“Membayangkan sesuatu yang lain? Sudah sampai rumah. Kita tidak ingin merusak reputasimu dengan berdiam terlalu lama dengan seorang pria di dalam mobil, bukan?” bisik Leo dengan sirat jahil.
Selama beberapa detik, matanya terpaku pada netra senada buah zaitun Leo. Ia terkesiap saat sang pria tersenyum menggoda.
Dikuasai oleh perasaan malu, Andrea menyambar tasnya lalu keluar dari mobil dengan langkah menghentak. Wajahnya terasa panas, begitu juga dengan leher dan telinga. Bagaimana bisa ia berpikir aneh-aneh? Bukankah Leo adalah pria terhormat?
Samar-samar ia mendengar suara kekehan dari belakang. Diselimuti oleh rasa penasaran, ia menoleh dari balik bahu dan menemukan Leo yang melipat kedua lengan di atas kemudi seraya menyeringai tipis.
“Selamat malam, Andrea. Aku menantikan hasil akhir taruhan kita.”
***
“Ka-kalian …!”
“Selamat malam, Nyonya Cavendish.” Leo muncul dari balik pintu bersama dengan pasangan yang lebih tua. Mereka tersenyum sumringah seraya menenteng kantong dengan logo merk ternama di masing-masing tangan. “Aku datang bersama dengan orang tuaku malam ini untuk melamar Andrea secara resmi.”
Andrea nyaris terbahak melihat reaksi ibu dan saudari tirinya. Kalau bukan karena Margaret adalah aktris yang hebat, wanita itu pasti terjungkal saat pasangan Howard masuk ke kediaman mereka.
“Yang benar saja?” desis Ruth tidak percaya. “Keluarga Howard ada keturunan bangsawan, bukan?”
Melirik Ruth dan Rebecca yang berdiri di sampingnya, reaksi mereka juga tidak mengecewakan. Mereka nyaris menganga kala Leo datang dengan setelan jas lengkap yang membuatnya tampak belasan kali lebih tampan. Ia mengulum tawa saat Leo mencium punggung tangan Ruth dan Rebecca sopan.
“Selamat malam, Andrea.” Leo membungkuk, lalu meraih tangannya. Napas Andrea tercekat kala Leo mengecup punggung tangannya. “Sudah siap dengan titel barumu?”
Andrea tertegun dengan gestur Leo, tetapi tetap mengulas senyum. Hari ini akhirnya datang juga.
Setelah satu minggu Leo menggenapi janji untuk mengantar dan menjemputnya dari tempat kerja, pria itu tidak pernah berhenti untuk membujuknya untuk mengiyakan pertunangan mereka. Tekad Andrea untuk menolak pun memudar di hari kelima. Pada akhirnya, ia setuju.
“Aku bahagia sekali karena kita akan menjadi keluarga.” Jeanne Howard, Ibu Leo, mengangkat gelas sampanye senyum lebar yang bersinar setelah jamuan makan malam selesai. “Keluarga kami sudah berteman lama dengan Robert, bahkan menganggap Andrea sebagai anak kami. Siapa sangka ia akan benar-benar menjadi anak kami.”
“Robert pasti senang putrinya menjadi putri kita juga,” imbuh Noah, Ayah Leo, seraya terkekeh puas. Pria itu merangkul bahu istrinya mesra.
Menilai dari cara orang tua Leo memperlakukan satu sama lain sepanjang jamuan makan malam, tidak heran jika pria itu tumbuh menjadi sosok yang ramah dan sopan. Andrea bersumpah Leo memiliki senyum yang sama dengan Jeanne. Senyum cerah yang menular.
“Benar-benar kejutan yang menyenangkan.” Margaret membenturkan gelas sampanyenya pelan dengan gelas Jeanne, mengulas senyum sopan yang tampak dipaksakan. “Siapa sangka, benar?”
Andra memperhatikan obrolan orang tua mereka dari dekat jendela, menipiskan bibir menahan senyum. Ibu tirinya telah lebih dulu mengecam dan merendahkan profesi Leo di hari pertama mereka bertemu, tidak menyangka bahwa pria yang sama adalah keturunan keluarga kaya raya yang terhormat.
“Sayangnya, pekerjaanku tidak terlalu fleksibel,” celetuk Leo mengulas seringai penuh arti, melirik sang ibu tiri yang tampak kikuk. “Kalaupun Bibi mengundangku, mungkin hanya ayah dan ibuku saja yang datang.”
