Udah Sah mereka. Selamat menempuh hidup baru biang kerok dan kopi hitam. 😁
Semesta seakan memiliki dua warna di mata Randi. Hitam dan putih, hanya dua warna itu yang mampu dirinya lihat kini. Saya terima nikahnya Cilla Adilla binti Ali Suaib dengan mas kawin tersebut dibayar tunai. Kalimat itu menggema di telinganya. Mengapa nasib mengejeknya seperti ini? Mengapa takdir buruk harus Randi terima? Enam tahun menjaga jodoh orang. Waktu begitu singkat memutus hubungan cinta kasih yang ia rajut penuh ketulusan. "Dilla telah menjadi istri Bastian," lirih ucap Randi seraya memegang kemudi mobil. Air matanya jatuh bercucuran. Rencana yang ia susun hancur berkeping-keping. Marah, sesak dan kekacauan ia dalam berpikir kini mengambil alih tindakannya. Cinta mampu membuat seseorang menjadi pribadi yang rapuh bak ranting pohon yang mengering. Tak terasa mobilnya berhenti di halaman rumah, setelah sebelumnya pemuda itu mengelilingi kota tanpa tujuan hingga malam tiba. Ia turun dengan kaki lemahnya. Sebelumnya ia mengeringkan wajahnya yang basah oleh air mata dengan t
Suasana rumah sakit yang tegang masih terasa usai kepergian Cilla dan Bastian. Irina yang masih merasakan emosi yang mendalam mengetahui Cilla telah menikah kini duduk kembali. "Papa bisa kenal suami Dilla?" tanya Irina. "Dia rekan bisnis Papa," jawab Bisma. "Rekan bisnis? Memangnya apa pekerjaannya?" tanya Irina penasaran. Bisma terlihat menatap sang istri dengan wajah kaku tanpa ekspresi. Pria itu menghembuskan nafasnya panjang. "Dia pemilik Bastian Karya, kontraktor yang sedang menangani pembangunan perumahan milik kita Ma." jawab Bisma. "Apa? Yang benar saja Pa, dia seperti pemuda desa biasa." cibir Irina tak percaya. "Makanya Ma, menilai seseorang jangan hanya dari penampilannya saja. Dia juga arsitek yang sedang banyak tender," kata Bisma mengingatkan sang istri. "Jadi si gadis desa itu menikahi orang kaya? Mama setingkat lebih benci dengan dia!" ketus wanita dengan baju yang sudah kusut itu. Bisma menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang istri. Pria itu merasa Irina
Bastian mencoba menjatuhkan tubuh mungil Cilla yang menerkam punggungnya. Kaki sang istri begitu kuat bertaut di pinggangnya. Apakah hanya itu membuat Bastian berteriak marah? Jawabannya tidak, Cilla tidak hanya bertengger di punggung Bastian dan memeluk leher pria muda itu dengan erat. Namun Cilla juga menggigit daun telinga Bastian hingga membuat pemiliknya berteriak kesakitan. "Kopi, aku lempar kamu kalau tidak berhenti!" ancam Bastian. Cilla menghentikan gigitannya membuat Bastian sedikit lega. Akan tetapi tidak dengan pelukannya, bahkan semakin erat. Ketika Cilla hendak menggigit kembali telinga Bastian seorang gadis ternganga di ambang pintu yang tidak tertutup. "Mas Bastian sama Mbak Cilla ngapain?" tanya gadis itu polos. Pasalnya posisi Cilla yang seakan dipanggul Bastian dan pelukannya di leher Bastian menimbulkan persepsi lain jika dilihat. Sesaat mereka berdua menoleh dan saling membeku memahami pertanyaan gadis itu. "Ah, anu Vika kita sedang…. Turun Kopi!" titah Basti
Cilla menyelesaikan pekerjaannya dan menyajikan sarapan ke meja. Ia menyapa tamu yang duduk di sebelah sang suami."Pagi El, yuk ikut sarapan," sapa dan ajak Cilla.Mata Elka menatap sekilas Cilla dan menjawabnya; "Pagi juga Cil, ah aku habis sarapan barusan, terimakasih kalian sarapan saja."Ya, gadis yang datang itu Elka sahabat Bastian. Gadis itu memang sangat dekat dengan pria itu. Bersahabat sejak SMP membuat mereka seperti saudara, bagi Bastian.Cilla tersenyum tipis kemudian mengambil piring untuk diisi nasi goreng. Dia meletakkan piring itu di meja Bastian yang menutup laptopnya. Pria itu segera mengambil sendok dari tempatnya."Hem, kalian pengantin baru udah belah duren dong?" tanya Elka tiba-tiba.Bastian yang mendengarnya terbatuk-batuk sebab tersedak makanannya. Cilla menatap Bastian dengan pikiran entah. Bastian minum air putih untuk meredakan rasa perih di tenggorokannya."Elka," panggil Bastian seraya menatap tajam sahabatnya itu."Kenapa ih, kamu malu ya Bas? Sama aku
Suasana kamar Bastian begitu hening, seakan sekitarnya menyempit saat wajah mereka bersitatap begitu dekat. Cilla begitu gugup saat ini. Bahkan wanita itu khawatir Bastian bisa mendengar jantungnya yang berdegup begitu nyaring ia rasa."Kenapa tidak bisa sembuh dengan semua itu, Tian?" tanya Cilla memberanikan diri."Aku meminta hakku, Kopi. Aku ingin kita melakukannya. Aku membutuhkan kamu, Sayang."Mata Cilla melebar mendengarkan kalimat Bastian. Bahkan pria itu memanggilnya dengan sebutan 'sayang'. Namun, wanita muda itu tak mampu menerjemahkannya secara cepat."Kenapa biang kerok seperti ini? Apa tadi pas pulang kepalanya terantuk sesuatu?" gerutu Cilla di dalam hati. "Hak apa yang dia maksud? Melakukan apa sih kenapa dia begitu sulit sekali dimengerti?" keluh Cilla.Suasana begitu hening, Bastian menatap wajah Cilla yang tampak bingung itu. Hatinya yang pedih mengingat bahwa istrinya masih terjerat pada kisah lamanya seakan menyiksanya. Dia terus bergelut pada pemikiran itu."Lup
Cilla memandang koper miliknya yang ada di sana. Kemudian akan mengambilnya tetapi urung. Ada seorang pria paruh baya justru mengambil kedua koper tersebut, tentu miliknya dan sang suami. "Ahmad, sudah siap mobilnya?" tanya Adjeng pada pria itu. Ahmad adalah tetangga mereka. Dia adalah seorang driver. Adjeng menyewanya hari ini. Pria itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Baiklah, tunggu mereka dulu Mad," titah Adjeng. Bastian yang sedari tadi menunggu jawaban dari pertanyaannya masih memasang ekspresi bingung. Begitu juga Cilla, dia juga ingin tahu. Mengapa kopernya malah dibawa keluar? "Kalian berangkat sekarang ke Batu ya, tadi Vika sudah siapkan semuanya. Kalian di sana satu Minggu," kata Adjeng seraya memberikan amplop kepada Bastian. &nb
Remang cahaya kamar yang redup membias bayang dua insan berada di peraduan. Mereka usai melakukan percintaan yang biasa mereka lakukan. Sang wanita tampak berpeluh dan memeluk tubuh telanjang sang pria dengan sisa kenikmatan yang telah ia raih."Mas, sampai kapan kita seperti ini? Aku takut kehilangan kamu," ucap perempuan itu."Aku mencintaimu, kamu tidak akan kehilangan aku." tegas sang pria."Kenapa kita harus seperti ini?" tanya wanita itu."Cantikku, jangan berpikiran macam-macam. Aku pergi dulu. Besok kita bertemu di tempat biasa."Mata wanita itu menatap tak suka sang pria menggunakan bajunya dan akan pergi darinya. Selalu seperti ini jika usai mereka menyatu. Bukankah hubungan gelap memang begitu adanya? Terkadang bahagia di saat dia berada di sisi, tetapi hati akan pedih bila pria itu akan kembali pada keluarganya. Sungguh neraka sebenarnya yang dijalani kehidupan pelaku perselingkuhan. Namun, mengapa masih saja ada yang rela menghabiskan waktu untuk bersakit-sakit nan sedih
Malam tiba, Bastian datang usai isya. Adjeng tentu mengomeli cucunya itu."Aku habis dari konter handphone Eyang, aku beliin hadiah ulang tahun buat Cilla." bantah Bastian saat sang nenek memarahinya pulang sedikit terlambat."Alesan saja kamu Bas! Sudah ke kamar sana, ada hadiah buat kamu. Cepet ke sana!" titah Adjeng.Bastian akhirnya menuruti sang nenek. Memang benar dia membelikan hadiah untuk istrinya yang ulang tahun besok. Ia ingin menjadi orang pertama yang memberikannya ucapan dan selamat. Ini adalah kali pertama mereka merayakan ulang tahun bersama."Eyang selalu saja marah. Em, hadiah apa? Bukannya Kopi yang ulang tahun. Kenapa aku yang dapat hadiah?" tanya Bastian seorang diri tangannya menekan handle pintu.Saat ia membuka pintu kamarnya, udara dingin berasal dari air conditioner begitu mendominasi. Pria itu sampai merinding saat dingin menembus di sela baju kemejanya. Bastian meletakkan tas kertas di meja samping ranjang. "Kopi," panggil pria itu.Namun tidak ada jawaba
Di bahu jalan, mobil Bastian yang kosong menjadi tempat Danilo dan Vika berbicara. Mereka datang bersamaan. Vika mencari bapaknya untuk melakukan upaya penyelamatan. Sang ibu, Arum sudah lebih dulu pergi. Namun, Vika justru datang sendiri sebab Ali dari kota segera ke Polsek untuk melapor dan akan membawa polisi datang.“Jadi ibu udah ke dalam Dek?” tanya Danilo.“Iya, Mas. Tadi aku coba telpon mas Bastian. Tapi gak diangkat. Gak taunya udah ke sini.” kata Vika dengan tangan terus bergerak gelisah.Tentu Vika merasakan kekhawatiran yang begitu hebat. Sang ibu sedang menolong Cilla dan ibunya di sana. Sedang dirinya hanya bisa menunggu atas perintah ibunya. “Kamu gak usah khawatir, bentar lagi bapak datang.”Tak lama berselang, mobil polisi beserta Ali datang. Mereka segera menghampiri Vika. Kemudian bersama-sama menuju tempat yang sudah diinformasikan Arum sebelumnya.Sebelumnya, Arum sampai di lokasi Cilla disekap. Dia menghubungi Elka sebelumnya. Mengapa Arum bisa mendapatkan titik
Pov Bastian“Aku menyukaimu saat pertama kali kita berciuman gak sengaja. Itu first kiss yang sangat membekas, Tian. Sampai membuatku ragu untuk melanjutkan hubunganku saat itu. Dari situlah, pada akhirnya aku bisa menerima lamaran kamu.”“Jadi, kalau tidak ada acara ciuman waktu itu. Kamu gak akan terima lamaranku?”Wanita yang sejak kecil menempati ruang di hatiku itu menggelengkan kepala. Wanita itu merubah posisinya untuk menatap diriku yang tak lepas memperhatikan ekspresinya. Kami sedang berbicara sebelum tidur. Biasanya orang menyebutnya pillow talk.“Bisa iya, bisa tidak.” jawabnya sambil tersenyum.“Terus, misal eyang saat itu gak dateng di warung bakso, jawaban kamu menolak aku gitu?” balasku bertanya lagi.“Hemm, tidak juga. Sebenarnya aku mengajak kamu untuk berpacaran terlebih dahulu. Tapi….” Jawaban menggantung wanita bermata bulat itu membuatku penasaran.“Justru, Eyang menyuruh kita menikah.” sambungnya.“Terus nyesel yah?” sahutku.“Justru bikin aku seneng karena kit
