yang masih balita itu bisa selingkuh?” batin Morgan menahan tawa.“Aku lebih takut pada wanita yang sudah kudampingi bertahun-tahun tiba-tiba berkhianat dan akan menikah dengan pria lain.”Purple merapatkan bibirnya, sebelum a
“Al, reschedule meeting dengan supplier kopi di Lampung. Kalau bisa besok.” Instruksi bosnya saat jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Entah ada apa dengan atasannya itu, tapi sejak bersua kembali dengan mantan pacarnya yang bikin gagal move on, mood-nya naik turun tak menentu. Seperti wanita yang lagi PMS.Padahal kemarin saat dirinya mengajukan jadwal pertemuan dengan supplier lebih cepat dengan tegas bosnya itu menolak karena berbagai alasan. Sekarang tiba-tiba memberikan perintah yang tak masuk akal. Ingin sekali rasanya berteriak jika tak ingat sudah tengah malam.Dia kembali meraih telepon genggam yang tadi sempat dilemparkan ke tilam sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Membuka aplikasi chat lalu mengetikkan sebuah nama yang beberapa hari lalu dia hubungi untuk mengatur ulang jadwal pertemuan dengan bosnya. Saat menemukan kontak wanita itu dan masih berstatus online, Alfa merasa Tuhan menyelamatkan dirinya dari teriakan maut bosnya besok pagi andai reschedule gagal.“Malam Ibu
Morgan agak kecewa saat mengetahui jika wanita yang dirindukannya ternyata hari ini tidak datang ke kantor. Padahal dia sudah berangkat lebih awal daripada biasanya agar bisa bertemu dengannya. Kantor yang terasa lebih hangat dengan kehadiran wanita itu jadi terasa sepi dan asing. Ah, mood-ku jadi berantakan, batinnya seraya menatap ke arah meja Purple yang tak berpenghuni.Demi mengembalikan mood-nya yang buruk, dia berdiri di dekat jendela. Menatap mentari yang malu-malu menampakkan diri dari ufuk timur. Dan saat menatap ke bawah terlihat rumah penduduk yang lebih padat dibanding 5 tahun yang lalu. Satu persatu warga mulai memerlihatkan aktivitas hariannya.Merasa cukup dengan kegiatan bersantai itu Morgan kembali ke tempat duduknya. Membuka salah satu tumpukan dokumen di atas meja dengan malas. Padahal baru sehari ditinggal pergi, tapi tumpukan itu sudah bertambah lagi dan lagi, seakan tak ada habisnya. Dia akan fokus menyelesaikan semua dokumen itu agar bisa melupakan wanita mungil
Sudah 10 menit berlalu dan Purple belum merasa jemu menatap paras tampan pria yang duduk di sampingnya. Sesekali pria yang sibuk dengan kemudinya itu menoleh ke arahnya sebentar lalu fokus lagi ke depan. Tak ada niatan sedikit pun untuk melepas genggaman tangan sejak keduanya memasuki sedan putih itu.“Why?” tanya Morgan penasaran. Purple menggeleng sambil tersenyum.“Aku sangat bahagia sampai bingung bagaimana harus mengekspresikannya.” Morgan tersenyum mendengar pengakuan jujur wanita itu. Keduanya memutuskan pulang bersama setelah memastikan perasaan masing-masing kembali seperti dulu.“Kalau udah mutusin buat ugal-ugalan, kamu harus bertanggung jawab sampai akhir, lho.”Purple kembali tersenyum lalu menjawab, “Siap, Bos.” Dilanjutkan dengan mengecup punggung tangan pria yang mengenggam erat jarinya. Sikap manis yang membuat jantung Morgan jadi tak karuan.“Aku lagi nyetir, Sayang….”“Iya tahu, kok. Terus kenapa?”“Kalau kamu godain aku terus bisa-bisa tujuan kita bukan pulang ke ru
