"Aku tidak akan pernah bisa menyukaimu. Kamu itu bagian dari masa lalu buruk!" Cilla Adilla "Hanya aku dan hatiku yang tau tentang perasaanku." Bastian Hananta Tentang pemuda bermata bulan sabit dan gadis eksotis yang dijuluki kopi hitam, Cilla Adilla. Pemuda itu bernama Bastian Hananta, si biang kerok. Mereka selalu saja bersinggungan meskipun tidak saling menginginkan. Ah, tidak terpikirkan sedikitpun oleh Cilla, gadis ceria dan manis itu harus menjadi istri musuh bebuyutannya. Dia menikah dengan Bastian, tetangga lima langkah yang sangat menyebalkan. Namun, itu benar-benar terjadi. Bagaimana bisa? Apakah kapal Cilla dan Bastian akan berlayar? Bagaimana pernikahan yang tidak didasari dengan cinta di antara kedua belah pihak itu berlangsung? Benarkah tanpa cinta?
View MorePrakk
"Aku benci sama kamu, Tian!" pekik Cilla usai memukul pemuda itu dengan sebuah balok kayu.Cilla sangat marah sebab pemuda itu menekan jerawatnya di dahi hingga luka. Sebelumnya, mereka berdebat seperti hari-hari biasanya. Tian, Bastian si pemuda jangkung dengan rambut lurus itu memegangi telinganya. Tak lama tangan pemuda itu basah oleh darah akibat luka yang timbul dari pukulan Cilla.Tak hanya hari ini, semenjak mereka masuk di bangku sekolah menengah pertama. Bastian dan Cilla sering terlibat pertengkaran.Kribo, jerawatan, dan kopi adalah sederet kalimat ejekan Cilla yang dilontarkan oleh Bastian."Ahhh..." rintih Bastian masih menekan telinganya yang seakan berdengung.Sesaat Cilla berubah menjadi khawatir. Apakah dirinya keterlaluan memukul Bastian? Tangan lentik gadis itu menyentuh tangan Bastian yang berlumuran darah. Ia segera menarik pemuda itu untuk ke UKS sekolah.***Bastian Hananta, pemuda jangkung dengan mata hitam legam itu memandang lalu lalang motor yang lewat di jalanan dekat rumahnya. Pemuda itu melihatnya dari jendela rumah."Tian..." panggil seorang wanita usia lanjut di ruang tamu.Kaki panjangnya berjalan mendekati sumber suara."Iya, Eyang. Ada apa?" tanya Tian."Kamu sudah antar kuenya ke Tante Maura?" tanya sang nenek."Sudah, Eyang yang nerima si Cilla," jawab Bastian.Wanita usia lanjut itu tersenyum melihat sang cucu menyebut nama gadis itu. Gadis yang sedari kecil dikenalnya bahkan seperti cucunya sendiri sebab gadis itu dulu diasuh olehnya."Ambilkan Eyang obat, Bastian," pinta sang nenek pada cucunya itu.Bastian segera ke lemari obat di dekat lemari pendingin di dapur. Pemuda itu mengambil air putih ke dalam gelas. Segera ia menghampiri sang nenek.Wanita berambut putih itu segera minum obat yang diberikan Bastian. Usai menghabiskan satu gelas penuh air untuk mendorong butiran obat yang ia telan, wanita itu tersenyum pada sang cucu."Eyang sudah makan, kan?" tanya Bastian.Sang nenek menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.Bastian Hananta. Pemuda yang tidak tahu menahu di mana sang ibu dan ayahnya berasal. Pemuda yang sedari bayi diasuh oleh neneknya, Adjeng. Dia pemuda misterius dengan mata sipitnya dan bibir tipis serta kulit putih langsat yang ia miliki membuat pesonanya dipuja kaum gadis di desanya. Namun, sedari SMP ia hanya terhitung satu kali berpacaran dengan teman sekolahnya, Elka. Lantas, siapa Cilla?