Andrea menyembunyikan senyum dengan meneguk jus jeruknya. Cara Leo menyindir ibu tirinya sangat berkelas. Instingnya benar. Memang ada sesuatu pada Leo lebih dari yang terlihat.
“Hei, Andrea.” Atensinya teralihkan saat Ruth menyenggol bahunya kasar. “Berapa yang kau bayar untuk membuatnya berpura-pura sebagai tunanganmu, hm?”
Ia meringis, berharap Leo cukup sibuk bergabung dengan pembicaraan orang tua mereka tentang acara sosial yang rutin diadakan setiap bulan untuk mendengar pertanyaan Ruth. Pria itu tidak perlu tahu bagaimana perlakuan calon iparnya saat jauh dari mata publik.
“Bukankah kau yang bilang Leo pantas menjadi kandidat model yang potensial?” balasnya ketus. Selama Margaret tidak mendengar, maka ia akan aman.
“Yang benar saja.” Suara halus Rebecca terdengar. “Bagaimana kau bisa menuduhnya membayar pria itu, Ruth? Andrea tidak punya cukup uang untuk membayar kekasih sewaannya.” Rebecca menyeringai sinis, memajukan tubuh dengan tatapan merendahkan. “Kau membayarnya dengan tubuhmu, bukan?”
“Apa maksudmu?”
Andrea memang terbiasa menerima cemooh dari saudari-saudari tirinya, tetapi tidak pernah sampai seperti ini. Apakah mereka baru saja menuduhnya tidur dengan Leo? Keterlaluan.
“Pria mana yang sudi menikah denganmu kalau belum mengecapmu,” cecar Rebecca dengan sebelah alis terangkat. “Kau adalah gadis membosankan. Tidak mungkin pria terhormat seperti Leo sudi denganmu.”
Amarah yang sedari tadi ditahan kini mendidih hingga ke ubun-ubun. Namun, Andrea masih mempertahankan sisi rasionalnya. Meledak di depan umum, terlebih pada acara pertunangannya, hanya mengundang malu. Tidak hanya untuknya, tetapi juga untuk Leo dan orang tuanya.
“Maaf, gadis-gadis. Boleh kupinjam tunanganku sebentar?” Andrea terkesiap saat Leo menggamit lengannya lembut seraya mengulas seringai tipis. “Ada yang perlu kubicarakan dengannya. Sangat penting.”
Bahunya melesak saat Leo membawanya menjauh dari Ruth dan Rebecca. “Terima kasih.”
***
“Merasa lebih baik?”
Ia memejamkan mata tatkala semilir angin musim gugur mengusak rambutnya lembut. Memenuhi rongga dada dengan udara dingin, Andrea merasa dunianya sepuluh kali lebih tenang daripada beberapa saat lalu. Betapa ia berharap kedamaian ini akan berlangsung untuk waktu yang lama.
Mengerjap pelan, ia bersyukur karena Leo membawanya ke taman rumah. Taman kecil yang dibangun oleh mendiang ibu dan ayahnya selalu menjadi tempat pelarian Andrea kala dunia terlalu bising untuk berpikir jernih.
“Terima kasih,” tuturnya tulus. Menoleh pada Leo yang duduk di kursi panjang dengan jemari terjalin di atas lutut. “Kau menyelamatkanku.”
Leo terkekeh pelan, mengangguk. “Mana bisa kutinggalkan tunanganku pada penyihir seperti mereka?”
“Ini pertama kalinya seseorang menyebut adik tiriku sebagai penyihir.” Andrea tergelak rendah, memainkan ikat pinggang gaunnya. “Biasanya orang-orang akan menyebut mereka cantik atau memesona atau memukau.”
Ia mencebik saat Leo bergeming. Alih-alih menyahut pria itu malah menepuk-nepuk ruang di sampingnya, meminta Andrea untuk duduk tanpa suara. Ia terkesiap saat Leo menyampirkan jas di bahunya.
“Tidak lebih memukau dari kakak sulung mereka,” komentar Leo dengan aksen Manchester yang kental. Meskipun begitu nada bicara sang pria terdengar lembut di telinga. Andrea menahan diri agar tersipu “Kau puas melihat reaksi mereka saat tahu siapa aku sebenarnya?”
Senyumnya mengembang. “Puas. Reaksi mereka benar-benar sesuai dengan dugaanku.”