Morgan menghentikan tangannya yang tengah menandatangani sebuah laporan saat melihat Dilan menyambangi meja wanita yang semalam sudah dipatenkan menjadi miliknya. Tanpa sadar dia memindahkan pulpen di tangannya ke atas bibir seraya memutar roda bangkunya. Mata almond-nya mengamati dengan saksama apa yang tengah dilakukan salah satu karyawan juniornya itu.Penasaran apa yang Purple terima dari pria itu, Morgan bergegas keluar ruangan. menuju meja kerja wanita itu.Tok … tok.Purple mendongakkan kepala saat mendengar ketukan di mejanya.“Ya …, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan itu nyaris lewat begitu saja karena perhatian pria itu justru tertuju pada kue lapis dan satu cangkir kopi susu di atas meja yang didatanginya.“Pak?”“Ehem …. Saya ingin tahu update perkembangan renovasi kantor lama sampai mana.”“Baik, Pak, saya akan segera ke ruangan Bapak
“Good morning, Sayang …,” sapa Morgan pada Purple yang baru saja menaiki mobilnya.Udara dingin di pagi hari sehabis hujan tak menyurutkan niat pria dari masa lalunya itu untuk menjalankan keinginan menjemput pacarnya dan berangkat kerja bareng.“Morning ….” Purple tersenyum.“Mana?” tanya Morgan.“Apanya?” Morgan menjawabnya dengan jemari telunjuk yang diarahkan ke pipinya sendiri. Purple mendengus. Tak habis pikir pagi-pagi sudah meminta absen kehadiran dengan kecupan.Saat Purple ingin mengecup pipinya, Morgan justru menoleh hingga membuat tempat mendarat bibir Purple berubah tempat jadi ke bibir pria itu. Purple agak terkejut untuk sesaat dan kembali tenang berkat senyuman yang mengembang di wajah tampan pacarnya.Mobil sedan putih itu melaju pelan meninggalkan gang rumah Purple yang masih terlihat sepi. Keempat roda yang terpasang pada kuda besi itu menyapu
Selangor, Malaysia – 09.00 pagi“Sial!” umpat Morgan setelah mematikan sambungan telepon dari sang kekasih. Walau tadi dia berusaha tenang dan menyembunyikan rasa cemburunya tetap saja dia merasa was-was jika sudah menyangkut sahabat kecil dari kekasihnya itu.Alfa yang berdiri di sampingnya tak berani menanyakan apa yang tengah membuat bosnya mendadak kesal saat meeting akan dimulai beberapa menit lagi.“Al, kita usahakan meeting ini selesai secepat mungkin. Ga usah terlalu banyak basa-basi. Jika pihak mereka banyak permintaan kita cari investor lain.“Baik, Pak.”Ting.Bersamaan dengan itu pintu lift terbuka, keduanya menuju ruangan ujung sebelah kanan, tempat berlangsungnya meeting yang akan menguras banyak waktu.Samarinda, IndonesiaSaat Purple akan membuka pintu mobil hitam yang mengantarkannya sampai depan rumah, Rudra bertanya, “Akankah hubungan kita berubah?”“Kalau udah tahu hubungan kita gak akan sama seperti dulu lagi, bukankah sebaiknya gue ngak perlu tahu gimana perasaan
Chapter 26Tin … tinSuara klakson dari sebuah mobil hitam yang terasa sangat familiar menarik perhatian Purple yang tengah berdiri di pinggir jalan menunggu taksi dengan tangan menenteng sebuah koper. Dia akhirnya memilih pulang sendiri karena Alfa hari ini sakit dan pacarnya mendadak harus ke Malaysia untuk negoisasi harga dengan customer barunya.“Masuk,” perintah laki-laki dari dalam mobil setelah kaca bagian penumpang terbuka. Sebelum memutuskan untuk mengikuti perintah laki-laki itu, Purple mengangkat kopernya. Sebagai kode minta tolong agar supir ganteng itu mau menaruh kopernya di bagasi. Begitu sang supir keluar dari mobil dan mengambil alih koper dari tangan Purple, sang pemilik justru dengan santainya masuk ke dalam mobil.“Lo habis dari mana?” tanya Purple seraya memakai sabuk pengamannya.“Abis service monitorku rusak.”“Oh ….” Setelah mengucapkan sepatah kata itu Purple menyandarkan kepalanya dan perlahan menutup mata.“Lo habis dari mana? Berhari-hari ngak bisa dihubungi
