"Apa Cilla mau, Pak? Apa dia bisa menerimanya?" tanya Maura usai kembali dari rumah Eyang Adjeng.
Maura begitu bingung saat diskusi dengan keluarga Bastian mengenai pernikahan. Bagaimana tidak bingung? Permintaan wanita tua itu sangat mendadak. Ya, Eyang Adjeng sudah pulang dari rumah sakit pagi tadi setelah bersikeras meminta pulang. Kondisinya belum sepenuhnya baik. Akan tetapi, wanita itu ingin pulang. Sehingga rumah sakit terpaksa mengijinkan dengan catatan, apapun yang akan terjadi dengan Adjeng, bukan tanggung jawab dari pihak rumah sakit."Eyang banyak sekali membantu kita, Maura. Bastian juga tidak buruk. Sepertinya dia sangat menyayangi Cilla. Seperti eyang katakan, kalau dia selama ini menyukai Cilla," kata Ali.Maura berpikir sejenak. Perasaannya kini sedikit membaik setelah sebelumnya kacau. Ia sangat khawatir bila permintaan ini membuat putrinya menolak. Tak lama suara pintu terbuka. Cilla dengan berjalan terseok-seok datang."Astaghfirullahaladziim, Cilla. Kamu kenapa, Nak?"Gadis itu menatap sang ibu menahan air mata. Ia menangis sejadinya saat wanita yang telah melahirkan dirinya itu memeluknya erat."Hua... Cilla jatuh, Bu," kata Cilla sambil menangis tersedu.Mungkin Maura maupun Ali mengira tangisan itu karena Cilla merasakan sakit sebab terlihat beberapa luka di kakinya. Namun, gadis itu menangis seperti itu dengan sebab lain. Ya, sebab yang tak bisa ia jelaskan dengan kalimat saja. Gadis ceria itu nampak bersedih dan kacau."Cilla kenapa bisa jatuh seperti ini?".Sebelumnya.Tin....Suara klakson membuat Cilla tersadar. Ia lantas membanting setir ke kanan secara kilat, motor dan gadis itu masuk semak-semak.Blusek...Seperti film lucu yang memperlihatkan adegan pemainnya jatuh dan terlihat melawak. Beberapa pengendara yang lewat berhenti. Mereka menolong Cilla yang tersangkut di antara semak belukar yang tingginya mencapai dua meter itu. Gadis mungil itu berhasil ditarik dengan sepeda yang juga tersangkut di sana. Suasana yang dramatis. Gadis itu menangis membuat semua orang yang menolongnya khawatir hingga ia dibawa ke rumah sakit terdekat. Kakinya yang tersangkut semak terluka cukup dalam hingga mendapatkan tiga jahitan. Ia diantar dua orang pria baik yang menolongnya tadi.Saat ini Maura membersihkan wajah sang putri dengan handuk basah. Wajah Cilla sungguh mengerikan. Matanya sembab akibat entah berapa lama menangis. Sang ibu dan ayahnya mengira luka yang dialami sang anak cukup serius sehingga, Cilla tak berhenti menangis."Apa kakinya sakit, Cilla? Apakah dokter tidak memberikan obat pereda nyeri?" tanya Maura pada sang anak.Cilla hanya terdiam. Tolonglah, katakan pada Maura. Katakan jika anaknya sedang patah hati. Maura yang tak mendapatkan jawaban dari sang putri, paham keadaan anaknya. Ya, paham jika Cilla merasakan sakit sebab kecelakaan.Tak lama Bastian datang membawa kue di piring. Pemuda itu dipersilahkan masuk oleh Ali."Terimakasih, Tian." ucap Ali pada pemuda itu."Sama-sama, Om." jawab Bastian.Mata Tian beredar kesana kemari. Ali paham lantas berkata."Cilla habis kecelakaan, Tian. Dia sekarang di kamar sama Tante Maura," jelas Ali memberitahu.Tian terkejut mendengar kalimat tersebut. Tian lantas meminta ijin untuk melihat gadis itu. Ali tentu mempersilakan Bastian. Sesaat pemuda itu masuk, Maura yang selesai menyeka badan Cilla berdiri dan meninggalkan mereka berdua. Bastian duduk di samping kasur. Ia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang gadis itu."Kok bisa jatuh?" tanya Tian.Cilla hanya diam tak menjawab kalimat pemuda itu."Kopi! Kamu denger kan? Ah, apa kamu mengalami semacam amnesia karena mengalami kecelakaan?" tanya Tian lagi.SretTian menyentil kening Cilla dengan sedikit keras sehingga menyadarkan gadis itu."Auh. Sakit, dasar Biang kerok!" ketus Cilla."Ya habisnya, ditanyain diem aja!"Tak disangka gadis dengan mata yang sudah sembab itu memeluk Tian. Cilla menangis lagi. Tian membeku mendapati sisi manja Cilla yang telah lama tidak pernah ia temui lagi."Tian, aku putus sama Randi. Mamanya Randi gak mau punya mantu orang desa. Mamanya Randi gak mau punya besan montir. Hikshikshiks," kata Cilla dalam pelukannya.Gadis itu menangis tersedu. Tian seakan terkejut mendengar kenyataan itu. Apakah ini sebuah tanda jika dirinya bisa memenuhi permintaan sang nenek? Ada senyum tipis di bibir pemuda itu. Namun, sesaat mendengar gadis itu menangis Tian sadar. Rasa pedih yang dialami Cilla seakan dirinya rasakan."Tenanglah, cerita dengan benar. Ada apa sebenarnya?" tanya Tian mengurai pelukan."Tadi aku ke tempatnya orangtua Randi," cerita Cilla."Sendirian? Atau sama Randi?" tanya Bastian."Sendirian, Randi baru pulang nanti malam," jawab Cilla. Kemudian gadis itu menceritakan dari awal hingga akhir tanpa terlewat bahkan ia juga menceritakan kemalangan dirinya mengalami kecelakaan.Bastian menahan tawa saat Cilla menceritakan bila dirinya terangkut di semak belukar."Kenapa kamu ketawa? Kamu senang lihat aku sengsara?" tanya Cilla kesal."Ya habisnya, gimana kamu ini nyetir motor saja sampai jatuh gitu," ejek Tian."Kamu beneran gak punya empati ya, Tian?""Hem, maaf. Ya udahlah. Kamu istirahat, cepet sehat. Jangan banyak gerak. Kalau sudah lebih tenang, kamu bisa bicara sama Randi. Kalian selesaikan. Tapi ingat, Kopi. Orangtua Randi tidak menginginkan kamu. Pikirkan jika nanti kamu nekat menikah sama Randi, apa iya kamu mau musuhan sama orangtuanya? Yang aku tau, anak laki-laki itu sampai kapanpun milik ibunya, berbeda dengan perempuan. Dalam arti seorang pria wajib mendengarkan ibunya, bukan? Surganya ada pada ibunya. Sabar ya, aku paham perasan kamu."Cilla terdiam mendengarkan petuah dari Bastian. Ini sangat langka, pemuda itu memberikan nasehat yang begitu bijak. Ah, benar-benar aneh."Tumben kamu bijak, biang kerok? Ah kamu jadi pemuda tampan sedikit kalau begini," puji Cilla."Ish, aku memang tampan sih! Buktinya banyak yang kejar-kejar aku. Aku aja gak mau pacaran.""Dih, tingkat percaya dirimu tidak bisa tertolong, Tian!""Tumben panggil bener!""Dih, aku selalu panggil kamu bener. Kamu aja yang panggil aku sesuka hatimu! Dasar!""Iya, Cil! Kan, udah bener panggilnya?""Bolehlah,"HEHEHEHEMereka tertawa bersama. Syukurlah, Tian bisa membuat gadis itu sejenak melupakan rasa sakitnya. Menjalin hubungan bertahun-tahun tak mudah membuatnya melupakan secara singkat kenangan mereka."Makasih, ya Tian. Kamu buat aku tertawa. Kamu memang teman yang paling baik," ucap Cilla pada Tian."Yah, terpaksa. Karena kasian. Udah putus cinta, kecelakaan pula. Sangat mengenaskan nasibmu, Kopi!" ujar Tian."Hem, kan ngeselin lagi! Kamu gak bisa sedikit aja gitu berempati. Baik kok cuman sekejap! Sekarang kembali lagi pada Bastian biang kerok!" ujar Cilla.CtakTangan Cilla menyentil kening Tian."Duh, sakit!""Ya satu sama, tadi kan kamu nyentil aku sih."Cilla tertawa melihat Tian menggosok keningnya dengan sedikit merajuk. Tak lama pintu