Morgan melepas asal sepatu dari kakinya. Melonggarkan dasi di lehernya dengan kasar, lalu menuju sofa. Brak! Dia menghentakkan kepalan tangannya ke atas meja dengan sorot mata berapi-api.
Sial! Bisa-bisanya gue tergoda lagi sama perempuan itu. Jelas-jelas dia sudah bersuami.
Dia merebahkan badannya ke sofa seraya memijat pelan pangkal hidung. Matanya terpejam. Dan tak terasa matanya tiba-tiba terasa sembab.
Bodoh banget gue. Segitu hebatnya dia sampai bisa bikin gue jadi kayak gini. Tuhan … tega sekali Engkau hukum aku seperti ini. Aku pernah tulus mencintainya dan dengan susah payah aku berusaha melupakan. Tapi dengan takdir-Mu aku bertemu lagi dengannya secepat ini. Dan bodohnya aku sempat merasa berdebar lagi saat di dekatnya. Aku harus bagaimana Tuhan?
Drttt ….
Getaran gawai Morgan membuyarkan lamunannya.
“Pak, sudah makan? Mau dipesenin makan apa?”
“Gak usah, Al. Lagi males makan.”
“Nanti sakit, Pak.” Morgan kembali meletakkan gawainya lalu menuju kamar mandi. Tak ada niatan untuk membalas lagi kekhawatiran sang sekretaris.
Di tempat itulah dia menenangkan diri. Kesal dan marah dengan dirinya sendiri yang merasa gagal melupakan wanita yang pernah menyakitinya. Berkali-kali dia memukul dinding kamar mandi hingga tangannya berdarah. Dia merasa sangat lelah dengan kisah percintaannya dari masa lalu itu. Kisah yang tak pernah usai.
30 menit berlalu
Morgan meraih handuk kimono yang tergantung, lalu keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Tak ada niat untuk mengeringkannya sama sekali. Dia justru melangkah menuju dapur. Mengambil air dingin dari dalam kulkas lalu menenggaknya.
Oke, kalau memang tujuanmu mendekatiku untuk bikin aku jatuh cinta lagi, aku akan mewujudkannya. Aku akan pura-pura menerimamu, lalu mencampakkan seperti yang pernah kamu lakukan padaku dulu. Agar kamu juga sama tersiksanya seperti diriku.
Brak! Botol dalam genggamannya diletakkan dengan kasar ke atas meja lalu meninggalkannya begitu saja.
“Periksa lagi latar belakang Purple. Terutama status pernikahannya. Jika gak tertulis di catatan sipil cari tahu apakah dia menikah siri.”
“Hah? Nikah siri?” Al yang membaca perintah bosnya tercengang tak percaya. Namun, ia hanya bisa menjawab, “Baik, Bos.”
“Laporkan besok!”
“Iya, bawel, elah.” Tentu saja itu hanya jawaban di mulut bukan di balasan chat. Bisa disuruh resign kalau dia berani menjawab seperti itu. Terakhir kali dirinya memeriksa latar belakang kandidat arsitektur beberapa waktu lalu wanita itu masih berstatus single. Gimana bisa mendadak jadi nikah siri? Apa jangan-jangan dia menemukan bukti baru kalau perempuan itu udah punya suami? Walau masih menjadi tanda tanya Alfa tetap harus menjalankan perintah bosnya itu.
Morgan meletakkan gawainya kembali lalu menuju sebuah lemari tinggi besar di mana dia meletakkan koleksi minuman anggur merk ternama. Mengambil salah satu botol dengan kadar alkohol yang tinggi beserta gelas di tempat yang berbeda.
Glek… glek
Pikirannya sangat kalut. Entah sejak kapan dia jadi pecandu alkohol seperti ini. Mungkin tepatnya sejak wanita itu pergi meninggalkannya. Hari-harinya yang sepi hanya bisa terlewati dengan minuman candu itu. Lalu tidur dan bangun lagi di pagi hari dengan kepala pening. Begitulah dia menjalani hidup selama ini. Penuh kebosanan dan rutinitas tak berarti.
Hingga dia melakukan kencan buta dan menemui banyak wanita di bar, ternyata tak bisa sedikit pun menghilangkan bayangan Purple dari pikirannya. Semakin dia berusaha keras melupakan semakin jelas bayang wanita itu di pikirannya. Dan pada akhirnya dia selalu mencampakkan wanita yang dikencani begitu saja.