Chapter 25Lebih baik dari perkiraan, ternyata tak sampai seminggu luka Morgan sudah mengering. Lima hari berlalu begitu saja tanpa terasa. Seperti sebelumnya, Purple tetap tekun dengan pekerjaannya. Sama sekali tak goyah dengan rengekan Morgan tiap kali wanita itu ingin berangkat kerja. Dan entah disengaja atau memang benar sibuk, Purple selalu pulang malam. Itulah yang ada di pikiran Morgan tiap kali pacarnya pulang jam 19.00 WITA.Aktivitasnya yang begitu padat membuat rumah Morgan hanya jadi tempat persinggahan untuk tidur. Tiap selesai memberikan obat dan mengganti perban, mereka mengobrol ringan. Kadang Purple tertidur saat obrolan mereka belum berakhir. Dan seperti biasa Morgan hanya dapat menahan hasratnya selama beberapa hari itu dengan amat tersiksa. Apalagi saat wanita itu tertidur di bahunya dengan hanya mengenakan tank top dibalut outer tipis. Outer berbahan satin yang kadang terbuka tanpa sengaja seakan terus mengejek dirinya ya
Chapter 24Selepas kepergian Desi yang berhasil membuat mood-nya berantakan, Purple membereskan sisa sarapan yang baru dia makan setengah. Dia buang sisanya karena nafsu makannya hilang seketika. Menutup jatah sarapan Morgan dengan tudung saji di atas meja makan, lalu pergi ke kamar mandi.30 menit kemudianKeluar dari kamar mandi Purple merapikan sedikit bagian dapur yang berantakan. Membuang sampah yang berserakan di meja, menaruh beberapa makanan dan minuman ke dalam kulkas, terakhir dia manyapu dan mengepel lantai agar terlihat bersih. Kemudian menuju kamar tidur mengambil shoulder bag-nya. Mengeluarkan beberapa buah peralatan make up yang akan dia gunakan untuk merias diri.Merasa penampilannya sudah sempurna dengan baju kasualnya, Purple menghampiri Morgan yang masih tertidur. Mengecup kening pria itu sambil berkata, “Aku berangkat kerja, ya.” Diikuti senyuman tipis di bibirnya yang berwarna peach.
Samarinda-Sinar baskara yang menerobos gorden putih di kamar tidur Morgan membuat mata Purple terasa silau. Dia mengerjap untuk sesaat. Berusaha menyadarkan diri bahwa ini adalah kali pertama dia tidur di rumah seorang pria yang bahkan tidak pernah terpikir sedikit pun mereka akan bertemu lagi setelah sekian lama. Sebuah takdir yang sulit dipercaya. Di tengah keputus asaannya dulu mencari cinta yang hilang ternyata Tuhan sudah mengatur waktu yang paling tepat bagi mereka untuk bertemu kembali. Entah takdir atau kebetulan, dia tetap merasa bersyukur.Purple memiringkan badannya ke kanan. Mengamati dengan saksama durja rupawan seorang pria yang menemaninya tidur semalam. Setiap pahatan indah dalam diri pria itu seakan tak memiliki cela di dalamnya. Dalam tuturnya yang lembut dan setiap perlakuan terhadap dirinya penuh dengan perhatian serta pertimbangan. Agar tak menyakiti atau melukai. Menggambarkan dengan jelas perasaan takut kehilangan dan ditinggalkan seperti dulu.S
