Mata bulat itu menyorot jauh ke langit yang mendung. Sore yang indah dengan hamparan hijau sawah yang tumbuh di sepanjang mata memandang. Cilla duduk di tembok jembatan kecil dengan pintu air di bawahnya. Tempat favorit gadis itu sejak kecil. Pintu air itu menghubungkan sebuah waduk buatan kecil untuk pengairan sawah di desa ini. Entah berapa lama gadis itu duduk berdiam diri di sini. Jika sudah menyendiri seperti ini, Cilla tak peduli seberapa lama ia duduk termenung di tempat ini. Sesaat sinar matahari yang terbebas dari bayang-bayang mendung memberikan bias indah. Semburat jingga dengan pemandangan sekitar begitu membaur seolah memberikan buaian mata yang menentramkan jiwa.
"Ngapain pose kayak kucing kejepit?" kata seseorang yang datang.Cilla sangat hafal, suara berat itu. Suara yang seakan merusak sebuah rasa indah yang tercipta. Suara yang seakan sebuah terompet perang yang menghancurkan kedamaian."Heh, kopi!" ujar pemuda itu lagi sebab tak mendapatkan respon."Ya Allah, kenapa selalu saja ada perusuh di hidupku?"Siapa pemuda itu? Siapa lagi makhluk yang memanggil gadis manis itu dengan sebutan kopi? Ya, tentu Bastian. Pemuda itu turun dari sepedanya segera menghampiri Cilla. Tangannya mengacak rambut gadis itu yang tengah memejamkan mata."Agggghhhh, biang kerok!" teriak Cilla dengan menepis tangan kekar pria itu."Kamu bilang aku perusuh?""Yah emang kan perusuh? Biang kerok!"Dan sekali lagi Tian mengacak rambut Cilla yang sudah setengah berantakan."Ah, udah dong! Kamu jahat!" ujar Cilla.Tian akhirnya berhenti dan beralih duduk menatap matahari tenggelam di sana. Sedang Cilla melepas ikatan rambut yang sudah berantakan itu. Gadis itu sibuk membenarkan ikatan rambutnya kembali. Untunglah suasana indah dengan hembusan angin lembut yang menyejukkan. Sehingga meredam rasa kesal Cilla pada pemuda itu. Tanpa kata terucap, mereka diam sambil menikmati indahnya matahari tenggelam berangsur berganti dengan gelap. Suara adzan Maghrib bersahutan. Cilla berdiri kemudian mengambil sepedanya berwarna merah muda itu. Diikuti Tian juga bergegas membawa sepedanya. Jika mereka saling diam seperti ini, orang akan mengira mereka adalah teman baik yang rukun. Namun, sekali saja kalimat yang keluar dari salah satu dari mereka maka dunia akan berkata lain. Berdebat dan selalu saling mengejek. Entahlah, mereka tak pernah akur dalam setiap kesempatan.Sesampainya di rumah Tian menyalakan lampu yang tak biasanya masih belum menyala."Assalamualaikum, Eyang..." sapa Tian.Adzan Maghrib sudah berkumandang, tetapi sang nenek tak terlihat. Biasanya mereka akan salat berjamaah. Tian ingin meminta sang nenek menunggunya. Kaki panjang pemuda itu menuju kamar utama di mana sang nenek berada. Pemuda itu lantas membuka pintu berbahan jati yang terukir khas ini.KlekSuara handel pintu ditekan dan segera terbuka.Mata Tian membola ketika melihat sang nenek tertelungkup di lantai."Eyang!" seru Tian lantas menggendong tubuh wanita tua itu.Tian berteriak memanggil Bude Arum agar membantunya."Bude... Tolong!" seru Bastian.Arum yang saat itu sudah menggunakan mukena hendak pergi ke mushola berteriak histeris. Arum berlari lantas membuka pintu mobil bagian penumpang."Eyang kenapa, Tian?" tanya Arum yang sudah berderai air mata."Kita ke rumah sakit, Bude! Tian gak tau kenapa. Tian pulang nemuin Eyang sudah begini," jawab Tian setelah memasukkan sang nenek di kursi penumpang.Pemuda itu bergegas masuk kembali mengambil kunci mobil yang ada di ruang televisi."Vika...!" teriak Arum.Rumah Arum yang berada persis di samping rumah ini membuat suaranya segera didengar sang putri. Vika sepupu Bastian itu keluar dan segera mendekat."Bu, kenapa? Ada apa?" tanya Vika melihat sang ibu berderai air mata."Cepat buka pagarnya, Vika! Mas Tian sama