Langkah kaki menggema di kediaman mereka kala Andrea melintasi flat menuju ruang kerja. Cahaya yang menyusup pada bagian bawah pintu menunjukkan bahwa seseorang mengingkari janji untuk tidur lebih awal bersamanya dan memilih bekerja. Mendesah panjang, Andrea mengetuk pintu tiga kali,“Selamat malam, Tuan Leo Howard.” Andrea melongokkan kepala dari balik pintu. Matanya langsung bertemu dengan netra senada zaitun Leo yang dibingkai dengan kacamata. “Boleh aku bicara dengan suamiku?”Leo mengulum senyum, melepaskan kacamatanya. “Keduanya adalah suamimu, Darling.”Andrea melangkah lebih dalam ke ruang kerja, berhenti tepat di depan meja sang pria. Ia menjawab uluran tangan Leo, memutari meja lalu duduk di pangkuan sang suami. Sudut bibirnya tertarik lebih dalam ketika Leo menyapukan bibir di pelipisnya lamat.“Sayangnya, Tuan Leo Howard dan suamiku adalah dua pria yang berbeda,” guraunya. “Tuan Leo Howard akan bersikeras mengerjakan laporan dari William lalu sibuk mengkalkulasikan data da
“Per kemarin, Logan Blackhill sudah tidak menetap di London.” Itulah hal pertama yang dilaporkan oleh Roger sesampainya sang detektif di kafe Wisteria. “Pihak hotel sudah membenarkan kalau kamar yang dihuni oleh Logan kosong dan ia tidak terlihat lagi di kota ini.”“Akhirnya ada kabar baik minggu ini,” gumam William rendah. “Yakin kalau ia benar-benar pergi dan bukannya menyembunyikan diri?”Roger mengangguk lamat. “Kelihatannya begitu. Tidak ada lagi alasan yang mengikatnya di kota ini. Bahkan pembayaran di kasinonya sudah dilunasi.”Leo menyimak penjelasan sang detektif dengan senyum terkulum. Keberhasilannya sudah dipastikan malam itu. Saat Logan tak berkutik di bawah ancamannya. Namun, mendengar kabar bahwa taktiknya benar-benar berhasil memberikan kepuasan yang berbeda.Menyenangkan, tentu saja. Ternyata kemampuannya bernegosiasi dengan menyelipkan taktik persuasif—dalam kasus Logan agak sedikit ekstrem—belum menumpul. Setidaknya, Logan cukup bijak untuk tidak menguji batasan Leo
“Saya datang dengan niat untuk melamar putri keluarga Cavendish.”Tidak ada yang bisa mempersiapkan Andrea untuk mendengar berita ini di Minggu pagi yang cerah. Ia ingin menghabiskan akhir pekannya dengan tenang setelah berkutat dengan pekerjaan yang menumpuk, jauh dari saudari-saudari tirinya yang gila harta dan popularitas. Namun, siapa sangka ia malah mencuri dengar seorang pria datang untuk melamar.Mengabaikan buku jurnalnya di atas meja kerja, Andrea berjalan pelan dengan langkah pendek menuju ruang tamu. Oh, astaga. Ia mengenal pria yang duduk di ruang tamu!“Boleh kutahu, apa pekerjaanmu saat ini?” Ibu tirinya, Margaret, bertanya dengan nada penuh selidik yang antusias. Wanita yang berumur nyaris setengah abad itu terdengar senang dengan gagasan ada pria yang hendak melamar putrinya.Leo, pria yang belakangan ini ia temui di kafe sepulang kerja, mengulas senyum sopan yang karismatik. “Saat ini saya mengisi waktu luang dengan menjadi barista di kafe dekat Holland Park.”Andrea
“Aku hanya perlu masuk dan bertanya,” gumam Andrea pada dirinya sendiri. Ia melirik gedung kecil hitam dengan eksterior yang terkesan minimalis dengan tulisan ‘Wisteria’ pada bagian atas. Tempat pria yang ingin ia temui bekerja. “Benar. Bukan aku yang tiba-tiba datang untuk melamar. Aku berhak mendapatkan jawaban.”Ia menghela napas berat lalu menjejalkan kedua tangan ke saku mantel. Angin musim dingin gugur terlalu dingin untuk bepergian tanpa mantel tebal atau syal. Terlebih menjelang malam.Lonceng berbunyi saat ia mendorong pintu kafe. Aroma kopi, cokelat dan mentega seketika menyapa saat ia melangkah masuk. Jajaran roti yang dipamerkan di etalase juga kue dengan berbagai rasa dan warna sangat memanjakan mata. Namun, yang ia cari bukanlah hangatnya makanan yang disediakan.Itu dia. Pria berperawakan tinggi dengan mata senada zaitun yang berdiri di belakang konter.“Maaf, tapi kami sudah tutup.” Leo tampak tertegun saat berbalik dan menemukan Andrea berdiri di muka pintu. Detik sel