***"Cilla, ambilkan kue dari eyang ke sini!" titah sang ibu, Maura dari meja makan."Iya Bu," jawab Cilla sambil berjalan ke meja dapur.Gadis itu mengambil kotak berbahan kertas berisi aneka kue basah yang dikirim oleh Nenek Adjeng, nenek dari Bastian. Cilla mengambil piring saji, memindahkan kue tersebut ke piring. Tak lama suara berat mengucap salam di ambang pintu terdengar."Assalamualaikum..."WAALAIKUM SALAMSuara serempak menjawab ucapan salam pria bernama Ali, tak lain sebagai kepala keluarga yang sangat mereka sayangi."Sudah pulang, Pak?" tanya sang istri, Maura sambil mencium punggung tangan pria itu."Iya, Bu. Ini kan hari Jumat, jadi Bapak tutupnya lebih awal," kata pria itu.Cilla datang dengan piring berisi kue di tangannya. Sang ayah tersenyum menatap putrinya yang sudah gadis itu."Wah, Cilla belajar masak?" tanya sang ayah dengan senyum lebar."Tidak, Pak. Ini kue dari Eyang Adjeng," jawab gadis dengan mata bulat tersebut.Gadis itu lekas mencium punggung tangan sang ayah, usai meletakan piring di meja.Mereka pun duduk di meja makan bersama, menyantap kue basah yang diberikan oleh Adjeng, nenek Bastian. Wanita tua itu seringkali mengirim makanan ke rumah keluarga Cilla. Sebab dulu gadis itu sering dititipkan pada Adjeng sewaktu kecil. Selain itu, Eyang Adjeng memiliki toko kue di kecamatan. Di mana setiap hari memproduksi kue dan roti. Maura dulu bekerja di kota. Setiap pagi akan menitipkan Cilla pada Adjeng yang saat itu masih sehat menunggu toko kue miliknya. Sehingga mereka sudah seperti keluarga sendiri. Cilla Adilla, gadis ceria yang pintar dalam hal akademis. Memiliki keluarga bahagia yang selalu ia syukuri. Keluarga yang selalu mendukung dirinya dalam memilih apapun, termasuk jurusan kuliah yang ia jalani.***Sore itu, Cilla sedang duduk di kursi lorong kampus yang biasa digunakan mahasiswa kampus bersantai.CupSuara kecupan di puncak rambut hitam legam milik gadis dengan mata bulat tersebut mendarat. Kepala Cilla mendongak terkejut."Aku kira siapa!" ujar gadis itu protes.Pemuda dengan rambut ikal itu tersenyum lebar. Randi Ferdian, pemuda berwajah terkesan selalu tersenyum itu adalah kekasih Cilla Adilla."Serius banget baca bukunya," kata Randi pada sang kekasih, sambil menghempaskan bokongnya di samping Cilla."Hem, iya. Besok ada kuis jadi aku harus belajar dong," jawab Cilla."Dilla..." sapa seorang gadis yang baru datang.Cilla Adilla, lebih dikenal dengan panggilan Dilla di kampusnya."Iya, El?" jawab Cilla pada gadis yang sudah akrab dengannya."Kamu dipanggil ke ruang Dekan, Dilla." kata gadis dengan mata sayu bernama Elka."Oh, ada apa ya?" tanya Cilla sedikit khawatir."Aduh, itu aku gak begitu paham, Dilla." jawab Elka.Cilla sedikit ragu dan khawatir terlihat dari ekspresi wajahnya yang tak bisa di sembunyikan."Udah gak apa-apa, cepet ke sana. Jangan khawatir gitu dong." kata sang kekasih sambil mengusap rambut panjang gadis itu.Mata Cilla menatap sang kekasih seakan meminta penguatan. Berpacaran dari SMA membuat mereka sama-sama saling memahami satu dengan yang lain."Gak apa-apa, mungkin ada hal penting yang akan disampaikan. Bismillah, gak akan ada apa-apa. Aku bakal nungguin kamu," kata Randi menguatkan sang gadis.Dengan ragu dan hati yang was-was, Cilla berjalan ditemani sang kekasih. Tangan ramping gadis dengan tinggi seratus lima puluh enam sentimeter itu mengetuk pintu. Tak lama suara pria dari dalam menyuruhnya masuk. Cilla menoleh pada sang kekasih."Gak apa-apa, semangat!" ujar Randi memberikan afirmasi positif pada sang gadis.Cilla lantas membuka pintu dan masuk.Di sana sudah ada seseorang yang duduk di hadapan Dekan. Cilla mengernyitkan dahinya dengan ragu kakinya melangkah masuk. Sesaat sampai di kursi hadap, sang Dekan mempersilakan gadis itu untuk duduk. Ia melihat pemuda berwajah kaku si biang kerok yang ia benci ada di sana. Siapa lagi? Ya, Bastian. Pemuda itu seakan enggan melihat Cilla di sebelahnya. Cilla