Aturan pertama, yang Radit Anggoro terapkan kepada ketiga anak-anaknya adalah bersyukur. Bekerja keras, belajar dengan sungguh-sungguh dan tahu caranya bertahan adalah suatu pertahanan hidup yang nggak semua orang mampu melakoninya. Yang kedua, jangan sampai menyesal setelah kehilangan hal-hal kecil yang dianggap sepele. Karena kita tidak tahu kapan waktunya akan tiba jika hal sekecil apa pun juga bentuk dari rasa bahagia. Jangan karena dibutakan oleh keserakahan, ambisi dan ketamakan kita jadi menelantarkan sesuatu hal yang paling penting. Kadang orang lupa, yang tidak terlihat dari luar malah dinilai paling tidak berarti. Padahal yang namanya hidup itu penuh dengan paradoks. Semakin irit, semakin miskin. Semakin boros, semakin kaya. Semakin bekerja keras, semakin sedikit hasilnya. Semakin malas bekerja, semakin banyak hasilnya. Semakin dikejar, semakin lari. Semakin cuek, semakin dicari. Semakin dicari malah hilang, tidak dicari malah datang. Ini aneh tapi seiring terjadi. Yang Ra
Menurut Ratu, Raja memang suka semena-mena. Sejak dulu–bahkan sebelum menduduki kursi tertinggi di perusahaan–sifat diktatornya sudah terlihat dengan jelas. Wajar, sih, sebagai anak sulung, tanggung jawab yang Raja emban jauh lebih banyak ketimbang dirinya mau pun Langit. Tapi bisa dong jangan main sesuka hati di saat Ratu sedang nyaman-nyamannya menikmati sebuah proses move on. Emang kampret Raja itu."Kamu pindah ke Semarang."Begitu bunyinya. Sambungan nirkabel itu memperjelas suara dan titah dari Raja. Kembarannya itu kalau ngasih perintah selalu jelas, singkat dan padat alias pelit omongan."Hah, gimana-gimana?" Ratu bengong. Nyawa dari bangun tidurmya yang belum tuntas masih melayang ke antah berantah. Dan telepon dari Raja membuat kepalanya pening seketika. "Pindah ke Semarang, sekarang juga."Bertambah saja kata-katanya."Ngapain? Emang di Semarang buka kantor cabang baru? Kok aku baru tahu?"Ratu nggak dapat kabar apa-apa. Heran dengan sikap Raja yang berubah drastis sewakt
Leora pandangi wajah ayu Ratu yang masih terlelap. Petang sebentar lagi menyapa. Langit Semarang sudah mulai berubah warna dan mentari hampir kembali ke peraduannya. Leora tahu Ratu kesal akan perintah yang Raja berikan secara mendadak. Terlebih keinginan Ratu untuk menikah telah Raja tolak mentah-mentah. Jangankan Ratu, Leora saja suka bingung dengan perubahan sikap yang Raja lakukan. Sesekali Raja akan menjadi baik, namun di lain kesempatan akan berubah bak reog kesurupan. Memang nggak bisa ditebak suaminya itu. Leora sungkan untuk membangunkan Ratu. Waktu makan siang telah Ratu lewatkan dan makanan yang Leora hangatkan kembali mendingin. Namun hingga sore menjelang, Ratu masih nyenyak dalam buaian mimpi indahnya. Leora tarik nafasnya dalam-dalam. Masih dengan fokus mata menatapi wajah Ratu. Sekilas, wajah Mami Senja ada di sana. Namun sedetik kemudian, dominan wajah Papi Radit begitu jelas terlukis. Baik Raja mau pun Ratu, wajah Mami Senja dan Papi Radit berpadu menjadi artefak p
Suasana malam yang dingin berpadu padan dengan pemandangan yang indah. Gemerlap lampu dari ujung ke ujung menjadi daya tarik tersendiri bagi Leora yang selama ini besar di kota. Dari balkon kamar Raja–di rumah Mami Senja dan Papi Radit–semuanya terlihat dengan jelas. Dan setelah Leora cari tahu lebih lengkap, mereka berada di Ungaran, kabupaten Semarang dan tepat berada di bawah kaki gunung Ungaran. Ini sensasi pertama di mana Leora tinggal langsung di bawah kaki gunung. Aktivitas di daerah sini juga belum Leora telusuri. Karena menggunakan kereta di pagi hari dan sampai menjelang sore membuat Leora belum bisa mengeksplorasi daerah sekitar. Hanya saat sopir pribadi yang menjemput, Leora sempat melihat jika beberapa lingkungan di sini ramai oleh penduduk.Sekarang, dengan santai Leora sandarkan tubuhnya pada tubuh Raja yang sedang sibuk menatapi laptopnya. Jari-jarinya bergerak di atas keyboard dan sesekali mengusapi perut Leora. Semilir angin malam berembus, membelai kulit putih Leor