“Apa yang Mbak bilang tadi?”Wanita cantik dengan wajah yang tampak muram terlonjak saat mendengar pengakuan sang kakak. Hasti, adik Elka datang setelah acara tiga hari sang ibu, Ratri. Wanita itu menatap sang kakak dengan tatapan tajam.“Iya, ibu marah karena aku masih memiliki perasaan sama Bastian.” kata Elka mengaku pada sang adik. Wanita itu duduk menatap ke arah jendela. “Astaga, Mbak. Kamu itu udah punya suami yang tampan, punya segalanya. Pikiranmu kemana Mbak, ha?” “Semuanya karena Cilla,” imbuh Elka.Tanpa mereka sadari, pertengkaran ini didengarkan dengan seksama oleh seseorang. “Jadi ibumu meninggal karena bertengkar sama kamu, Elka?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang dari pintu utama. Suami Elka dengan wajah muram berjalan mendekat pada posisi mereka. Aura kesedihan yang sudah ada sedari tadi kini seakan bertambah tebal. “Selesaikan masalah kalian, aku tunggu di luar.” kata Hasti hendak melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Namun, kakinya berhenti mendenga
“Bude, gimana kabarnya?” tanya Vika sesaat datang. Gadis itu segera datang sesaat mendapatkan kabar. Maura mempersilahkan anak kandung mantan suaminya itu untuk duduk.“Alhamdulillah, sehat Vika. Kamu gimana, Nak?” Maura memang sudah terbiasa dengan Vika. Sejak permasalahan yang datang terus membuka tabir keburukan sang mantan suami, wanita itu tidak sekalipun marah pada Vika. Mereka mengobrol alakadarnya sambil menunggu Danilo mengeluarkan mobil dari garasi. Setelahnya mereka bersama menuju rumah Elka untuk melayat.*Cilla menumpu motor dengan posisi berdiri. Dia melempar helmnya secara reflek. Teriakan dan bunyi helm yang jatuh membuat Bastian segera berbalik badan dan membantu sang istri.“Maaf, Sayang.” ucap Bastian sambil menarik standar motor menggunakan kakinya.“Iya aku gak apa-apa kok, motor kamu gak apa-apa juga. Gak jatuh!” ujar Cilla kesal dengan memungut helmnya di bawah .Bastian lupa menarik standar motor. Sehingga, motor nyaris jatuh. Pria itu tampak diam dengan waj
Pagi itu, Bastian baru pulang dari sawah. Pria itu menggunakan kaos rumahan dipadu bawahan celana selutut berbahan kaos. Cilla melihat sang suaminya menaruh kunci motor di meja makan.“Masak apa Bunda?” tanya Bastian.Cilla mengangkat sebelah alisnya, sedang Bastian tersenyum tipis berakhir bibirnya tersenyum lebar gagal menahannya.“Bunda apa sih? Aneh banget!” ketus Cilla.Wanita itu sudah cantik dengan baju dress selutut khas dirinya. Corak warna kecoklatan dengan bahu telanjang. Dia akan menggunakan kardigan saat keluar rumah.“Katanya gak mau dipanggil…”“Oh jadi ganti panggilan gitu?”Cilla memasukkan masakannya di piring setelahnya menatap malas sang suami yang berdiri di dekat meja dapur.“Yah, kan nanti anak kita lahir panggil kamu Bunda gitu kan?” kata pria itu menarik tisu dan membersihkan tangannya yang basah.“Dih!” dengus Cilla, wanita itu menatap tajam saat Bastian mencomot tempe tepung yang ada di piring. “Kenapa? Gak mau? Makanya, sih gak usah protes. Panggilan Kopi
“Mas, es penangkal badai kemarahan istri ada ya?” tanya Bastian menyindir Cilla yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan darinya.Wanita itu selalu berkata terserah saat ditanya hendak pesan apa. Di sebuah kafe yang terletak di jantung kota, Bastian membawa sang istri.“Hehehe, untuk minuman best seller di tempat kami ini Pak, blue ocean karnival. Ada selasih dan rasanya segar asam manis, apakah mau mencobanya?” saran sang pelayan berwajah Jawa khas itu.Bastian tampak memperhatikan gambar menu yang ditunjuk oleh pelayan. Dari ekor matanya melirik sang istri yang mengambil ponsel di tasnya.“Boleh, sama ramen level dua saja ya. Kalau panas gini biar sekalian terbakar,” ucap Bastian.Sang pelayan menulis pesanannya dengan tersenyum. “Ohya masing-masing dua ya, sama tambah ini coba wafel coklat. Biar manis sedikit gak pahit seperti suasana saat ini,” lanjut Bastian.“Baik, Pak. Apakah ada pesanan yang lain?” kata sang pelayan.“Sudah cukup, terimakasih.” tukas pria itu. Mata sipit Ba