selalu bersinggungan dengan Bastian. Sedari mereka duduk di bangku sekolah, keduanya dipertemukan bahkan kini mereka satu jurusan arsitektur fakultas teknik di kampus yang sama pula."Kalian akan saya tugaskan membuat desain di proyek saya. Saya harap kalian bisa bekerjasama," kata Dekan saat Cilla sudah duduk di samping Bastian.Meskipun sering bersinggungan mereka masih saja tak sepaham, berakhir bertengkar. Cilla melebarkan matanya, ini bukanlah tugas pertama dirinya bersama Bastian. Bukan tanpa alasan, mereka dipasangkan. Hal itu dikarenakan hasil dari proyek yang mereka kerjakan selalu maksimal. Sehingga mereka sudah dipercaya untuk memegang segala proyek untuk menambah nilai tentunya dari dosen.Sedang di luar Randi sedang memainkan game di ponselnya. Hal itu ia lakukan untuk membunuh rasa bosan menunggu sang kekasih yang masih berada di ruangan Dekan.Aku mencintai dalam diam, bukan karena aku pecundang. Aku ingin dia memandangku sebagai perempuan memandang pria. Dia yang terlampau mengabaikan keberadaan diriku yang memiliki perasaan tertarik bahkan sejak kami kecil. Cilla, si gadis ceria. Rambutnya yang ikal terkesan seperti tidak disisir. Wajahnya berjerawat saat masuk SMP. Sebenarnya aku ingin lebih baik padanya, tetapi setiap berhadapan bukannya aku mendapat kesempatan membuatnya nyaman justru bibirku selalu berucap hal yang menyakitinya. Cilla, gadis tomboi yang unik. Dia milikku, sejak kami tumbuh bersama di masa itu. Aku, Bastian pemuda sederhana yang tidak memiliki ayah dan ibu sejak kecil. Hanya eyang, yang menyayangi aku hingga aku dewasa kini.Bastian HanantaDi bahu jalan, mobil Bastian yang kosong menjadi tempat Danilo dan Vika berbicara. Mereka datang bersamaan. Vika mencari bapaknya untuk melakukan upaya penyelamatan. Sang ibu, Arum sudah lebih dulu pergi. Namun, Vika justru datang sendiri sebab Ali dari kota segera ke Polsek untuk melapor dan akan membawa polisi datang.“Jadi ibu udah ke dalam Dek?” tanya Danilo.“Iya, Mas. Tadi aku coba telpon mas Bastian. Tapi gak diangkat. Gak taunya udah ke sini.” kata Vika dengan tangan terus bergerak gelisah.Tentu Vika merasakan kekhawatiran yang begitu hebat. Sang ibu sedang menolong Cilla dan ibunya di sana. Sedang dirinya hanya bisa menunggu atas perintah ibunya. “Kamu gak usah khawatir, bentar lagi bapak datang.”Tak lama berselang, mobil polisi beserta Ali datang. Mereka segera menghampiri Vika. Kemudian bersama-sama menuju tempat yang sudah diinformasikan Arum sebelumnya.Sebelumnya, Arum sampai di lokasi Cilla disekap. Dia menghubungi Elka sebelumnya. Mengapa Arum bisa mendapatkan titik
Pov Bastian“Aku menyukaimu saat pertama kali kita berciuman gak sengaja. Itu first kiss yang sangat membekas, Tian. Sampai membuatku ragu untuk melanjutkan hubunganku saat itu. Dari situlah, pada akhirnya aku bisa menerima lamaran kamu.”“Jadi, kalau tidak ada acara ciuman waktu itu. Kamu gak akan terima lamaranku?”Wanita yang sejak kecil menempati ruang di hatiku itu menggelengkan kepala. Wanita itu merubah posisinya untuk menatap diriku yang tak lepas memperhatikan ekspresinya. Kami sedang berbicara sebelum tidur. Biasanya orang menyebutnya pillow talk.“Bisa iya, bisa tidak.” jawabnya sambil tersenyum.“Terus, misal eyang saat itu gak dateng di warung bakso, jawaban kamu menolak aku gitu?” balasku bertanya lagi.“Hemm, tidak juga. Sebenarnya aku mengajak kamu untuk berpacaran terlebih dahulu. Tapi….” Jawaban menggantung wanita bermata bulat itu membuatku penasaran.“Justru, Eyang menyuruh kita menikah.” sambungnya.“Terus nyesel yah?” sahutku.“Justru bikin aku seneng karena kit