Ruangan yang semula dipenuhi suara erangan Purple mendadak berubah hening karena kepergian dua manusia itu ke tempat yang berbeda. Purple memutuskan untuk membersihkan diri, sementara Morgan memilih untuk menahan gairah yang tadi sempat membara dengan menyulut sebatang tembakau di teras rumah. Hanya itu satu-satunya pelarian yang tersisa mengingat dia sudah bertekad untuk tak menjadi pecandu alkohol lagi dan hidup lebih baik demi wanita yang dicintainya.“Kenapa merokok? Kondisimu kan lagi ngak baik.” Suara lembut wanita yang muncul di belakangnya membuat Morgan kaget. Buru-buru dia membuang rokok yang baru terisap setengah itu dengan asal, lalu menyeka bibirnya agar tidak terlalu bau.“Apa ada hal buruk sampai kamu merokok lagi?” Morgan menggeleng.“Aku hanya sedang melampiaskan hasrat yang tak tersalurkan. Kamu tahu, kan aku ini pria dewasa dengan usia yang tepat untuk menyalurkan hasrat.”Deg!Purple tahu betu
Peringatan: Konten ini mengandung adegan dewasa, seperti pakaian minim, konsumsi minuman keras, rokok, adegan intim, adegan lainnya yang tidak sesuai untuk pembaca di bawah umur. Bagi pembaca di bawah umur, atau tidak nyaman dengan hal tersebut, tidak dianjurkan untuk membacanya.Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WITA. Langit yang semula terang perlahan meredup. Diiringi matahari yang berangsur membenamkan diri. Usai membantu Morgan merapikan diri, Purple kembali ke dapur. Memanasi sisa sayur tadi siang yang masih banyak, lalu memasukkan baju-baju kotor ke keranjang di samping mesin cuci.“Sayurnya udah kupanasin, nanti kalau mau makan tinggal ambil aja.”“Memang kamu mau pergi ke mana?”“Aku mau beresin barang-barangku dulu, besok pagi baru ke sini lagi.”Raut wajah Morgan terlihat tak senang mendengar pernyataan kekasihnya.“Aduh …,” teriak Morgan tiba-tib
Belum puas dengan ciuman yang berlangsung hampir 20 menit, Morgan dengan terpaksa mengakhirinya.“Jika aku tak berhenti sekarang mungkin akan terjadi hal di luar batas kendaliku. Sebab aku sudah tak bisa menahannya lebih lama lagi. Apa kamu tetap ingin meneruskannya?”Purple terlihat kebingungan dan terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya dia memutuskan untuk menggeleng. Morgan justru tersenyum melihat reaksi Purple yang tampak malu-malu.“Aku tahu kamu akan menolak, maka dari itu aku menanyakannya terlebih dulu. Karena aku sangat menghormatimu, jadi aku tak akan melakukan hal-hal yang nantinya akan membuatmu membenciku. Terima kasih sudah membantuku keramas.” Purple mengangguk. Entah kenapa dia berubah jadi lebih kalem.“Ka…mu ngak ma…rah?”“Marah? Ngak, tuh. Marah kenapa?”“Karena aku ….”“Justru aneh kalau kamu mau melakukannya sekarang seba
Selesai memasak bersama keduanya duduk di ruang makan. Satu persatu Purple meletakkan makanannya di atas kenap. Sementara Morgan tak sabar ingin menyantap makanan yang dibuat Purple seraya memegangi sendok dan garpu di kedua sakalnya. Terakhir, tak lupa Purple mengambil air mineral dingin beserta dengan dua buah gelas untuk mereka minum.Usai berdoa, kedua serempak berucap, “selamat makan.”Piring yang berisi tumpukan nasi mulai dihiasi dengan lauk pauk dan sayur yang baru saja matang. Purple memutuskan memasak baby buncis bumbu bawang putih dan ayam goreng terasi.“Hmmm ….”“Gimana rasanya? Enak ga?” Morgan tak bisa menjawab pertanyaan Purple karena mulutnya dipenuhi makanan. Dia hanya bisa memberikan isyarat dengan mengacungkan jempol.“Khas Purple sekali. Aku kangen banget masakanmu.” Pernyataan Morgan itu entah mengapa membuat Purple merasa terharu.“Makan yang banyak,