Suasana malam yang dingin berpadu padan dengan pemandangan yang indah. Gemerlap lampu dari ujung ke ujung menjadi daya tarik tersendiri bagi Leora yang selama ini besar di kota. Dari balkon kamar Raja–di rumah Mami Senja dan Papi Radit–semuanya terlihat dengan jelas. Dan setelah Leora cari tahu lebih lengkap, mereka berada di Ungaran, kabupaten Semarang dan tepat berada di bawah kaki gunung Ungaran. Ini sensasi pertama di mana Leora tinggal langsung di bawah kaki gunung. Aktivitas di daerah sini juga belum Leora telusuri. Karena menggunakan kereta di pagi hari dan sampai menjelang sore membuat Leora belum bisa mengeksplorasi daerah sekitar. Hanya saat sopir pribadi yang menjemput, Leora sempat melihat jika beberapa lingkungan di sini ramai oleh penduduk.Sekarang, dengan santai Leora sandarkan tubuhnya pada tubuh Raja yang sedang sibuk menatapi laptopnya. Jari-jarinya bergerak di atas keyboard dan sesekali mengusapi perut Leora. Semilir angin malam berembus, membelai kulit putih Leor
Era tahu jika hidup selalu punya sisi menderitanya. Setiap orang juga punya garis yang tidak bisa disamakan dengan orang lainnya. Cinta, sakit dan penderitaan menjadi hal yang lumrah terjadi. Setelah mengenal Raja, Era tidak mempermasalahkan hidupnya jika harus menderita. Apa pun itu asal Raja, Era tidak akan mempedulikan dirinya sendiri. Asalkan Raja, semuanya rela Era lakukan. Terdengar bodoh, tapi Era tidak bisa melakukan apa pun selain menginginkan Raja."Bodoh! Padahal banyak pekerjaan yang harus dilakukan daripada meratap nasib. Jangan lemah cuma karena cinta, please. Itu menjijikkan."Cibiran dari Rea, jika rungu orang lain yang mendengarnya akan sakit hati. Namun karena Era sudah biasa, mengabaikan perempuan yang ada di hadapannya adalah jalannya. Mulutnya memang setajam silet. "Yang kamu cintai Raja atau hartanya? Nggak tanggung-tanggung, aset yang Raja punya itu banyak. Mana tahu kamu goyah, 'kan?"Era berdecak. Rea bak kompor meletup di pagi hari saat sumbunya berjumpa de
Obrolan Ratu dengan Leora pagi ini Raja dengar semuanya. Selain kesal pindah paksa yang Raja lakukan pada Ratu, ada kesalahan lainnya yang Raja perbuat–menurut Ratu begitu. Sedang Raja sendiri, dirinya tidak punya salah sehingga tidak harus mengakui perihal perlakuannya. Menikah tidak semudah ucapannya yang meluncur, itu kesimpulan yang Raja miliki untuk Ratu. Ngomong nikah kayak mau beli permen di warung aja.Sekarang di siang hari yang tidak terik, mataharinya pelit untuk berjumpa dengan penduduk bumi, Raja panggil Ratu untuk duduk di ruang keluarga sembari menunggu Leora yang tengah bersiap-siap.Ratu masih diam dan tidak mau memandangi Raja. Yang dilakukan Raja justru menatap lekat-lekat kembarannya dengan ekspresi wajah yang tak terbaca."Kalau mau menikah, ya aku setuju." Ratu angkat kepalanya, menghentikan jarinya yang bermain di atas keyboard ponsel dan wajahnya semringah maksimal. "Serius? Abang beneran? Nggak lagi bercanda, 'kan?" Raja angguki jika dirinya benar-benar seri
Langit mendapat telepon di pagi hari seusia salat subuh. Kedua matanya masih mengantuk namun mengabaikan Maminya bukan spesialis mudah yang bisa Langit lakukan. Maka suara riangnya menjawab sambutan Maminya yang sama bahagianya."Mami apa kabar?" tanya Langit lebih dulu. "Malang baik dan sekarang lagi hujan.""Jangan bilang kamu mau tidur lagi?" Ya, begitulah Senja yang selalu mengetahui apa pun yang aka ketiga anaknya lakukan tanpa di beri tahu."Mami tahu aja. Kan mumpung libur juga, Mi." Tanggal merah di hari kerja memang surga dunia sekali. Setelah kemarin menguras tenaga Langit, semalam tidur nyenyaknya tidak ada gangguan mau pun hambatan. "Mami lagi apa? Papi apa kabar?""Sehat semua. Lagi duduk santai. Kemala? Nanya doang tapi nggak pernah pulang.""Kan kerja, Mi. Liburnya aja cuma sehari doang." Langit membela diri. Maminya sejak dulu kala selalu memperlakukan dirinya berbeda ketimbang Raja dan Ratu. "Abang ke Semarang katanya, Mi.""Nggak katanya lagi, emang iya lagi bulan m