“Membayangkan sesuatu yang lain? Sudah sampai rumah. Kita tidak ingin merusak reputasimu dengan berdiam terlalu lama dengan seorang pria di dalam mobil, bukan?” bisik Leo dengan sirat jahil.Selama beberapa detik, matanya terpaku pada netra senada buah zaitun Leo. Ia terkesiap saat sang pria tersenyum menggoda.Dikuasai oleh perasaan malu, Andrea menyambar tasnya lalu keluar dari mobil dengan langkah menghentak. Wajahnya terasa panas, begitu juga dengan leher dan telinga. Bagaimana bisa ia berpikir aneh-aneh? Bukankah Leo adalah pria terhormat?Samar-samar ia mendengar suara kekehan dari belakang. Diselimuti oleh rasa penasaran, ia menoleh dari balik bahu dan menemukan Leo yang melipat kedua lengan di atas kemudi seraya menyeringai tipis.“Selamat malam, Andrea. Aku menantikan hasil akhir taruhan kita.”***“Ka-kalian …!”“Selamat malam, Nyonya Cavendish.” Leo muncul dari balik pintu bersama dengan pasangan yang lebih tua. Mereka tersenyum sumringah seraya menenteng kantong dengan logo
“Beraninya kau mempermalukanku!”Seharusnya Andrea tahu malamnya tidak akan berakhir indah. Seharusnya ia tahu, amarah Margaret akan meluap dengan cara yang mengerikan. Seharusnya ia tahu, segera setelah keluarga Howard berpamitan akan ada malam yang panjang untuknya.Benar saja. Belum sampai lima menit sejak mobil keluarga Howard meninggalkan pekarangan rumah, Margaret menderap ke arahnya dengan tangan mengepal. Tangan yang sebelumnya menggenggam gelas sampanye kini teracung tinggi. Tangan yang tidak pernah memperlakukannya dengan baik kembali menorehkan luka.“Anak tidak tahu diuntung!” teriak Margaret murka. Pipinya terasa panas saat tangan Margaret mengayun kencang, menamparnya. “Pikirmu aku tidak akan tahu kalau kau menyembunyikan statusnya, hah!”Andrea menghela napas gemetar. Telinganya berdengung karena makian Margaret menggema di seluruh penjuru rumah. Sisi wajahnya nyeri karena tamparan keras sang ibu tiri. Ia yakin akan ada bekas membiru yang sulit dijelaskan besok pagi.“Ka
“Sekarang, aku adalah tunanganmu.”Andrea mendecak kesal. “Bukan itu yang kutanyakan. Maksudku, siapa kau sebenarnya? Bagaimana kau bisa sangat kompleks dan misterius?”“Bukankah manusia adalah makhluk yang kompleks dan misterius?” balas Leo dengan sirat menggoda. Menyadari tatapan datar Andrea, ia melanjutkan, “Lagi pula, wajar kalau kau menganggapku misterius. Mengutip ucapanmu, kita baru belakangan ini saling mengenal lebih dekat.”Seringai jahil terukir di bibir Leo kala hidung Andrea merengut sebal, mengingatkannya pada seekor kelinci yang mengunyah stroberi. Wanita itu memukul bahunya lalu berjalan lebih dulu untuk meluapkan kesal. Jika ada satu kata untuk menjabarkan ekspresi Andrea saat ini, menggemaskan adalah kata yang paling cocok.“Apa ini pertanda kalau kau mulai penasaran denganku?” tanyanya lagi setelah mereka keluar dari stasiun.Ada banyak orang yang berlalu-lalang, saling berlomba melangkah lebih cepat untuk sampai ke tujuan. Sesekali, ia menarik siku Andrea agar wan
“Aku serius, Leo! Sejak kapan kau punya tunangan?”Leo mengabaikan Daniel yang melontarkan pertanyaan bertubi-tubi disertai dengan dugaan tentang identitas tunangannya. Melangkah menuju bagian depan kafe yang mulai ramai mengingat matahari kian beranjak ke ufuk barat, mata Leo menangkap seorang gadis yang tampak asing berdiri di depan kasir.Seulas senyum ramah yang tidak menjangkau mata terukir kala pandangannya bertemu dengan mata gadis yang mengaku sebagai tunangannya. Seperti yang diduga, yang mengaku sebagai tunangannya bukanlah Andrea, melainkan salah satu saudari tirinya.“Oh, sial. Tunanganmu adalah seorang model?” bisik Daniel memukul bahu Leo setengah tidak percaya. “Aku tahu kau berasal dari keluarga kelas atas, tapi tidak kusangka kau bisa mengencani seorang model.”Leo mengembuskan napas berat, menepis tangan Daniel kasar. “Ia bukan tunanganku.”Sebelah alis Daniel terangkat, memiringkan kepala mengamati perubahan raut wajah temannya. “Tapi kau tidak menyangkal saat kukat