ibu mau ke rumah sakit!"Vika lantas ke pagar membuka pintu itu selebar-lebarnya. Segera mobil hitam itu keluar dari rumah. Tetangga yang hendak pergi ke mushola berdatangan. Mereka mendengar teriakan Arum dan ingin tahu apa yang terjadi. Termasuk ayah dari Cilla, Pak Ali."Apa yang terjadi, Vika?" tanya Ali."Eyang sakit, aku juga tak tahu. Ibu hanya menangis tidak menjawab pertanyaan aku, Pakde." jawab Vika dengan gemetar.Sedangkan Maura ibu dari Cilla datang dengan segelas air putih."Minum dulu, Vika!" titah Maura mengantarkan gelas berisi air putih itu.Beberapa tetangga yang datang berangsur bubar sebab iqamah terdengar. Mereka bergegas menuju musholla. Tinggallah Maura dan Ali menemani Vika. Dibandingkan tetangga yang lain, keluarga Cilla sangat dekat dengan mereka. Bahkan mereka sudah seperti keluarga.***"Randi, maafkan aku. Tetapi, ibu dan bapak meminta agar kita putus saja. Aku menyayangimu, Randi." kata Cilla.Suasana remang-remang sensasi warna hitam putih memberikan suasana lain saat itu."Dill, aku sudah meminta mama sama papa untuk meng-khitbah kamu. Namun, mereka ingin aku lulus dan mendapat pekerjaan lebih dahulu. Please, jangan putuskan hubungan kita," kata Randi memohon.Cilla harus menuruti apa yang diinginkan kedua orangtuanya sehingga tak bisa mempertahankan hubungan mereka lebih lama."Bapak bilang, jika kita tetap berteman sampai kamu bisa menikahi aku, Randi. Kita hanya memutuskan untuk tidak berpacaran saja.""Tidak, aku gak mau, Dil. Aku gak mau!" tolak Randi.Tangan pria itu hendak menggapai tangan Cilla. Namun, gadis itu menghindar."Bersabarlah Dilla, sedikit saja. Jangan lakukan ini padaku!" pinta pemuda itu."Randi!" seru Cilla bangun dari tidurnya.Gadis itu terbangun dari tidur. Bahkan ia masih menggunakan mukenah saat ini. Mata bulat itu memandang jam yang ada di dinding. Pukul 03.10 jam yang tertera di sana. Air matanya turun membasahi pipi. Ia melepas mukenanya dan bergegas ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya. Dan segera mengambil air wudhu. Rumah sangat sepi sebab kedua orangtuanya sedang di rumah sakit menemani Eyang Adjeng yang dirawat di sana.Cilla menunaikan salat tahajud. Ia memang usai salat istikharah sebelumnya hingga ia tertidur di lantai di atas sajadahnya."Ya Allah, jika Randi jodohku maka biarkanlah kami segera bersatu sesuai yang diminta oleh kedua orangtuaku. Akan tetapi bila dia bukanlah jodohku, maka dengan jalanmu hamba meminta kebaikan dan kekuatan hati agar mampu menerima takdir yang Engkau gariskan."Doa itu menjadi kekuatan untuk Cilla. Diminta untuk memutuskan hubungan dengan kekasihnya membuat Cilla sangat sedih akhir-akhir ini. Sedang ia belum bertemu dengan Randi yang sedang dinas koas di kota lain sehingga ia belum menemui kekasihnya itu.Hatinya lebih tenang saat menangis usai ia berdoa. Ada kelegaan tersendiri tetapi, belum sepenuhnya tenang. Cilla akhirnya bisa tidur lagi meskipun hanya satu jam setelahnya ia menunaikan salat subuh.Sedang di rumah sakit pagi itu, Bastian duduk di samping sang nenek yang masih memejamkan mata. Sakit wanita itu kambuh lagi. Suara tetesan infus memenuhi ruangan ditemani denting jam yang seakan membuat Bastian tak mampu sekedar berpaling dari sang nenek. Sakit apakah Eyang Adjeng? Bagaimana kondisinya hingga belum juga siuman?"Tian, pulanglah dulu sama Pakde Ali. Kamu belum mandi dari semalam," kata Arum menyarankan sang keponakan agar pulang.Pasalnya, Bastian sejak kemarin sore belum ganti baju maupun mandi. Dia sangat khawatir dengan keadaan sang nenek sehingga tak peduli dirinya sendiri."Assalamualaikum," ucap gadis bermata bulat dengan baju kaos dipadu jaket berwarna merah muda itu.WAALAIKUM SALAMJawab serempak semua orang yang berada di kamar rawat ini. Cilla datang membawa rantang bersama Maura sang ibu. Mereka membawakan makanan untuk semua orang yang ada di sini. Mengingat Eyang Adjeng belum sadar sedari kemarin sore.Mereka akhirnya dengan terpaksa makan meskipun tak berselera. Bagaimanapun semua orang haruslah menjaga kesehatan salah satunya makan dengan benar, untuk menjaga wanita tua itu. Kini mereka berada di cafetaria rumah sakit. Akan tetapi Bastian tak mau ikut, sehingga Cilla menemani pemuda itu di kamar. "Makan dulu, Tian." kata Cilla seraya memberikan piring berisi makanan pada Basti