Mau tidak mau Langit mempersilakan Arra masuk. Perempuan itu dengan semangat dan senyum lebarnya langsung duduk di ruang tamu apartemen. Kedua mata Arra terus mengeksplorasi ruangan Langit yang kecil namun cukup mewah. Beberapa potret foto keluarganya sengaja Langit letakkan di sana. Sengaja, begitu masuk akan langsung bisa melihat foto tersebut dan semangat Langit membuncah."Aku cuma punya ini." Langit letakkan minuman soda kalengan di hadapan Arra yang masih serius menatapi potret demi potret keluarganya. "Mami baru nelepon dan bilang kalau kamu di sini."Barulah kepala Arra menatap Langit dengan senyuman kecil menawan. "Udah seminggu aku di sini." Dan baru menemui Langit di hari libur kerja setelah beberapa waktu lalu gagal. "Aku waktu itu ke sini tapi kamu nggak ada di apartemen.""Kerja," jawaban Langit singkat, jelas dan padat."Malam tapi kamu nggak ada di rumah.""Mungkin lembur. Menjelang akhir bulan selalu lembur karena ada data-data yang harus di cocokkan. Lagian kamu ngg
Ratu tidak mau memaafkan. Sedangkan kata Leora, kenyataan dari memaafkan tidak serta merta membuat kita melupakan kejadian yang telah menimpa bukan juga untuk membenarkan perilakunya. Apa lagi sampai membebaskan orang tersebut dari konsekuensi dan menerimanya kembali. Faktanya, memaafkan itu soal keputusan. Keputusan untuk menerima realita dan membebaskan beban emosional yang mengikat kita dan keputusan untuk tidak membalas dan menghukum orang tersebut. Siapa bilang memaafkan semudah membalikkan tangan? Memaafkan juga butuh waktu. Karena semakin sering kita tersakiti, semakin dalam emosional kita, semakin dalam luka yang kita rasakan akan semakin sulit untuk kita memaafkan. "Nggak apa-apa. Kamu nggak perlu buru-buru." Itu pesan yang Leora sampaikan untuk Ratu dan masalahnya semalam. Leora memahami karena pernah berada di posisi yang Ratu rasakan meski beda konteks. "Tapi kalau kamu nggak mau memaafkan, itu bakalan lebih sulit buat sembuh. Karena kita bukan memaafkan untuk orang lai
Adakalanya rasa takut itu datang menyelimuti. Seolah-olah terjebak di dalam air dan sulit untuk bernapas. Bingung dan pikiran mulai mensugesti jika akan tercekik. Jika tidak segera bertindak, maka akan hancur. Itu yang ada di dalam pikiran Ratu saat ini. Dia benar-benar tidak tahu harus bertindak apa untuk menghadapi Bala. Bukan karena cinta apa lagi sayang m tapi Ratu serius tidak tahu harus bagaimana. Di temui, ah untuk apa? Wong Ratu sudah malas kok. Tidak di temui, Bala terus merengek meminta bertemu. Alasannya yang rindulah, inilah, itulah padahal sudah jelas-jelas Ratu mengabaikan. Laki-laki memang begitu saat menyukai seorang perempuan. Akan gigih dalam mendapatkan lalu membuangnya usai di rasa puas telah menggunakannya. Jahanam!"Masih belum nemuin jalannya?" tanya Leora yang datang membawa pisang keju.Liburannya di Semarang bersama Raja punya banyak kesan meski secara mendadak Raja harus mengurus pekerjaan juga. Suaminya yang gila kerja, di mana pun tubuhnya berada, bekerja
Setelah Rea pergi, banyak hal yang terjadi dalam hidup Raja. Perubahan-perubahan kecil yang meningkat secara signifikan dari sulung keluarga Anggoro ini terbilang cepat. Banyak orang yang kagum dan memujanya. Para perempuan yang melihatnya ingin setidaknya satu kali dalam seumur hidup mereka bisa bersama dengan Raja. Dan perubahan lain yang tidak pernah orang lain ketahui selain dirinya sendiri adalah kepribadiannya.Karena di beri trauma yang sangat besar dalam hidupnya, Raja menyimpan dendam. Semua perempuan yang menginginkan dirinya, harus berakhir di atas ranjang. Hanya di sanalah Raja melampiaskan emosinya. Rea belum tahu sisi lain Raja namun membuatnya berubah dalam waktu satu malam, menjadi kepuasan tersendiri bagi Rea. Ternyata semudah itu menghancurkan hidup seseorang. Pastinya Raja amatlah di harapkan oleh keluarganya untuk menjadi orang yang sempurna dan Rea menjadikannya cacat secara mental."Mikirin apa?"Rea terseret dari lamunannya untuk kembali ke dunia nyata. Di mana