Amelia dan Ryan packing sekedarnya. Mereka akan pulang ke Indonesia. Ada acara Tunangan kakaknya. Kakak di kenalkan oleh gadis pilihan Mama, Yang sesuai kriteria Mama. Gadis cantik anak orang kaya. Mama sangat mengagungkan putri di hadapan Ryan. Ryan hanya mendengarkan kala Mama selalu ngomongin itu.
Perjalanan ke Singapore - Indonesia memakan waktu satu jam. Akhirnya mereka sampai di Bandara. Segera menuju parkiran mencari taksi. Beruntung segera mendapatkan. Mereka di sambut Ayahnya Ryan. Sedang Lina biasa sangat cuek, hanya menyapa Ryan saja.
Amelia langsung ke kamar Ryan membawa koper, dia mandi. Lina menyuruh Bibi untuk memanggil Amelia.
"Bi, panggilkan Amelia, suruh bantu bungkusin hantaran. Mertua lagi sibuk malah di kamar aja!"
"Mungkin Mbak, Amel sibuk. Bu!"
Lamaran berjalan lancar, selanjutnya menikmati hidangan yang telah di sediakan. Masakan prasmanan tersedia di meja.Amelia mengantri mengambil beberapa lauk. Saat hendak mengambil beberapa makanan. Seseorang menepuk pundak Amelia dari samping. Temen Amelia saat smp. Ia sudah menikah punya anak dan menyapa Amelia."Amelia ya?!""Iya, Ya Allah Tina. Gimana kabarnya?""Alhamdulilah baik, Amel.""Kamu udah menikah Amel?" Tanya Tina seneng bisa ketemu temen smp."Alhamdulilah, sudah." Jawab Amelia tersenyum ramah."Ko, bisa ada di sini?""Iya, Mbak putri sepupuku.""Kamu udah punya anak belum, Amel?""Belum, minta doanya aja ya." ujar Amelia tersenyum."Iya, pasti itu," Tak sengaja Ibu mertua Amelia di belakang mereka.&
Ryan dan Amelia berkunjung ke orang tua Amelia. Mereka di sambut hangat. Tak terkecuali Ines, sang adik yang sudah lama merindukanya. "Gimana kabar Kakak?" Ines bergelayut manja di lengan kakaknya. "Baik, adiku sayang ...." ucap Amelia seraya mengusap rambut adik semata wayangnya. Mereka masuk ke dalam rumah. Mereka bercengkerama saling melepas kangen. Ines terus saja menempel pada kakaknya. Kadang filling seorang Ibu kuat terhadap anaknya. Amelia sedang ada masalah dengan Ibu mertuanya, Ibunya seolah merasakan. Ia memandangi putrinya lekat. "Apa kamu bahagia nak? Apa kamu tidak ada masalah dengan mertuamu?" Amelia menatap Ibunya sejenak. Tapi kemudian melanjutkan mengiris bawang merah. "Aku bahagia Bu, mertuaku juga alhamdulilah baik." ucap Amelia, menenangkan orang tua adalah tugasnya saat ini." "Semoga kau selalu bahagia nak,"
Clarisa termenung, menatap kosong didepanya. Perih mengiris hati Clarisa. Ia begitu menginginkan Ryan. Ryan yang tampan, juga bisa menghargai wanita. Tak seperti mantanya begitu mudahnya berselingkuh dengan sahabatnya. Ia menelungkup membasahi bantalnya dengan air mata. Menumpahkan rasa sakit hatinya. Clarisa seakan menyalahkan nasib buruk yang menimpanya.Mama Clarisa datang. Membawa sarapan pagi untuknya. Sentuhan Mamanya sangat berarti kali ini. Clarisa merasa tenang sesaat."Ada apa? Nggak ke rumah sakit? Tanya Mama."Libur Ma," Balas Clarisa menyembunyikan wajahnya.Mamanya duduk di pinggir Bednya. Ia tau anaknya lagi menangis."Nggak mau cerita sama Mama?" Clarisa sekarang lebih pendiam sejak papanya meninggal satu tahun yang lalu.Kemudian Clarisa duduk bersandar. Mengusap air matanya."Kenapa aku tak