“Apa yang Mbak bilang tadi?”Wanita cantik dengan wajah yang tampak muram terlonjak saat mendengar pengakuan sang kakak. Hasti, adik Elka datang setelah acara tiga hari sang ibu, Ratri. Wanita itu menatap sang kakak dengan tatapan tajam.“Iya, ibu marah karena aku masih memiliki perasaan sama Bastian.” kata Elka mengaku pada sang adik. Wanita itu duduk menatap ke arah jendela. “Astaga, Mbak. Kamu itu udah punya suami yang tampan, punya segalanya. Pikiranmu kemana Mbak, ha?” “Semuanya karena Cilla,” imbuh Elka.Tanpa mereka sadari, pertengkaran ini didengarkan dengan seksama oleh seseorang. “Jadi ibumu meninggal karena bertengkar sama kamu, Elka?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang dari pintu utama. Suami Elka dengan wajah muram berjalan mendekat pada posisi mereka. Aura kesedihan yang sudah ada sedari tadi kini seakan bertambah tebal. “Selesaikan masalah kalian, aku tunggu di luar.” kata Hasti hendak melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Namun, kakinya berhenti mendenga
“Bude, gimana kabarnya?” tanya Vika sesaat datang. Gadis itu segera datang sesaat mendapatkan kabar. Maura mempersilahkan anak kandung mantan suaminya itu untuk duduk.“Alhamdulillah, sehat Vika. Kamu gimana, Nak?” Maura memang sudah terbiasa dengan Vika. Sejak permasalahan yang datang terus membuka tabir keburukan sang mantan suami, wanita itu tidak sekalipun marah pada Vika. Mereka mengobrol alakadarnya sambil menunggu Danilo mengeluarkan mobil dari garasi. Setelahnya mereka bersama menuju rumah Elka untuk melayat.*Cilla menumpu motor dengan posisi berdiri. Dia melempar helmnya secara reflek. Teriakan dan bunyi helm yang jatuh membuat Bastian segera berbalik badan dan membantu sang istri.“Maaf, Sayang.” ucap Bastian sambil menarik standar motor menggunakan kakinya.“Iya aku gak apa-apa kok, motor kamu gak apa-apa juga. Gak jatuh!” ujar Cilla kesal dengan memungut helmnya di bawah .Bastian lupa menarik standar motor. Sehingga, motor nyaris jatuh. Pria itu tampak diam dengan waj
Pagi itu, Bastian baru pulang dari sawah. Pria itu menggunakan kaos rumahan dipadu bawahan celana selutut berbahan kaos. Cilla melihat sang suaminya menaruh kunci motor di meja makan.“Masak apa Bunda?” tanya Bastian.Cilla mengangkat sebelah alisnya, sedang Bastian tersenyum tipis berakhir bibirnya tersenyum lebar gagal menahannya.“Bunda apa sih? Aneh banget!” ketus Cilla.Wanita itu sudah cantik dengan baju dress selutut khas dirinya. Corak warna kecoklatan dengan bahu telanjang. Dia akan menggunakan kardigan saat keluar rumah.“Katanya gak mau dipanggil…”“Oh jadi ganti panggilan gitu?”Cilla memasukkan masakannya di piring setelahnya menatap malas sang suami yang berdiri di dekat meja dapur.“Yah, kan nanti anak kita lahir panggil kamu Bunda gitu kan?” kata pria itu menarik tisu dan membersihkan tangannya yang basah.“Dih!” dengus Cilla, wanita itu menatap tajam saat Bastian mencomot tempe tepung yang ada di piring. “Kenapa? Gak mau? Makanya, sih gak usah protes. Panggilan Kopi
“Mas, es penangkal badai kemarahan istri ada ya?” tanya Bastian menyindir Cilla yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan darinya.Wanita itu selalu berkata terserah saat ditanya hendak pesan apa. Di sebuah kafe yang terletak di jantung kota, Bastian membawa sang istri.“Hehehe, untuk minuman best seller di tempat kami ini Pak, blue ocean karnival. Ada selasih dan rasanya segar asam manis, apakah mau mencobanya?” saran sang pelayan berwajah Jawa khas itu.Bastian tampak memperhatikan gambar menu yang ditunjuk oleh pelayan. Dari ekor matanya melirik sang istri yang mengambil ponsel di tasnya.“Boleh, sama ramen level dua saja ya. Kalau panas gini biar sekalian terbakar,” ucap Bastian.Sang pelayan menulis pesanannya dengan tersenyum. “Ohya masing-masing dua ya, sama tambah ini coba wafel coklat. Biar manis sedikit gak pahit seperti suasana saat ini,” lanjut Bastian.“Baik, Pak. Apakah ada pesanan yang lain?” kata sang pelayan.“Sudah cukup, terimakasih.” tukas pria itu. Mata sipit Ba
