Leo bersumpah ada yang aneh dengan Andrea.
Saat ia kembali dari kios yang menjual ayam dan membeli teh susu yang Andrea suka untuk melengkapi pagi sang hawa, wanita itu duduk dengan tegang di bangku panjang. Ekspresinya mengeras. Matanya memandang kejauhan. Bahkan saat Leo duduk di sampingnya, Andrea tidak langsung bereaksi.
“Darling, kau baik-baik saja?” tanyanya seraya menggapai jemari sang istri yang ternoda oleh saus dari pai daging lantaran menggenggamnya terlalu erat.
Andrea terkesiap. Mulutnya nyaris menganga, matanya membelalak. Selama beberapa detik, wanita itu bereaksi seolah ia adalah penjahat yang siap menyergap. Respons itu sudah cukup meningkatkan kewaspadaan Leo terhadap sekitar.
Apa yang sebenarnya dilihat Andrea hingga sang hawa terpekur baga
“Darling, bisakah kita bicara sebentar?”Gerakan tangan Andrea yang tengah menumpuk piring setelah makan malam terhenti di udara. Cemas sontak menyergap benak. Kalimat itu selalu mengundang resah karena akhir pembicaraan biasanya tidak selalu baik. Bukankah banyak pasangan kekasih yang menemui akhir hubungan setelah pertanyaan itu dilontarkan?Namun, Andrea telah mengantisipasi hal ini akan terjadi cepat atau lambat. Sudah beberapa hari setelah ia menghindari Leo dengan gamblang. Menghindari ajakan sang pria untuk menghabiskan waktu bersama, bahkan menolak untuk diantar-jemput dan melakukan tradisi mereka. Sentuhan ringan pun berkurang drastis.Andrea tahu kalau mengelak bukanlah keputusan yang bijak, tetapi terlampau sibuk dengan benang kusut dalam kepala juga suara yang senantiasa berteriak dalam pikiran membuat sisi rasionalnya terpaksa dinomorduakan.“Apakah mendesak?” balasnya seraya membasahi bibir gugup, mencoba menjaga agar suaranya tidak gemetar. “Aku perlu mencuci piring dulu
Leo menggulirkan ibu jari di layar ponsel. Sudut bibirnya tertarik samar. Pesan lain dari Andrea yang mengingatkannya untuk berhati-hati dan tidak menantang bahaya. Kalau sang hawa akan menunggunya di kafe seperti biasa.Ia mengetik pesan balasan. ‘Aku akan kembali sebelum kafe tutup.’Sejak meluapkan gelisah dan cemasnya kemarin lusa, Andrea telah kembali seperti sedia kala. Dugaannya benar. Logan memang sengaja mencari Andrea, mengancamnya. Yang luput dari hipotesisnya adalah kemungkinan bahwa bajingan itu akan menggunakan namanya agar Andrea mengikuti keinginan Logan untuk kembali.Malang bagi Logan, Leo bukanlah sembarang pria yang patuh saat diancam.Awalnya, Leo berniat mengusir Logan dengan mengirim pria itu kembali ke Amerika. Namun, niat itu terpaksa diurungkan setelah mempertimbangkan ketakutan Andrea selama beberapa hari setelah kemunuculannya. Bagaimana Andrea selalu waspada terhadap sekitar. Bagaimana Andrea mencoba menjauh darinya karena tidak mau Leo disakiti oleh baji
Andrea tidak bisa berhenti melihat jam dinding setelah menerima pesan terakhir dari Leo. Semakin lama jarum jam berputar, semakin tercekik dirinya. Panik membelenggu batin kala sang pria bersikeras ingin bertemu dengan Logan untuk bicara. Seberapa keras ia berusaha untuk membujuk Leo agar membatalkan niatnya pun berakhir sia-sia. Julianlah yang menjemputnya dari kantor, kali ini bukan atas suruhannya melainkan karena titah Leo untuk menjaga sang kakak. Cemasnya kian mengimpit dada saat sosok sang suami absen dari kafe. William dan Daniel berusaha untuk menenangkannya dengan senyum tipis.“Tenang saja, suamimu itu lebih tangguh daripada gurita cincin biru.” William menepuk bahunya ringan, menyeringai lebar. “Ia mungkin tampak tidak berbahaya, tapi racunnya bisa membunuh dua puluh enam orang dewasa. Bahkan orang lain tidak akan menyadari gigitannya sampai alat pernapasan mereka gagal berfungsi.”Gurauan William berhasil menarik sudut bibir Andrea tipis. Ia tidak tahu kemampuan Leo seba
Langkah kaki menggema di kediaman mereka kala Andrea melintasi flat menuju ruang kerja. Cahaya yang menyusup pada bagian bawah pintu menunjukkan bahwa seseorang mengingkari janji untuk tidur lebih awal bersamanya dan memilih bekerja. Mendesah panjang, Andrea mengetuk pintu tiga kali,“Selamat malam, Tuan Leo Howard.” Andrea melongokkan kepala dari balik pintu. Matanya langsung bertemu dengan netra senada zaitun Leo yang dibingkai dengan kacamata. “Boleh aku bicara dengan suamiku?”Leo mengulum senyum, melepaskan kacamatanya. “Keduanya adalah suamimu, Darling.”Andrea melangkah lebih dalam ke ruang kerja, berhenti tepat di depan meja sang pria. Ia menjawab uluran tangan Leo, memutari meja lalu duduk di pangkuan sang suami. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam ketika Leo menyapukan bibir di pelipisnya lamat.“Sayangnya, Tuan Leo Howard dan suamiku adalah dua pria yang berbeda,” guraunya. “Tuan Leo Howard akan bersikeras mengerjakan laporan dari William lalu sibuk mengkalkulasikan data da
