Share

Terjerat Pesona Sang Mantan
Terjerat Pesona Sang Mantan
Penulis: Dara Mahveen

Chapter 1

Sebuah mobil sedan putih pabrikan Jepang mendarat perlahan di sebuah gedung perkantoran berlantai 5. Tak lama berselang, turun seorang pria berwajah oriental dilengkapi kacamata bulat. Pria itu bergegas menuju bangku penumpang untuk membukakan pintu.

Sepatu mengkilat yang pertama kali ditampakkan, membuat para petinggi yang menunggu di lobi pun penasaran. Seperti tak percaya bahwa atasan baru mereka ternyata pria muda tiga puluh tahunan. Walau masih muda, vibes bos-nya sudah terlihat.

Saat memasuki lobby, langkah pria itu kembali terhenti.

"Ini serius kantor?" Pria itu menoleh ke pria berkacamata yang berdiri di sampingnya.

"Bapak hanya menugaskan saya untuk mengakuisisi perusahaan yang akan bangkrut dengan melihat prospek ke depannya." Pria itu tak mau kalah menjawab pertanyaan dari atasannya.

"Tapi bukan berarti bangunan tua kaya begini, kan? Kamu lihat itu?” Pria itu menunjuk sudut ruangan.

“Dinding retak di mana-mana, plafon yang hampir jatuh, lantai yang tampak kusam, debu bertebaran. Al, kamu tahu kan apa saja yang harus kamu bereskan dengan semua kekacauan ini?" Kali ini tanpa menatap ke arah lawan bicaranya.

"Tahu, Pak."

Dua pria muda yang sejak tadi berjalan beriringan itu kini berjalan berlawanan arah. Sang sekretaris dengan ditemani para manager bersiap berkeliling gedung.

"Ini ruangan Bapak." Salah satu manager membuka pintu. Memersilakan pria muda itu agar memasuki ruangan yang sudah dibersihkan setiap sudutnya. Tangan yang sejak tadi disembunyikan dalam saku celana perlahan meraba meja dan bangku yang akan dia duduki. Memastikan jika dua benda tersebut benar-benar bersih.

"Tolong nyalakan komputer serta cek telepon apakah semua berfungsi dengan baik."

"Baik, Pak." Kedua pria paruh baya itu segera menjalankan apa yang diminta atasannya. Walau dalam hati mereka bergumul tak senang.

Sambil menunggu kedua orang tersebut melaksanakan tugas yang diminta, pria itu menuju jendela yang letaknya tak jauh dari meja kerja. Melihat kota Samarinda dari lantai 5. Pikirannya kembali pada beberapa tahun silam. Tempat di mana dia pernah dibesarkan sampai usia remaja. Yang selama ini membuat rindunya meluap-luap ingin segera kembali ke sini. Akhirnya mimpi itu terwujud meskipun butuh beberapa tahun untuk mencapainya. Walau dia sudah hidup dan beradaptasi di tanah Eropa dengan baik, ternyata kehangatan rumah yang selalu ramai oleh teman-temannya itu lebih menyenangkan dari nyamannya tanah Eropa.

"Sudah, Pak. Semua berfungsi dengan baik." Salah satu pria yang tadi diminta untuk menyalakan komputer membuyarkan lamunan masa lalunya.

“Ok, thank you. Kalian silakan lanjutkan pekerjaan masing-masing.” Dua orang pria itu undur diri. Berpapasan dengan Alfa yang akan memasuki ruangan.

"Ini Pak beberapa hal yang harus diperbaiki." Alfa menyodorkan tablet tempat dia menuliskan tugas yang tadi diberikan atasannya. Setelah beberapa menit membacanya, alis pria itu terlihat mengkerut. Seraya memberikan nomor urut hal urgensi yang harus dilakukan terlebih dulu.

"Oke, pertama, tugaskan purchasing untuk mencari supplier sebanyak mungkin dan minta penawarannya. Deadline 2 hari. Hal lainnya kita bahas saat meeting.” Alfa mengangguk.

"Kedua, cari arsitek untuk renovasi gedung ini. Kamu juga sambil cari ruko kecil untuk kita pindahan sampai gedung ini selesai diperbaiki." Pria itu kembali menuliskan di tab-nya sambil berjalan mengikuti atasannya menuju ruang meeting."

"Pagi, Pak." Semua manager sudah berkumpul memenuhi ruangan.

"Pagi," jawab pria itu singkat.

"Saya ingin memperkenalkan diri sebelum kita mulai bekerja bersama. Nama saya Morgan Palevi yang mulai hari ini akan menjadi direktur utama di perusahaan ini. Pertama-tama….”

Bruk!