Di hari ketiga Leo mengantarnya ke tempat kerja, pria itu memberitahu nama keluarganya adalah Howard. Keturunan keluarga aristokrat yang kaya dan dihormati oleh kalangan keluarga kelas atas.
Ibu dan saudari-saudari tirinya yang gemar mengincar harta pasti mengenal nama keluarga Leo. Terlepas dari pekerjaan sang pria, mereka tidak akan mengusik seseorang dari kalangan atas, apalagi merendahkan.
Ia mendongak, mengamati orang tua Leo yang masih berbincang dengan Margaret. “Menurutmu mereka akan menerimaku?”
“Mereka sudah menerimamu, Darling.” Leo mengusak puncak kepalanya lembut. “Percaya atau tidak, mereka lebih bahagia karena kau yang akan menjadi putri keluarga Howard. Berulang kali bilang padaku kalau aku tidak salah pilih.”
“Bisakah kau berhenti memanggilku begitu?” sergahnya tanpa benar-benar marah.
Gelenyar asing timbul dalam dada lalu menyebar ke seluruh tubuh kala suara berat dan serak Leo memanggilnya dengan panggilan sayang. Tidak bisa dipungkiri, terima atau tidak, disadari atau tidak, Leo telah menempati bagian kecil dalam dunianya.
“Lalu aku harus memanggilmu apa?” Leo memajukan tubuh, mengikis jarak di antara mereka. Napas hangat sang pria membelai wajahnya, menepis dinginnya malam. “Sekarang kau memang kesayanganku, bukan?”
Ia bersumpah Leo adalah salah satu pria paling bermulut manis yang pernah ia kenal! Apakah karena pria itu terbiasa memamerkan keramahan pada tiap pelanggannya atau mulut manis memang sifat alaminya?
“Lupakan saja.” Andrea mengibaskan tangannya cepat. Mendongak menatap langit malam tanpa bintang. “Kenapa kau ingin membantuku untuk bebas? Untuk menunjukkan pada keluarga tiriku kalau ada pria terhormat yang menginginkanku.”
Hening sejenak. Andrea terkesiap saat jemari yang lebih besar menggenggam tangannya. Menoleh cepat pada Leo, perhatian sang pria terpusat pada cincin platinum yang melingkar di jari manisnya.
Mengamati rupa Leo di bawah lampu taman yang bersinar temaram, diam-diam Andrea menyetujui pujian para pelanggan kafe. Leo memang memiliki pesonanya sendiri. Pria itu mungkin tidak setampan kekasih aktor Ruth, mungkin juga tidak segagah teman kencan Rebecca. Namun, ada karisma tersendiri yang menguar dari Leo Howard.
Dan Andrea bertanya-tanya apakah ia akan menjadi salah satu korban karisma sang pria?
“Kelihatannya kau masih belum paham sedalam apa perasaanku padamu,” ujar Leo seraya mengulum seringai. Saat mata senada zaitun itu bergulir menatap mata Andrea, ia mendengus kecil. “Lagi pula kau tunanganku. Pria macam apa aku kalau tidak bisa membahagiakan tunanganku, hm?”
Ia bergeming di bawah tatapan Leo. Helaian jelaganya menari mengikuti irama embusan angin. Sebelah tangannya yang bebas terangkat, hendak menyentuh rupa Leo untuk memastikan bahwa pria di hadapannya bukanlah bunga mimpi semata. Namun, diurungkan.
“Kau ….”
“Jawaban untuk pertanyaanmu harus menunggu sampai kau menjadi Andrea Howard, oke?”
