“Saya datang dengan niat untuk melamar putri keluarga Cavendish.”
Tidak ada yang bisa mempersiapkan Andrea untuk mendengar berita ini di Minggu pagi yang cerah. Ia ingin menghabiskan akhir pekannya dengan tenang setelah berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk, jauh dari saudari-saudari tirinya yang gila harta dan popularitas. Namun, siapa sangka ia malah mencuri dengar seorang pria datang untuk melamar.
Mengabaikan buku jurnalnya di atas meja kerja, Andrea berjalan pelan dengan langkah pendek menuju ruang tamu. Oh, astaga. Ia mengenal pria yang duduk di ruang tamu!
“Boleh kutahu, apa pekerjaanmu saat ini?” Ibu tirinya, Margaret, bertanya dengan nada penuh selidik yang antusias. Wanita yang berumur nyaris setengah abad itu terdengar senang dengan gagasan ada pria yang hendak melamar putrinya.
Leo, pria yang belakangan ini ia temui di kafe sepulang kerja, mengulas senyum sopan yang karismatik. “Saat ini saya mengisi waktu luang dengan menjadi barista di kafe dekat Holland Park.”
Andrea tidak bisa melihat ekspresi ibu tirinya. Namun, menilai dari postur yang wanita yang duduk dengan punggung menegang dan bahu melesak, ia tahu Margaret kecewa. Sang ibu tiri selalu terobsesi dengan kekayaan dan kelas sosial yang tinggi. Tidak heran setelah mendengar pekerjaan Leo, keantusiasan ibu tirinya langsung lenyap.
“Aku yakin kau adalah pria tampan yang baik, Leo, tapi kau harus tahu bahwa keluarga ini tidak menerima seseorang dari kalangan yang lebih rendah,” cibir Margaret dengan nada terkendali. “Bagaimana bisa kau berpikir untuk menikahi putri-putriku yang manis? Bayangkan bagaimana reaksi publik jika seorang aktris atau model menikah dengan … barista.”
Andrea meringis pelan. Cara Margaret mengatakan ‘barista’ seolah mengecilkan pekerjaan sang pria dan jijik memikirkan nasib kedua putrinya. Pandangannya bergulir pada Leo yang masih mengulas senyum, tidak terpengaruh dengan kesinisan sang ibu tiri.
“Ah, anda salah paham, Nyonya Cavendish.” Leo mengangkat sebelah tangan. Untuk sesaat, Andrea bersumpah mata hijau zaitun sang pria melekat padanya. “Aku berniat melamar Andrea. Putri sulungmu.”
Bercanda. Leo pasti bercanda. Mereka hanya berbincang beberapa kali saat Andrea lupa waktu dan tinggal di kafe sampai mendekati jam tutup. Mungkin sesekali berbagi cerita tentang kesibukan dan berbasa-basi perihal cuaca. Hanya itu.
Bagaimana seseorang bisa memiliki pikiran untuk menikahi seorang gadis karena beberapa kali mengobrol?
“Andrea?” Ia yakin Margaret tengah mengerutkan kening, tidak mengantisipasi ucapan Leo. “Kenapa Andrea?”
“Kami sering mengobrol di kafe dan saya menyukainya.” Leo menjelaskan dengan tenang, menjalin jemari di atas lutut. “Dengan latar saya yang cukup baik juga kesiapan finansial, saya rasa tidak ada masalah. Untuk tempat tinggal nanti, saya sudah ada rumah di Manchester.”
Secepat keantusiasan Margaret lenyap saat mengetahui Leo adalah seorang barista, secepat itu juga kesenangannya kembali. Sudah lama sekali sang ibu tiri ingin menyingkirkannya dari rumah. Kini, kesempatan itu datang.
Andrea tidak buta. Ia tahu bagaimana sifat ibu dan saudari-saudari tirinya yang haus harta. Satu-satunya alasan Margaret sudi menikahi Robert—mendiang ayahnya yang wafat tiga tahun lalu—adalah karena kekayaan dan kelas sosial ayahnya yang tinggi. Ada garis aristokrat dalam keluarga Cavendish. Itulah yang diincar oleh Margaret.