Sepulang dari dokter kandungan Ryan dan Amelia, mampir ke sebuah Restorant padang di Singapore. Tak sengaja Ryan menangkap sosok Nina sedang makan siang bersama laki- laki bule. Nina menikmati makan siang kadang di selingi canda tawa. Di sebelah kirinya ada anak kecil cantik umur lima tahun. Ryan terpaku sejenak. Ini alasan meninggalkan dirinya? Batin Ryan." Sayang, kamu liatin siapa?" Tanya Amelia penasaran."Di samping meja kita, pake dres pendek warna cream, dia mantan aku," ucap Ryan lirih."Deg," Amelia terdiam. Tak pernah Ryan menceritakan tentang masa lalu Perasaan cemburu mengelayut hati. Tak sengaja tatapan mereka bertemu. Ryan tersenyum pada Nina. Nina menganguk di iringi salah tingkah.'Ya Allah, kalau ini ujian. Kuatkan hamba.' Batin Amelia sambil memejamkan mata. Ryan melirik Amelia penuh arti, ia tau
Amelia memeluk pinggang suaminya erat, cuaca dingin membuatnya enggan bangun. Tapi bunyi perut memanggil minta di isi. "Kau lapar sayang?" Tanya Ryan. "Heem," tapi Amelia malah mengeratkan pelukanya di pinggang suaminya. Sepertinya tubuhnya merasa ingin di manja suaminya. "Baiklah, aku kan masak sarapan pagi untukmu." ucap Ryan mengecup puncuk kepala Amelia. Terpaksa ia lepaskan pelukanya dan membiarkan suaminya beranjak. Sesekali di layani suami bolehkan? Pikir Amelia. Ryan beranjak menuju dapur, membuka kulkas. Di dalam masih ada sayuran juga bakso. Terlintas dalam benak Ryan membuat Mie goreng. Bahan- bahan ia racik. Tak butuh waktu satu jam, mie goreng terhidang di meja. Aroma mie goreng mengocok perut Amelia membuatnya ia semakin lapar. Tapi sebelum sarapan ia mandi dulu. Mereka menikmati sarapan bersama. Mentari mulai menampakan sinarnya, menghangatkan
Ada suara ketukan pintu dari luar, Amelia melangkah menuju pintu. Di bukanya pintu ada amplop warna coklat tergeletak di bawah pintu. Kening Amelia terhenyit. Siapa yang meletakan di sini? Apa ini punya Mas Ryan? Gumam Amelia dalam hati. Ia segera mengambil hp dan menghubungi suaminya. "Mas Ryan, ada amlop coklat di depan pintu. Apa ini berkas kantor?" "Sebentar, aku periksa berkas," ucap Ryan sambil tangan kirinya meneliti berkas di meja kantornya. "Nggak ko , udah ya sayang, sebentar lagi mau meeting dulu sama klien." ucap Ryan kemudian menutup teleponya. Sekertaris udah menunggu untuk meeting dengan klien dari Vietnam. "Hemmm, lagi sibuk ya," gumam Amelia kemudian meletakan hpnya di sofa tempat dirinya duduk. Ia memegangi amlop coklat di tanganya. Tak ada pengirimnya. Tapi Alamatnya tertuju padanya.
