“Nomor itu … apa Ruth selalu meneleponmu saat tengah malam?” Ia berusaha menjaga agar suaranya tidak gemetar, tetapi sia-sia.Leo menyapu layar ponsel untuk mematikan telepon Ruth, kemudian mengembuskan napas berat. “Kadang-kadang, tapi tidak pernah kujawab kecuali berurusan dengan kafe.”Hatinya mencelos. Tidak hanya Rebecca yang mendatangi Leo untuk bicara buruk tentangnya, Ruth diam-diam mendekati Leo juga. Tampaknya pekerjaan Leo sebagai barista, atau setidaknya itulah yang diketahui oleh saudari tirinya, tidak membuat mereka gentar. Manusia yang gila harta memang mengerikan.Namun, bukan harta maupun titel yang direnggut yang menjadi ketakutan Andrea. Lebih daripada pekerjaan dan status sosial, gagasan kehilangan Leo jauh lebih menyeramkan. Entah sejak kapan, Leo telah menjadi bagian dari rutinitasnya. Pria bernetra senada zaitun itu telah menjadi bagian dirinya.Dan … Andrea tidak sanggup kehilangan Leo.“Andrea, Darling? Bernapas untukku,” titah Leo lembut.Tulang rusuknya seak
“Kau memakai kacamata? Tumben sekali.”“Diamlah. Kau sudah mendapatkan tempat yang kuminta?”“Tentu saja. Mau kau kunjungi hari ini?”“Iya. Omong-omong, salah satu temanmu bekerja di perusahaan media, bukan?”Andrea mengerjap saat sayup-sayup obrolan dengan nada berbisik menyapa indra pendengaran. Dalam hati, ia mengumpat pada seseorang yang meninggalkan tirai dalam keadaan terbuka, membuat cahaya matahari yang memancar ganas jatuh tepat di mata.Ia melempar pandangan ke sekeliling. Ruangan yang didominasi dengan abu-abu itu tampak lebih terang. Meja yang ada di sisi berlawanan dengan jendela penuh dengan buku, alat tulis dan laptop yang sedang dalam mode tidur. Keningnya mengernyit bingung kala mendapati suara kompor dinyalakan.‘Aku bukan di kamarku!’Andrea terkesiap, melonjak bangun dari posisi berbaringnya. Sontak langsung melihat pakaiannya di balik selimut. Kaus kebesaran dengan celana pendek. Masih lengkap.Masih dalam keadaan bingung, ia berusaha mengingat kejadian semalam. B
“Aku bersumpah anak baru itu adalah perempuan paling menyebalkan yang pernah kutemui!” Itulah yang pertama kali menyapa telinga saat Andrea mengangkat telepon grup dari teman-temannya. “Gadis itu berlagak selayaknya Ratu Kantor saat ia mendapatkan posisi sebagai sekretaris bos. Memangnya ia tidak tahu kalau posisi sekretarislah yang paling menderita?”Andrea menatap ponselnya seolah Lily bisa keluar dari sana. Ia mengulum kekeh, sudah terbiasa dengan ledakan amarah Lily jika berurusan dengan salah satu teman kerjanya. “Apa lagi yang ia lakukan padamu, Lily?”“Jangan gunakan nada sok bijak itu padaku, Andrea.” Lily mengecamnya dari seberang telepon. Ia bisa mendengar kekehan Darren juga. “Setelah ditunjuk menjadi sekretaris, ia berpikir bahwa dunia telah berada dalam genggaman. Bagaimana bisa gadis itu berpikir setelah keberuntungan kecil, ia bisa memerintah seenaknya di tempat kerja? Aku bekerja lebih lama darinya.”Ada suara klakson mobil dan obrolan samar para pejalan kaki dari sambu
“Julian, apa yang kaulakukan di sini?”Andrea memandang adik bungsu tirinya terkejut. Pasalnya, ia tidak pernah berkata akan menginap di flat Leo atau memberikan alamat sang tunangan pada Julian. Mengamati sang adik dari atas sampai bawah, Andrea menyadari Julian tengah menenteng jas jinjing.“Aku bertanya pada Rebecca kafe tempat tunanganmu bekerja dan bertanya padanya di mana kau menginap beberapa hari ini,” aku Julian muram.Senyumnya terkulum saat Julian enggan menatapnya lurus. Perasaan bersalah masih menghantui Julian bak badai di musim panas. Mundur selangkah seraya melebarkan pintu, Andrea mengisyaratkan pada Julian agar masuk.“Duduk saja dulu,” katanya seraya menuang air ke gelas. “Jadi, apa yang membawamu kemari?”Julian menjalin jemari di atas lutut, memandang Andrea dengan penuh sesal dan suram. Tas yang ditenteng oleh adiknya, kini diletakkan di kaki sofa.“Aku tahu mungkin permintaan maafku tidak ada gunanya bagimu, tapi aku tetap ingin mengucapkannya, Kak.” Julian memb
