Prakk
"Aku benci sama kamu, Tian!" pekik Cilla usai memukul pemuda itu dengan sebuah balok kayu.Cilla sangat marah sebab pemuda itu menekan jerawatnya di dahi hingga luka. Sebelumnya, mereka berdebat seperti hari-hari biasanya. Tian, Bastian si pemuda jangkung dengan rambut lurus itu memegangi telinganya. Tak lama tangan pemuda itu basah oleh darah akibat luka yang timbul dari pukulan Cilla.Tak hanya hari ini, semenjak mereka masuk di bangku sekolah menengah pertama. Bastian dan Cilla sering terlibat pertengkaran.Kribo, jerawatan, dan kopi adalah sederet kalimat ejekan Cilla yang dilontarkan oleh Bastian."Ahhh..." rintih Bastian masih menekan telinganya yang seakan berdengung.Sesaat Cilla berubah menjadi khawatir. Apakah dirinya keterlaluan memukul Bastian? Tangan lentik gadis itu menyentuh tangan Bastian yang berlumuran darah. Ia segera menarik pemuda itu untuk ke UKS sekolah.***Bastian Hananta, pemuda jangkung dengan mata hitam legam itu memandang lalu lalang motor yang lewat di jalanan dekat rumahnya. Pemuda itu melihatnya dari jendela rumah."Tian..." panggil seorang wanita usia lanjut di ruang tamu.Kaki panjangnya berjalan mendekati sumber suara."Iya, Eyang. Ada apa?" tanya Tian."Kamu sudah antar kuenya ke Tante Maura?" tanya sang nenek."Sudah, Eyang yang nerima si Cilla," jawab Bastian.Wanita usia lanjut itu tersenyum melihat sang cucu menyebut nama gadis itu. Gadis yang sedari kecil dikenalnya bahkan seperti cucunya sendiri sebab gadis itu dulu diasuh olehnya."Ambilkan Eyang obat, Bastian," pinta sang nenek pada cucunya itu.Bastian segera ke lemari obat di dekat lemari pendingin di dapur. Pemuda itu mengambil air putih ke dalam gelas. Segera ia menghampiri sang nenek.Wanita berambut putih itu segera minum obat yang diberikan Bastian. Usai menghabiskan satu gelas penuh air untuk mendorong butiran obat yang ia telan, wanita itu tersenyum pada sang cucu."Eyang sudah makan, kan?" tanya Bastian.Sang nenek menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.Bastian Hananta. Pemuda yang tidak tahu menahu di mana sang ibu dan ayahnya berasal. Pemuda yang sedari bayi diasuh oleh neneknya, Adjeng. Dia pemuda misterius dengan mata sipitnya dan bibir tipis serta kulit putih langsat yang ia miliki membuat pesonanya dipuja kaum gadis di desanya. Namun, sedari SMP ia hanya terhitung satu kali berpacaran dengan teman sekolahnya, Elka. Lantas, siapa Cilla?***"Cilla, ambilkan kue dari eyang ke sini!" titah sang ibu, Maura dari meja makan."Iya Bu," jawab Cilla sambil berjalan ke meja dapur.Gadis itu mengambil kotak berbahan kertas berisi aneka kue basah yang dikirim oleh Nenek Adjeng, nenek dari Bastian. Cilla mengambil piring saji, memindahkan kue tersebut ke piring. Tak lama suara berat mengucap salam di ambang pintu terdengar."Assalamualaikum..."WAALAIKUM SALAMSuara serempak menjawab ucapan salam pria bernama Ali, tak lain sebagai kepala keluarga yang sangat mereka sayangi."Sudah pulang, Pak?" tanya sang istri, Maura sambil mencium punggung tangan pria itu."Iya, Bu. Ini kan hari Jumat, jadi Bapak tutupnya lebih awal," kata pria itu.Cilla datang dengan piring berisi kue di tangannya. Sang ayah tersenyum menatap putrinya yang sudah