Era tahu jika hidup selalu punya sisi menderitanya. Setiap orang juga punya garis yang tidak bisa disamakan dengan orang lainnya. Cinta, sakit dan penderitaan menjadi hal yang lumrah terjadi. Setelah mengenal Raja, Era tidak mempermasalahkan hidupnya jika harus menderita. Apa pun itu asal Raja, Era tidak akan mempedulikan dirinya sendiri. Asalkan Raja, semuanya rela Era lakukan. Terdengar bodoh, tapi Era tidak bisa melakukan apa pun selain menginginkan Raja."Bodoh! Padahal banyak pekerjaan yang harus dilakukan daripada meratap nasib. Jangan lemah cuma karena cinta, please. Itu menjijikkan."Cibiran dari Rea, jika rungu orang lain yang mendengarnya akan sakit hati. Namun karena Era sudah biasa, mengabaikan perempuan yang ada di hadapannya adalah jalannya. Mulutnya memang setajam silet. "Yang kamu cintai Raja atau hartanya? Nggak tanggung-tanggung, aset yang Raja punya itu banyak. Mana tahu kamu goyah, 'kan?"Era berdecak. Rea bak kompor meletup di pagi hari saat sumbunya berjumpa de
Obrolan Ratu dengan Leora pagi ini Raja dengar semuanya. Selain kesal pindah paksa yang Raja lakukan pada Ratu, ada kesalahan lainnya yang Raja perbuat–menurut Ratu begitu. Sedang Raja sendiri, dirinya tidak punya salah sehingga tidak harus mengakui perihal perlakuannya. Menikah tidak semudah ucapannya yang meluncur, itu kesimpulan yang Raja miliki untuk Ratu. Ngomong nikah kayak mau beli permen di warung aja.Sekarang di siang hari yang tidak terik, mataharinya pelit untuk berjumpa dengan penduduk bumi, Raja panggil Ratu untuk duduk di ruang keluarga sembari menunggu Leora yang tengah bersiap-siap.Ratu masih diam dan tidak mau memandangi Raja. Yang dilakukan Raja justru menatap lekat-lekat kembarannya dengan ekspresi wajah yang tak terbaca."Kalau mau menikah, ya aku setuju." Ratu angkat kepalanya, menghentikan jarinya yang bermain di atas keyboard ponsel dan wajahnya semringah maksimal. "Serius? Abang beneran? Nggak lagi bercanda, 'kan?" Raja angguki jika dirinya benar-benar seri
Langit mendapat telepon di pagi hari seusia salat subuh. Kedua matanya masih mengantuk namun mengabaikan Maminya bukan spesialis mudah yang bisa Langit lakukan. Maka suara riangnya menjawab sambutan Maminya yang sama bahagianya."Mami apa kabar?" tanya Langit lebih dulu. "Malang baik dan sekarang lagi hujan.""Jangan bilang kamu mau tidur lagi?" Ya, begitulah Senja yang selalu mengetahui apa pun yang aka ketiga anaknya lakukan tanpa di beri tahu."Mami tahu aja. Kan mumpung libur juga, Mi." Tanggal merah di hari kerja memang surga dunia sekali. Setelah kemarin menguras tenaga Langit, semalam tidur nyenyaknya tidak ada gangguan mau pun hambatan. "Mami lagi apa? Papi apa kabar?""Sehat semua. Lagi duduk santai. Kemala? Nanya doang tapi nggak pernah pulang.""Kan kerja, Mi. Liburnya aja cuma sehari doang." Langit membela diri. Maminya sejak dulu kala selalu memperlakukan dirinya berbeda ketimbang Raja dan Ratu. "Abang ke Semarang katanya, Mi.""Nggak katanya lagi, emang iya lagi bulan m
Mau tidak mau Langit mempersilakan Arra masuk. Perempuan itu dengan semangat dan senyum lebarnya langsung duduk di ruang tamu apartemen. Kedua mata Arra terus mengeksplorasi ruangan Langit yang kecil namun cukup mewah. Beberapa potret foto keluarganya sengaja Langit letakkan di sana. Sengaja, begitu masuk akan langsung bisa melihat foto tersebut dan semangat Langit membuncah."Aku cuma punya ini." Langit letakkan minuman soda kalengan di hadapan Arra yang masih serius menatapi potret demi potret keluarganya. "Mami baru nelepon dan bilang kalau kamu di sini."Barulah kepala Arra menatap Langit dengan senyuman kecil menawan. "Udah seminggu aku di sini." Dan baru menemui Langit di hari libur kerja setelah beberapa waktu lalu gagal. "Aku waktu itu ke sini tapi kamu nggak ada di apartemen.""Kerja," jawaban Langit singkat, jelas dan padat."Malam tapi kamu nggak ada di rumah.""Mungkin lembur. Menjelang akhir bulan selalu lembur karena ada data-data yang harus di cocokkan. Lagian kamu ngg