Happy reading everyone.
Bastian didampingi Arum diikuti sang nenek dengan kursi roda datang di halaman rumah Cilla. Pemuda berusia dua puluh enam tahun itu tampak sekali gugup. Mata bulan sabit miliknya berpendar pada pelaminan yang bisa ia jangkau dari tempatnya berdiri. Matanya beralih menatap meja yang sudah terhias sempurna dengan bunga dan sarung meja berwarna putih tersusun cantik dengan hiasannya. Rombongan dari Bastian berhenti di depan tenda tempat acara berlangsung kemudian berjalan kembali menuju meja tempat akad nikah akan diselenggarakan. “Oh, Ya Allah, aku sangat gugup saat ini,” kata Bastian di dalam hati. Tangan pemuda itu menggosok punggung tangannya sendiri. Musik mengalun lembut, gending jawa mengiringi mempelai wanita datang. Gadis berkulit sawo matang berjalan dengan digandeng sang ibu. Cilla berjalan hati-hati. Gadis itu mengenakan kebaya berwarna putih tulang, rambutnya disanggul sedemikian rupa. Wajahnya begitu berubah seakan tidak dikenali. Cilla duduk bersebelahan dengan Bastian,
Semesta seakan memiliki dua warna di mata Randi. Hitam dan putih, hanya dua warna itu yang mampu dirinya lihat kini. Saya terima nikahnya Cilla Adilla binti Ali Suaib dengan mas kawin tersebut dibayar tunai. Kalimat itu menggema di telinganya. Mengapa nasib mengejeknya seperti ini? Mengapa takdir buruk harus Randi terima? Enam tahun menjaga jodoh orang. Waktu begitu singkat memutus hubungan cinta kasih yang ia rajut penuh ketulusan. "Dilla telah menjadi istri Bastian," lirih ucap Randi seraya memegang kemudi mobil. Air matanya jatuh bercucuran. Rencana yang ia susun hancur berkeping-keping. Marah, sesak dan kekacauan ia dalam berpikir kini mengambil alih tindakannya. Cinta mampu membuat seseorang menjadi pribadi yang rapuh bak ranting pohon yang mengering. Tak terasa mobilnya berhenti di halaman rumah, setelah sebelumnya pemuda itu mengelilingi kota tanpa tujuan hingga malam tiba. Ia turun dengan kaki lemahnya. Sebelumnya ia mengeringkan wajahnya yang basah oleh air mata dengan t
Suasana rumah sakit yang tegang masih terasa usai kepergian Cilla dan Bastian. Irina yang masih merasakan emosi yang mendalam mengetahui Cilla telah menikah kini duduk kembali. "Papa bisa kenal suami Dilla?" tanya Irina. "Dia rekan bisnis Papa," jawab Bisma. "Rekan bisnis? Memangnya apa pekerjaannya?" tanya Irina penasaran. Bisma terlihat menatap sang istri dengan wajah kaku tanpa ekspresi. Pria itu menghembuskan nafasnya panjang. "Dia pemilik Bastian Karya, kontraktor yang sedang menangani pembangunan perumahan milik kita Ma." jawab Bisma. "Apa? Yang benar saja Pa, dia seperti pemuda desa biasa." cibir Irina tak percaya. "Makanya Ma, menilai seseorang jangan hanya dari penampilannya saja. Dia juga arsitek yang sedang banyak tender," kata Bisma mengingatkan sang istri. "Jadi si gadis desa itu menikahi orang kaya? Mama setingkat lebih benci dengan dia!" ketus wanita dengan baju yang sudah kusut itu. Bisma menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang istri. Pria itu merasa Irina
Bastian mencoba menjatuhkan tubuh mungil Cilla yang menerkam punggungnya. Kaki sang istri begitu kuat bertaut di pinggangnya. Apakah hanya itu membuat Bastian berteriak marah? Jawabannya tidak, Cilla tidak hanya bertengger di punggung Bastian dan memeluk leher pria muda itu dengan erat. Namun Cilla juga menggigit daun telinga Bastian hingga membuat pemiliknya berteriak kesakitan. "Kopi, aku lempar kamu kalau tidak berhenti!" ancam Bastian. Cilla menghentikan gigitannya membuat Bastian sedikit lega. Akan tetapi tidak dengan pelukannya, bahkan semakin erat. Ketika Cilla hendak menggigit kembali telinga Bastian seorang gadis ternganga di ambang pintu yang tidak tertutup. "Mas Bastian sama Mbak Cilla ngapain?" tanya gadis itu polos. Pasalnya posisi Cilla yang seakan dipanggul Bastian dan pelukannya di leher Bastian menimbulkan persepsi lain jika dilihat. Sesaat mereka berdua menoleh dan saling membeku memahami pertanyaan gadis itu. "Ah, anu Vika kita sedang…. Turun Kopi!" titah Basti