gadis itu."Wah, Cilla belajar masak?" tanya sang ayah dengan senyum lebar."Tidak, Pak. Ini kue dari Eyang Adjeng," jawab gadis dengan mata bulat tersebut.Gadis itu lekas mencium punggung tangan sang ayah, usai meletakan piring di meja.Mereka pun duduk di meja makan bersama, menyantap kue basah yang diberikan oleh Adjeng, nenek Bastian. Wanita tua itu seringkali mengirim makanan ke rumah keluarga Cilla. Sebab dulu gadis itu sering dititipkan pada Adjeng sewaktu kecil. Selain itu, Eyang Adjeng memiliki toko kue di kecamatan. Di mana setiap hari memproduksi kue dan roti. Maura dulu bekerja di kota. Setiap pagi akan menitipkan Cilla pada Adjeng yang saat itu masih sehat menunggu toko kue miliknya. Sehingga mereka sudah seperti keluarga sendiri. Cilla Adilla, gadis ceria yang pintar dalam hal akademis. Memiliki keluarga bahagia yang selalu ia syukuri. Keluarga yang selalu mendukung dirinya dalam memilih apapun, termasuk jurusan kuliah yang ia jalani.***Sore itu, Cilla sedang duduk di kursi lorong kampus yang biasa digunakan mahasiswa kampus bersantai.CupSuara kecupan di puncak rambut hitam legam milik gadis dengan mata bulat tersebut mendarat. Kepala Cilla mendongak terkejut."Aku kira siapa!" ujar gadis itu protes.Pemuda dengan rambut ikal itu tersenyum lebar. Randi Ferdian, pemuda berwajah terkesan selalu tersenyum itu adalah kekasih Cilla Adilla."Serius banget baca bukunya," kata Randi pada sang kekasih, sambil menghempaskan bokongnya di samping Cilla."Hem, iya. Besok ada kuis jadi aku harus belajar dong," jawab Cilla."Dilla..." sapa seorang gadis yang baru datang.Cilla Adilla, lebih dikenal dengan panggilan Dilla di kampusnya."Iya, El?" jawab Cilla pada gadis yang sudah akrab dengannya."Kamu dipanggil ke ruang Dekan, Dilla." kata gadis dengan mata sayu bernama Elka."Oh, ada apa ya?" tanya Cilla sedikit khawatir."Aduh, itu aku gak begitu paham, Dilla." jawab Elka.Cilla sedikit ragu dan khawatir terlihat dari ekspresi wajahnya yang tak bisa di sembunyikan."Udah gak apa-apa, cepet ke sana. Jangan khawatir gitu dong." kata sang kekasih sambil mengusap rambut panjang gadis itu.Mata Cilla menatap sang kekasih seakan meminta penguatan. Berpacaran dari SMA membuat mereka sama-sama saling memahami satu dengan yang lain."Gak apa-apa, mungkin ada hal penting yang akan disampaikan. Bismillah, gak akan ada apa-apa. Aku bakal nungguin kamu," kata Randi menguatkan sang gadis.Dengan ragu dan hati yang was-was, Cilla berjalan ditemani sang kekasih. Tangan ramping gadis dengan tinggi seratus lima puluh enam sentimeter itu mengetuk pintu. Tak lama suara pria dari dalam menyuruhnya masuk. Cilla menoleh pada sang kekasih."Gak apa-apa, semangat!" ujar Randi memberikan afirmasi positif pada sang gadis.Cilla lantas membuka pintu dan masuk.Di sana sudah ada seseorang yang duduk di hadapan Dekan. Cilla mengernyitkan dahinya dengan ragu kakinya melangkah masuk. Sesaat sampai di kursi hadap, sang Dekan mempersilakan gadis itu untuk duduk. Ia melihat pemuda berwajah kaku si biang kerok yang ia benci ada di sana. Siapa lagi? Ya, Bastian. Pemuda itu seakan enggan melihat Cilla di sebelahnya. Cilla selalu bersinggungan dengan Bastian. Sedari mereka duduk