Sampai pada titik di mana dia merasa bahwa wanita-wanita itu bukanlah obat kesepiannya, melainkan kerja keras tanpa lelah hingga malam hari. Barulah saat itu perlahan dia bisa melupakan Purple. Dirinya jadi tak ingin mengenal wanita lagi dan merasa mungkin butuh waktu lebih agar bisa jatuh cinta lagi.
Glek…glek
Please… jangan pernah datang lagi di hidupku kalau cuma buat ngancurin hidup yang sudah kutata agar membaik ini.
Please … jangan siksa aku kayak gini. Jangan datang lagi jika akhirnya cuma buat ninggalin lagi.
Jika memang ingin kembali ke pelukanku, kembalilah seutuhnya. Dekap aku. Hilangkan rasa kesepian ini. Kamu tahu betul bagaimana mempermainkan perasaanku, lalu memadamkan seluruh kemarahan ini.
Tolong datang dan minta maaf padaku untuk semua hal di masa lalu. Tolong datang dan memohon padaku untuk kembali padamu. Bilang kamu gak bisa hidup tanpa aku, seperti diriku yang sudah terlanjur terjerat padamu. Bilang aku satu-satunya pria yang bisa membuatmu jatuh cinta. Bilang bahwa aku….
Glek … glek
Tolong jangan tersenyum pada laki-laki lain, karena aku gak sanggup melihatnya. Jangan bilang hatimu milik laki-laki lain setelah rayuan yang kamu gencarkan padaku. Aku ini apa bagimu? Apa aku semudah itu bagimu? Mudah kau rayu, mudah kau campakkan, lalu kau tinggalkan begitu saja.
Pernahkah sekali saja kau ingat semua kenangan dan hari yang pernah kita lalui bersama? Kita pernah menyatukan tangan dan berjanji akan saling setia. Kapan aku pernah meninggalkanmu? Kapan aku pernah mengabaikanmu? Bahkan saat aku marah seperti ini masih penasaran dengan apa yang sedang kamu lakukan.
Jangan bilang kamu sedang bermesraaan dengan laki-laki lain.
Glek … glek.
Sret … sret
“Sejak kapan Bos minum-minum lagi?” Alfa menyibak gorden di ruang tamu Morgan, tempat pria itu menghabiskan minumannya hingga tertidur di sofa. Sekretarisnya itu memutuskan untuk mendatangi rumah bosnya saat menelepon berkali-kali tapi tak ada jawaban.
“Aku nggak mau dengerin omelanmu pagi-pagi, Al.”
“Huh ….” Alfa menarik nafas panjang, lalu berkata, “Kenapa lagi? Ada masalah sama wanita itu?” Kali ini dia bersikap layaknya seorang teman.
“Semalam aku lihat dia dijemput pria dengan mesra. Mungkin suaminya….” Alfa jadi tahu kenapa bosnya meminta untuk memeriksa ulang status perkawinan wanita itu.
“Apa kita putus kontrak kerja dengannya? Aku juga salah udah rekrut dia, padahal kamu baru aja bisa lupain.” Morgan menggeleng.
“Aku aja yang gak bisa move on, Al. Malah berharap wanita itu balik lagi, padahal jelas-jelas dia ninggalin aku demi nikah dengan pria lain. Aku yang bodoh karena masih berharap.”
“Ya udah sekarang bangun, kita kerja. Lebih baik buktikan kalau kamu bisa hidup tanpa dia. Jangan buang-buang waktu dengan hal yang gak guna kayak gini. Banyak hal penting yang harus kamu urusin. Tim marketing udah nungguin buat meeting.” Dengan malas Morgan bangun dari tidurnya, lalu menuju kamar mandi.
Sembari menunggu Morgan selesai mandi, Alfa menelepon salah satu kenalannya untuk melaksanakan perintah bosnya semalam. Ternyata masalahnya seserius ini?
“Tanya ke lingkungan sekitar apa pernah ada pernikahan atas nama yang tadi aku kirim,” perintah Alfa pada kenalannya.
“Siap, Bos.”
