Share

Hasutan Saudari Tiri

“Aku serius, Leo! Sejak kapan kau punya tunangan?”

Leo mengabaikan Daniel yang melontarkan pertanyaan bertubi-tubi disertai dengan dugaan tentang identitas tunangannya. Melangkah menuju bagian depan kafe yang mulai ramai mengingat matahari kian beranjak ke ufuk barat, mata Leo menangkap seorang gadis yang tampak asing berdiri di depan kasir.

Seulas senyum ramah yang tidak menjangkau mata terukir kala pandangannya bertemu dengan mata gadis yang mengaku sebagai tunangannya. Seperti yang diduga, yang mengaku sebagai tunangannya bukanlah Andrea, melainkan salah satu saudari tirinya.

“Oh, sial. Tunanganmu adalah seorang model?” bisik Daniel memukul bahu Leo setengah tidak percaya. “Aku tahu kau berasal dari keluarga kelas atas, tapi tidak kusangka kau bisa mengencani seorang model.”

Leo mengembuskan napas berat, menepis tangan Daniel kasar. “Ia bukan tunanganku.”

Sebelah alis Daniel terangkat, memiringkan kepala mengamati perubahan raut wajah temannya. “Tapi kau tidak menyangkal saat kukatakan kau sudah bertunangan?”

Tidak menghiraukan Daniel yang menuntut jawaban, Leo mengikis jarak dengan saudara tiri Andrea. Namanya Rebecca, kalau ia tidak salah ingat. Gadis berperawakan tinggi itu tampak modis dengan balutan mantel cokelat dan rambut keemasan yang dibiarkan menjuntai melewati punggung. Tidak heran jika keberadaan Rebecca mampu menyihir beberapa teman kerjanya.

“Kau menarik atensi semua orang di kafe,” sapa Leo dengan suara rendah. “Urusan apa yang membawa model terkenal ke kafeku yang sederhana?”

Rebecca melepas kacamata hitamnya seraya tersenyum lebar. “Ternyata dugaanku benar! Aku harus mencari tahu sendiri di mana kau bekerja karena Andrea tidak ingin memberitahuku. Kurasa diam-diam kakakku ingin menyembunyikanmu dari kami.”

Sebelah alis Leo terangkat, menyeringai tipis meski tatapannya masih belum berubah. “Kau datang untuk memastikan apakah aku bekerja di sini atau tidak?”

Rebecca mengangguk cepat. Senyum di bibir gadis itu kian melebar seraya mengerjap pelan. Ia memangkas jarak, kini berdiri di hadapan Leo cukup dekat hingga pria itu bisa menghirup aroma parfum sang gadis yang sensual.

“Ada sesuatu yang perlu kukatakan padamu. Bagaimana kalau kita bicarakan ini di tempat yang lebih sepi?” tanya Rebecca dengan nada berbisik, semakin memajukan tubuhnya.

Menyadari banyaknya pasang mata yang mengarah pada mereka, Rebecca memandang sekitar dengan sangsi. Bahkan beberapa pengunjung yang sempat sibuk dengan pekerjaan turut memasang telinga untuk menguping. Punggungnya terasa panas dengan hunjaman tatapan Daniel dan Rick yang penuh selidik.

“Kurasa kita bisa bicara di ruang istirahat,” usulnya ringan. Telinganya menangkap suara Daniel dan Rick yang terkesiap dengan cara yang berlebihan, setengah tidak percaya bahwa Leo mengundang seorang gadis untuk berduaan.

Senyum yang merekah di rupa Rebecca memperlihatkan betapa senangnya gadis itu saat Leo mengiyakan tawarannya. Membiarkan gadis berhelai keemasan itu berjalan lebih dulu menuju ruang istirahat, Leo tidak mengindahkan sorot mata Daniel yang menyorong tajam.

Ruang istirahat karyawan terletak pada bagian belakang kafe. Mereka harus melewati lorong yang cukup panjang dan kamar mandi, memberi kesan privasi yang dibutuhkan Rebecca.

