“Sekarang, aku adalah tunanganmu.”
Andrea mendecak kesal. “Bukan itu yang kutanyakan. Maksudku, siapa kau sebenarnya? Bagaimana kau bisa sangat kompleks dan misterius?”
“Bukankah manusia adalah makhluk yang kompleks dan misterius?” balas Leo dengan sirat menggoda. Menyadari tatapan datar Andrea, ia melanjutkan, “Lagi pula, wajar kalau kau menganggapku misterius. Mengutip ucapanmu, kita baru belakangan ini saling mengenal lebih dekat.”
Seringai jahil terukir di bibir Leo kala hidung Andrea merengut sebal, mengingatkannya pada seekor kelinci yang mengunyah stroberi. Wanita itu memukul bahunya lalu berjalan lebih dulu untuk meluapkan kesal. Jika ada satu kata untuk menjabarkan ekspresi Andrea saat ini, menggemaskan adalah kata yang paling cocok.
“Apa ini pertanda kalau kau mulai penasaran denganku?” tanyanya lagi setelah mereka keluar dari stasiun.
Ada banyak orang yang berlalu-lalang, saling berlomba melangkah lebih cepat untuk sampai ke tujuan. Sesekali, ia menarik siku Andrea agar wanita itu tidak menabrak pejalan kaki lain. Menjaga agar jarak mereka tidak pernah lebih dari dua langkah, ia menghidu aroma teh kala rambut Andrea terbang mengikuti embusan angin.
“Apa kau tidak bisa menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya?” sembur Andrea jengkel. Bibir gadis itu mencebik dengan mata memicing padanya.
Leo tergelak rendah. “Kenapa buru-buru begitu? Kau sudah tidak sabar untuk mengenalku lebih dalam, hm?”
Andrea menipiskan bibir, memberengut. “Kurasa aku perlu tahu siapa calon suamiku, bukan? Bagaimana jika suamiku diam-diam adalah seorang kriminal yang tengah menyamar menjadi seorang barista demi menculik gadis polos dan lugu?”
Leo mengulum senyum geli. Siapa sangka imajinasi calon istrinya begitu luas hingga membayangkan skenario sedemikian rupa? Namun, mengingat Andrea sesekali membaca novel alih-alih bekerja sampai kafe tutup, tidak mengherankan jika khayalan sang hawa mampu mengembara jauh.
“Beruntung bagimu, aku bukan kriminal yang berniat menculik gadis muda polos dan lugu,” celetuknya jenaka.
Mereka berhenti di depan gedung lantai tiga yang dicat cokelat yang didominasi dengan ornamen batu bata. Kantor Andrea selama tiga tahun terakhir. Sang hawa masih memberengut bahkan ketika mereka tiba di lobi.
Leo menanggalkan tas Andrea yang tersampir di bahu, lalu dikembalikan pada pemiliknya. “Masih kesal?”
Andrea menerima tasnya dengan desisan lemah. “Entahlah. Kenapa kau selalu berbelit saat menjawab pertanyaan sederhana? Kau bahkan tidak menyangkal saat kubilang sedang menyamar.”
“Kau bilang begitu?” Keningnya mengernyit, berpura-pura berpikir lamat. “Kurasa aku melewatkan bagian itu. Kelihatannya dipanggil ‘calon suamimu’ membuatku sulit mendengarkan kalimat setelahnya.”
Andrea membelalak. Gadis itu membuka mulutnya untuk menyangkal, tetapi tidak ada suara yang keluar. Detik selanjutnya, sang hawa mengatupkan bibir. Ia yakin Andrea sedang berusaha mengingat percakapan mereka beberapa saat lalu. Perlahan-lahan rupa sang hawa merona.
“Aku tidak pernah berkata begitu,” bantah Andrea. “Sudahlah. Tidak ada habisnya kalau kau berkelit terus. Lebih baik aku bekerja saja.”
Ia terkekeh rendah. Tangannya terjulur, berniat untuk menepuk puncak kepala Andrea, tetapi diurungkan. “Jangan lewatkan makan siangmu sesibuk apa pun, oke? Mampir ke kafe setelah pulang, kusiapkan pai daging kesukaanmu.”
Andrea meliriknya sangsi, seolah berusaha menentukan apakah ucapannya barusan sekadar ajakan makan malam biasa atau jebakan yang mengancam nyawa. Namun, Leo menanggapinya dengan seringai tipis. Ada banyak hal tentang Andrea yang ia ketahui tanpa wanita itu sadari.
Untuk sementara, biarlah ini menjadi rahasianya sendiri. Ia akan menjawab semua pertanyaan Andrea di waktu yang tepat.
“Oke. Aku datang bukan untuk bertemu denganmu, tapi untuk pai dagingnya.” Andrea berujar seraya melangkah menjauh dan melambaikan tangan. “Sampai jumpa nanti malam.”