“Beraninya kau mempermalukanku!”Seharusnya Andrea tahu malamnya tidak akan berakhir indah. Seharusnya ia tahu, amarah Margaret akan meluap dengan cara yang mengerikan. Seharusnya ia tahu, segera setelah keluarga Howard berpamitan akan ada malam yang panjang untuknya.Benar saja. Belum sampai lima menit sejak mobil keluarga Howard meninggalkan pekarangan rumah, Margaret menderap ke arahnya dengan tangan mengepal. Tangan yang sebelumnya menggenggam gelas sampanye kini teracung tinggi. Tangan yang tidak pernah memperlakukannya dengan baik kembali menorehkan luka.“Anak tidak tahu diuntung!” teriak Margaret murka. Pipinya terasa panas saat tangan Margaret mengayun kencang, menamparnya. “Pikirmu aku tidak akan tahu kalau kau menyembunyikan statusnya, hah!”Andrea menghela napas gemetar. Telinganya berdengung karena makian Margaret menggema di seluruh penjuru rumah. Sisi wajahnya nyeri karena tamparan keras sang ibu tiri. Ia yakin akan ada bekas membiru yang sulit dijelaskan besok pagi.“Ka
“Sekarang, aku adalah tunanganmu.”Andrea mendecak kesal. “Bukan itu yang kutanyakan. Maksudku, siapa kau sebenarnya? Bagaimana kau bisa sangat kompleks dan misterius?”“Bukankah manusia adalah makhluk yang kompleks dan misterius?” balas Leo dengan sirat menggoda. Menyadari tatapan datar Andrea, ia melanjutkan, “Lagi pula, wajar kalau kau menganggapku misterius. Mengutip ucapanmu, kita baru belakangan ini saling mengenal lebih dekat.”Seringai jahil terukir di bibir Leo kala hidung Andrea merengut sebal, mengingatkannya pada seekor kelinci yang mengunyah stroberi. Wanita itu memukul bahunya lalu berjalan lebih dulu untuk meluapkan kesal. Jika ada satu kata untuk menjabarkan ekspresi Andrea saat ini, menggemaskan adalah kata yang paling cocok.“Apa ini pertanda kalau kau mulai penasaran denganku?” tanyanya lagi setelah mereka keluar dari stasiun.Ada banyak orang yang berlalu-lalang, saling berlomba melangkah lebih cepat untuk sampai ke tujuan. Sesekali, ia menarik siku Andrea agar wan
“Aku serius, Leo! Sejak kapan kau punya tunangan?”Leo mengabaikan Daniel yang melontarkan pertanyaan bertubi-tubi disertai dengan dugaan tentang identitas tunangannya. Melangkah menuju bagian depan kafe yang mulai ramai mengingat matahari kian beranjak ke ufuk barat, mata Leo menangkap seorang gadis yang tampak asing berdiri di depan kasir.Seulas senyum ramah yang tidak menjangkau mata terukir kala pandangannya bertemu dengan mata gadis yang mengaku sebagai tunangannya. Seperti yang diduga, yang mengaku sebagai tunangannya bukanlah Andrea, melainkan salah satu saudari tirinya.“Oh, sial. Tunanganmu adalah seorang model?” bisik Daniel memukul bahu Leo setengah tidak percaya. “Aku tahu kau berasal dari keluarga kelas atas, tapi tidak kusangka kau bisa mengencani seorang model.”Leo mengembuskan napas berat, menepis tangan Daniel kasar. “Ia bukan tunanganku.”Sebelah alis Daniel terangkat, memiringkan kepala mengamati perubahan raut wajah temannya. “Tapi kau tidak menyangkal saat kukat
Ketika Leo berkata makan malam, Andrea menduga makan malam yang dimaksud adalah reservasi di salah satu restoran bintang lima di London. Pikirannya bertualang liar memikirkan gaun macam apa yang harus dipakai atau riasan seperti apa yang cocok untuk jamuan makan malam bersama calon mertuanya.Dugaannya salah. Ternyata makan malam diadakan di kediaman Howard yang berada di Knightsbridge, kawasan elit London yang terkenal dengan harga properti yang luar biasa mahal. Ia yakin, gajinya sebagai akuntan dalam setahun masih belum cukup untuk membeli rumah yang sama dengan keluarga Howard.Impresi Andrea pada pasangan Howard ternyata benar. Jeanne dan Noah adalah pasangan hangat yang romantis. Sejujurnya, melihat bagaimana orang tua Leo yang tidak berhenti menyanjung satu sama lain, bahkan sesekali bertukar kecupan kala membawa makanan ke ruang makan, mengingatkan Andrea pada mendiang orang tuanya.“Padahal terakhir kali aku melihatmu, kau masih gadis kecil yang manis.” Atensi Jeanne bergulir
