Share

Chapter 6

“Pagi, Pak.”

Para karyawan yang semula serius dengan pekerjaan masing-masing segera bangkit dari duduknya. Mengucap salam pada bosnya yang baru menunjukkan batang hidung pada pukul 10 pagi. Padahal tim marketing sudah menunggu sejak satu jam yang lalu.

Morgan ditemani Alfa segera menuju ruang meeting.

“Maaf, saya terlambat,” ucapnya sambil berjalan menuju seliri yang telah disediakan.

“Langsung saja, ya. Secara garis besar mungkin sudah disampaikan oleh manajer kalian. Dengan pembagian tugas yang jelas ini saya harap kinerja tim pemasaran bisa lebih baik lagi.” Netra Morgan memerhatikan dengan saksama semua peserta meeting yang terlihat tegang.

“Saya sudah menerima laporan penjualan perusahaan selama beberapa bulan ini dan tidak ada perubahan signifikan. Hasilnya ya, segitu-segitu aja.” Morgan menarik napas dalam.

“Sebuah perusahaan jika ingin maju harus menaikkan angka penjualannya. Saya rasa tim pemasaran tahu betul akan hal itu. Jadi, saya ingin setiap minggu manajer ada laporan progress pekerjaan kalian. Entah new customer, repeat order atau perluasan area penjualan. Agar saya bisa ikut memantau dan memperbaiki apa yang kurang. Dan tentu jika hasil kalian sesuai dengan harapan perusahaan, saya akan memberikan bonus yang sesuai.”

Prok … prok.

Morgan menutup meeting dengan suasana menyenangkan. Tim pemasaran juga mulai menunjukkan gairah kerja yang berbeda dari biasanya. Saat Morgan melintasi meja Purple entah mengapa ada perasaan berbeda dari sebelumnya. Padahal dia pikir kemarin adalah awal pertemuan yang baik.

“Kenapa dia datang siang dengan mata merah?” Dia juga terlihat kesal.

Tok … tok … tok.

Alfa memersilakan Purple yang berada di luar ruangan untuk masuk.

“Ada yang mau saya bicarakan dengan pak Morgan.” Alfa merentangkan tangan memersilakan.

“Pak … ada yang mau saya diskusikan mengenai ….”

“Diskusi dengan Alfa aja, saya sibuk.” Lelaki itu mengatakannya tanpa menatap wajah Purple. Walau bertanya-tanya, Purple dengan langkah berat menuju meja Alfa. Sekretaris yang kerap memakai kacamata itu menyuruh Purple agar duduk di sofa saja. Wanita itu segera membuka draft gambar yang baru selesai dia buat.

“Begini, Pak, untuk ruang sekretaris di kantor lama, saya rasa kurang privasi. Apalagi jika nanti ada beberapa orang sekretaris. Terlalu sempit juga. Saya sudah mendesain ulang untuk ruangan yang baru agar lebih fresh, terlihat luas dan lebih private, yang ini Pak.” Purple menunjuk ke salah satu gambar yang dia lingkari.

Keduanya terlihat sangat serius mendiskusikan perihal letak ruang sekretaris yang akan ditata ulang.

“Ehem ….” Serentak Alfa dan Purple memandang ke arah Morgan yang baru saja berdehem. Tak sadar mereka duduk berdekatan. Menyadari hal itu keduanya saling menjauhkan diri.

“Bos … mau kopi?” Alfa menawarkan bosnya yang tadi pura-pura batuk agar suasana mencair.

“Hmmm ….” Purple menggeleng seraya mengucap terima kasih saat Alfa menawarinya kopi juga.

Ruangan itu jadi hening setelah kepergian Alfa ke pantri. Purple yang kebetulan membawa gawai memilih untuk membuka benda pipih itu lalu memainkannya asal. Dia membuka aplikasi W******p dan melihat status teman-temannya.

“Bisa pulang jam 20.00 lagi, nih.” Status itu disertai dengan foto sebuah komputer yang memerlihatkan desain belum selesai milik Rudra.

“Kenceng, nih.” Purple memberikan tanggapan atas status Rudra itu.

“Ototnya.” Purple tersenyum membaca balasan Rudra. Morgan melirik tajam pada wanita yang duduk di sofa sambil senyum-senyum sendiri itu.

“Ehem ….” Refleks Purple menoleh ke asal suara, lalu memasukkan gawainya segera ke saku blazer yang dikenakan. Kemudian berjalan pelan tanpa menimbulkan suara sepatu ke arah meja Morgan.

“Bapak haus? Mau diambilkan minum?” Purple mengatakannya seraya memiringkan kepala, menggoda Morgan yang sedari tadi tak fokus bekerja. Dengan wajah cemberut Morgan menjawab, “Gak usah.”