Ia membalas lambaian tangan sang hawa, lalu menunggu Andrea menghilang di balik elevator sebelum melangkah keluar gedung. Wanita itu mungkin berpikir bahwa ia telah menyembunyikannya dengan baik. Namun, Leo akan selalu mengingat ruam yang membiru di pipi Andrea setelah menyeka pipi sang hawa.
Membelah keramaian dengan kepala yang sibuk mencari tersangka yang memukul calon istrinya, saat kembali menaiki kereta pikirannya memunculkan beberapa nama. Ketiga orang yang paling mungkin menyakiti Andrea. Mengingat sedikit cerita yang pernah dibagikan oleh sang hawa, ia tidak heran kalau dugaannya benar.
Sudut bibirnya tertarik lebih dalam. Tampaknya ia harus menyusun rencananya lebih apik. Kalau dugaannya benar, salah satu dari keluarga tiri Andrea akan mendatanginya dalam waktu dekat.
‘Balasan yang pantas menunggu mereka yang menyakiti Andrea,’ sumpahnya dalam hati.
***
Leo tengah membaca berita terkini melalui ponsel ketika pintu ruang istirahat untuk karyawan terbuka. Tanpa mendongak, ia tahu yang masuk adalah manajer kafenya. Daniel. Pria keturunan Jepang yang tinggal dan besar di Inggris.
“Katakan padaku, Leo.” Daniel duduk berseberangan dengannya, melipat kedua tangan di depan dada. “Perasaanku saja atau belakangan ini kau selalu datang terlambat dan pulang bersama wanita?”
Tanpa mengangkat kepala, Leo menyahut, “Hanya perasaanmu saja.”
Daniel menghela napas panjang. “Oh, ayolah. Aku mengenalmu sejak masih kuliah. Tidak biasanya kau terlambat atau bepergian dengan wanita. Katakan padaku, siapa wanita itu?”
Leo mengulum seringai. Bagaimana bisa ia berkencan dengan gadis lain saat ia tahu hanya ada satu wanita yang menarik atensi. Wanita yang kedatangannya bagai bebungaan di musim semi dan hilangnya bagai dedaunan di musim gugur. Kalau dipikir-pikir, pertemuan pertama mereka juga di musim gugur.
Daniel menatapnya dengan sorot penuh selidik. “Pai daging itu juga untuknya, bukan? Biasanya kau hanya menghidangkan menu itu setiap akhir bulan atau momen spesial. Satu-satunya alasan kenapa pai daging ada di menu hari ini karena gadis itu.”
Ia menghela napas rendah. Senyum Daniel mengembang kala ia menurunkan ponsel, bersitatap dengan sang pria. “Seharusnya kau tidak usah menjadi manajer kafe. Pernah terpikir untuk berganti profesi menjadi detektif?”
“Baiklah, baiklah. Abaikan saja pertanyaanku.” Daniel mengibaskan tangan setengah putus asa. “Kau dan kebiasaan berkelitmu itu sangat menjengkelkan, tahu.”
Teringat rupa Andrea yang mencebik kala ia menolak untuk menjawab pertanyaan sang hawa kembali tebersit dalam pikiran. “Seseorang pernah berkata begitu juga.”
Mengabaikan Daniel yang menggeleng pasrah lantaran tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan, ia kembali meraih ponsel. Ada berita tentang iklim London yang menarik perhatiannya. Namun, pemberitahuan surel yang muncul pada bagian atas layar membuatnya terpaksa mengurungkan niat untuk membaca berita sampai akhir.
Tawaran untuk bergabung dengan lembaga di Southampton.
Seandainya tawaran itu datang sebelum ia bertemu dengan Andrea, ia akan langsung menyetujui tawaran itu tanpa pikir panjang. Sayangnya, ada seseorang yang tidak sanggup ia tinggalkan sendirian sekarang. Mungkin … ia bisa membicarakan proposal ini pada Andrea setelah hubungan mereka diakui oleh hukum?
“Leo!” Suara rendah Daniel yang tersisip sirat panik menariknya dari lamunan. “Kenapa melamun begitu? Ada yang mencarimu.”
Keningnya berkerut samar, mengecek jam dari ponsel. Belum waktunya Andrea pulang. Lantas … siapa?
Saat Leo hendak beranjak dari kursi, Daniel lebih dulu menahan lengannya. “Rick, yang menjaga kasir, bilang yang datang adalah tunanganmu. Sejak kapan kau punya tunangan!”
Seperti biasa, Leo mengulum seringai tanpa menjawab. Seulas senyum ramah terukir di bibir, senyum yang biasa ia tunjukkan di depan para pelanggan. Malang bagi Daniel, sahabat sejak kuliahnya itu tidak akan bertemu dengan tunangannya hari ini.