Senyum Andrea mengembang saat menemukan kotak bekal di dalam tasnya. Karena bangun terlambat, ia tidak sempat menyiapkan sarapan atau memasak bekal untuk makan siang. Satu-satunya alasan mengapa kotak bekal itu ada pasti karena ulah Leo.Pikirannya sibuk memikirkan cerita Julian sepanjang malam. Kepalanya memunculkan beragam kemungkinan skenario. Menerka pergerakan Margaret dan saudari tirinya yang ingin menguasai rumah megahnya di Kensington.Saat Leo bertanya bagaimana kunjungan Julian malam itu, Andrea bercerita singkat tentang betapa menyesalnya sang adik bungsu. Sama sekali tidak menyinggung tingkah Margaret yang mencurigakan pada calon suaminya.Menepis pikiran tentang ibu tiri, Andrea meraih kotak bekal dari dalam tas. Sudut bibirnya tertarik samar. Aroma telur yang menggugah selera berpadu dengan daging barbekyu. Tidak hanya makan siang, ia juga menemukan termos berisi teh chamomile yang diletakkan bersisian dengan kotak bekal.Andrea terkesiap kaget. Ada secarik kertas kecil
“Apa yang William maksud agar kau segera kembali?” tanya Andrea setibanya mereka di flat Leo. “Berhubungan dengan pekerjaan lamamu?”Leo mengunci pintu lalu meletakkan sandal rumah di dekat kaki Andrea. “Tidak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan.”Andrea mendecak. “Kalau bukan hal penting, kenapa William sampai memintaku untuk membujukmu? Bukankah ayahmu juga mengatakan hal yang sama saat makan malam tempo hari?”“Bukan hal penting.” Leo mengulas senyum singkat, mendorong punggungnya lembut agar masuk ke ruang tengah sebelum mengempaskan tas ranselnya di kaki sofa. “Kubuatkan cokelat panas, ya, supaya lebih mudah tidur.”Andrea mengembuskan napas berat. Selalu begini. Leo selalu berkelit saat ia bertanya tentang masa lalu atau pekerjaannya sebelum membangun kafe bersama Daniel. Selalu menghindar saat ia ingin tahu lebih banyak tentang dirinya.Memandangi Leo yang tengah menuang air ke dalam teko dengan lengan terlipat di depan dada, Andrea memberengut kecewa.Seolah menyadari ada sepas
Gema tetesan air yang membentur atap dan jendela samar-samar terdengar dari ruang istirahat karyawan di kafe Wisteria. Awan-awan hitam yang menggulung di langit sekelam suasana hati Leo sekarang.Kedua tangannya terjalin di atas meja, menghunjam Daniel dengan sorot tajam. Mungkin kalau tatapan mata mampu membunuh seseorang, Daniel telah terkapar dengan ratusan cara paling menyakitkan.“Biar kurekap.” Ujung jemari Leo mengetuk meja. “Kau meminta bantuan William untuk mencari detektif swasta yang kuperlukan dan sebagai gantinya ia ingin aku membangun hipotesis awal untuk projek yang sedang ia kerjakan?”Daniel mengangguk cepat seolah tidak terpengaruh dengan nada bicara Leo yang rendah dan mengintimidasi. “Kau menginginkan detektif swasta yang andal. Di antara semua kenalanku—kenalan kita, William adalah orang yang paling tepat untuk mencari sosok itu. Ada masalah?”Leo menghela napas panjang, memijat pelipisnya yang mulai berdenyut. “Kautahu aku tidak bersentuhan dengan data maupun ber
“Kau akan menikah minggu depan?”Andrea buru-buru membekap mulut Mia, mendesis pelan. “Jangan terlalu keras, Mia. Tidak semua orang tahu tentang pernikahanku.”“Maaf, maaf,” kekeh Mia tertahan. Gadis itu menepuk tangan Andrea, isyarat untuk menurunkan tangan. “Tapi aku tidak bercanda. Aku baru saja mendengar kabar kau bertunangan sekitar dua minggu lalu. Dan minggu depan kau akan menikah? Kau tidak … itu, bukan?”Sebelah alis Andrea terangkat penuh tanda tanya.Mia memajukan tubuh, lalu berbisik. “Kau tidak mengandung anaknya, bukan?”Andrea terkesiap, memukul bahu yang lebih muda keras. “Tidak, tidak. Oh, astaga. Tidak. Kami sudah cukup lama bertunangan. Aku baru memberitahu kabar ini padamu karena perlu memastikan berbagai hal sebelum mengirim undangan. Di kantor ini hanya kau yang kuundang, tahu.”Wajahnya merona membayangkan ia berhubungan intim dengan Leo. Sulit dipercaya memang bahwa mereka berdua belum pernah melewati batas sakral itu. Panggil ia kuno, tetapi Andrea berprinsip