Share

Masih Belum Terungkap

“Beraninya kau mempermalukanku!”

Seharusnya Andrea tahu malamnya tidak akan berakhir indah. Seharusnya ia tahu, amarah Margaret akan meluap dengan cara yang mengerikan. Seharusnya ia tahu, segera setelah keluarga Howard berpamitan akan ada malam yang panjang untuknya.

Benar saja. Belum sampai lima menit sejak mobil keluarga Howard meninggalkan pekarangan rumah, Margaret menderap ke arahnya dengan tangan mengepal. Tangan yang sebelumnya menggenggam gelas sampanye kini teracung tinggi. Tangan yang tidak pernah memperlakukannya dengan baik kembali menorehkan luka.

“Anak tidak tahu diuntung!” teriak Margaret murka. Pipinya terasa panas saat tangan Margaret mengayun kencang, menamparnya. “Pikirmu aku tidak akan tahu kalau kau menyembunyikan statusnya, hah!”

Andrea menghela napas gemetar. Telinganya berdengung karena makian Margaret menggema di seluruh penjuru rumah. Sisi wajahnya nyeri karena tamparan keras sang ibu tiri. Ia yakin akan ada bekas membiru yang sulit dijelaskan besok pagi.

“Katakan padaku. Apa kau berniat mempermalukanku di depan banyak orang?” Suara Margaret kian meninggi, memaksa Andrea melangkah mundur lantaran takut tangan ibu tirinya kembali mengayun kasar. “Apa kau sengaja menyembunyikan fakta kalau Leo adalah anak orang kaya lalu menelan semua hartanya untukmu sendiri? Dasar anak egois.”

Ekor matanya melirik Ruth dan Rebecca yang menahan tawa dari balik tangan mereka. Sama sekali tidak ada niat untuk menolong atau membela. Tentu saja tidak. Keduanya membenci Andrea. Mana mungkin mereka menyelamatkannya dari amukan sang ibu.

“Aku tidak tahu,” cicitnya lirih. Ia menarik napas panjang, mencoba memupuk keberanian. “Bukannya kau yang menerima pinangannya tanpa bertanya apa pun padaku? Aku bersumpah tidak mengenalnya.”

“Omong kosong!”

“Sudahlah, Ma.” Ruth mencoba menengahi. “Aku dan Rebecca menduga kalau orang yang datang tadi hanyalah aktor bayaran. Lagi pula, kalau tunangan Andrea adalah keluarga terhormat, mana mungkin membiarkan anak laki-laki mereka menjadi seorang barista.”

“Mungkin saja Leo tidak sehebat yang diucapkan orang tuanya,” imbuh Rebecca dengan nada merendahkan. “Pria itu terbilang kaya karena orang tuanya, bukan karena kemampuannya sendiri. Sangat berbeda dengan kekasihku.”

Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jemarinya memutih, menahan diri untuk tidak berkomentar. Andai Rebecca sadar bahwa alasan mengapa kekasihnya bisa terjun ke dunia model karena sogokan ayah sang kekasih. Kalau begitu, bukankah Leo jauh lebih baik daripada pria yang mengandalkan sokongan ayahnya yang terkenal?

“Kalian benar juga.” 

Margaret menarik napas dalam kemudian mengembuskannya dengan perlahan. Saat suasana hatinya berangsur membaik, wanita itu memandang Andrea seolah putri tirinya adalah wabah mematikan. “Pria pecundang sangat cocok untukmu. Aku tidak mengerti mengapa Robert sangat membanggakanmu.”

Ia mendengus kecil. “Aku juga memiliki pertanyaan yang sama. Kenapa ayahku menikahimu?”

“Jaga bicaramu!” Tangan Margaret kembali mengayun cepat, meninggalkan bekas kemerahan pada pipinya yang lain. “Malam ini tidur di loteng! Jangan berani keluar sebelum fajar.”