Karena yang datang bukanlah Andrea, melainkan ….
“Aku serius, Leo! Sejak kapan kau punya tunangan?”Leo mengabaikan Daniel yang melontarkan pertanyaan bertubi-tubi disertai dengan dugaan tentang identitas tunangannya. Melangkah menuju bagian depan kafe yang mulai ramai mengingat matahari kian beranjak ke ufuk barat, mata Leo menangkap seorang gadis yang tampak asing berdiri di depan kasir.Seulas senyum ramah yang tidak menjangkau mata terukir kala pandangannya bertemu dengan mata gadis yang mengaku sebagai tunangannya. Seperti yang diduga, yang mengaku sebagai tunangannya bukanlah Andrea, melainkan salah satu saudari tirinya.“Oh, sial. Tunanganmu adalah seorang model?” bisik Daniel memukul bahu Leo setengah tidak percaya. “Aku tahu kau berasal dari keluarga kelas atas, tapi tidak kusangka kau bisa mengencani seorang model.”Leo mengembuskan napas berat, menepis tangan Daniel kasar. “Ia bukan tunanganku.”Sebelah alis Daniel terangkat, memiringkan kepala mengamati perubahan raut wajah temannya. “Tapi kau tidak menyangkal saat kukat
Ketika Leo berkata makan malam, Andrea menduga makan malam yang dimaksud adalah reservasi di salah satu restoran bintang lima di London. Pikirannya bertualang liar memikirkan gaun macam apa yang harus dipakai atau riasan seperti apa yang cocok untuk jamuan makan malam bersama calon mertuanya.Dugaannya salah. Ternyata makan malam diadakan di kediaman Howard yang berada di Knightsbridge, kawasan elit London yang terkenal dengan harga properti yang luar biasa mahal. Ia yakin, gajinya sebagai akuntan dalam setahun masih belum cukup untuk membeli rumah yang sama dengan keluarga Howard.Impresi Andrea pada pasangan Howard ternyata benar. Jeanne dan Noah adalah pasangan hangat yang romantis. Sejujurnya, melihat bagaimana orang tua Leo yang tidak berhenti menyanjung satu sama lain, bahkan sesekali bertukar kecupan kala membawa makanan ke ruang makan, mengingatkan Andrea pada mendiang orang tuanya.“Padahal terakhir kali aku melihatmu, kau masih gadis kecil yang manis.” Atensi Jeanne bergulir
“Kau sudah bertunangan?”Andrea membekap mulut Lily, lalu mendesis. “Jangan keras-keras, Lily. Kita di depan umum!”Ia mengamati sekeliling dengan mata menyipit, berharap orang lain tidak mendengar suara Lily yang lantang. Kerumunan orang yang sibuk mengobrol dan bertukar sapa adalah pemandangan yang umum di akhir pekan saat jam makan siang. Mereka duduk di luar restoran lantaran tidak kebagian kursi di dalam.“Maaf, maaf,” kekeh Lily tertahan. Gadis itu menepuk tangan Andrea, isyarat untuk menurunkan tangan. “Tapi aku tidak bercanda. Kita baru tidak bertemu sebulan? Dua bulan? Dan kau sudah bertunangan dengan pria yang tidak jelas asal-usulnya, bahkan kau tidak tahu pekerjaan pastinya apa? Kau pasti sudah gila.”Andrea mengembuskan napas berat, menyesap teh chamomile yang masih hangat. Ia beradu pandang dengan Darren yang mengunyah roti lapisnya seraya mengangkat bahu. Tampaknya pria itu setuju dengan ocehan Lily.Lily dan Darren adalah sahabatnya semasa kuliah. Mereka terjebak dalam
“Berani sekali kau pulang selarut ini.”Andrea meringis kala telinganya menangkap suara Margaret yang menegurnya sinis. Wanita berusia lebih dari setengah abad itu duduk di sofa emas ruang tengah seraya menonton televisi bersama dengan kedua saudari tirinya.Melihat ibu dan saudari tirinya berada di rumah pada akhir pekan bukanlah pemandangan yang sering terjadi. Mengingat betapa senangnya mereka berada di bawah sorotan dan keramaian, biasanya mereka berpesta sampai pagi dan pulang dalam keadaan mabuk. Unggahan foto atau video mereka minum di bar, berpesta di yacht maupun di klub ternama tersebar di sosial media.“Aku pergi dengan Leo,” tukas Andrea.Rebecca menyantap buah-buahan kering, meliriknya penuh cibiran. “Sampai selarut ini? Jangan mencoreng nama baik Cavendish dengan bepergian bersama kekasih baristamu.”Andrea menghela napas gemetar, mencoba menghalau perkataan Rebecca. Sirat merendahkan saat adik tirinya menyebut kata ‘barista’ nyaris membuat amarahnya menggelegak. Andai g
