Pagi itu Cilla menyiapkan makanan di meja. Tidak ada pembicaraan yang berarti setelah mereka duduk menyantap sarapan masing-masing. Cilla melihat Bastian tampak gelisah. Beberapa kali pria itu berdecak sebal usai melihat ponsel. “Nanti sore pulang sendiri bisa ya, Kop?” tanya Bastian memecah keheningan. Cilla mengangguk masih dengan kegiatannya mengunyah nasi goreng. Sampai usai sarapan dan mereka berangkat bekerja. Sesekali Cilla menatap sorot mata Bastian yang sedang sibuk fokus menyetir. Pria itu terlihat tidak seperti biasanya. Setidaknya, itulah hal yang ditafsirkan oleh wanita itu.“Aku turun dulu,” pamit Cilla setelah mobil berhenti di halaman toko. Tidak ada jawaban dari Bastian, setidaknya itu yang Cilla tau. Pria itu justru menelepon seseorang. Cilla menoleh menatap lewat kaca mobil depan Bastian. Terlihat pria itu serius menghubungi seseorang.“Mungkin menghubungi Elka.” katanya di dalam hati.Sungguh, hari ini terasa amat berat. Bayangan semalam berputar di kepalanya ter
“Mas, es penangkal badai kemarahan istri ada ya?” tanya Bastian menyindir Cilla yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan darinya.Wanita itu selalu berkata terserah saat ditanya hendak pesan apa. Di sebuah kafe yang terletak di jantung kota, Bastian membawa sang istri.“Hehehe, untuk minuman best seller di tempat kami ini Pak, blue ocean karnival. Ada selasih dan rasanya segar asam manis, apakah mau mencobanya?” saran sang pelayan berwajah Jawa khas itu.Bastian tampak memperhatikan gambar menu yang ditunjuk oleh pelayan. Dari ekor matanya melirik sang istri yang mengambil ponsel di tasnya.“Boleh, sama ramen level dua saja ya. Kalau panas gini biar sekalian terbakar,” ucap Bastian.Sang pelayan menulis pesanannya dengan tersenyum. “Ohya masing-masing dua ya, sama tambah ini coba wafel coklat. Biar manis sedikit gak pahit seperti suasana saat ini,” lanjut Bastian.“Baik, Pak. Apakah ada pesanan yang lain?” kata sang pelayan.“Sudah cukup, terimakasih.” tukas pria itu. Mata sipit Ba
Pagi itu, Bastian baru pulang dari sawah. Pria itu menggunakan kaos rumahan dipadu bawahan celana selutut berbahan kaos. Cilla melihat sang suaminya menaruh kunci motor di meja makan.“Masak apa Bunda?” tanya Bastian.Cilla mengangkat sebelah alisnya, sedang Bastian tersenyum tipis berakhir bibirnya tersenyum lebar gagal menahannya.“Bunda apa sih? Aneh banget!” ketus Cilla.Wanita itu sudah cantik dengan baju dress selutut khas dirinya. Corak warna kecoklatan dengan bahu telanjang. Dia akan menggunakan kardigan saat keluar rumah.“Katanya gak mau dipanggil…”“Oh jadi ganti panggilan gitu?”Cilla memasukkan masakannya di piring setelahnya menatap malas sang suami yang berdiri di dekat meja dapur.“Yah, kan nanti anak kita lahir panggil kamu Bunda gitu kan?” kata pria itu menarik tisu dan membersihkan tangannya yang basah.“Dih!” dengus Cilla, wanita itu menatap tajam saat Bastian mencomot tempe tepung yang ada di piring. “Kenapa? Gak mau? Makanya, sih gak usah protes. Panggilan Kopi
Prakk"Aku benci sama kamu, Tian!" pekik Cilla usai memukul pemuda itu dengan sebuah balok kayu.Cilla sangat marah sebab pemuda itu menekan jerawatnya di dahi hingga luka. Sebelumnya, mereka berdebat seperti hari-hari biasanya. Tian, Bastian si pemuda jangkung dengan rambut lurus itu memegangi telinganya. Tak lama tangan pemuda itu basah oleh darah akibat luka yang timbul dari pukulan Cilla.Tak hanya hari ini, semenjak mereka masuk di bangku sekolah menengah pertama. Bastian dan Cilla sering terlibat pertengkaran. Kribo, jerawatan, dan kopi adalah sederet kalimat ejekan Cilla yang dilontarkan oleh Bastian."Ahhh..." rintih Bastian masih menekan telinganya yang seakan berdengung.Sesaat Cilla berubah menjadi khawatir. Apakah dirinya keterlaluan memukul Bastian? Tangan lentik gadis itu menyentuh tangan Bastian yang berlumuran darah. Ia segera menarik pemuda itu untuk ke UKS sekolah.***Bastian Hananta, pemuda jangkung dengan mata hitam legam itu memandang lalu lalang motor yang lewat