Bukan perkara sulit bagi Margaret untuk mengambil alih warisan jika Andrea tidak berada di Kensington untuk mengawasi. Sialnya, lamaran dari Leo bisa menjadi peluang untuk menyisihkan Andrea dari rumah peninggalan sang ayah. Berani bertaruh Margaret akan mengusirnya ke Manchester jika ia mengiyakan lamaran Leo.
Margaret termenung sejenak, berpura-pura berpikir. Detik selanjutnya, bahu sang ibu tiri kembali terangkat seraya mengangguk pelan. Wanita itu menyesap tehnya dengan anggun. “Baiklah. Kau berhasil meyakinkanku, Leo.”
Jantung Andrea berdebar kencang. Betapa ia ingin menyela ucapan Margaret, tetapi bayangan terkunci di loteng tanpa makanan selama sisa akhir pekan memaksanya untuk mengurungkan niat.
Ia hanya terdiam saat senyum Leo melebar. Pria itu menjawab uluran tangan Margaret, menyegel perjanjian tak terucap mengenai pertunangan mereka. Mata hijau Leo berkilat penuh arti kala bersirobok dengannya. Tidak seperti Margaret yang menyeringai gembira, Andrea ingin melarikan diri.
“Kembalilah minggu depan. Kami berharap kau tidak akan mempermalukan nama Cavendish dengan hadiah pertunangan yang murahan,” ucap Margaret final.
Andrea tidak pernah menyangka saat angin musim gugur berembus membawa dedaunan kuning yang telah meranggas, benang merah takdirnya ikut tersapu. Tidak. Andrea tidak pernah menduga dunianya begitu mudah dibolak-balikkan.
***
“Kudengar ada yang dilamar hari ini?” Suara halus Ruth memecah keheningan di meja makan. Adik tiri sulungnya mengukir seringai meremehkan. “Seorang barista, katanya. Aku tahu kalau penampilanmu membosankan, tapi baru sadar kalau kau menarik perhatian dari pria yang sama membosankannya denganmu.”
Andrea bungkam. Enggan beradu mulut dengan sang aktris setelah harinya berjalan buruk. Lagi pula ia sudah terbiasa dengan cibiran saudari-saudari tirinya yang glamor.
“Ah, memang cocok untukmu.” Rebecca, adik tirinya yang kedua, ikut menimbrung. “Kau yang seorang akuntan menikah dengan seorang barista. Kalian akan menghabiskan masa tua dengan mengais uang susah payah. Sangat cocok!”
Ia masih bergeming, menyuap potongan kentang ke mulut tanpa berkomentar. Ruang makan yang diterangi lampu chandelier itu terasa mewah. Ruangan yang sebelumnya menjadi tempat Andrea dan orang tuanya berbagi cerita selama makan malam. Ruangan yang sekarang terasa sepi dan hampa.
Topik yang mengudara adalah seputar jadwal syuting Ruth, tawaran modeling untuk Rebecca yang hampir tidak pernah absen juga perkembangan kuliah Julian, adik tiri bungsunya. Setelah Margaret menjadi Nyonya Cavendish, Andrea seolah tak kasat mata. Tidak penting untuk dianggap ada.
“Kau yakin mau menikah dengan pria yang tidak jelas asal-usulnya?” Kali ini Julian yang menyahut dari kursi di samping kanannya. Satu-satunya anggota keluarga yang masih memandang Andrea sebagai seorang kakak. “Bagaimana kalau pria itu adalah penguntit yang terobsesi padamu?”
“Ia tidak seperti itu.” Andrea berkelit, bersuara untuk pertama kalinya sejak piring makanan diletakkan di meja. “Atau setidaknya aku tidak menangkap gelagat aneh dari Leo. Bukan berarti aku mau menikah dengannya.”