kamar Cilla diketuk, Maura masuk dan berkata."Cilla, ada tamu nih, silahkan Nak," kata sang ibu.Cilla membulatkan matanya. Sedang Bastian hanya diam di tempatnya. Siapa tamu tersebut? Mengapa Cilla sangat terkejut dengan kedatangannya?"Dilla..." panggil pemuda itu.Cilla memandang pemuda itu dengan sendu. Pemuda yang selama enam tahun lamanya bersamanya. Pemuda yang selalu mengisi hatinya. "Kamu baik-baik saja, Sayang?" tanya pemuda yang kini mendekat pada Cilla.Mata indah itu. Bola mata jernih dengan bibir kemerahan. Bulu mata lentik dengan jambang yang sedikit menghiasi wajah putih bersihnya. Cilla, memandang pemuda itu nanar. Randi, kekasihnya. Ralat, Randi mantannya."Kenapa bisa begini? Aku sudah bilang tunggu di klinik, kita pulang bareng. Kenapa kamu pulang sendiri?" tanya Randi sambil melihat keadaan kaki Cilla dengan teliti."Randi, mulai sekarang. Jangan panggil aku, Sayang. Karena hubungan kita putus sampai di sini." kata Cilla dengan bergetar.Air mata gadis itu tumpah lagi. Pemuda itu membeku tak percaya. Dia ingat terakhir menelepon kekasihnya ini hubungan mereka baik-baik saja."Kamu sedang bergurau, Sayang. Maaf tadi aku sedikit terlambat. Tapi aku sudah mengirim pesan kan tadi? Jangan marah ya, ma
"Mama, dengar pertanyaan Randi kan?" tanya Randi tak menurunkan nada bicaranya. Randi terlihat begitu bersedih terbukti matanya yang tak hentinya mengeluarkan air mata. "Aduh-aduh, Randi! Ya tentu! Mama sudah katakan dari awal ke kamu, kan. Mama gak mau kamu punya istri gadis desa," jawab Irina tanpa dosa. "Mama, padahal selama ini aku selalu berusaha hilangkan pandangan Mama tentang itu. Bahkan Randi mendekatkan Dilla sama Mama. Kenapa Mama masih saja tidak melihat keseriusan aku, Ma?" bantah Randi dengan mengeluarkan segala perasaan kecewanya pada sang ibu. "Randi! Keluarga kita adalah keluarga wealthy. Apa kata keluarga besar kita kalau punya menantu orang desa, mana bapaknya montir. Astaga!" ujar Irina dengan jujur. Wanita dengan kulit seputih porselen itu berbicara dengan melipat kedua tangannya di dada. "Astaghfirullahaladziim, Ma. Randi gak nyangka, Mama seperti ini! Bapaknya Dilla pengusaha bengkel, Ma. Bukan montir, dan lagi, dari manapun asal seseorang, yang penting d
Cilla memejamkan matanya sesaat. Entahlah, perasaan aneh ia rasakan detik ini. Gugup, malu dan perasaan yang tak mampu dikatakan itu terus menenggelamkan dirinya pada sebuah pikiran itu. Bayangan pagi tadi yang nampak horor ini terus berlanjut berputar seperti kaset rusak di kepalanya. "Kenapa sih, biang kerok ke sini? Apa dia sengaja bikin aku sebal?" tanya Cilla di dalam hati. "Tante, iya baru pulang dari kerja," kata Bastian merespon sapaan Maura. Suara berat Bastian terdengar di ruangan. Pemuda itu menaruh tas ranselnya di kursi ruang tamu. Rambutnya yang sedikit tak rapi justru membuat pemuda itu terlihat tampan. Siapa yang tidak mau dekat dengan Bastian? Bahkan gadis satu desa sudah banyak yang berusaha mencari perhatian dari pemuda itu. Akan tetapi Bastian seolah tidak memberikan sedikitpun kesempatan seseorang hadir di hatinya. Hal itu membuat gadis yang menaruh hati padanya mundur secara teratur. "Bapak bisa barengan sama Bastian?" tanya Maura pada sang suami. Ali datang