Ryan menagkup wajah istrinya, tak tau gerangan apa yang membuatnya menangis. "Mas Ryan makan dulu, ada yang ingin aku tanyakan?" Amelia menyodorkan nasi beserta lauknya. "Mas, tak selera makan sayang, Ada apa matamu sembab seperti habis menangis?" ucap Ryan memegang jemari istrinya. "Mas Ryan, masih mencintaiku kan, walau aku belum bisa memberikan keturunan?" Ryan makin tak mengerti ucapan istrinya, ia mengusap wajahnya sendiri. "Amelia, istriku sayang, kamu kenapa? Ada yang mengangu pikiranmu? Cerita ama mas. sayang," Ryan merangkul Amelia menuju ruang tengah. Mereka duduk berdampingan di sofa. Mata Ryan menangkap amlop yang tadi pagi di tanyakan padanya. Ryan membuka Amlop. Betapa terkejutnya Ryan, saat melihat foto- foto di tanganya. Pasti ini yang membuat Amelia menangis. "Ini foto dari mana? Siapa yang mengi
Lia diam saja tak menghiraukan protes anaknya. Ryan di buat dongkol akan rencana Ibunya. 'Huuh, Ibu ada- ada aja memanggil Tania batin Ryan sewot. Ryan konsentrasi Nyetir, Mamanya fokus melihat jalanan, tak menghiraukan emosi anaknya. Merasa menyesal tak mengajak Amelia bersamanya. Mereka sampai di rumah, Mang ujang udah membukakan pintu gerbang. Tak lupa menyapa kedua majikanya. Ternyata Tania sudah ada di teras depan menunggu sedari tadi. 'Busyet gercep amat datangnya' batin Ryan. "Hallo Tante Lia, sakit apa?" Sapa Tania lebay dan melirik Ryan. Ryan tak ingin memandang tania. Tingkahnya membuat dia eneg, melanjutkan langkah menuju kekamar. "Kenapa Ryan ketus amat, Tante?" "Biarinlah jangan pedulikan dia," balas Lia. "Gimana jalankan aksi kita malam ini?" "Sabar dulu Tania sayang, Tante ben
Tania dan Arnold pulang dari kantor. Perasaan lega menyelimuti hati. Sejatinya tak ada manusia yang sempurna yang ada hanya saling memaafkan. Minggu depan Tania dan Arnold menikah. Kebetulan Ayah Arnold adalah temen bisnis Ryan di Singapore. Ini sekaligus sebagai silaturahmi bisnis. Ryan pulang ke rumah, di depan pintu bau masakan menguar menusuk hidung. Ryan Membuka pintu, karena pintu juga tidak di kunci. Terlihat Amelia sedang sibuk di dapur. Bau masakan semakin mengaduk perut yang keroncongan. "Masak apa sayang," tanya Ryan memeluk pinggang istrinya. Amelia kaget, suaminya sudah memeluk erat pingangnya. "Masak yang gampang aja, Cumi saos tiram sama capcay bakso kesukaan Mas Ryan," "Sayang, ada kabar baik." ucap Ryan mengecup pipi istrinya. "Apa tuh?" tanya Amelia semangat. "Tania dan Arnold mau menikah." Amelia kaget sekaligus senang. Sikap tegas Ryan
Arnold dan Tania, membicarakan rencana pernikahan. Tiba-tiba ia teringat perbuatanya pada Ryan. Ia ingin meminta maaf. "Tania, sebelum kita menikah aku ingin minta maaf sama Ryan," ucap Arnold sembari memegang jemari Tania. Tania terdiam sesaat, ia teringat kejadian itu atas perintah dirinya. Yang harus meminta maaf adalah dirinya. "Aku yang harus minta maaf sama Ryan, itu kan karena atas perintah ku," Kata Tania menatap kosong di depanya. Tania kini menyadari kesalahanya. Membiarkan dendam menguasai hatinya. Arnold seneng mendengar ucapan Tania. Itu artinya Tania ingin berubah menjadi lebih baik. Tak ingin menaruh dendam berlarut pada Ryan. Karena sejati hukum tabur tuai berlaku di dunia ini. Tania memperoleh hukumanya, di campakan oleh Ryan. Ia Lebih Memilih istrinya. Ingin menghancurkan hidup Ryan, tapi dirinya yang hancur. Untung cinta Arnold menyelamatkan dirinya, hi