Terdengar suara keras dari sudut ruangan. Semua mata yang semula menatap Morgan beralih ke sumber suara. Satu per satu berdiri melihat apa yang baru saja terjadi. Sebuah bongkahan plafond di atas lantai membuat peserta rapat melongo.

"Ckckckck. Baru tadi aku bilang kan Al, bentar lagi bangunan ini roboh." Morgan bergumam pada Alfa yang duduk di sebelahnya.

"Udah dapat arsiteknya belum?"

"Baru ada beberapa, sih, Pak."

"Coba lihat." Alfa menyodorkan tab yang selalu dia bawa ke mana-mana,"Ini, Pak."

Dia mulai fokus membaca profil arsitek yang dikumpulkan asistennya secara detail.

Sampai pada kandidat ketiga yang membuat jarinya bergetar. Tidak perlu sampai membaca lengkap profil sang arsitek. Dari foto yang ada di atas CV jelas dia tau siapa wanita itu. Jarinya mengepal seraya berkata, "hubungi dia dan minta hari ini datang."

"Baik, Pak."

"Meeting kita lanjutkan besok." Tanpa banyak kata Morgan meninggalkan ruangan. Pikirannya jadi tak karuan setelah membaca nama calon arsiteknya tadi.

"Maaf Pak jika saya melakukan kesalahan. Awalnya saya tidak ingin memasukkan nama beliau tapi prestasinya pantas untuk dipertimbangkan. Saya akan mencarikan..."

"Tidak perlu. Justru ini alasan bagus untuk menemuinya tanpa aku susah payah. Entah ini kebetulan atau takdir."

Tok…tok…tok

Alfa memasuki ruangan bersama dengan wanita yang baru saja dihubunginya.

“Pak…, Bu Purple sudah sampai. Saya permisi dulu.” Alfa meninggalkan ruangan.

Morgan menarik napas dalam-dalam, memersiapkan diri berhadapan dengan wanita yang ingin dia temui sejak lama itu. Lima tahun rasanya sudah lebih dari cukup untuk melupakannya. Entah hari ini atau besok pada akhirnya akan bertemu juga, hanya soal ritme.

“Silakan duduk, bu…Purple.” Morgan membalikkan badan, lalu bangkit dari duduknya dan menghampiri wanita yang berdiri agak jauh dari mejanya.

“Morgan?” Tangan mungil yang semula percaya diri membawa resume pekerjaan mendadak lunglai. Matanya tak berkedip menatap sosok pria di hadapannya. Namun pria itu tak terusik sama sekali. Dia tetap melangkah menuju sofa, lalu duduk.

“Sampai kapan Anda akan berdiri di situ?” Purple yang berusaha menyadarkan diri segera  menuju sofa.

“Kamu beneran Morgan, kan?” Morgan menggerakkan jarinya di atas tablet. Acuh tak acuh dengan rasa penasaran Purple.

“Pertama-tama saya akan jelaskan.…”

Wanita itu tersenyum tipis seraya menatap lekat pria yang mengabaikannya. “I miss you so much….”

Deg! Jari Morgan terhenti.

“Saya bukan ….”

“Benarkah?” Purple mendekatkan wajahnya.

“Serius kamu bukan Morgan mantan kekasihku? Padahal aku masih ingat dengan jelas rasa manis bibir ini, lho.” Purple meletakkan jarinya di atas bibir Morgan. Membuat pria itu makin tak berkutik. Hatinya jadi tak karuan dengan sikap ugal-ugalan wanita itu.

Morgan meraih jari mungil itu seraya berkata, “Saya sudah lupa rasa manisnya, yang saya ingat hanya punya seorang mantan yang meninggalkan saya dengan alasan bahwa saya anak yatim piatu dan miskin. Dia juga lebih memilih bersama pria pilihan orang tuanya.”

“Aku bisa ….”

“Saya rasa kita tak bisa berdikusi dengan baik hari ini. Saya akan minta dicarikan kandidat lain yang bisa fokus dalam bekerja.” Morgan berdiri meninggalkan wanita itu, lalu berjalan menuju mejanya kembali. Purple mengejarnya.

“Aku pastikan kamu nggak akan dapat arsitek sebaik aku dalam bekerja maupun berciuman.” Purple mengatakannya seraya tersenyum menggoda.

See you tomorrow mantan kesayanganku….” Purple melambaikan tangan. Morgan hanya melirik. Namun setelah sosok itu benar-benar menghilang di balik pintu, tubuhnya lemas seketika. Jika besok bertemu lagi entah apa dia bisa tahan dengan godaan seperti itu. Baru hari pertama saja hatinya sudah bergemuruh tak karuan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status