Mata indah itu seakan bersinar dalam cahaya redup. Senyumannya terbingkai menjadi keteduhan saat dipandang. Randi tersenyum lantas segera berlari menghampiri gadis itu. Namun, belum sampai seorang pemuda menarik tangan gadis itu dan membawanya. "Tidak, Dilla tunggu!" teriak Randi lantas membuka matanya. Dia bermimpi bertemu Cilla Adilla kekasihnya yang memutuskan dirinya secara sepihak. Pemuda itu mengusap keningnya yang berpeluh. Nafasnya masih terengah-engah seakan usai berlari maraton. Tangannya gemetar mengambil air putih yang ada di samping ranjangnya. Kakinya turun dari ranjang. Randi duduk lantas meneguk satu gelas penuh air putih. Mimpi. * "Pagi Eyang," sapa sahabat Bastian, Elka. Gadis itu memang kerap ke rumah Bastian. Selain mendatangi sahabatnya itu, Elka juga bekerja di toko kue Eyang Adjeng sebagai staf administrasi di sana. Gadis dengan tinggi seratus lima puluh sentimeter itu kerap memberikan laporan mengenai keuangan juga semua hal bersangkutan dengan masalah mana
Randi memutuskan untuk mengambil libur secara bersamaan sebelum itu dia juga meminta temannya menggantikan jadwalnya beberapa hari. Dia benar-benar tak mampu berkonsentrasi jika terus menerus memikirkan permasalahannya dengan Cilla. Berhari-hari pemuda dengan bulu mata lentik ini memimpikan mantan kekasihnya. "Sayang, kamu pulang?" sambut sang ibu, Irina melihat Randi datang membawa tas besar. Randi hanya melewati sang ibu menghindar dari pelukan ibunya. Dia masih marah pada ibunya sebab membuat hubungannya dan Cilla berakhir. Irina menghembuskan nafasnya kasar lantas berkata dalam hati. "Kebetulan kamu pulang, mama akan mendekatkan kamu pada Claire, Randi. Hem, gadis secantik itu apa mampu kamu tolak anak mama yang keras kepala?" Siapakah Claire yang dimaksudkan oleh Irina? * Lima menit perjalanan menggunakan mobil terasa berjam-jam. Cilla dan Bastian saling bungkam. Hanya deru suara mesin mobil menemani mereka. Cilla masih merasa kesal dengan gaya usahanya untuk bercanda tetap
“Dilla, aku sudah berdiskusi sama nenekku. Beliau mengijinkan aku untuk menikahi kamu. Siang tadi aku ke rumah sudah berbicara dengan bapak sama ibu kamu, tetapi mereka berkata membebaskan pilihan padamu. Tolong balas pesanku ini!” Teks pesan itu Cilla baca dengan hati yang seakan nyeri tak terkira. Air mata gadis itu turun membasahi pipinya. Pesan dari Randi yang barusan ia baca membuat hatinya seakan terbelah. Tangannya memutar cincin emas putih yang melingkar di jari manisnya. ...anak kita seorang dokter dapat anak montir. Kalimat Irina yang menyebut dirinya hanya gadis desa dan anak seorang montir tereus menerus menggema di telinganya. Jika kalimat itui ia ingat Cilla akan merasa sedih dan membenarkan pilihannya untuk terpkasa menerima lamaran Bastian. "Aku harus bagaimana?" monolognya dalam kesendirian. Sesampainya di rumah, Cilla duduk di ruang tamu. Sang ayah dan ibunya menunggunya. Mereka bercerita bila Randi dan nenek serta kakeknya datang melamarnya. Kedua orangtuanya m
Bastian berjalan ke dapur mendengar sesuatu dipukul-pukul. Ia melihat punggung sang nenek terlihat bergerak dan tangannya menghujam sesuatu. "Eyang," panggil Bastian. Punggung wanita itu berhenti diikuti tangannyaa pula berhenti sejenak. Pemuda itu segera mendekati Adjeng. Matanya menatap sesuatu di hadapan sang nenek. "Bastian, ada apa?" tanya Adjeng melanjutkan kegiatannya menumbuk adonan dari kelapa dan beras ketan. "Eyang sedang apa?" tanya Bastian duduk di hadapan wanita itu. "Bikin jadah Bas," jawab sang nenek. Jadah atau kue uli adalah makanan yang terbuat dari kelapa dan beras ketan sebagai kue wajib dibawa saat lamaran di tradisi Jawa. "Eyang harusnya istirahat saja," saran Bastian. "Besok kita melamar Cilla. Eyang gak mau jajanan ini dibuat orang lain," kata sang nenek. "Tapi, Eyang harus istirahat ini sudah larut Eyang." "Bastian, Jadah ini memiliki makna dan harapan. Eyang mau membuat ini untuk lamaran kamu. Hanya ini yang Eyang mampu. Ini hal terakhir yang bisa E