Arnold menyodorkan cincin di hadapan Tania. Netra Tania menatap lurus cincin berlian di hadapanya. "Menikahlah denganku Tania, aku tak bisa berjanji bahwa aku akan selalu membahagiakan mu tapi aku ingin bersama sampai menutup mata." Tania mengejap matanya berulang kali, ia tak menyangkaa akan di cintai seperti ini. 'Apa ucapan kakak harus aku turuti?' Batin Tania. Arnold masih menatap penuh harap agar menerima dirinya. "Tania ...." panggil Arnold parau. "I-ya," jawab Tania sambil terbata- bata. "Apa kau menolakku?" tanya Arnold sedih. Ia berpikir sejenak. Lalu dengan memejamkan matanya ia menjawab lamaran Arnold. "Iya Arnold, aku mau menikah denganmu" walau hati ragu. Tapi ia ingin menghilangkan bayangan tentang Ryan di kepalanya. Hati Arnold sangat bahagia mendengar ucapan Tania. Arnold membuka kotak berisi cincin berlian. Menyematkan di jemari Tania. Cincin
Selama hampir sebulan Arnold mendekati Tania. Melakukan apa saja demi mendapatkan cinta Tania. Menyuruh Tania melupakan dendam pada Ryan. Mencoba berdamai dengan kehidupan. Bahwa semua terjadi adalah kuasaNya. Tapi Tania masih terdiam semua perkataan Arnold. Ia sangat sabar menghadapi Tania. Juga berdoa semoga Tania segera sadar. Arnold memakai jas Navy. Menyemprotkan aroma maskulin di tubuhnya. Jack sudah menunggu di belakang kemudi. Ia masuk mobil sudah tak sabar menemui Tania. Gugup menguasai hati Arnold. Jack melajukan mobilnya ke Apartemen Tania. Arnold membuka cincin berlian mata satu yang berkilau Indah. 'Ya Tuhan, semoga Tania menerimaku' batin Arnold. Tania baru bangun tidur saat mentari sudah naik. Ia mengeliat. Membuka selimutanya. Ada perasaan bahagia menyelinap ke dalam kalbu. Ia tak tau kenapa. Lebih baik mandi. Air pagi menyegarkan tubuh Tania. Rambut basah Tania telah di bungkus dengan handuk. Tania
Amelia melanjutkan makannya. Ucapan mertuanya yang menohok membuat selera makanya terhenti. 'Kapan Mama akan menerimaku?' Batin Amelia sambil menunduk. Ryan mengerti istrinya sedih. "Mas, ayo kita periksa ke dokter," rajuk Amelia dengan tatapan memohon. "Iya ... sayang, besok kita periksa. Kebetulan tak ada jadwal penting di kantor," Mata Amelia menyiratkan bahagia. Keinginan memiliki zuriat begitu besar baginya. Bukan sekedar menghindari ocehan mertuanya. Tapi ada kebahagiaan tersendiri di saat bayi mungil tumbuh besar di rahimnya. Melahirkan dan membesarkan dengan penuh cinta kasih. Untungnya suaminya sangat pengertian. Tak menuntutnya memiliki keturunan segera. Tapi anak adalah rejeki dan harus berusaha meraihnya. Juga doa yang tak pernah putus. Amelia mengeliat dalam pelukan suaminya. Hangat mengaliri darah Amelia. Ia mengejap dan mengedarkan pandanganya. Masih gelap jam berapa ini?