Leo membuka pintu, mempersilakan Rebecca masuk. Ruangan itu tidak terlalu besar, hanya memuat loker untuk menyimpan barang bawaan para karyawan juga meja berukuran sedang di tengah ruangan lengkap dengan tiga kursi. Walaupun letaknya agak di belakang, tetapi mereka masih sanggup menghidu aroma mentega dan kopi.

Duduk di kursi yang berseberangan dengan Rebecca, ia kembali bertanya, “Jadi, apa yang ingin kaubicarakan?”

Rebecca menjalin jemari di atas meja, mengembuskan napas berat. “Sejujurnya, aku tidak ingin menyebarkan keburukan keluarga sendiri, tapi kurasa kau berhak tahu.”

Leo berdeham, menunggu Rebecca melanjutkan ucapan. Mengulum seringai tipis, ia bisa menerka apa yang akan dikatakan oleh Rebecca.

“Kau adalah pria yang baik, Leo. Tidak sepantasnya pria sebaik dirimu ditipu oleh Andrea.” Rebecca membasahi bibirnya gugup. “Kurasa Andrea bukanlah gadis yang tepat untukmu. Apakah kau sudah mengenalnya dengan baik?”

Ia mengangguk samar. “Tentu saja. Aku yang melamarnya.”

“Nyatanya, Andrea tidak sebaik itu. Tahukah kau kalau Andrea menerima lamaranmu karena garis keturunanmu? Andrea tidak seterkenal aku dan Ruth. Para pria juga cenderung menjauhinya karena ia adalah gadis membosankan. Ia menyukaimu karena harta keluargamu, Leo, bukan karena dirimu.” Rebecca menyunggingkan senyum penuh simpati yang sendu.

‘Jadi, ini yang mereka incar?’ pikir Leo dalam hati. ‘Kenyataannya, Andrea bahkan belum menyukaiku.’

Dengan status keluarganya yang diakui oleh kelas atas, Leo sering menjumpai para gadis yang terobsesi pada popularitas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Kekayaan, status sosial, dan pria tampan yang mampu membiayai gaya hidup mereka yang tidak masuk akal.

Menilai dari raut wajah juga pembawaan sang hawa, Leo menyimpulkan bahwa Rebecca adalah salah satu gadis itu. Ia dan saudari tirinya.

Sudut bibirnya tertarik lebih dalam. Leo tidak bereaksi saat Rebecca bangkit lalu memutari meja. Ia tetap bergeming kala gadis itu mengusap bahu dan lengannya lembut seolah menawarkan empati. Sayangnya, trik murahan ini tidak bisa menipunya.

Ekor matanya menangkap Rebecca yang tersenyum ringan lalu berjalan menuju pintu. Namun, gadis itu berhenti sejenak dan menoleh dari balik bahu. “Aku tahu ini sangat mengejutkan. Ambil waktumu, Leo. Pikirkan lagi sebelum semuanya terlambat. Mungkin kau akan menyadari kalau Andrea tidak pantas bersanding denganmu.”

Ia memejamkan mata, mendengar suara konstan stiletto yang perlahan menjauh. Beberapa menit kemudian, gema langkah kaki yang menderap cepat terdengar. Hanya menunggu waktu hingga Daniel kembali menginterogasinya.

Atensinya teralihkan pada ponsel yang menyala, menandakan ada pesan yang masuk. Senyum terpatri tanpa bisa ditahan kala membaca nama pengirim. Andrea.

‘Malam ini pulang sedikit larut. Ada masalah di kantor. Kalau sudah selesai langsung pulang saja, jangan tunggu aku.’

Leo mengembuskan napas jengah. “Sayangnya, bertemu denganmu adalah bagian yang paling kutunggu dalam sehari, Darling.”

***

Andrea mengamati sekeliling dengan was-was, merasa ada yang aneh dengan suasana kafe.

Jantungnya berdebar lebih keras, gusar dengan tatapan penuh penilaian yang mengarah padanya. Yakin kemejanya tidak kotor atau penampilannya lusuh, Andrea bertanya-tanya mengapa rekan kerja Leo yang masih ada di kafe tidak memalingkan pandangan darinya.