“Per kemarin, Logan Blackhill sudah tidak menetap di London.” Itulah hal pertama yang dilaporkan oleh Roger sesampainya sang detektif di kafe Wisteria. “Pihak hotel sudah membenarkan kalau kamar yang dihuni oleh Logan kosong dan ia tidak terlihat lagi di kota ini.”“Akhirnya ada kabar baik minggu ini,” gumam William rendah. “Yakin kalau ia benar-benar pergi dan bukannya menyembunyikan diri?”Roger mengangguk lamat. “Kelihatannya begitu. Tidak ada lagi alasan yang mengikatnya di kota ini. Bahkan pembayaran di kasinonya sudah dilunasi.”Leo menyimak penjelasan sang detektif dengan senyum terkulum. Keberhasilannya sudah dipastikan malam itu. Saat Logan tak berkutik di bawah ancamannya. Namun, mendengar kabar bahwa taktiknya benar-benar berhasil memberikan kepuasan yang berbeda.Menyenangkan, tentu saja. Ternyata kemampuannya bernegosiasi dengan menyelipkan taktik persuasif—dalam kasus Logan agak sedikit ekstrem—belum menumpul. Setidaknya, Logan cukup bijak untuk tidak menguji batasan Leo
“Saya datang dengan niat untuk melamar putri keluarga Cavendish.”Tidak ada yang bisa mempersiapkan Andrea untuk mendengar berita ini di Minggu pagi yang cerah. Ia ingin menghabiskan akhir pekannya dengan tenang setelah berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk, jauh dari saudari-saudari tirinya yang gila harta dan popularitas. Namun, siapa sangka ia malah mencuri dengar seorang pria datang untuk melamar.Mengabaikan buku jurnalnya di atas meja kerja, Andrea berjalan pelan dengan langkah pendek menuju ruang tamu. Oh, astaga. Ia mengenal pria yang duduk di ruang tamu!“Boleh kutahu, apa pekerjaanmu saat ini?” Ibu tirinya, Margaret, bertanya dengan nada penuh selidik yang antusias. Wanita yang berumur nyaris setengah abad itu terdengar senang dengan gagasan ada pria yang hendak melamar putrinya.Leo, pria yang belakangan ini ia temui di kafe sepulang kerja, mengulas senyum sopan yang karismatik. “Saat ini saya mengisi waktu luang dengan menjadi barista di kafe dekat Holland Park.”Andrea
“Aku hanya perlu masuk dan bertanya,” gumam Andrea pada dirinya sendiri. Ia melirik gedung kecil hitam dengan eksterior yang terkesan minimalis dengan tulisan ‘Wisteria’ pada bagian atas. Tempat pria yang ingin ia temui bekerja. “Benar. Bukan aku yang tiba-tiba datang untuk melamar. Aku berhak mendapatkan jawaban.”Ia menghela napas berat lalu menjejalkan kedua tangan ke saku mantel. Angin musim dingin gugur terlalu dingin untuk bepergian tanpa mantel tebal atau syal. Terlebih menjelang malam.Lonceng berbunyi saat ia mendorong pintu kafe. Aroma kopi, cokelat dan mentega seketika menyapa saat ia melangkah masuk. Jajaran roti yang dipamerkan di etalase juga kue dengan berbagai rasa dan warna sangat memanjakan mata. Namun, yang ia cari bukanlah hangatnya makanan yang disediakan.Itu dia. Pria berperawakan tinggi dengan mata senada zaitun yang berdiri di belakang konter.“Maaf, tapi kami sudah tutup.” Leo tampak tertegun saat berbalik dan menemukan Andrea berdiri di muka pintu. Detik sel
“Membayangkan sesuatu yang lain? Sudah sampai rumah. Kita tidak ingin merusak reputasimu dengan berdiam terlalu lama dengan seorang pria di dalam mobil, bukan?” bisik Leo dengan sirat jahil.Selama beberapa detik, matanya terpaku pada netra senada buah zaitun Leo. Ia terkesiap saat sang pria tersenyum menggoda.Dikuasai oleh perasaan malu, Andrea menyambar tasnya lalu keluar dari mobil dengan langkah menghentak. Wajahnya terasa panas, begitu juga dengan leher dan telinga. Bagaimana bisa ia berpikir aneh-aneh? Bukankah Leo adalah pria terhormat?Samar-samar ia mendengar suara kekehan dari belakang. Diselimuti oleh rasa penasaran, ia menoleh dari balik bahu dan menemukan Leo yang melipat kedua lengan di atas kemudi seraya menyeringai tipis.“Selamat malam, Andrea. Aku menantikan hasil akhir taruhan kita.”***“Ka-kalian …!”“Selamat malam, Nyonya Cavendish.” Leo muncul dari balik pintu bersama dengan pasangan yang lebih tua. Mereka tersenyum sumringah seraya menenteng kantong dengan logo