“Kau sudah bertunangan?”Andrea membekap mulut Lily, lalu mendesis. “Jangan keras-keras, Lily. Kita di depan umum!”Ia mengamati sekeliling dengan mata menyipit, berharap orang lain tidak mendengar suara Lily yang lantang. Kerumunan orang yang sibuk mengobrol dan bertukar sapa adalah pemandangan yang umum di akhir pekan saat jam makan siang. Mereka duduk di luar restoran lantaran tidak kebagian kursi di dalam.“Maaf, maaf,” kekeh Lily tertahan. Gadis itu menepuk tangan Andrea, isyarat untuk menurunkan tangan. “Tapi aku tidak bercanda. Kita baru tidak bertemu sebulan? Dua bulan? Dan kau sudah bertunangan dengan pria yang tidak jelas asal-usulnya, bahkan kau tidak tahu pekerjaan pastinya apa? Kau pasti sudah gila.”Andrea mengembuskan napas berat, menyesap teh chamomile yang masih hangat. Ia beradu pandang dengan Darren yang mengunyah roti lapisnya seraya mengangkat bahu. Tampaknya pria itu setuju dengan ocehan Lily.Lily dan Darren adalah sahabatnya semasa kuliah. Mereka terjebak dalam
“Berani sekali kau pulang selarut ini.”Andrea meringis kala telinganya menangkap suara Margaret yang menegurnya sinis. Wanita berusia lebih dari setengah abad itu duduk di sofa emas ruang tengah seraya menonton televisi bersama dengan kedua saudari tirinya.Melihat ibu dan saudari tirinya berada di rumah pada akhir pekan bukanlah pemandangan yang sering terjadi. Mengingat betapa senangnya mereka berada di bawah sorotan dan keramaian, biasanya mereka berpesta sampai pagi dan pulang dalam keadaan mabuk. Unggahan foto atau video mereka minum di bar, berpesta di yacht maupun di klub ternama tersebar di sosial media.“Aku pergi dengan Leo,” tukas Andrea.Rebecca menyantap buah-buahan kering, meliriknya penuh cibiran. “Sampai selarut ini? Jangan mencoreng nama baik Cavendish dengan bepergian bersama kekasih baristamu.”Andrea menghela napas gemetar, mencoba menghalau perkataan Rebecca. Sirat merendahkan saat adik tirinya menyebut kata ‘barista’ nyaris membuat amarahnya menggelegak. Andai g
Membawa Andrea ke salah satu toko buku terbesar di London merupakan salah satu keputusan terbaik yang pernah Leo lakukan. Aroma buku yang sangat terasa di udara memancing senyum lepas dari sang hawa. Senyum yang hampir tidak pernah ia saksikan saat mereka berduaan.Barisan rak berisi buku dengan ketebalan berbeda juga warna sampul yang kontras menarik atensi Andrea. Gadis berhelai jelaga itu langsung menaik-turunkan bahunya antusias selayaknya anak kecil yang mengunjungi taman bermain.“Kau senang?” Pertanyaan itu terlontar dengan nada geli, memandangi Andrea yang melempar pandangan ke sekeliling untuk memutuskan bagian gedung mana yang akan dijelajahi lebih dulu.Andrea mengangguk antusias. Sedetik kemudian, gadis itu menoleh. “Bukankah kita akan membicarakan persiapan pernikahan? Kenapa membawaku ke sini?”Sudut bibirnya tertarik tanpa bisa ditahan. Sepercik kepuasan terbit kala mengetahui ialah alasan di balik senyum Andrea hari ini. “Seingatku kau sering membaca novel saat mampir
“Aku tidak percaya ini,” gerutu suara rendah beraksen Inggris di sebelah Andrea. “Aku hanya pergi beberapa minggu untuk kegiatan kampus dan kau sudah resmi bertunangan dengan pria asing yang tidak kukenal.”Andrea mengembuskan napas panjang, mengulum senyum tipis. “Kukira Margaret sudah memberitahumu.”Ia berdiri bersama kerumunan orang yang menunggu lampu lalu lintas berubah hijau sebelum menyeberang. Samar-samar mendengar pemusik jalan memainkan accordion dengan indah, berharap ada orang yang berbaik hati menyisihkan beberapa uang koin mereka. Jalanan selalu penuh sesak di hari libur.Karena ada pekerjaan mendesak yang membutuhkan Leo sebagai pemilik kafe, pria itu tidak bisa menemaninya mengepas gaun pengantin. Andrea memberengut kala mengingat Leo masih enggan mengatakan pekerjaan apa yang sangat mendesak hingga tidak bisa dijadwal ulang. Sebagai ganti sang tunangan, adik bungsu tirinya, Julianlah yang menemaninya ke butik siang ini.“Memberitahu apanya? Ibu tahu persis aku menenta