Tanpa menunggu perintah lain, Andrea menyeret kakinya menuju loteng. Mengabaikan kekehan mengejek saudari-saudari tirinya, ia menyelinap ke dapur untuk mengambil camilan. Ia bersyukur karena Julian menginap di rumah temannya dan tidak menyaksikan kejadian malam ini atau sang adik bungsu akan membelanya mati-matian dan berakhir dikurung di kamar.

Beginilah rutinitas yang telah menjadi bagian hidupnya semenjak ayahnya meninggal. Selalu menjadi pelampiasan suasana hati buruk ibu tirinya dan Andrea bisa bersaksi sebagian besar waktu suasana hati Margaret selalu buruk. Terlebih jika ada perubahan jadwal mendadak atau skandal lain yang melibatkan Ruth dan Rebecca.

Menghela napas gemetar, ia menutup pintu loteng dengan hati-hati lalu menyandarkan punggung di jendela. Besok pagi, ia perlu merias wajah untuk menyembunyikan memar di wajah. Ia berharap Leo tidak cukup observan untuk menanyakan penyebab luka. Andrea tidak ingin Leo berpikir kalau ia wanita lemah.

Ponselnya bergetar pendek, menandakan ada pesan masuk. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam menyadari Leo yang mengirim pesan.

‘Aku lupa mengatakan sesuatu. Kau tampak cantik malam ini, Darling. Selamat malam dan semoga mimpi indah.’

Setelah membaca pesan Leo, ia yakin mimpi indah akan menghampiri lelapnya malam ini.

***

“Masih memandangi cincinmu?” Suara Leo menyadarkan Andrea dari lamunan, menariknya pada realitas bahwa ia tidak bisa leluasa mengagumi cincin yang disematkan sang pria semalam. “Kalau ayah dan ibuku tahu kau mengenakan cincin pertunangannya sebagai kalung, mereka pasti akan menginterogasimu.”

Ia buru-buru menyelipkan kalung ke dalam blus, awas dengan sekitar. “Menginterogasi bagaimana?”

“Ibuku akan bertanya apakah cincinnya kurang indah sampai kau tidak mau mengenakannya di jari.” Leo menyeringai jahil, terhibur dengan reaksi Andrea yang terkesiap panik. “Tenang saja. Selama kau ingat untuk mengenakannya di jari ketika bertemu dengan ibuku, kau akan aman.”

Andrea memberengut, sadar bahwa ia baru saja dikerjai oleh sang pria.

Mereka tengah menunggu kereta menuju stasiun dekat kantor Andrea. Meski bersikukuh kalau ia bisa berangkat sendiri dan Leo tidak perlu lagi membujuknya untuk menyetujui pertunangan mereka, sang pria beralasan bahwa ia lebih tenang saat bekerja kalau tahu Andrea sampai di kantor dengan selamat.

Setelah seminggu belakangan banyak menghabiskan waktu berdua, ada satu hal yang Andrea sadari. Leo sangat berbeda dengan pria yang ia kencani di masa lalu. Saat pria lain sulit meluangkan waktu untuk sekadar membalas pesan dan menuntut ciuman atau pelukan setelah beberapa kali kencan, Leo tidak meminta apa pun.

Bahkan pria itu bersedia menemaninya setiap pagi dan malam dengan alasan untuk menjaganya dari orang-orang jahat di jalanan. Dalam hati bertanya-tanya, apa yang pernah ia lakukan pada Leo hingga pria itu bersedia mengorbankan banyak hal untuknya?

“Kenapa melamun?” Tangan besar Leo membayangi punggung, mendorongnya pelan untuk menghindari pejalan kaki yang terburu-buru keluar dari kereta. Mata pria itu menyipit kala mengamati rupa Andrea lebih saksama. “Riasanmu lebih tebal dari biasanya.”

Ia tersenyum berterima kasih seraya menggeleng. “Mungkin karena mencoba gaya lain? Jadi terkesan lebih tebal.”