Pagi itu Cilla menyiapkan makanan di meja. Tidak ada pembicaraan yang berarti setelah mereka duduk menyantap sarapan masing-masing. Cilla melihat Bastian tampak gelisah. Beberapa kali pria itu berdecak sebal usai melihat ponsel. “Nanti sore pulang sendiri bisa ya, Kop?” tanya Bastian memecah keheningan. Cilla mengangguk masih dengan kegiatannya mengunyah nasi goreng. Sampai usai sarapan dan mereka berangkat bekerja. Sesekali Cilla menatap sorot mata Bastian yang sedang sibuk fokus menyetir. Pria itu terlihat tidak seperti biasanya. Setidaknya, itulah hal yang ditafsirkan oleh wanita itu.“Aku turun dulu,” pamit Cilla setelah mobil berhenti di halaman toko. Tidak ada jawaban dari Bastian, setidaknya itu yang Cilla tau. Pria itu justru menelepon seseorang. Cilla menoleh menatap lewat kaca mobil depan Bastian. Terlihat pria itu serius menghubungi seseorang.“Mungkin menghubungi Elka.” katanya di dalam hati.Sungguh, hari ini terasa amat berat. Bayangan semalam berputar di kepalanya ter
“Singkirkan tanganmu itu!” sergah Bastian setelah datang pada sang istri. Pria itu berdiri di samping sang istri. Sorot matanya tajam mengintimidasi pria di depannya.“Ma, maaf.” ucap pria di hadapannya dengan wajah kaku. Sedangkan Cilla tiba-tiba membuka suara. “Kenapa harus marah, Sayang?”Kedua pria itu menatap pada direksi yang sama. Bastian mengernyitkan alisnya. Sang istri bukanlah orang yang mudah berkata manis, apalagi panggilan sayang itu jarang sekali ia ucapkan.“Ayo kita pulang!” ajak Bastian.“Kok pulang sih, Sayang. Bukannya kamu mau nemenin sahabat kamu di pernikahannya?”Bastian tampak terkejut dengan sikap dan perkataan sang istri. Tangannya menggenggam tangan sang istri erat. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Termasuk sang pasangan pengantin.“Kamu mabuk, ya? Minum apa kamu sampai kayak gini.” Bastian mengomel seraya terus menarik sang istri. Cilla dengan mata sayu mengikuti suaminya. Wanita itu beberapa kali tertawa dan meracau tidak jelas. Bastian dan Cilla
Cilla menata buku yang tergeletak di meja. Wanita itu meniup debu yang melapisi permukaan sampul buku berwarna merah hati itu.“Kasihan yah, Mbak. Padahal dia orang baik, Kopi.” ucap Bastian seraya meletakkan cangkir kopi yang ia buat barusan. Bastian berjalan membuka jendela. Semalam, ia dan Cilla pulang ke rumah kampung. Mereka datang sebab mendapatkan kabar penjaga rumah sekaligus asisten rumah tangga telah berduka. Suami dan anaknya meninggal secara bersamaan akibat kecelakaan. “Aku masih ingat rasanya kehilangan seperti itu, Tian.” imbuh Cilla sesaat menepuk telapak tangannya yang terasa berdebu.“Ya, aku juga.” balas Bastian dengan menatap ke arah jalan raya lewat jendela kamarnya.“Tapi, mungkin lebih berat Mbak. Dia secara bersamaan kehilangan suami dan anak.” ungkap Cilla dengan suara lirih. Bastian menarik tangan sang istri dan mencium punggung tangan lentik itu.“Iya, karena gak ada satupun orang di dunia ini yang mau merasakan kehilangan.” kata pria bermata sipit itu.C
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments