Ketika Leo berkata makan malam, Andrea menduga makan malam yang dimaksud adalah reservasi di salah satu restoran bintang lima di London. Pikirannya bertualang liar memikirkan gaun macam apa yang harus dipakai atau riasan seperti apa yang cocok untuk jamuan makan malam bersama calon mertuanya.
Dugaannya salah. Ternyata makan malam diadakan di kediaman Howard yang berada di Knightsbridge, kawasan elit London yang terkenal dengan harga properti yang luar biasa mahal. Ia yakin, gajinya sebagai akuntan dalam setahun masih belum cukup untuk membeli rumah yang sama dengan keluarga Howard.
Impresi Andrea pada pasangan Howard ternyata benar. Jeanne dan Noah adalah pasangan hangat yang romantis. Sejujurnya, melihat bagaimana orang tua Leo yang tidak berhenti menyanjung satu sama lain, bahkan sesekali bertukar kecupan kala membawa makanan ke ruang makan, mengingatkan Andrea pada mendiang orang tuanya.
“Padahal terakhir kali aku melihatmu, kau masih gadis kecil yang manis.” Atensi Jeanne bergulir padanya setelah Leo menceritakan perjalanan mereka yang dihambat oleh macet lalu lintas. “Siapa sangka gadis kecil itu akan menjadi menantuku.”
Andrea mengulas senyum sopan seraya memotong daging di atas piring. “Benarkah?”
Jeanne mengangguk antusias. Senyum cerah masih terpatri di rupa wanita itu. “Tentu saja. Wajar kalau kau lupa karena sudah lama sekali sejak terakhir kali kami mengunjungimu, Sayang. Mungkin tidak lama setelah mendiang Evelyn meninggal.”
Gerakan tangannya terhenti di udara. Ia mendongak, bersitatap dengan netra senada zaitun yang familiar. “Setelah mamaku meninggal?”
Ia ingat betapa lembut tutur sang ibu dulu, seringkali memberi perhatian kala sang ayah sibuk dengan urusan pekerjaan hingga larut malam. Ia ingat sang ibu sering membacakan dongeng tentang berbagai putri, menghabiskan waktu di perpustakaan rumah sepanjang siang, bahkan membantu ibunya memanggang kue.
Namun, rumah itu kehilangan kehangatannya saat sang ayah menikahi Margaret. Keluarga tirinya menciptakan dingin yang menyiksa Andrea selama bertahun-tahun.
Andrea tidak bisa mengingat banyak hal tentang masa kecilnya. Kepingan memori akan tawa dan senyum bahagia perlahan mulai mengabur. Potongan ingatannya pun berserakan, kesulitan memilah mana yang benar-benar terjadi, mana yang sekadar mimpi.
“Kami turut berduka atas kehilanganmu, Sayang.” Jeanne meraih tangannya lalu meremas lembut, menawarkan simpati dan kasih sayang yang telah lama hilang dari hidupnya.
Ia menarik napas panjang, menyadari tatapan Leo yang berkilat cemas. Seulas senyum terpatri untuk menenangkan Leo dan orang tuanya. “Terima kasih, Bibi Jeanne.”
Kening Jeanne berkerut samar. “Kenapa masih memanggilku Bibi? Kau boleh memanggilku Mama sama seperti Leo. Bukankah kau akan segera menjadi putriku juga?”
Sepercik haru menyebar dalam dada. Sudah lama sejak terakhir kali ia mengecap kasih sayang figur orang tua. Mendiang ayahnya terlampau sibuk bekerja, sedangkan Margaret tidak pernah menunjukkannya.
Tangan besar yang lembut menyelimuti jemarinya di bawah meja. Ibu jari Leo mengusap punggung tangannya dengan gestur menenangkan. Ekor matanya menangkap seringai tipis Leo saat pria itu mengangguk kecil, menyetujui usulan sang ibu.
“Kalau begitu, terima kasih, Ma.”
Sudut bibir Jeanne merekah selayaknya kuncup bunga yang bermekaran di musim semi. Sekali lagi Andrea bersumpah kalau Leo memiliki senyum yang sama seperti Jeanne. Senyum yang menawarkan ketenangan.
“Omong-omong, mau sampai kapan kau bermain-main di kafemu, Leo?” Suara Noah yang berat dan serak seketika mengubah suasana menjadi mencekam. “Kenapa kafemu tidak diserahkan saja pada Daniel?”
Kening Andrea mengerut dalam mendengar pertanyaan Noah. Bukankah Leo bekerja di sana? Lantas, mengapa Noah bicara seolah-olah Leo memiliki pekerjaan lain? Dan mengapa Noah berkata bahwa kafe Wisteria adalah milik Leo?
Jeanne meraih siku Noah, mengusap lengan pria berusia setengah abad itu. “Bukan topik yang tepat untuk dibicarakan di meja makan, Sayang.”
“Aku hanya ingin tahu kapan Leo mulai serius dengan karirnya,” sahut Noah tanpa mengalihkan pandangan dari putranya. “Ia akan menikah dalam waktu dekat. Kurasa bukan keputusan yang bijak jika Leo terus melarikan diri. Putraku bukan pengecut.”
Ia meringis pelan mendengar sirat kecaman dalam suara Noah. Tanpa sadar, ia mencengkam kuat tangan Leo yang masih menyelimuti tangannya. Ada bagian diri Andrea yang tidak rela ketika Leo menjadi sasaran cibiran Noah. Ada desakan kuat untuk melindungi Leo dari kata-kata menyakitkan pria yang lebih tua.
“Andrea, bisa bantu aku di dapur?” pinta Jeanne setelah bertukar pandangan dengan Leo selama beberapa detik.
Tidak memiliki alasan untuk membantah, Andrea mengangguk. Matanya bertemu dengan netra senada zaitun Leo yang berkilat tenang, seolah meyakinkan Andrea bahwa ia akan baik-baik saja. Dengan remasan lembut terakhir, ia beranjak mengekori Jeanne menuju dapur.
Keingintahuannya terusik, bertanya-tanya apa yang dibicarakan kedua pria itu hingga mereka harus menyingkir. Sayangnya, ia tidak bisa mendengar pembicaraan mereka dari tempatnya berdiri.
“Tidak apa-apa. Noah memang tegas pada Leo karena ia adalah anak satu-satunya,” cetus Jeanne seraya menaruh piring kotor di wastafel. “Lagi pula, sudah waktunya bagi Leo untuk kembali. Ia sudah terlalu lama melarikan diri.”
‘Melarikan diri? Dari apa?’ batin Andrea. Namun, ia cukup tahu diri. Biarlah Leo yang bercerita ketika waktunya sudah tepat.
***
“Leo adalah anak yang pendiam dan penyendiri. Mungkin karena aku dan Noah sangat sibuk dengan pekerjaan kami. Mungkin juga karena kecerdasan Leo mengizinkan anak itu menyelesaikan studi dua tahun lebih awal dibanding sebagian besar teman-teman seangkatannya.”
Jeanne membawa Andrea ke ruang tengah saat Leo dan Noah mengobrol di ruang kerja. Saat pertama kali tiba, ia tidak menyadari bahwa ruang tengah keluarga Howard penuh dengan foto dan lukisan. Sepanjang lorong menuju bagian dalam rumah, ada beberapa lukisan bunga dan sesuatu yang abstrak. Di atas perapian ada tiga sampai lima foto Leo bersama orang tuanya.
Di salah satu foto berbingkai emas terpajang foto wisuda Leo lengkap dengan baju toga. Foto lainnya menampilkan sosok Leo saat remaja, mungkin ketika umurnya masih belasan tahun. Ada foto yang menunjukkan Leo kecil yang asyik bermain dengan cat dan kertas. Barisan foto yang terpajang memberitahu Andrea betapa hangatnya keluarga ini.
“Leo pernah sekolah di sini?” Ujung jemari Andrea menelusuri salah satu bingkai foto yang menampilkan sosok Leo berdiri di depan gerbang sekolah. Sekolah menengah yang sama tempatnya menuntut ilmu selama beberapa tahun.
Berusaha menggali ingatan tentang dirinya yang pernah bertemu Leo sewaktu sekolah, tetapi nihil. Ia tidak ingat apa pun.
Jeanne mengambil foto yang Andrea tunjuk. “Iya. Sayangnya hanya satu tahun karena ia terpaksa ikut denganku ke Edinburgh saat aku ditugaskan di sana.”
Keningnya berkerut samar. “Bi—ah, maksudku Mama pernah bekerja di Edinburgh?”
“Tentu saja,” sahut Jeanne. “Aku seorang ahli biologi kelautan, jadi sering berpindah tergantung dengan perairan mana yang harus diteliti. Karena Noah jarang berada di rumah, Leo sering ikut denganku.”
Andrea mengerjap pelan. Ia tidak menyangka bahwa calon mertuanya adalah seorang ilmuwan. Ia telah terbiasa bersinggungan dengan seseorang yang mementingkan penampilan dan status sosial. Inikah alasan Leo mengerti istilah sains saat bertemu dengan temannya di kereta beberapa waktu lalu?
Ia terkesiap kala mengingat satu fakta penting. “Kafe tempat Leo bekerja sekarang adalah kafe miliknya?”
Sebelah alis Jeanne terangkat bingung. Tanda tanya besar menggantung di atas kepala. “Kau tidak tahu? Leo membangun kafe itu bersama temannya, Daniel, sebagai pekerjaan sampingan. Sesuatu tentang ingin memiliki tempat untuk beristirahat menjadi alasan mereka membangun Wisteria.”
Andrea tercengang. “Leo pemilik kafe Wisteria?”
Jeanne tersenyum simpul. Pandangan wanita berhelai cokelat itu bergulir pada sesuatu di belakang Andrea. Namun, sebelum sempat berbalik, ia merasakan tangan besar yang hangat merangkul bahunya hati-hati disusul dengan kecupan ringan pada puncak kepalanya.
“Kau tidak pernah mengatakan pada Andrea kalau Wisteria milikmu?” Pertanyaan itu terlontar dengan sirat menyidik yang jenaka. “Jangan merahasiakan hal sepenting ini pada calon istrimu, Leo. Ia berhak tahu.”
Leo terkekeh rendah, abai dengan tatapan tajam Andrea yang menghunjamnya. “Aku tahu, Ma. Tidak ada salahnya memberi kejutan, bukan?”
Ia mendengus pelan, sungkan beradu mulut dengan Leo di depan sang ibu. Sepanjang pengetahuan orang tua pria itu, mereka bertunangan atas dasar cinta dan kasih sayang. Tidak perlu menambah beban pikiran dengan mengungkit perjanjian mereka.
“Kau baik-baik saja dengan ayahmu?” tanya Jeanne. Tersisip kekhawatiran yang keibuan dalam nada suara sang wanita saat mengusap lengan Leo. “Kalian tidak bertengkar lagi, bukan?”
Leo menggeleng. “Hanya membahas masa depanku, Ma. Tidak bertengkar.”
“Baiklah kalau begitu. Kalian berdua sudah terlalu tua untuk bertengkar karena hal sepele.” Jeanne mengusak puncak kepala Leo penuh sayang, lalu meliriknya dengan penuh arti. “Mama tinggal sebentar untuk mengingatkan ayahmu kalau ia tidak perlu bekerja sampai larut malam ini.”
Semua kata-kata yang nyaris terlontar, kini tercekat di tenggorokan saat Leo merangkulnya lebih erat. Ekspresinya perlahan berubah menjadi jengkel saat Jeanne telah menghilang di balik dinding, menuju ruang kerja di lantai dua.
Matanya memicing sengit pada sang pria.. Meski begitu, tidak ada desakan untuk menepis rangkulan Leo di bahunya. “Kau berutang banyak penjelasan padaku, Leo Howard.”
Kira-kira, apa lagi nih yang disembunyikan Leo dari Andrea?
“Kau sudah bertunangan?”Andrea membekap mulut Lily, lalu mendesis. “Jangan keras-keras, Lily. Kita di depan umum!”Ia mengamati sekeliling dengan mata menyipit, berharap orang lain tidak mendengar suara Lily yang lantang. Kerumunan orang yang sibuk mengobrol dan bertukar sapa adalah pemandangan yang umum di akhir pekan saat jam makan siang. Mereka duduk di luar restoran lantaran tidak kebagian kursi di dalam.“Maaf, maaf,” kekeh Lily tertahan. Gadis itu menepuk tangan Andrea, isyarat untuk menurunkan tangan. “Tapi aku tidak bercanda. Kita baru tidak bertemu sebulan? Dua bulan? Dan kau sudah bertunangan dengan pria yang tidak jelas asal-usulnya, bahkan kau tidak tahu pekerjaan pastinya apa? Kau pasti sudah gila.”Andrea mengembuskan napas berat, menyesap teh chamomile yang masih hangat. Ia beradu pandang dengan Darren yang mengunyah roti lapisnya seraya mengangkat bahu. Tampaknya pria itu setuju dengan ocehan Lily.Lily dan Darren adalah sahabatnya semasa kuliah. Mereka terjebak dalam
“Berani sekali kau pulang selarut ini.”Andrea meringis kala telinganya menangkap suara Margaret yang menegurnya sinis. Wanita berusia lebih dari setengah abad itu duduk di sofa emas ruang tengah seraya menonton televisi bersama dengan kedua saudari tirinya.Melihat ibu dan saudari tirinya berada di rumah pada akhir pekan bukanlah pemandangan yang sering terjadi. Mengingat betapa senangnya mereka berada di bawah sorotan dan keramaian, biasanya mereka berpesta sampai pagi dan pulang dalam keadaan mabuk. Unggahan foto atau video mereka minum di bar, berpesta di yacht maupun di klub ternama tersebar di sosial media.“Aku pergi dengan Leo,” tukas Andrea.Rebecca menyantap buah-buahan kering, meliriknya penuh cibiran. “Sampai selarut ini? Jangan mencoreng nama baik Cavendish dengan bepergian bersama kekasih baristamu.”Andrea menghela napas gemetar, mencoba menghalau perkataan Rebecca. Sirat merendahkan saat adik tirinya menyebut kata ‘barista’ nyaris membuat amarahnya menggelegak. Andai g
Membawa Andrea ke salah satu toko buku terbesar di London merupakan salah satu keputusan terbaik yang pernah Leo lakukan. Aroma buku yang sangat terasa di udara memancing senyum lepas dari sang hawa. Senyum yang hampir tidak pernah ia saksikan saat mereka berduaan.Barisan rak berisi buku dengan ketebalan berbeda juga warna sampul yang kontras menarik atensi Andrea. Gadis berhelai jelaga itu langsung menaik-turunkan bahunya antusias selayaknya anak kecil yang mengunjungi taman bermain.“Kau senang?” Pertanyaan itu terlontar dengan nada geli, memandangi Andrea yang melempar pandangan ke sekeliling untuk memutuskan bagian gedung mana yang akan dijelajahi lebih dulu.Andrea mengangguk antusias. Sedetik kemudian, gadis itu menoleh. “Bukankah kita akan membicarakan persiapan pernikahan? Kenapa membawaku ke sini?”Sudut bibirnya tertarik tanpa bisa ditahan. Sepercik kepuasan terbit kala mengetahui ialah alasan di balik senyum Andrea hari ini. “Seingatku kau sering membaca novel saat mampir
“Aku tidak percaya ini,” gerutu suara rendah beraksen Inggris di sebelah Andrea. “Aku hanya pergi beberapa minggu untuk kegiatan kampus dan kau sudah resmi bertunangan dengan pria asing yang tidak kukenal.”Andrea mengembuskan napas panjang, mengulum senyum tipis. “Kukira Margaret sudah memberitahumu.”Ia berdiri bersama kerumunan orang yang menunggu lampu lalu lintas berubah hijau sebelum menyeberang. Samar-samar mendengar pemusik jalan memainkan accordion dengan indah, berharap ada orang yang berbaik hati menyisihkan beberapa uang koin mereka. Jalanan selalu penuh sesak di hari libur.Karena ada pekerjaan mendesak yang membutuhkan Leo sebagai pemilik kafe, pria itu tidak bisa menemaninya mengepas gaun pengantin. Andrea memberengut kala mengingat Leo masih enggan mengatakan pekerjaan apa yang sangat mendesak hingga tidak bisa dijadwal ulang. Sebagai ganti sang tunangan, adik bungsu tirinya, Julianlah yang menemaninya ke butik siang ini.“Memberitahu apanya? Ibu tahu persis aku menenta