“Kau akan menikah dengan Leo.” Suara tegas Margaret menggema di ruang makan. Mata hijau sang ibu tiri berkilat tajam, menantang Andrea untuk membantah ucapannya. “Sudah waktunya kau memikirkan pernikahan. Karena kau tidak becus mengurusi urusan asmara, aku sampai harus turun tangan.”
Keningnya berkerut samar. Genggamannya mengerat pada garpu hingga buku-buku jemarinya memutih. Hendak membalas bahwa ia bisa mengurusi hidupnya sendiri, tetapi usapan pelan Julian pada lututnya membuat Andrea menahan kata.
“Apakah kau ingin menghambat bahagia Ruth dan Rebecca bersama kekasih mereka?” Sebelah alis Margaret terangkat. “Tidak etis jika mereka menikah sebelum kakak sulung mereka.”
“Tapi aku—”
“Kau akan menikah dengan Leo.” Ada nada mengintimidasi yang tersisip dalam tiap penggalan kata Margaret, memaksa Andrea untuk mengatupkan bibir. “Persiapkan dirimu. Minggu depan ia akan kembali untuk melamar secara resmi.”
Mengabaikan lirikan meremehkan juga cemoohan Ruth dan Rebecca tentang masa depannya yang suram bersama dengan Leo, Andrea menggenggam balik tangan Julian dari bawah meja. Ia mengerjap cepat, menghalau air mata yang menggenang di pelupuk.
“Berbahagia sedikit,” celetuk Ruth seraya menusuk salad di piring. “Dari yang kutahu, Leo-mu ini cukup tampan dan murah senyum? Mungkin kalau ia menjadi model bisa terpilih menjadi kandidat potensial.”
Rebecca terbahak. “Yang benar saja! Aku yakin calon suami Andrea tidak lebih tampan dari kekasihku.”
Ruth mengangkat bahu acuh tak acuh, melirik Andrea dengan seringai mengejek. “Setidaknya kau dan Leo cocok. Seharusnya kau bahagia.”
Bagaimana bisa Andrea bahagia? Bagaimana bisa ia menerima pernikahan tanpa izin ini? Bagaimana bisa saat hatinya masih terpaku pada pria yang telah menjalin hubungan dengannya selama lima tahun terakhir? Bagaimana ia bisa memulai hubungan dengan pria yang baru ia kenal?
Bagaimana bisa ia melupakan masa lalu dengan luka yang masih menganga lalu menerima masa depan yang tidak pasti?
“Aku hanya perlu masuk dan bertanya,” gumam Andrea pada dirinya sendiri. Ia melirik gedung kecil hitam dengan eksterior yang terkesan minimalis dengan tulisan ‘Wisteria’ pada bagian atas. Tempat pria yang ingin ia temui bekerja. “Benar. Bukan aku yang tiba-tiba datang untuk melamar. Aku berhak mendapatkan jawaban.”Ia menghela napas berat lalu menjejalkan kedua tangan ke saku mantel. Angin musim dingin gugur terlalu dingin untuk bepergian tanpa mantel tebal atau syal. Terlebih menjelang malam.Lonceng berbunyi saat ia mendorong pintu kafe. Aroma kopi, cokelat dan mentega seketika menyapa saat ia melangkah masuk. Jajaran roti yang dipamerkan di etalase juga kue dengan berbagai rasa dan warna sangat memanjakan mata. Namun, yang ia cari bukanlah hangatnya makanan yang disediakan.Itu dia. Pria berperawakan tinggi dengan mata senada zaitun yang berdiri di belakang konter.“Maaf, tapi kami sudah tutup.” Leo tampak tertegun saat berbalik dan menemukan Andrea berdiri di muka pintu. Detik sel