Kembali ke Amelia. Amelia mengejap matanya berulangkali. Ia melihat jam di beker di nakas. Jam 3 sore. Ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi tak jauh dari kamarnya. Ritual mandi dilakukan dengan cepat. Selesai mandi segera ke dapur. Memasak untuk nanti makan nanti malam. Aroma masakan menyeruak menyebar di seluruh ruangan rumah ini. Jam lima sore Ryan pulang. Pintu rumah tak di kunci. Ia langsung masuk saja. "Ceklek" "Assalamualaikum," "Walaikum salam Mas Ryan," Senyum mengembang dari kedua sudut mulut Amelia. Ia menyambut suaminya dan mencium tanganya. "Masak apa sayang?" Tanya Ryan sembari mencium kening istrinya. "Masak kesukaan Mas Ryan," ucap Amelia sembari menaruh Ayam goreng di meja. "Mas mandi dulu, nanti kita malam bareng," "Iya sayang," Ryan melangkah ke kamar. Mandi juga berganti pakaian. Ryan terlihat segar. Waj
"Kenapa diam Tania?" "Kamu masih memikirkan Ryan? Laki- laki pengecut seperti itu masih kau pikirin! Kurang kerjaan aja !" Arga selalu marah apabila Tania memikirkan Ryan. "Aku nggak mikirin Ryan kak, tapi memikirkan bagaimana membalas sakit hatiku!" ucap Tania sambil mengepalkan tangan menahan marah di dada. "Hemm ... sampai kapan kau memelihara dendam di hati? Bikin sakit aja!" "Udahlah ... tak ingin dengar alasanmu, kak Arga pingin kamu melupakan Ryan dan menerima Arnold. Itu demi kebaikanmu!" Arga berlalu dari hadapan Tania. Memberi ultimatum telak. Menbuat Tania tak berkutik. Apakah aku harus menerima Arnold? Tania melangkah gontai ke kamar. Ia menjatuhkan dirinya di Bed. Menarik selimut sampai ke leher. Memejamkan mata berharap pelangi datang lewat mimpinya. Tania mengejap matanya tatkala sinar mentari menerobos lewat celah kecil dari jendelanya. Dan m
Arnold masih berada di Hotel mewah. terpekur sendiri. Memikirkan Tania. Mencoba menghubungi gawainya tapi tak aktif. Kangen di dada serasa akan meledak. Akhirnya ia menemui kembali Tania. Bukankah cinta harus di perjuangkan? Pikir Arnold. Di depan Apartemen kakaknya. Ia memencet bel. Ting tong. Arnold berniat ingin melamar Tania secara baik- baik. Tania bangkit dan membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia saat tau Arnold ada di depanya. "Arnold ...." gumam Tania lirih. "Iya ini aku, sambil memegangi daun pintu. Tania menatap manik mata milik Arnold. Ada cinta yang dalam di matanya. "Ada apa, kenapa menatapku seperti itu?" Arnold tersenyum semanis mungkin di hadapan belahan jiwanya. "Tania ... aku ingin melamarmu," Jantung Tania serasa ingin melompat keluar juga deg- deg an. Senang mendapat perhatian dari lak
Ryan menyuruh Mamanya duduk di sofa, ia kembali berkutat dengan pekerjaanya. Agar tak mengganggu konsentrasinya. Akhirnya Mama Lina mau menuruti anaknya duduk di sofa. Tapi mulutnya tak bisa berhenti ngomel. "Kamu tuh keterlaluan banget ya, udah lupa sama Mamamu ini hah?! Beberapa Bulan tak ada kabar!" "Tapi Ryan selalu komunikasi sama kakak Ma?" "Kalau kakakmu aja di hubungi masa sama Mama nggak?" Lina semakin emosi. Anak bungsunya ini bikin gemes. Ryan kembali menekuri pekerjaanya. Tanpa melirik Mamanya. Tapi Mamanya masih aja nyerocos. "Kamu tuh belum tau rasanya jadi orang Tua sih!" Deg Hati Ryan tercubit. Ada Nyeri menyapa. Mencoba sabar omelan Mamanya. 'Ya Tuhan, sabarkanlah hamba menghadapi Mama' "Oh ya Si Amel udah hamil belum?" "Belum, kenapa Ma?&n