Matanya memindai sekeliling. Berbanding terbalik dengan eksterior kafe yang terkesan minimalis, bagian dalam jauh lebih berkelas dan mewah. Lampu kuning temaram yang menyinari ruangan menawarkan kenyamanan bagi pekerja atau anak muda yang ingin bersantai. 

Kebanyakan furnitur adalah meja persegi panjang kayu berpadu dengan kursi empuk. Ada bilik-bilik yang dipisahkan oleh kayu serupa pagar untuk pengunjung yang menginginkan privasi. Di beberapa sudut kafe, ada tanaman yang memberikan nuansa sejuk juga wisteria imitasi yang menambah warna. Singkatnya, kafe ini sangatlah nyaman.

Pandangannya jatuh pada sosok Leo yang baru saja keluar dari dapur seraya membawa nampan berisi piring yang masih menguapkan asap. Tebakannya, itu adalah pai daging yang dijanjikan sang pria.

“Penampilanku hari ini aneh, ya?” tanyanya dengan lirih, kembali mengecek penampilan dengan kamera ponsel.

Sebelah alis Leo terangkat, menoleh dari balik bahu untuk mengamati sekeliling lalu terkekeh pelan. “Tidak ada yang salah dengan penampilanmu. Mereka hanya kagum dengan … tunanganku.”

Matanya membelalak. “Kau bilang apa?”

Leo meletakkan piring berisi sepotong pai daging, mengulas senyum tipis. Pria itu tampak terhibur dengan reaksinya.

“Tadi sore salah satu saudarimu datang dan mengaku sebagai tunanganku. Entah untuk alasan apa.” Leo melepaskan apron hitam yang dikenakan, duduk di seberang Andrea. “Kubilang bukan Rebecca, tunanganku akan datang malam ini untuk menyantap pai daging.”

“Hah?”

Andrea mengerjap cepat tak percaya. Pandangannya bergulir pada rekan-rekan kerja Leo yang mengintip penasaran, membuktikan kalau sang pria berkata jujur. Oh, astaga. Ia menutup wajah dengan sebelah tangan. Wajahnya terasa panas, begitu juga dengan lehernya.

Ia tahu Leo adalah pria yang senang bicara gamblang, tetapi tidak menyadari bahwa sang pria mampu segamblang ini.

“Kau tidak suka kalau mereka tahu kau adalah tunanganku?” Suara sang pria merendah.

“Bukan! Bukan begitu.” Andrea buru-buru menyangkal. Namun, saat matanya kembali tertuju pada Leo, ia tahu pria itu tengah mengerjainya. “Kau mengerjaiku lagi!”

Andrea mendengus kesal, meluapkan jengkel dengan menyuap pai dagingnya agak kasar. Mengabaikan binar jahil yang terpancar pada netra senada zaitun sang pria, ia memilih sibuk dengan melempar pandangan ke luar jendela.

“Omong-omong, kenapa Rebecca mendatangimu?” Hanya ada satu alasan mengapa saudari tirinya itu menemui Leo. Merendahkannya di mata sang pria.

Leo terkekeh rendah, mengulurkan tangan untuk menyeka saus pai di sudut bibir. Andrea bersumpah pipinya terasa panas kala pria berhelai jelaga itu menjilat ibu jarinya. “Hanya untuk memastikan apakah aku bekerja di sini atau tidak. Kelihatannya ia tidak percaya kalau aku benar-benar seorang barista.”

Andrea terdiam sejenak. Sibuk mengaduk potongan pai saat suara dalam pikirannya saling tumpang-tindih. Mungkinkah Rebecca hanya datang untuk memastikan tanpa mencercanya? Tidak mungkin. Ia terlalu mengenal sosok sang model untuk berprasangka baik.

Terlalu asyik berkutat dengan gusar, ia tidak menyadari ponsel Leo bergetar. “Oh, ya. Kau punya waktu akhir minggu ini?”

Keningnya berkerut samar. “Ada apa?”

“Orang tuaku ingin makan malam denganmu, mungkin juga membicarakan persiapan pernikahan kita.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status