“Membayangkan sesuatu yang lain? Sudah sampai rumah. Kita tidak ingin merusak reputasimu dengan berdiam terlalu lama dengan seorang pria di dalam mobil, bukan?” bisik Leo dengan sirat jahil.Selama beberapa detik, matanya terpaku pada netra senada buah zaitun Leo. Ia terkesiap saat sang pria tersenyum menggoda.Dikuasai oleh perasaan malu, Andrea menyambar tasnya lalu keluar dari mobil dengan langkah menghentak. Wajahnya terasa panas, begitu juga dengan leher dan telinga. Bagaimana bisa ia berpikir aneh-aneh? Bukankah Leo adalah pria terhormat?Samar-samar ia mendengar suara kekehan dari belakang. Diselimuti oleh rasa penasaran, ia menoleh dari balik bahu dan menemukan Leo yang melipat kedua lengan di atas kemudi seraya menyeringai tipis.“Selamat malam, Andrea. Aku menantikan hasil akhir taruhan kita.”***“Ka-kalian …!”“Selamat malam, Nyonya Cavendish.” Leo muncul dari balik pintu bersama dengan pasangan yang lebih tua. Mereka tersenyum sumringah seraya menenteng kantong dengan logo
“Beraninya kau mempermalukanku!”Seharusnya Andrea tahu malamnya tidak akan berakhir indah. Seharusnya ia tahu, amarah Margaret akan meluap dengan cara yang mengerikan. Seharusnya ia tahu, segera setelah keluarga Howard berpamitan akan ada malam yang panjang untuknya.Benar saja. Belum sampai lima menit sejak mobil keluarga Howard meninggalkan pekarangan rumah, Margaret menderap ke arahnya dengan tangan mengepal. Tangan yang sebelumnya menggenggam gelas sampanye kini teracung tinggi. Tangan yang tidak pernah memperlakukannya dengan baik kembali menorehkan luka.“Anak tidak tahu diuntung!” teriak Margaret murka. Pipinya terasa panas saat tangan Margaret mengayun kencang, menamparnya. “Pikirmu aku tidak akan tahu kalau kau menyembunyikan statusnya, hah!”Andrea menghela napas gemetar. Telinganya berdengung karena makian Margaret menggema di seluruh penjuru rumah. Sisi wajahnya nyeri karena tamparan keras sang ibu tiri. Ia yakin akan ada bekas membiru yang sulit dijelaskan besok pagi.“Ka
“Sekarang, aku adalah tunanganmu.”Andrea mendecak kesal. “Bukan itu yang kutanyakan. Maksudku, siapa kau sebenarnya? Bagaimana kau bisa sangat kompleks dan misterius?”“Bukankah manusia adalah makhluk yang kompleks dan misterius?” balas Leo dengan sirat menggoda. Menyadari tatapan datar Andrea, ia melanjutkan, “Lagi pula, wajar kalau kau menganggapku misterius. Mengutip ucapanmu, kita baru belakangan ini saling mengenal lebih dekat.”Seringai jahil terukir di bibir Leo kala hidung Andrea merengut sebal, mengingatkannya pada seekor kelinci yang mengunyah stroberi. Wanita itu memukul bahunya lalu berjalan lebih dulu untuk meluapkan kesal. Jika ada satu kata untuk menjabarkan ekspresi Andrea saat ini, menggemaskan adalah kata yang paling cocok.“Apa ini pertanda kalau kau mulai penasaran denganku?” tanyanya lagi setelah mereka keluar dari stasiun.Ada banyak orang yang berlalu-lalang, saling berlomba melangkah lebih cepat untuk sampai ke tujuan. Sesekali, ia menarik siku Andrea agar wan
“Aku serius, Leo! Sejak kapan kau punya tunangan?”Leo mengabaikan Daniel yang melontarkan pertanyaan bertubi-tubi disertai dengan dugaan tentang identitas tunangannya. Melangkah menuju bagian depan kafe yang mulai ramai mengingat matahari kian beranjak ke ufuk barat, mata Leo menangkap seorang gadis yang tampak asing berdiri di depan kasir.Seulas senyum ramah yang tidak menjangkau mata terukir kala pandangannya bertemu dengan mata gadis yang mengaku sebagai tunangannya. Seperti yang diduga, yang mengaku sebagai tunangannya bukanlah Andrea, melainkan salah satu saudari tirinya.“Oh, sial. Tunanganmu adalah seorang model?” bisik Daniel memukul bahu Leo setengah tidak percaya. “Aku tahu kau berasal dari keluarga kelas atas, tapi tidak kusangka kau bisa mengencani seorang model.”Leo mengembuskan napas berat, menepis tangan Daniel kasar. “Ia bukan tunanganku.”Sebelah alis Daniel terangkat, memiringkan kepala mengamati perubahan raut wajah temannya. “Tapi kau tidak menyangkal saat kukat