Cilla menyelesaikan pekerjaannya dan menyajikan sarapan ke meja. Ia menyapa tamu yang duduk di sebelah sang suami."Pagi El, yuk ikut sarapan," sapa dan ajak Cilla.Mata Elka menatap sekilas Cilla dan menjawabnya; "Pagi juga Cil, ah aku habis sarapan barusan, terimakasih kalian sarapan saja."Ya, gadis yang datang itu Elka sahabat Bastian. Gadis itu memang sangat dekat dengan pria itu. Bersahabat sejak SMP membuat mereka seperti saudara, bagi Bastian.Cilla tersenyum tipis kemudian mengambil piring untuk diisi nasi goreng. Dia meletakkan piring itu di meja Bastian yang menutup laptopnya. Pria itu segera mengambil sendok dari tempatnya."Hem, kalian pengantin baru udah belah duren dong?" tanya Elka tiba-tiba.Bastian yang mendengarnya terbatuk-batuk sebab tersedak makanannya. Cilla menatap Bastian dengan pikiran entah. Bastian minum air putih untuk meredakan rasa perih di tenggorokannya."Elka," panggil Bastian seraya menatap tajam sahabatnya itu."Kenapa ih, kamu malu ya Bas? Sama aku
Suasana kamar Bastian begitu hening, seakan sekitarnya menyempit saat wajah mereka bersitatap begitu dekat. Cilla begitu gugup saat ini. Bahkan wanita itu khawatir Bastian bisa mendengar jantungnya yang berdegup begitu nyaring ia rasa."Kenapa tidak bisa sembuh dengan semua itu, Tian?" tanya Cilla memberanikan diri."Aku meminta hakku, Kopi. Aku ingin kita melakukannya. Aku membutuhkan kamu, Sayang."Mata Cilla melebar mendengarkan kalimat Bastian. Bahkan pria itu memanggilnya dengan sebutan 'sayang'. Namun, wanita muda itu tak mampu menerjemahkannya secara cepat."Kenapa biang kerok seperti ini? Apa tadi pas pulang kepalanya terantuk sesuatu?" gerutu Cilla di dalam hati. "Hak apa yang dia maksud? Melakukan apa sih kenapa dia begitu sulit sekali dimengerti?" keluh Cilla.Suasana begitu hening, Bastian menatap wajah Cilla yang tampak bingung itu. Hatinya yang pedih mengingat bahwa istrinya masih terjerat pada kisah lamanya seakan menyiksanya. Dia terus bergelut pada pemikiran itu."Lup
Cilla memandang koper miliknya yang ada di sana. Kemudian akan mengambilnya tetapi urung. Ada seorang pria paruh baya justru mengambil kedua koper tersebut, tentu miliknya dan sang suami. "Ahmad, sudah siap mobilnya?" tanya Adjeng pada pria itu. Ahmad adalah tetangga mereka. Dia adalah seorang driver. Adjeng menyewanya hari ini. Pria itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Baiklah, tunggu mereka dulu Mad," titah Adjeng. Bastian yang sedari tadi menunggu jawaban dari pertanyaannya masih memasang ekspresi bingung. Begitu juga Cilla, dia juga ingin tahu. Mengapa kopernya malah dibawa keluar? "Kalian berangkat sekarang ke Batu ya, tadi Vika sudah siapkan semuanya. Kalian di sana satu Minggu," kata Adjeng seraya memberikan amplop kepada Bastian. &nb
Remang cahaya kamar yang redup membias bayang dua insan berada di peraduan. Mereka usai melakukan percintaan yang biasa mereka lakukan. Sang wanita tampak berpeluh dan memeluk tubuh telanjang sang pria dengan sisa kenikmatan yang telah ia raih."Mas, sampai kapan kita seperti ini? Aku takut kehilangan kamu," ucap perempuan itu."Aku mencintaimu, kamu tidak akan kehilangan aku." tegas sang pria."Kenapa kita harus seperti ini?" tanya wanita itu."Cantikku, jangan berpikiran macam-macam. Aku pergi dulu. Besok kita bertemu di tempat biasa."Mata wanita itu menatap tak suka sang pria menggunakan bajunya dan akan pergi darinya. Selalu seperti ini jika usai mereka menyatu. Bukankah hubungan gelap memang begitu adanya? Terkadang bahagia di saat dia berada di sisi, tetapi hati akan pedih bila pria itu akan kembali pada keluarganya. Sungguh neraka sebenarnya yang dijalani kehidupan pelaku perselingkuhan. Namun, mengapa masih saja ada yang rela menghabiskan waktu untuk bersakit-sakit nan sedih