Mata bulan sabit itu tengah fokus pada layar ponsel yang ia genggam. Alisnya terangkat satu saat melihat sebuah foto yang baru saja muncul di media sosialnya. Tangan kokohnya meletakkan ponsel itu dan nampak menghembuskan nafasnya panjang. Ia beralih berdiri di jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Matanya memandang jauh ke seberang jalan. Di mana rumah bercat hijau tosca itu berada. Tak lama penghuni rumah itu keluar. Dengan kaos putih tulang dan celana pendek, gadis itu sedang menyiram tanaman di depan rumahnya. Seperti sebuah kebetulan, gadis yang ia lihat di ponselnya membagikan fotonya dengan sang kekasih. Kini ada di depan sana.Bastian beralih turun ke lantai satu ia menuju jendela yang ada di dekat pintu.Sang nenek melihat cucunya itu menatap keluar jendela sudah paham. Siapa yang dilihat cucunya itu? Bastian melihat gadis itu yang tengah menyiram tanaman di halaman rumahnya. Bibirnya terangkat membentuk kurva. Binar matanya seolah mengatakan bahwa ia sangat menyukai
Mata bulat itu menyorot jauh ke langit yang mendung. Sore yang indah dengan hamparan hijau sawah yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Cilla duduk di tembok jembatan kecil dengan pintu air di bawahnya. Tempat favorit gadis itu sejak kecil. Pintu air itu menghubungkan sebuah waduk buatan kecil untuk pengairan sawah di desa ini. Entah berapa lama gadis itu duduk berdiam diri di sini. Jika sudah menyendiri seperti ini, Cilla tak peduli seberapa lama ia duduk termenung di tempat ini. Sesaat sinar matahari yang terbebas dari bayang-bayang mendung memberikan bias indah. Semburat jingga dengan pemandangan sekitar begitu membaur seolah memberikan buaian mata yang menentramkan jiwa."Ngapain pose kayak kucing kejepit?" kata seseorang yang datang.Cilla sangat hafal, suara berat itu. Suara yang seakan merusak sebuah rasa indah yang tercipta. Suara yang seakan sebuah terompet perang yang menghancurkan kedamaian."Heh, kopi!" ujar pemuda itu lagi sebab tak mendapatkan respon."Ya Allah, kenapa
"Tian, pulanglah dulu sama Pakde Ali. Kamu belum mandi dari semalam," kata Arum menyarankan sang keponakan agar pulang.Pasalnya, Bastian sejak kemarin sore belum ganti baju maupun mandi. Dia sangat khawatir dengan keadaan sang nenek sehingga tak peduli dirinya sendiri."Assalamualaikum," ucap gadis bermata bulat dengan baju kaos dipadu jaket berwarna merah muda itu.WAALAIKUM SALAMJawab serempak semua orang yang berada di kamar rawat ini. Cilla datang membawa rantang bersama Maura sang ibu. Mereka membawakan makanan untuk semua orang yang ada di sini. Mengingat Eyang Adjeng belum sadar sedari kemarin sore.Mereka akhirnya dengan terpaksa makan meskipun tak berselera. Bagaimanapun semua orang haruslah menjaga kesehatan salah satunya makan dengan benar, untuk menjaga wanita tua itu. Kini mereka berada di cafetaria rumah sakit. Akan tetapi Bastian tak mau ikut, sehingga Cilla menemani pemuda itu di kamar. "Makan dulu, Tian." kata Cilla seraya memberikan piring berisi makanan pada Basti
"Apa Cilla mau, Pak? Apa dia bisa menerimanya?" tanya Maura usai kembali dari rumah Eyang Adjeng.Maura begitu bingung saat diskusi dengan keluarga Bastian mengenai pernikahan. Bagaimana tidak bingung? Permintaan wanita tua itu sangat mendadak. Ya, Eyang Adjeng sudah pulang dari rumah sakit pagi tadi setelah bersikeras meminta pulang. Kondisinya belum sepenuhnya baik. Akan tetapi, wanita itu ingin pulang. Sehingga rumah sakit terpaksa mengijinkan dengan catatan, apapun yang akan terjadi dengan Adjeng, bukan tanggung jawab dari pihak rumah sakit."Eyang banyak sekali membantu kita, Maura. Bastian juga tidak buruk. Sepertinya dia sangat menyayangi Cilla. Seperti eyang katakan, kalau dia selama ini menyukai Cilla," kata Ali.Maura berpikir sejenak. Perasaannya kini sedikit membaik setelah sebelumnya kacau. Ia sangat khawatir bila permintaan ini membuat putrinya menolak. Tak lama suara pintu terbuka. Cilla dengan berjalan terseok-seok datang."Astaghfirullahaladziim, Cilla. Kamu kenapa, N