Bastian didampingi Arum diikuti sang nenek dengan kursi roda datang di halaman rumah Cilla. Pemuda berusia dua puluh enam tahun itu tampak sekali gugup. Mata bulan sabit miliknya berpendar pada pelaminan yang bisa ia jangkau dari tempatnya berdiri. Matanya beralih menatap meja yang sudah terhias sempurna dengan bunga dan sarung meja berwarna putih tersusun cantik dengan hiasannya. Rombongan dari Bastian berhenti di depan tenda tempat acara berlangsung kemudian berjalan kembali menuju meja tempat akad nikah akan diselenggarakan. “Oh, Ya Allah, aku sangat gugup saat ini,” kata Bastian di dalam hati. Tangan pemuda itu menggosok punggung tangannya sendiri. Musik mengalun lembut, gending jawa mengiringi mempelai wanita datang. Gadis berkulit sawo matang berjalan dengan digandeng sang ibu. Cilla berjalan hati-hati. Gadis itu mengenakan kebaya berwarna putih tulang, rambutnya disanggul sedemikian rupa. Wajahnya begitu berubah seakan tidak dikenali. Cilla duduk bersebelahan dengan Bastian,
Di bahu jalan, mobil Bastian yang kosong menjadi tempat Danilo dan Vika berbicara. Mereka datang bersamaan. Vika mencari bapaknya untuk melakukan upaya penyelamatan. Sang ibu, Arum sudah lebih dulu pergi. Namun, Vika justru datang sendiri sebab Ali dari kota segera ke Polsek untuk melapor dan akan membawa polisi datang.“Jadi ibu udah ke dalam Dek?” tanya Danilo.“Iya, Mas. Tadi aku coba telpon mas Bastian. Tapi gak diangkat. Gak taunya udah ke sini.” kata Vika dengan tangan terus bergerak gelisah.Tentu Vika merasakan kekhawatiran yang begitu hebat. Sang ibu sedang menolong Cilla dan ibunya di sana. Sedang dirinya hanya bisa menunggu atas perintah ibunya. “Kamu gak usah khawatir, bentar lagi bapak datang.”Tak lama berselang, mobil polisi beserta Ali datang. Mereka segera menghampiri Vika. Kemudian bersama-sama menuju tempat yang sudah diinformasikan Arum sebelumnya.Sebelumnya, Arum sampai di lokasi Cilla disekap. Dia menghubungi Elka sebelumnya. Mengapa Arum bisa mendapatkan titik
Pov Bastian“Aku menyukaimu saat pertama kali kita berciuman gak sengaja. Itu first kiss yang sangat membekas, Tian. Sampai membuatku ragu untuk melanjutkan hubunganku saat itu. Dari situlah, pada akhirnya aku bisa menerima lamaran kamu.”“Jadi, kalau tidak ada acara ciuman waktu itu. Kamu gak akan terima lamaranku?”Wanita yang sejak kecil menempati ruang di hatiku itu menggelengkan kepala. Wanita itu merubah posisinya untuk menatap diriku yang tak lepas memperhatikan ekspresinya. Kami sedang berbicara sebelum tidur. Biasanya orang menyebutnya pillow talk.“Bisa iya, bisa tidak.” jawabnya sambil tersenyum.“Terus, misal eyang saat itu gak dateng di warung bakso, jawaban kamu menolak aku gitu?” balasku bertanya lagi.“Hemm, tidak juga. Sebenarnya aku mengajak kamu untuk berpacaran terlebih dahulu. Tapi….” Jawaban menggantung wanita bermata bulat itu membuatku penasaran.“Justru, Eyang menyuruh kita menikah.” sambungnya.“Terus nyesel yah?” sahutku.“Justru bikin aku seneng karena kit
“Apa yang Mbak bilang tadi?”Wanita cantik dengan wajah yang tampak muram terlonjak saat mendengar pengakuan sang kakak. Hasti, adik Elka datang setelah acara tiga hari sang ibu, Ratri. Wanita itu menatap sang kakak dengan tatapan tajam.“Iya, ibu marah karena aku masih memiliki perasaan sama Bastian.” kata Elka mengaku pada sang adik. Wanita itu duduk menatap ke arah jendela. “Astaga, Mbak. Kamu itu udah punya suami yang tampan, punya segalanya. Pikiranmu kemana Mbak, ha?” “Semuanya karena Cilla,” imbuh Elka.Tanpa mereka sadari, pertengkaran ini didengarkan dengan seksama oleh seseorang. “Jadi ibumu meninggal karena bertengkar sama kamu, Elka?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang dari pintu utama. Suami Elka dengan wajah muram berjalan mendekat pada posisi mereka. Aura kesedihan yang sudah ada sedari tadi kini seakan bertambah tebal. “Selesaikan masalah kalian, aku tunggu di luar.” kata Hasti hendak melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Namun, kakinya berhenti mendenga
“Bude, gimana kabarnya?” tanya Vika sesaat datang. Gadis itu segera datang sesaat mendapatkan kabar. Maura mempersilahkan anak kandung mantan suaminya itu untuk duduk.“Alhamdulillah, sehat Vika. Kamu gimana, Nak?” Maura memang sudah terbiasa dengan Vika. Sejak permasalahan yang datang terus membuka tabir keburukan sang mantan suami, wanita itu tidak sekalipun marah pada Vika. Mereka mengobrol alakadarnya sambil menunggu Danilo mengeluarkan mobil dari garasi. Setelahnya mereka bersama menuju rumah Elka untuk melayat.*Cilla menumpu motor dengan posisi berdiri. Dia melempar helmnya secara reflek. Teriakan dan bunyi helm yang jatuh membuat Bastian segera berbalik badan dan membantu sang istri.“Maaf, Sayang.” ucap Bastian sambil menarik standar motor menggunakan kakinya.“Iya aku gak apa-apa kok, motor kamu gak apa-apa juga. Gak jatuh!” ujar Cilla kesal dengan memungut helmnya di bawah .Bastian lupa menarik standar motor. Sehingga, motor nyaris jatuh. Pria itu tampak diam dengan waj
Pagi itu, Bastian baru pulang dari sawah. Pria itu menggunakan kaos rumahan dipadu bawahan celana selutut berbahan kaos. Cilla melihat sang suaminya menaruh kunci motor di meja makan.“Masak apa Bunda?” tanya Bastian.Cilla mengangkat sebelah alisnya, sedang Bastian tersenyum tipis berakhir bibirnya tersenyum lebar gagal menahannya.“Bunda apa sih? Aneh banget!” ketus Cilla.Wanita itu sudah cantik dengan baju dress selutut khas dirinya. Corak warna kecoklatan dengan bahu telanjang. Dia akan menggunakan kardigan saat keluar rumah.“Katanya gak mau dipanggil…”“Oh jadi ganti panggilan gitu?”Cilla memasukkan masakannya di piring setelahnya menatap malas sang suami yang berdiri di dekat meja dapur.“Yah, kan nanti anak kita lahir panggil kamu Bunda gitu kan?” kata pria itu menarik tisu dan membersihkan tangannya yang basah.“Dih!” dengus Cilla, wanita itu menatap tajam saat Bastian mencomot tempe tepung yang ada di piring. “Kenapa? Gak mau? Makanya, sih gak usah protes. Panggilan Kopi
“Mas, es penangkal badai kemarahan istri ada ya?” tanya Bastian menyindir Cilla yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan darinya.Wanita itu selalu berkata terserah saat ditanya hendak pesan apa. Di sebuah kafe yang terletak di jantung kota, Bastian membawa sang istri.“Hehehe, untuk minuman best seller di tempat kami ini Pak, blue ocean karnival. Ada selasih dan rasanya segar asam manis, apakah mau mencobanya?” saran sang pelayan berwajah Jawa khas itu.Bastian tampak memperhatikan gambar menu yang ditunjuk oleh pelayan. Dari ekor matanya melirik sang istri yang mengambil ponsel di tasnya.“Boleh, sama ramen level dua saja ya. Kalau panas gini biar sekalian terbakar,” ucap Bastian.Sang pelayan menulis pesanannya dengan tersenyum. “Ohya masing-masing dua ya, sama tambah ini coba wafel coklat. Biar manis sedikit gak pahit seperti suasana saat ini,” lanjut Bastian.“Baik, Pak. Apakah ada pesanan yang lain?” kata sang pelayan.“Sudah cukup, terimakasih.” tukas pria itu. Mata sipit Ba