Ketika Leo berkata makan malam, Andrea menduga makan malam yang dimaksud adalah reservasi di salah satu restoran bintang lima di London. Pikirannya bertualang liar memikirkan gaun macam apa yang harus dipakai atau riasan seperti apa yang cocok untuk jamuan makan malam bersama calon mertuanya.Dugaannya salah. Ternyata makan malam diadakan di kediaman Howard yang berada di Knightsbridge, kawasan elit London yang terkenal dengan harga properti yang luar biasa mahal. Ia yakin, gajinya sebagai akuntan dalam setahun masih belum cukup untuk membeli rumah yang sama dengan keluarga Howard.Impresi Andrea pada pasangan Howard ternyata benar. Jeanne dan Noah adalah pasangan hangat yang romantis. Sejujurnya, melihat bagaimana orang tua Leo yang tidak berhenti menyanjung satu sama lain, bahkan sesekali bertukar kecupan kala membawa makanan ke ruang makan, mengingatkan Andrea pada mendiang orang tuanya.“Padahal terakhir kali aku melihatmu, kau masih gadis kecil yang manis.” Atensi Jeanne bergulir
“Kau sudah bertunangan?”Andrea membekap mulut Lily, lalu mendesis. “Jangan keras-keras, Lily. Kita di depan umum!”Ia mengamati sekeliling dengan mata menyipit, berharap orang lain tidak mendengar suara Lily yang lantang. Kerumunan orang yang sibuk mengobrol dan bertukar sapa adalah pemandangan yang umum di akhir pekan saat jam makan siang. Mereka duduk di luar restoran lantaran tidak kebagian kursi di dalam.“Maaf, maaf,” kekeh Lily tertahan. Gadis itu menepuk tangan Andrea, isyarat untuk menurunkan tangan. “Tapi aku tidak bercanda. Kita baru tidak bertemu sebulan? Dua bulan? Dan kau sudah bertunangan dengan pria yang tidak jelas asal-usulnya, bahkan kau tidak tahu pekerjaan pastinya apa? Kau pasti sudah gila.”Andrea mengembuskan napas berat, menyesap teh chamomile yang masih hangat. Ia beradu pandang dengan Darren yang mengunyah roti lapisnya seraya mengangkat bahu. Tampaknya pria itu setuju dengan ocehan Lily.Lily dan Darren adalah sahabatnya semasa kuliah. Mereka terjebak dalam
“Berani sekali kau pulang selarut ini.”Andrea meringis kala telinganya menangkap suara Margaret yang menegurnya sinis. Wanita berusia lebih dari setengah abad itu duduk di sofa emas ruang tengah seraya menonton televisi bersama dengan kedua saudari tirinya.Melihat ibu dan saudari tirinya berada di rumah pada akhir pekan bukanlah pemandangan yang sering terjadi. Mengingat betapa senangnya mereka berada di bawah sorotan dan keramaian, biasanya mereka berpesta sampai pagi dan pulang dalam keadaan mabuk. Unggahan foto atau video mereka minum di bar, berpesta di yacht maupun di klub ternama tersebar di sosial media.“Aku pergi dengan Leo,” tukas Andrea.Rebecca menyantap buah-buahan kering, meliriknya penuh cibiran. “Sampai selarut ini? Jangan mencoreng nama baik Cavendish dengan bepergian bersama kekasih baristamu.”Andrea menghela napas gemetar, mencoba menghalau perkataan Rebecca. Sirat merendahkan saat adik tirinya menyebut kata ‘barista’ nyaris membuat amarahnya menggelegak. Andai g