“Pagi, Pak.”Para karyawan yang semula serius dengan pekerjaan masing-masing segera bangkit dari duduknya. Mengucap salam pada bosnya yang baru menunjukkan batang hidung pada pukul 10 pagi. Padahal tim marketing sudah menunggu sejak satu jam yang lalu.Morgan ditemani Alfa segera menuju ruang meeting.“Maaf, saya terlambat,” ucapnya sambil berjalan menuju seliri yang telah disediakan.“Langsung saja, ya. Secara garis besar mungkin sudah disampaikan oleh manajer kalian. Dengan pembagian tugas yang jelas ini saya harap kinerja tim pemasaran bisa lebih baik lagi.” Netra Morgan memerhatikan dengan saksama semua peserta meeting yang terlihat tegang.“Saya sudah menerima laporan penjualan perusahaan selama beberapa bulan ini dan tidak ada perubahan signifikan. Hasilnya ya, segitu-segitu aja.” Morgan menarik napas dalam.“Sebuah perusahaan jika ingin maju harus menaikkan angka penjualannya. Saya rasa tim pemasaran tahu betul akan hal itu. Jadi, saya ingin setiap minggu manajer ada laporan pro
"Mood Bapak udah baikan?” sindir Purple seraya menutup rancangan gambar yang masih harus direvisi lagi. Morgan memilih bungkam.Semilir angin berembus dari air conditioner yang mengarah ke tempat duduk mereka membuat suasana makin canggung dan kaku. Sesekali tercium wangi lavender dari pengharum ruangan yang tergantung pada alat pengatur suhu ruangan itu.Melihat Morgan yang tetap bungkam, Purple memiringkan kepala, menatap lekat-lekat pria itu. Memerhatikan dengan saksama setiap sentuhan Tuhan pada makhluk yang sangat tampan itu. Semua masih sama seperti dulu. Mata almond yang membuat lawan bicaranya bertekuk lutut serasi dengan alis tebal di atasnya. Dan jika diperhatikan dalam-dalam, hidung buttonnya selalu menjadi bagian paling manis di antara bagian lainnya.“Kenapa?” Purple menggeleng.“Bibir Bapak seksi.”Deg!“Ehem ….” Sungguh sebuah kalimat di luar dugaan. Entah sejak kapan wanita yang dulu dikenal kalem jadi sevulgar ini. Apa karena dia sudah menikah jadi bebas bicara hal-hal
“Kamu cemburu?” Purple berjalan pelan menuju meja Morgan yang pura-pura serius dengan pekerjaannya.“Mau gak dengerin penjelasan aku dulu?” Wanita itu memberanikan diri menyentuh jari kelingking kiri Morgan.Deg! Hati Morgan kembali goyah hanya dengan sentuhan kecil seperti itu.“Pria yang semalam menjemputku namanya Rudra. Dia teman masa kecilku sekaligus tetangga.” Morgan menghentikan tangan kanannya yang sedari tadi sibuk dengan mousenya. Sambil mengatakan itu Purple kembali menyentuh jari manis Morgan.“Sejak kecil kita selalu main bareng, sekolah pun berangkat dan pulang bersama. Dia juga suka kumintain tolong buat jemput kalau aku pulang malam. Kadang juga berangkat kerja bareng.” Kali ini jemari Purple sudah menyentuh jari telunjuk Morgan.“Nanti kalau ada waktu aku kenalin sama dia biar kamu gak cemburu lagi.” Purple berhasil mengenggam jemari Morgan seluruhnya lalu mengenggamnya. Membuat pria itu mati kutu.“Aku bisa ceritain lebih banyak lagi tentang dia kalau kamu mau. Yang
Suasana di dalam mobil begitu hening hingga membuat kedua orang yang baru selesai mengisi perut di sebuah restoran seafood itu merasa canggung. Tak ada topik yang bisa dijadikan bahan obrolan.“Kapan kekasihmu akan ke Indonesia?” Morgan mengangkat bahunya.“Kalian gak ada niat buat putus?” Hampir saja Morgan menginjak pedal rem mendadak mendengar pertanyaan mengejutkan itu. Benar-benar gadis random yang tak bisa ditebak isi pikirannya sama sekali. Dia pikir dengan berpura-pura memiliki pacar, gadis di sampingnya ini akan berhenti menggodanya dan cemburu, ternyata pemikirannya justru sebaliknya.“LDR itu berat, lho. Mending cari yang lain aja, yang sudah teruji kesetiaannya. Nanti kalau di sana dia selingkuh juga gimana? Kamu gak takut?”“Mana mungkin keponakanku yang masih balita itu bisa selingkuh?” batin Morgan menahan tawa.“Aku lebih takut pada wanita yang sudah kudampingi bertahun-tahun tiba-tiba berkhianat dan akan menikah dengan pria lain.”Purple merapatkan bibirnya, sebelum a