“Ya, sudah.” Purple mengangguk-angguk pelan lalu berjalan kembali menuju sofa. Membuka kembali gambar yang tadi sempat ditutup.

Drrrttt … drrttt … drrrttt.

Sebuah panggilan masuk ke telepon genggam Morgan. Tertulis nama Laura.

Hi, Babe …. How are you?

I’m fine, Uncle. When you come back here?

Why? Do you miss me?” Morgan mengencangkan suaranya seraya berjalan menuju tempat dispenser yang berdekatan dengan sofa untuk mengambil air mineral.

Yeah, I miss you.”

I miss you, too. Muaaccchhh.” Morgan melirik wanita di sampingnya. Purple tak bergeming. Dia masih fokus melihat gambarnya dan menandai beberapa object yang nanti akan dia diskusikan kembali dengan Alfa. Sama sekali tak tertarik dengan percakapan mesra yang berlangsung antara laki-laki yang berdiri di sampingnya entah dengan siapa.

Tok … tok.

“Ini Pak, kopinya.” Alfa meletakkan sebuah cangkir berisi kopi ke atas meja atasannya lalu kembali ke sofa. Melanjutkan diskusinya dengan Purple.

“Jadi gimana, Pak? Bapak setuju dengan konsep ini?” Terlihat Morgan berjalan menuju meja kerja Alfa, mencari-cari sesuatu, lalu mengambilnya dan kembali ke mejanya.

“Al, periksa email dulu. Pak Frans bilang ada email ke kita.”

“Baik, Pak.” Alfa kembali ke meja dan melaksanakan perintah bosnya. Setelah selesai, dia kembali berbicara dengan Purple untuk menyetujui konsep yang diajukan. Morgan ke meja Alfa lagi, entah apa yang dicari tapi sekarang lebih lama dan seperti seseorang yang sedang menguping pembicaraan mereka berdua.

“Cari apa, Bos?”

“Emmm …. Itu laporan penjualan bulan Mei.”

“Sudah saya taruh di meja Bapak.”

“Kalau ada saya gak cari di sini.” Dengan jengkel Alfa menghampiri atasannya sambil berbisik, “ Bilang aja kalau emang gak suka saya ngobrol sama dia.” Morgan melotot. Alfa pura-pura tak melihat reaksi bosnya dan justru membalikkan badan menatap Purple.

“Bu, maaf sepertinya saya harus pergi sebentar. Ada barang pesanan yang harus saya ambil sekarang.”

“Oh, iya gak apa-apa, Pak. Kita bisa lanjutkan nanti aja,” jawab Purple santai.

“Saya pergi agak lama, Bu, jadi silakan dilanjutkan dengan pak Morgan.” Morgan masih bengong menatap kepergian Alfa yang buru-buru.

Emang aku pesan barang apa? Dengan muka bingung dia berjalan ke arah sofa.

“Kalau memang Bapak sibuk saya bisa lanjutkan lagi nanti sama pak Alfa. Saya tak ingin jadi beban orang yang se-da-ng si-buk.” Purple berdiri, berniat akan meninggalkan ruangan.

“Tunggu!” Refleks tangan Morgan meraih tangan Purple yang sudah berdiri.

“Kalian diskusi sampai mana?” Sadar sikapnya membuat Purple bingung, Morgan segera menarik tangannya kembali.

“Sampai sini, Pak.” Purple menunjuk objek terakhir yang tadi dia bicarakan dengan Alfa. Pria itu menanggapinya dengan serius dan memberikan masukan sesuai keinginannya.

“Bikin satu ruangan lagi di dekat ruangan saya.”

“Ini sudah saya siapkan untuk ruangan pak Alfa, Pak.”

“Bukan buat Alfa.”

“Lantas?”

“Buat kucing kesayanganku.”

“Pffttt ….”

“Kenapa ketawa? Aku serius, lho.” Tatapannya tajam melihat Purple yang menahan tawa.

“Iya, iya, Pak, nanti saya buatkan di dekat ruangan Bapak.”

“Bikin ruangan yang luas, serba hijau, karena dia suka warna hijau dengan dekorasi minimalis.” Purple menuliskannya seraya menahan senyum.

“Jadi, piaran Bapak kucing atau kambing ini?”

“Singa! Puas?” Purple tak dapat menahan gelak tawanya. Morgan memandangi wajah mungil itu dalam-dalam. Baru kali ini dia mendengar tawa renyah gadis itu.

Dara Mahveen

Happy Monday... Nungguin, ya? Maaf kemarin sempat sakit dan ngak kuat ngapa-ngapain kayak orang jompo jadi baru sempat update lagi. Cus langsung baca. Jangan lupa tinggalkan jejak, like dan share sebanyak-banyaknya untuk dukung penulis. Thank you. Happy reading

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status