Membawa Andrea ke salah satu toko buku terbesar di London merupakan salah satu keputusan terbaik yang pernah Leo lakukan. Aroma buku yang sangat terasa di udara memancing senyum lepas dari sang hawa. Senyum yang hampir tidak pernah ia saksikan saat mereka berduaan.Barisan rak berisi buku dengan ketebalan berbeda juga warna sampul yang kontras menarik atensi Andrea. Gadis berhelai jelaga itu langsung menaik-turunkan bahunya antusias selayaknya anak kecil yang mengunjungi taman bermain.“Kau senang?” Pertanyaan itu terlontar dengan nada geli, memandangi Andrea yang melempar pandangan ke sekeliling untuk memutuskan bagian gedung mana yang akan dijelajahi lebih dulu.Andrea mengangguk antusias. Sedetik kemudian, gadis itu menoleh. “Bukankah kita akan membicarakan persiapan pernikahan? Kenapa membawaku ke sini?”Sudut bibirnya tertarik tanpa bisa ditahan. Sepercik kepuasan terbit kala mengetahui ialah alasan di balik senyum Andrea hari ini. “Seingatku kau sering membaca novel saat mampir
“Aku tidak percaya ini,” gerutu suara rendah beraksen Inggris di sebelah Andrea. “Aku hanya pergi beberapa minggu untuk kegiatan kampus dan kau sudah resmi bertunangan dengan pria asing yang tidak kukenal.”Andrea mengembuskan napas panjang, mengulum senyum tipis. “Kukira Margaret sudah memberitahumu.”Ia berdiri bersama kerumunan orang yang menunggu lampu lalu lintas berubah hijau sebelum menyeberang. Samar-samar mendengar pemusik jalan memainkan accordion dengan indah, berharap ada orang yang berbaik hati menyisihkan beberapa uang koin mereka. Jalanan selalu penuh sesak di hari libur.Karena ada pekerjaan mendesak yang membutuhkan Leo sebagai pemilik kafe, pria itu tidak bisa menemaninya mengepas gaun pengantin. Andrea memberengut kala mengingat Leo masih enggan mengatakan pekerjaan apa yang sangat mendesak hingga tidak bisa dijadwal ulang. Sebagai ganti sang tunangan, adik bungsu tirinya, Julianlah yang menemaninya ke butik siang ini.“Memberitahu apanya? Ibu tahu persis aku menenta
Leo tengah berdiskusi dengan Daniel tentang masa depan kafe dan meminta sahabat lamanya membantu mencari gedung yang cocok untuk resepsi pernikahan saat ponselnya berdering. Ia menyetel nada dering khusus untuk orang-orang penting. Dan melodi yang mengalun lembut di kafe itu adalah milik Andrea.“Ya, Darling?” sapanya sembari mengabaikan Daniel yang menatapnya penuh ingin tahu. Topik tentang asmara selalu menarik perhatian pria keturunan Jepang itu.“Kumohon … aku membutuhkanmu sekarang.”Leo bersumpah jantungnya merosot ke perut kala mendengar suara lirih dari seberang sambungan. Kewaspadaannya melonjak, menyambar kunci mobil di atas meja lalu berlari ke parkiran. Tidak dihiraukan Daniel yang turut berteriak panik. Saat ini, tidak ada yang lebih penting daripada berada di sisi Andrea sesegera mungkin.“Kau di mana?” tanyanya tenang. Ia menyalakan mesin mobil, siap untuk membelah lalu lintas secepat mungkin.“Di rumah. Kumohon, Leo, bisakah kau menjemputku sekarang? Aku tidak ingin ber
“Nomor itu … apa Ruth selalu meneleponmu saat tengah malam?” Ia berusaha menjaga agar suaranya tidak gemetar, tetapi sia-sia.Leo menyapu layar ponsel untuk mematikan telepon Ruth, kemudian mengembuskan napas berat. “Kadang-kadang, tapi tidak pernah kujawab kecuali berurusan dengan kafe.”Hatinya mencelos. Tidak hanya Rebecca yang mendatangi Leo untuk bicara buruk tentangnya, Ruth diam-diam mendekati Leo juga. Tampaknya pekerjaan Leo sebagai barista, atau setidaknya itulah yang diketahui oleh saudari tirinya, tidak membuat mereka gentar. Manusia yang gila harta memang mengerikan.Namun, bukan harta maupun titel yang direnggut yang menjadi ketakutan Andrea. Lebih daripada pekerjaan dan status sosial, gagasan kehilangan Leo jauh lebih menyeramkan. Entah sejak kapan, Leo telah menjadi bagian dari rutinitasnya. Pria bernetra senada zaitun itu telah menjadi bagian dirinya.Dan … Andrea tidak sanggup kehilangan Leo.“Andrea, Darling? Bernapas untukku,” titah Leo lembut.Tulang rusuknya seak