Bagaimana Leo bisa menyadarinya? Bukankah kebanyakan pria abai dengan riasan wanita? Ia membasahi bibir gugup, berharap alasannya cukup masuk akal untuk memuaskan keingintahuan Leo. Sialnya, permintaan sederhananya terlalu sulit untuk dipenuhi.

Kala tangan Leo terjulur untuk membelai pipi dengan ibu jari, ia meringis dan mundur selangkah. Napasnya tercekat saat pikirannya berhasil mencerna apa yang terjadi. Matanya membelalak mendapati rupa Leo yang biasanya ramah kini menggelap.

“Ada yang memukulmu?” tanya Leo rendah. Ada sirat dingin yang mengintimidasi dalam tiap penggalan katanya. “Andrea, apa kau pernah dipukul oleh seseorang?”

Tidak. Ia tidak bisa mengatakannya sekarang. Lantas, ia masuk lebih dulu ke dalam kereta dan memilih kursi yang paling jauh dengan pintu, tidak merespons saat Leo memanggilnya lembut seraya duduk di sampingnya.

“Baiklah, aku tidak akan memaksa kalau kau belum mau cerita,” ujar Leo pelan. Pria berhelai jelaga itu menepuk punggung tangannya lembut. “Tapi jawabannya pasti akan segera kudapatkan.”

Kata-kata yang berada di ujung lidah terpaksa ditelan kembali saat ada suara asing yang memanggil nama Leo. Memutar kepala ke sumber suara, keningnya mengernyit kala tidak mengenali sosok pria yang menghampiri Leo.

“Leo!” pria bertubuh tinggi dengan rupa menyenangkan itu menyapa. “Ah, kebetulan yang menyenangkan. Siapa sangka aku akan menemuimu di kereta menuju Bloomsbury? Bagaimana kabarmu, Sobat?”

Sudut bibir Leo tertarik samar. “Seperti yang kau lihat sekarang. Bagaimana denganmu?”

“Aku baru saja kembali dari Hawaii untuk observasi mikroorganisme di sana.” Pria itu menarik kerah untuk menunjukkan perbedaan warna kulit leher dan bahunya. “Kau seharusnya ikut bersama kami! Tempat observasinya sangat menyenangkan dan makanannya luar biasa lezat. Belum lagi, kami sempat kebingungan dengan mikroorganisme baru. Kau pasti bisa membantu kalau ikut.”

Andrea menyimak pembicaraan Leo dengan temannya dalam diam. Istilah-istilah sains terlontar, pembahasan mengenai laut dan mikroorganisme disebut, dan sesuatu tentang iklim serta karakteristik habitat menjadi topik. Hanya setelah kereta sampai di stasiun tujuan mereka, barulah Leo memutus pembicaraan.

“Kau harus segera kembali sebelum projek baru,” seru teman Leo gembira. “Aku dan yang lain menunggumu!”

Leo tidak menyahut, melambaikan tangan seraya menuntun Andrea keluar dari kereta. Ia masih memandangi punggung Leo karena pria itu berjalan lebih dulu meninggalkan peron. Ada yang aneh. Apakah pengetahuan rumit seputar sains umum diketahui oleh seorang barista?

“Kenapa melihatku begitu?” Leo menoleh dari balik bahu, menunggu Andrea menyejajarkan langkah. Pria bernetra hijau itu memajukan wajah hingga hidung mereka nyaris bersentuhan. “Apa kau mulai menyukaiku?”

Ia mendengus pelan, mendorong wajah Leo. “Aku berpikir betapa misteriusnya dirimu. Latar belakangmu sangat baik, tapi kau memilih menjadi seorang barista. Sekilas kau kelihatan ramah, tapi menyimpan ekspresi gelap yang mengintimidasi. Kau juga memahami banyak istilah sains dan pengamat yang baik.” Andrea mengikis jarak di antara mereka. “Katakan padaku, Leo Howard, sebenarnya siapa dirimu?”

Leo termenung sejenak. Sesaat kemudian, seringai penuh arti terukir di bibir sang pria. “Aku ….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status