di bangku sekolah, keduanya dipertemukan bahkan kini mereka satu jurusan arsitektur fakultas teknik di kampus yang sama pula."Kalian akan saya tugaskan membuat desain di proyek saya. Saya harap kalian bisa bekerjasama," kata Dekan saat Cilla sudah duduk di samping Bastian.Meskipun sering bersinggungan mereka masih saja tak sepaham, berakhir bertengkar. Cilla melebarkan matanya, ini bukanlah tugas pertama dirinya bersama Bastian. Bukan tanpa alasan, mereka dipasangkan. Hal itu dikarenakan hasil dari proyek yang mereka kerjakan selalu maksimal. Sehingga mereka sudah dipercaya untuk memegang segala proyek untuk menambah nilai tentunya dari dosen.Sedang di luar Randi sedang memainkan game di ponselnya. Hal itu ia lakukan untuk membunuh rasa bosan menunggu sang kekasih yang masih berada di ruangan Dekan.Aku mencintai dalam diam, bukan karena aku pecundang. Aku ingin dia memandangku sebagai perempuan memandang pria. Dia yang terlampau mengabaikan keberadaan diriku yang memiliki perasaan tertarik bahkan sejak kami kecil. Cilla, si gadis ceria. Rambutnya yang ikal terkesan seperti tidak disisir. Wajahnya berjerawat saat masuk SMP. Sebenarnya aku ingin lebih baik padanya, tetapi setiap berhadapan bukannya aku mendapat kesempatan membuatnya nyaman justru bibirku selalu berucap hal yang menyakitinya. Cilla, gadis tomboi yang unik. Dia milikku, sejak kami tumbuh bersama di masa itu. Aku, Bastian pemuda sederhana yang tidak memiliki ayah dan ibu sejak kecil. Hanya eyang, yang menyayangi aku hingga aku dewasa kini.Bastian HanantaMata bulan sabit itu tengah fokus pada layar ponsel yang ia genggam. Alisnya terangkat satu saat melihat sebuah foto yang baru saja muncul di media sosialnya. Tangan kokohnya meletakkan ponsel itu dan nampak menghembuskan nafasnya panjang. Ia beralih berdiri di jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Matanya memandang jauh ke seberang jalan. Di mana rumah bercat hijau tosca itu berada. Tak lama penghuni rumah itu keluar. Dengan kaos putih tulang dan celana pendek, gadis itu sedang menyiram tanaman di depan rumahnya. Seperti sebuah kebetulan, gadis yang ia lihat di ponselnya membagikan fotonya dengan sang kekasih. Kini ada di depan sana.Bastian beralih turun ke lantai satu ia menuju jendela yang ada di dekat pintu.Sang nenek melihat cucunya itu menatap keluar jendela sudah paham. Siapa yang dilihat cucunya itu? Bastian melihat gadis itu yang tengah menyiram tanaman di halaman rumahnya. Bibirnya terangkat membentuk kurva. Binar matanya seolah mengatakan bahwa ia sangat menyukai
Mata bulat itu menyorot jauh ke langit yang mendung. Sore yang indah dengan hamparan hijau sawah yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Cilla duduk di tembok jembatan kecil dengan pintu air di bawahnya. Tempat favorit gadis itu sejak kecil. Pintu air itu menghubungkan sebuah waduk buatan kecil untuk pengairan sawah di desa ini. Entah berapa lama gadis itu duduk berdiam diri di sini. Jika sudah menyendiri seperti ini, Cilla tak peduli seberapa lama ia duduk termenung di tempat ini. Sesaat sinar matahari yang terbebas dari bayang-bayang mendung memberikan bias indah. Semburat jingga dengan pemandangan sekitar begitu membaur seolah memberikan buaian mata yang menentramkan jiwa."Ngapain pose kayak kucing kejepit?" kata seseorang yang datang.Cilla sangat hafal, suara berat itu. Suara yang seakan merusak sebuah rasa indah yang tercipta. Suara yang seakan sebuah terompet perang yang menghancurkan kedamaian."Heh, kopi!" ujar pemuda itu lagi sebab tak mendapatkan respon."Ya Allah, kenapa