“Al, reschedule meeting dengan supplier kopi di Lampung. Kalau bisa besok.” Instruksi bosnya saat jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam. Entah ada apa dengan atasannya itu, tapi sejak bersua kembali dengan mantan pacarnya yang bikin gagal move on, mood-nya naik turun tak menentu. Seperti wanita yang lagi PMS.Padahal kemarin saat dirinya mengajukan jadwal pertemuan dengan supplier lebih cepat dengan tegas bosnya itu menolak karena berbagai alasan. Sekarang tiba-tiba memberikan perintah yang tak masuk akal. Ingin sekali rasanya berteriak jika tak ingat sudah tengah malam.Dia kembali meraih telepon genggam yang tadi sempat dilemparkan ke tilam sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Membuka aplikasi chat lalu mengetikkan sebuah nama yang beberapa hari lalu dia hubungi untuk mengatur ulang jadwal pertemuan dengan bosnya. Saat menemukan kontak wanita itu dan masih berstatus online, Alfa merasa Tuhan menyelamatkan dirinya dari teriakan maut bosnya besok pagi andai reschedule gagal.“Malam Ibu
Morgan agak kecewa saat mengetahui jika wanita yang dirindukannya ternyata hari ini tidak datang ke kantor. Padahal dia sudah berangkat lebih awal daripada biasanya agar bisa bertemu dengannya. Kantor yang terasa lebih hangat dengan kehadiran wanita itu jadi terasa sepi dan asing. Ah, mood-ku jadi berantakan, batinnya seraya menatap ke arah meja Purple yang tak berpenghuni.Demi mengembalikan mood-nya yang buruk, dia berdiri di dekat jendela. Menatap mentari yang malu-malu menampakkan diri dari ufuk timur. Dan saat menatap ke bawah terlihat rumah penduduk yang lebih padat dibanding 5 tahun yang lalu. Satu persatu warga mulai memerlihatkan aktivitas hariannya.Merasa cukup dengan kegiatan bersantai itu Morgan kembali ke tempat duduknya. Membuka salah satu tumpukan dokumen di atas meja dengan malas. Padahal baru sehari ditinggal pergi, tapi tumpukan itu sudah bertambah lagi dan lagi, seakan tak ada habisnya. Dia akan fokus menyelesaikan semua dokumen itu agar bisa melupakan wanita mungil
Sudah 10 menit berlalu dan Purple belum merasa jemu menatap paras tampan pria yang duduk di sampingnya. Sesekali pria yang sibuk dengan kemudinya itu menoleh ke arahnya sebentar lalu fokus lagi ke depan. Tak ada niatan sedikit pun untuk melepas genggaman tangan sejak keduanya memasuki sedan putih itu.“Why?” tanya Morgan penasaran. Purple menggeleng sambil tersenyum.“Aku sangat bahagia sampai bingung bagaimana harus mengekspresikannya.” Morgan tersenyum mendengar pengakuan jujur wanita itu. Keduanya memutuskan pulang bersama setelah memastikan perasaan masing-masing kembali seperti dulu.“Kalau udah mutusin buat ugal-ugalan, kamu harus bertanggung jawab sampai akhir, lho.”Purple kembali tersenyum lalu menjawab, “Siap, Bos.” Dilanjutkan dengan mengecup punggung tangan pria yang mengenggam erat jarinya. Sikap manis yang membuat jantung Morgan jadi tak karuan.“Aku lagi nyetir, Sayang….”“Iya tahu, kok. Terus kenapa?”“Kalau kamu godain aku terus bisa-bisa tujuan kita bukan pulang ke ru
Morgan menghentikan tangannya yang tengah menandatangani sebuah laporan saat melihat Dilan menyambangi meja wanita yang semalam sudah dipatenkan menjadi miliknya. Tanpa sadar dia memindahkan pulpen di tangannya ke atas bibir seraya memutar roda bangkunya. Mata almond-nya mengamati dengan saksama apa yang tengah dilakukan salah satu karyawan juniornya itu.Penasaran apa yang Purple terima dari pria itu, Morgan bergegas keluar ruangan. menuju meja kerja wanita itu.Tok … tok.Purple mendongakkan kepala saat mendengar ketukan di mejanya.“Ya …, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan itu nyaris lewat begitu saja karena perhatian pria itu justru tertuju pada kue lapis dan satu cangkir kopi susu di atas meja yang didatanginya.“Pak?”“Ehem …. Saya ingin tahu update perkembangan renovasi kantor lama sampai mana.”“Baik, Pak, saya akan segera ke ruangan Bapak