"Apa Cilla mau, Pak? Apa dia bisa menerimanya?" tanya Maura usai kembali dari rumah Eyang Adjeng.Maura begitu bingung saat diskusi dengan keluarga Bastian mengenai pernikahan. Bagaimana tidak bingung? Permintaan wanita tua itu sangat mendadak. Ya, Eyang Adjeng sudah pulang dari rumah sakit pagi tadi setelah bersikeras meminta pulang. Kondisinya belum sepenuhnya baik. Akan tetapi, wanita itu ingin pulang. Sehingga rumah sakit terpaksa mengijinkan dengan catatan, apapun yang akan terjadi dengan Adjeng, bukan tanggung jawab dari pihak rumah sakit."Eyang banyak sekali membantu kita, Maura. Bastian juga tidak buruk. Sepertinya dia sangat menyayangi Cilla. Seperti eyang katakan, kalau dia selama ini menyukai Cilla," kata Ali.Maura berpikir sejenak. Perasaannya kini sedikit membaik setelah sebelumnya kacau. Ia sangat khawatir bila permintaan ini membuat putrinya menolak. Tak lama suara pintu terbuka. Cilla dengan berjalan terseok-seok datang."Astaghfirullahaladziim, Cilla. Kamu kenapa, N
"Dilla..." panggil pemuda itu.Cilla memandang pemuda itu dengan sendu. Pemuda yang selama enam tahun lamanya bersamanya. Pemuda yang selalu mengisi hatinya. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya pemuda yang kini mendekat pada Cilla.Mata indah itu. Bola mata jernih dengan bibir kemerahan. Bulu mata lentik dengan jambang yang sedikit menghiasi wajah putih bersihnya. Cilla, memandang pemuda itu nanar. Randi, kekasihnya. Ralat, Randi mantannya."Kenapa bisa begini? Aku sudah bilang tunggu di klinik, kita pulang bareng. Kenapa kamu pulang sendiri?" tanya Randi sambil melihat keadaan kaki Cilla dengan teliti."Randi, mulai sekarang. Jangan panggil aku, Sayang. Karena hubungan kita putus sampai di sini." kata Cilla dengan bergetar.Air mata gadis itu tumpah lagi. Pemuda itu membeku tak percaya. Dia ingat terakhir menelepon kekasihnya ini hubungan mereka baik-baik saja."Kamu sedang bergurau, Sayang. Maaf tadi aku sedikit terlambat. Tapi aku sudah mengirim pesan kan tadi? Jangan marah ya, ma
"Mama, dengar pertanyaan Randi kan?" tanya Randi tak menurunkan nada bicaranya. Randi terlihat begitu bersedih terbukti matanya yang tak hentinya mengeluarkan air mata. "Aduh-aduh, Randi! Ya tentu! Mama sudah katakan dari awal ke kamu, kan. Mama gak mau kamu punya istri gadis desa," jawab Irina tanpa dosa. "Mama, padahal selama ini aku selalu berusaha hilangkan pandangan Mama tentang itu. Bahkan Randi mendekatkan Dilla sama Mama. Kenapa Mama masih saja tidak melihat keseriusan aku, Ma?" bantah Randi dengan mengeluarkan segala perasaan kecewanya pada sang ibu. "Randi! Keluarga kita adalah keluarga wealthy. Apa kata keluarga besar kita kalau punya menantu orang desa, mana bapaknya montir. Astaga!" ujar Irina dengan jujur. Wanita dengan kulit seputih porselen itu berbicara dengan melipat kedua tangannya di dada. "Astaghfirullahaladziim, Ma. Randi gak nyangka, Mama seperti ini! Bapaknya Dilla pengusaha bengkel, Ma. Bukan montir, dan lagi, dari manapun asal seseorang, yang penting d