"Tian, pulanglah dulu sama Pakde Ali. Kamu belum mandi dari semalam," kata Arum menyarankan sang keponakan agar pulang.Pasalnya, Bastian sejak kemarin sore belum ganti baju maupun mandi. Dia sangat khawatir dengan keadaan sang nenek sehingga tak peduli dirinya sendiri."Assalamualaikum," ucap gadis bermata bulat dengan baju kaos dipadu jaket berwarna merah muda itu.WAALAIKUM SALAMJawab serempak semua orang yang berada di kamar rawat ini. Cilla datang membawa rantang bersama Maura sang ibu. Mereka membawakan makanan untuk semua orang yang ada di sini. Mengingat Eyang Adjeng belum sadar sedari kemarin sore.Mereka akhirnya dengan terpaksa makan meskipun tak berselera. Bagaimanapun semua orang haruslah menjaga kesehatan salah satunya makan dengan benar, untuk menjaga wanita tua itu. Kini mereka berada di cafetaria rumah sakit. Akan tetapi Bastian tak mau ikut, sehingga Cilla menemani pemuda itu di kamar. "Makan dulu, Tian." kata Cilla seraya memberikan piring berisi makanan pada Basti
"Apa Cilla mau, Pak? Apa dia bisa menerimanya?" tanya Maura usai kembali dari rumah Eyang Adjeng.Maura begitu bingung saat diskusi dengan keluarga Bastian mengenai pernikahan. Bagaimana tidak bingung? Permintaan wanita tua itu sangat mendadak. Ya, Eyang Adjeng sudah pulang dari rumah sakit pagi tadi setelah bersikeras meminta pulang. Kondisinya belum sepenuhnya baik. Akan tetapi, wanita itu ingin pulang. Sehingga rumah sakit terpaksa mengijinkan dengan catatan, apapun yang akan terjadi dengan Adjeng, bukan tanggung jawab dari pihak rumah sakit."Eyang banyak sekali membantu kita, Maura. Bastian juga tidak buruk. Sepertinya dia sangat menyayangi Cilla. Seperti eyang katakan, kalau dia selama ini menyukai Cilla," kata Ali.Maura berpikir sejenak. Perasaannya kini sedikit membaik setelah sebelumnya kacau. Ia sangat khawatir bila permintaan ini membuat putrinya menolak. Tak lama suara pintu terbuka. Cilla dengan berjalan terseok-seok datang."Astaghfirullahaladziim, Cilla. Kamu kenapa, N
"Dilla..." panggil pemuda itu.Cilla memandang pemuda itu dengan sendu. Pemuda yang selama enam tahun lamanya bersamanya. Pemuda yang selalu mengisi hatinya. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya pemuda yang kini mendekat pada Cilla.Mata indah itu. Bola mata jernih dengan bibir kemerahan. Bulu mata lentik dengan jambang yang sedikit menghiasi wajah putih bersihnya. Cilla, memandang pemuda itu nanar. Randi, kekasihnya. Ralat, Randi mantannya."Kenapa bisa begini? Aku sudah bilang tunggu di klinik, kita pulang bareng. Kenapa kamu pulang sendiri?" tanya Randi sambil melihat keadaan kaki Cilla dengan teliti."Randi, mulai sekarang. Jangan panggil aku, Sayang. Karena hubungan kita putus sampai di sini." kata Cilla dengan bergetar.Air mata gadis itu tumpah lagi. Pemuda itu membeku tak percaya. Dia ingat terakhir menelepon kekasihnya ini hubungan mereka baik-baik saja."Kamu sedang bergurau, Sayang. Maaf tadi aku sedikit terlambat. Tapi aku sudah mengirim pesan kan tadi? Jangan marah ya, ma