Pagi itu Cilla menyiapkan makanan di meja. Tidak ada pembicaraan yang berarti setelah mereka duduk menyantap sarapan masing-masing. Cilla melihat Bastian tampak gelisah. Beberapa kali pria itu berdecak sebal usai melihat ponsel. “Nanti sore pulang sendiri bisa ya, Kop?” tanya Bastian memecah keheningan. Cilla mengangguk masih dengan kegiatannya mengunyah nasi goreng. Sampai usai sarapan dan mereka berangkat bekerja. Sesekali Cilla menatap sorot mata Bastian yang sedang sibuk fokus menyetir. Pria itu terlihat tidak seperti biasanya. Setidaknya, itulah hal yang ditafsirkan oleh wanita itu.“Aku turun dulu,” pamit Cilla setelah mobil berhenti di halaman toko. Tidak ada jawaban dari Bastian, setidaknya itu yang Cilla tau. Pria itu justru menelepon seseorang. Cilla menoleh menatap lewat kaca mobil depan Bastian. Terlihat pria itu serius menghubungi seseorang.“Mungkin menghubungi Elka.” katanya di dalam hati.Sungguh, hari ini terasa amat berat. Bayangan semalam berputar di kepalanya ter
“Singkirkan tanganmu itu!” sergah Bastian setelah datang pada sang istri. Pria itu berdiri di samping sang istri. Sorot matanya tajam mengintimidasi pria di depannya.“Ma, maaf.” ucap pria di hadapannya dengan wajah kaku. Sedangkan Cilla tiba-tiba membuka suara. “Kenapa harus marah, Sayang?”Kedua pria itu menatap pada direksi yang sama. Bastian mengernyitkan alisnya. Sang istri bukanlah orang yang mudah berkata manis, apalagi panggilan sayang itu jarang sekali ia ucapkan.“Ayo kita pulang!” ajak Bastian.“Kok pulang sih, Sayang. Bukannya kamu mau nemenin sahabat kamu di pernikahannya?”Bastian tampak terkejut dengan sikap dan perkataan sang istri. Tangannya menggenggam tangan sang istri erat. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Termasuk sang pasangan pengantin.“Kamu mabuk, ya? Minum apa kamu sampai kayak gini.” Bastian mengomel seraya terus menarik sang istri. Cilla dengan mata sayu mengikuti suaminya. Wanita itu beberapa kali tertawa dan meracau tidak jelas. Bastian dan Cilla
Cilla menata buku yang tergeletak di meja. Wanita itu meniup debu yang melapisi permukaan sampul buku berwarna merah hati itu.“Kasihan yah, Mbak. Padahal dia orang baik, Kopi.” ucap Bastian seraya meletakkan cangkir kopi yang ia buat barusan. Bastian berjalan membuka jendela. Semalam, ia dan Cilla pulang ke rumah kampung. Mereka datang sebab mendapatkan kabar penjaga rumah sekaligus asisten rumah tangga telah berduka. Suami dan anaknya meninggal secara bersamaan akibat kecelakaan. “Aku masih ingat rasanya kehilangan seperti itu, Tian.” imbuh Cilla sesaat menepuk telapak tangannya yang terasa berdebu.“Ya, aku juga.” balas Bastian dengan menatap ke arah jalan raya lewat jendela kamarnya.“Tapi, mungkin lebih berat Mbak. Dia secara bersamaan kehilangan suami dan anak.” ungkap Cilla dengan suara lirih. Bastian menarik tangan sang istri dan mencium punggung tangan lentik itu.“Iya, karena gak ada satupun orang di dunia ini yang mau merasakan kehilangan.” kata pria bermata sipit itu.C