Cilla memejamkan matanya sesaat. Entahlah, perasaan aneh ia rasakan detik ini. Gugup, malu dan perasaan yang tak mampu dikatakan itu terus menenggelamkan dirinya pada sebuah pikiran itu. Bayangan pagi tadi yang nampak horor ini terus berlanjut berputar seperti kaset rusak di kepalanya. "Kenapa sih, biang kerok ke sini? Apa dia sengaja bikin aku sebal?" tanya Cilla di dalam hati. "Tante, iya baru pulang dari kerja," kata Bastian merespon sapaan Maura. Suara berat Bastian terdengar di ruangan. Pemuda itu menaruh tas ranselnya di kursi ruang tamu. Rambutnya yang sedikit tak rapi justru membuat pemuda itu terlihat tampan. Siapa yang tidak mau dekat dengan Bastian? Bahkan gadis satu desa sudah banyak yang berusaha mencari perhatian dari pemuda itu. Akan tetapi Bastian seolah tidak memberikan sedikitpun kesempatan seseorang hadir di hatinya. Hal itu membuat gadis yang menaruh hati padanya mundur secara teratur. "Bapak bisa barengan sama Bastian?" tanya Maura pada sang suami. Ali datang
Mata indah itu seakan bersinar dalam cahaya redup. Senyumannya terbingkai menjadi keteduhan saat dipandang. Randi tersenyum lantas segera berlari menghampiri gadis itu. Namun, belum sampai seorang pemuda menarik tangan gadis itu dan membawanya. "Tidak, Dilla tunggu!" teriak Randi lantas membuka matanya. Dia bermimpi bertemu Cilla Adilla kekasihnya yang memutuskan dirinya secara sepihak. Pemuda itu mengusap keningnya yang berpeluh. Nafasnya masih terengah-engah seakan usai berlari maraton. Tangannya gemetar mengambil air putih yang ada di samping ranjangnya. Kakinya turun dari ranjang. Randi duduk lantas meneguk satu gelas penuh air putih. Mimpi. * "Pagi Eyang," sapa sahabat Bastian, Elka. Gadis itu memang kerap ke rumah Bastian. Selain mendatangi sahabatnya itu, Elka juga bekerja di toko kue Eyang Adjeng sebagai staf administrasi di sana. Gadis dengan tinggi seratus lima puluh sentimeter itu kerap memberikan laporan mengenai keuangan juga semua hal bersangkutan dengan masalah mana
Randi memutuskan untuk mengambil libur secara bersamaan sebelum itu dia juga meminta temannya menggantikan jadwalnya beberapa hari. Dia benar-benar tak mampu berkonsentrasi jika terus menerus memikirkan permasalahannya dengan Cilla. Berhari-hari pemuda dengan bulu mata lentik ini memimpikan mantan kekasihnya. "Sayang, kamu pulang?" sambut sang ibu, Irina melihat Randi datang membawa tas besar. Randi hanya melewati sang ibu menghindar dari pelukan ibunya. Dia masih marah pada ibunya sebab membuat hubungannya dan Cilla berakhir. Irina menghembuskan nafasnya kasar lantas berkata dalam hati. "Kebetulan kamu pulang, mama akan mendekatkan kamu pada Claire, Randi. Hem, gadis secantik itu apa mampu kamu tolak anak mama yang keras kepala?" Siapakah Claire yang dimaksudkan oleh Irina? * Lima menit perjalanan menggunakan mobil terasa berjam-jam. Cilla dan Bastian saling bungkam. Hanya deru suara mesin mobil menemani mereka. Cilla masih merasa kesal dengan gaya usahanya untuk bercanda tetap
“Dilla, aku sudah berdiskusi sama nenekku. Beliau mengijinkan aku untuk menikahi kamu. Siang tadi aku ke rumah sudah berbicara dengan bapak sama ibu kamu, tetapi mereka berkata membebaskan pilihan padamu. Tolong balas pesanku ini!” Teks pesan itu Cilla baca dengan hati yang seakan nyeri tak terkira. Air mata gadis itu turun membasahi pipinya. Pesan dari Randi yang barusan ia baca membuat hatinya seakan terbelah. Tangannya memutar cincin emas putih yang melingkar di jari manisnya. ...anak kita seorang dokter dapat anak montir. Kalimat Irina yang menyebut dirinya hanya gadis desa dan anak seorang montir tereus menerus menggema di telinganya. Jika kalimat itui ia ingat Cilla akan merasa sedih dan membenarkan pilihannya untuk terpkasa menerima lamaran Bastian. "Aku harus bagaimana?" monolognya dalam kesendirian. Sesampainya di rumah, Cilla duduk di ruang tamu. Sang ayah dan ibunya menunggunya. Mereka bercerita bila Randi dan nenek serta kakeknya datang melamarnya. Kedua orangtuanya m