"Mama, dengar pertanyaan Randi kan?" tanya Randi tak menurunkan nada bicaranya. Randi terlihat begitu bersedih terbukti matanya yang tak hentinya mengeluarkan air mata. "Aduh-aduh, Randi! Ya tentu! Mama sudah katakan dari awal ke kamu, kan. Mama gak mau kamu punya istri gadis desa," jawab Irina tanpa dosa. "Mama, padahal selama ini aku selalu berusaha hilangkan pandangan Mama tentang itu. Bahkan Randi mendekatkan Dilla sama Mama. Kenapa Mama masih saja tidak melihat keseriusan aku, Ma?" bantah Randi dengan mengeluarkan segala perasaan kecewanya pada sang ibu. "Randi! Keluarga kita adalah keluarga wealthy. Apa kata keluarga besar kita kalau punya menantu orang desa, mana bapaknya montir. Astaga!" ujar Irina dengan jujur. Wanita dengan kulit seputih porselen itu berbicara dengan melipat kedua tangannya di dada. "Astaghfirullahaladziim, Ma. Randi gak nyangka, Mama seperti ini! Bapaknya Dilla pengusaha bengkel, Ma. Bukan montir, dan lagi, dari manapun asal seseorang, yang penting d
Cilla memejamkan matanya sesaat. Entahlah, perasaan aneh ia rasakan detik ini. Gugup, malu dan perasaan yang tak mampu dikatakan itu terus menenggelamkan dirinya pada sebuah pikiran itu. Bayangan pagi tadi yang nampak horor ini terus berlanjut berputar seperti kaset rusak di kepalanya. "Kenapa sih, biang kerok ke sini? Apa dia sengaja bikin aku sebal?" tanya Cilla di dalam hati. "Tante, iya baru pulang dari kerja," kata Bastian merespon sapaan Maura. Suara berat Bastian terdengar di ruangan. Pemuda itu menaruh tas ranselnya di kursi ruang tamu. Rambutnya yang sedikit tak rapi justru membuat pemuda itu terlihat tampan. Siapa yang tidak mau dekat dengan Bastian? Bahkan gadis satu desa sudah banyak yang berusaha mencari perhatian dari pemuda itu. Akan tetapi Bastian seolah tidak memberikan sedikitpun kesempatan seseorang hadir di hatinya. Hal itu membuat gadis yang menaruh hati padanya mundur secara teratur. "Bapak bisa barengan sama Bastian?" tanya Maura pada sang suami. Ali datang
Mata indah itu seakan bersinar dalam cahaya redup. Senyumannya terbingkai menjadi keteduhan saat dipandang. Randi tersenyum lantas segera berlari menghampiri gadis itu. Namun, belum sampai seorang pemuda menarik tangan gadis itu dan membawanya. "Tidak, Dilla tunggu!" teriak Randi lantas membuka matanya. Dia bermimpi bertemu Cilla Adilla kekasihnya yang memutuskan dirinya secara sepihak. Pemuda itu mengusap keningnya yang berpeluh. Nafasnya masih terengah-engah seakan usai berlari maraton. Tangannya gemetar mengambil air putih yang ada di samping ranjangnya. Kakinya turun dari ranjang. Randi duduk lantas meneguk satu gelas penuh air putih. Mimpi. * "Pagi Eyang," sapa sahabat Bastian, Elka. Gadis itu memang kerap ke rumah Bastian. Selain mendatangi sahabatnya itu, Elka juga bekerja di toko kue Eyang Adjeng sebagai staf administrasi di sana. Gadis dengan tinggi seratus lima puluh sentimeter itu kerap memberikan laporan mengenai keuangan juga semua hal bersangkutan dengan masalah mana