Leo tengah berdiskusi dengan Daniel tentang masa depan kafe dan meminta sahabat lamanya membantu mencari gedung yang cocok untuk resepsi pernikahan saat ponselnya berdering. Ia menyetel nada dering khusus untuk orang-orang penting. Dan melodi yang mengalun lembut di kafe itu adalah milik Andrea.“Ya, Darling?” sapanya sembari mengabaikan Daniel yang menatapnya penuh ingin tahu. Topik tentang asmara selalu menarik perhatian pria keturunan Jepang itu.“Kumohon … aku membutuhkanmu sekarang.”Leo bersumpah jantungnya merosot ke perut kala mendengar suara lirih dari seberang sambungan. Kewaspadaannya melonjak, menyambar kunci mobil di atas meja lalu berlari ke parkiran. Tidak dihiraukan Daniel yang turut berteriak panik. Saat ini, tidak ada yang lebih penting daripada berada di sisi Andrea sesegera mungkin.“Kau di mana?” tanyanya tenang. Ia menyalakan mesin mobil, siap untuk membelah lalu lintas secepat mungkin.“Di rumah. Kumohon, Leo, bisakah kau menjemputku sekarang? Aku tidak ingin ber
“Nomor itu … apa Ruth selalu meneleponmu saat tengah malam?” Ia berusaha menjaga agar suaranya tidak gemetar, tetapi sia-sia.Leo menyapu layar ponsel untuk mematikan telepon Ruth, kemudian mengembuskan napas berat. “Kadang-kadang, tapi tidak pernah kujawab kecuali berurusan dengan kafe.”Hatinya mencelos. Tidak hanya Rebecca yang mendatangi Leo untuk bicara buruk tentangnya, Ruth diam-diam mendekati Leo juga. Tampaknya pekerjaan Leo sebagai barista, atau setidaknya itulah yang diketahui oleh saudari tirinya, tidak membuat mereka gentar. Manusia yang gila harta memang mengerikan.Namun, bukan harta maupun titel yang direnggut yang menjadi ketakutan Andrea. Lebih daripada pekerjaan dan status sosial, gagasan kehilangan Leo jauh lebih menyeramkan. Entah sejak kapan, Leo telah menjadi bagian dari rutinitasnya. Pria bernetra senada zaitun itu telah menjadi bagian dirinya.Dan … Andrea tidak sanggup kehilangan Leo.“Andrea, Darling? Bernapas untukku,” titah Leo lembut.Tulang rusuknya seak
“Kau memakai kacamata? Tumben sekali.”“Diamlah. Kau sudah mendapatkan tempat yang kuminta?”“Tentu saja. Mau kau kunjungi hari ini?”“Iya. Omong-omong, salah satu temanmu bekerja di perusahaan media, bukan?”Andrea mengerjap saat sayup-sayup obrolan dengan nada berbisik menyapa indra pendengaran. Dalam hati, ia mengumpat pada seseorang yang meninggalkan tirai dalam keadaan terbuka, membuat cahaya matahari yang memancar ganas jatuh tepat di mata.Ia melempar pandangan ke sekeliling. Ruangan yang didominasi dengan abu-abu itu tampak lebih terang. Meja yang ada di sisi berlawanan dengan jendela penuh dengan buku, alat tulis dan laptop yang sedang dalam mode tidur. Keningnya mengernyit bingung kala mendapati suara kompor dinyalakan.‘Aku bukan di kamarku!’Andrea terkesiap, melonjak bangun dari posisi berbaringnya. Sontak langsung melihat pakaiannya di balik selimut. Kaus kebesaran dengan celana pendek. Masih lengkap.Masih dalam keadaan bingung, ia berusaha mengingat kejadian semalam. B
“Aku bersumpah anak baru itu adalah perempuan paling menyebalkan yang pernah kutemui!” Itulah yang pertama kali menyapa telinga saat Andrea mengangkat telepon grup dari teman-temannya. “Gadis itu berlagak selayaknya Ratu Kantor saat ia mendapatkan posisi sebagai sekretaris bos. Memangnya ia tidak tahu kalau posisi sekretarislah yang paling menderita?”Andrea menatap ponselnya seolah Lily bisa keluar dari sana. Ia mengulum kekeh, sudah terbiasa dengan ledakan amarah Lily jika berurusan dengan salah satu teman kerjanya. “Apa lagi yang ia lakukan padamu, Lily?”“Jangan gunakan nada sok bijak itu padaku, Andrea.” Lily mengecamnya dari seberang telepon. Ia bisa mendengar kekehan Darren juga. “Setelah ditunjuk menjadi sekretaris, ia berpikir bahwa dunia telah berada dalam genggaman. Bagaimana bisa gadis itu berpikir setelah keberuntungan kecil, ia bisa memerintah seenaknya di tempat kerja? Aku bekerja lebih lama darinya.”Ada suara klakson mobil dan obrolan samar para pejalan kaki dari sambu