Pagi itu Cilla menyiapkan makanan di meja. Tidak ada pembicaraan yang berarti setelah mereka duduk menyantap sarapan masing-masing. Cilla melihat Bastian tampak gelisah. Beberapa kali pria itu berdecak sebal usai melihat ponsel. “Nanti sore pulang sendiri bisa ya, Kop?” tanya Bastian memecah keheningan. Cilla mengangguk masih dengan kegiatannya mengunyah nasi goreng. Sampai usai sarapan dan mereka berangkat bekerja. Sesekali Cilla menatap sorot mata Bastian yang sedang sibuk fokus menyetir. Pria itu terlihat tidak seperti biasanya. Setidaknya, itulah hal yang ditafsirkan oleh wanita itu.“Aku turun dulu,” pamit Cilla setelah mobil berhenti di halaman toko. Tidak ada jawaban dari Bastian, setidaknya itu yang Cilla tau. Pria itu justru menelepon seseorang. Cilla menoleh menatap lewat kaca mobil depan Bastian. Terlihat pria itu serius menghubungi seseorang.“Mungkin menghubungi Elka.” katanya di dalam hati.Sungguh, hari ini terasa amat berat. Bayangan semalam berputar di kepalanya ter
“Singkirkan tanganmu itu!” sergah Bastian setelah datang pada sang istri. Pria itu berdiri di samping sang istri. Sorot matanya tajam mengintimidasi pria di depannya.“Ma, maaf.” ucap pria di hadapannya dengan wajah kaku. Sedangkan Cilla tiba-tiba membuka suara. “Kenapa harus marah, Sayang?”Kedua pria itu menatap pada direksi yang sama. Bastian mengernyitkan alisnya. Sang istri bukanlah orang yang mudah berkata manis, apalagi panggilan sayang itu jarang sekali ia ucapkan.“Ayo kita pulang!” ajak Bastian.“Kok pulang sih, Sayang. Bukannya kamu mau nemenin sahabat kamu di pernikahannya?”Bastian tampak terkejut dengan sikap dan perkataan sang istri. Tangannya menggenggam tangan sang istri erat. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Termasuk sang pasangan pengantin.“Kamu mabuk, ya? Minum apa kamu sampai kayak gini.” Bastian mengomel seraya terus menarik sang istri. Cilla dengan mata sayu mengikuti suaminya. Wanita itu beberapa kali tertawa dan meracau tidak jelas. Bastian dan Cilla
Cilla menata buku yang tergeletak di meja. Wanita itu meniup debu yang melapisi permukaan sampul buku berwarna merah hati itu.“Kasihan yah, Mbak. Padahal dia orang baik, Kopi.” ucap Bastian seraya meletakkan cangkir kopi yang ia buat barusan. Bastian berjalan membuka jendela. Semalam, ia dan Cilla pulang ke rumah kampung. Mereka datang sebab mendapatkan kabar penjaga rumah sekaligus asisten rumah tangga telah berduka. Suami dan anaknya meninggal secara bersamaan akibat kecelakaan. “Aku masih ingat rasanya kehilangan seperti itu, Tian.” imbuh Cilla sesaat menepuk telapak tangannya yang terasa berdebu.“Ya, aku juga.” balas Bastian dengan menatap ke arah jalan raya lewat jendela kamarnya.“Tapi, mungkin lebih berat Mbak. Dia secara bersamaan kehilangan suami dan anak.” ungkap Cilla dengan suara lirih. Bastian menarik tangan sang istri dan mencium punggung tangan lentik itu.“Iya, karena gak ada satupun orang di dunia ini yang mau merasakan kehilangan.” kata pria bermata sipit itu.C