"Abang maksudnya apa?"Langit langsung melayangkan protes tanpa salam begitu Raja mengangkat teleponnya. "Salam dulu," Balan Raja dengan halus di seberang sana. Terdengar helaan napas dari Raja yang membuat Langit mendengkus. Raja menyebalkan sekali dengan membawa Arra ke Malang bahkan bekerja di satu kantor yang sama dengannya. Langit tentu gerah. "Aku nggak bisa lagi sabar, ya! Tadi aku telepon Abang mau protes tapi sadar harus elegan di hadapan musuh.", Langit tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Raja belum memberinya penjelasan. "Aku nggak bisa, Abang."Biasanya, jika Langit sudah merengek seperti ini, Raja akan merasa terenyuh dan mulai luluh. Tapi entah dengan yang sekarang. Karena itu licik. Langit melihatnya sendiri tadi. "Makanya Abang bilang: tunggu. Kamu nggak bisa asal buat ngambil keputusan balik atau malah kocar-kacir. Nanti kamu makin nangis misalnya Arra ngasih serangan yang tak terduga.""Maksud Abang apa? Dia punya rencana apa, sih sampai harus masuk ke perusahaa
"Mau ke Malang nggak?"Raja usai mematikan teleponnya langsung menemui Leora yang sedang memasak di dapur. Ratu sudah pergi menuju kafe yang dulu di kelola oleh Maminya. Bukan hal yang mudah dan Raja tahu itu. Ratu harus merelakan jiwa bisnis yang membara di dalam jiwanya untuk mau berkecimpung dengan bisnis lainnya. "Cuti kamu udah mau habis. Yakin nggak apa-apa ninggalin kantor terlalu lama?"Tidak terasa Leora dan Raja sudah satu minggu menghabiskan waktunya di Semarang. Dan selama itu pula, tidak banyak aktivitas yang keduanya lakukan. Semuanya di luar dugaan dan Leora lebih banyak tidur ketimbang harus pergi berjalan-jalan. Raja menggeleng. "Papi masih bisa handle. Ada Archa juga yang bisa ngasih arahan ke Papi soal rapat. Nanti aku bisa ikutan via zoom. Semuanya udah oke."Leora diam terlalu lama lalu mengedikkan bahunya. "Aku terserah kamu aja. Kalau kamu masih butuh waktu untuk liburan, aku nggak mau nolak."Cengiran Leora di balas kecupan oleh Raja. Semenjak hamil, Leora da
Setiap orang punya perjalanan hidupnya masing-masing. Yang takut akan pernikahan, maka melihat sebuah hubungan serius itu bak sebuah kekangan. Tali jerat yanb mematikan dan menguras air mata. Yang hubungannya hancur karena orang ketiga, maka melihat pelaku perebut suami atau istrinya layaknya orang berpenyakitan. Hidup masing-masing orang unik. Kisahnya pun tak bisa di samakan. Rasa sakitnya tak bisa di pukul rata.Leora Anggoro memandang sebuah pernikahan hal yang lumrah. Di matanya, selain sebuah perintah agama–di kepercayaan yang Leora anut–pun dengan usia yang matang, pernikahan pasti akan terjadi. Banyak di antara mereka pelaku pernikahan dengan usia yang sudah cukup namun belum matang sempurna. Misalnya, muda mudi yang baru selesai mengenyam pendidikan SMA.Mereka memutuskan menikah muda dengan alasan menghindari zina. Kalau di pikir-pikir, benar juga, sih. Ketimbang bikin malu keluarga dengan hamil duluan, lebih baik jujur dan minta di nikahkan segera. "Mikirin apa?" Raja dat
Begitu sampai Malang, Raja ajak Leora ke hotel. Pertanyaan mengherankan yang hanya Leora pendam adalah: kenapa tidak ke apartemen Langit? Tapi hanyalah bersarang di kepalanya. Leora tidak mau merusak kesenangan Raja dan hotel bukan sesuatu yang buruk saat kamar suite menjadi pilihan Raja. Lelaki dingin itu selalu tahu cara menyenangkan istrinya. Leora cekikikan sendiri."Ada yang salah?" Leora gelengkan kepalanya langsung.Ini sudah malam–menjelang pagi–jangan buat Raja dan moodnya berantakan. Bisa jadi reog nanti."Baju tidur kamu tapi jangan mandi." Raja terima baju tidur dari Leora dan bergegas mengenakannya. Usai dengan baju tidurnya, Raja langsung memejamkan matanya dan mendekap Leora."Kamu pasti capek," ujar Raja yang di balas gelengan oleh Leora. "Harusnya naik pesawat aja.""Sesekali doang. Lagian seru juga naik kereta. Sayangnya, karena kita ambil perjalanan yang malam, jadi nggak bisa lihat kondisi sekitar kayak dari Jakarta ke Semarang kemarin.""Jangan bilang pulang ke J
Langit kaget bukan main. Di jam kerja, Raja dan Leora datang tanpa memberi kabar. Maksudnya, ini sejak kapan ada di Malang sedangkan Mami bilang, Raja dan Leora sedang bulan madu di Semarang. Kenapa sekarang sudah di Malang saja?Raja memang menggemaskan. Selalu memberi kejutan kepada Langit yang jantungnya hampir merosot ke lambung. "Abang nggak ngasih kabar!" Dengkus Langit keras-keras dan menyalami tangan Raja dan Leora secara bergantian. "Kan aku bisa jemput, bisa siapin kamar dan yang Abang butuhin. Mbak apa kabar?" tanya Langit kepada Leora yang tersenyum kecil."Baik. Ponakan kamu juga semuanya baik." Leora lungsurkan oleh-oleh yang di bawanya dari Semarang. "Lumpia Mbak Lim, kesukaan kamu. Abang yang beliin.""Wah …" Awalnya semringah dan kembali mode biasa saja setelah tahu siapa yang membelikan itu. "Makasih, Abang." Tetap wajib dilakukan. Mengucapkan terima kasih adalah ajaran dari Maminya yang paling lumrah. Jadi tidak boleh di lupakan begitu saja. "Terus nginap di mana?"
Dinda syok berat. Kalau tidak sadar, bisa-bisa limbung itu tubuhnya. Raja memberondong, bukan memberondong, sih, lebih tepatnya apa, ya? Ah, pokoknya mah itu dan Dinda masih terkaget-kaget hingga di menit-menit berikutnya. Rasanya masih tidak percaya tapi ini memang terjadi. Dan ketiga orang yang duduk di hadapannya menampilkan ekspresi yang berbeda-beda.Langit tegang, Raja tenang sedangkan istri dari pimpinan, Leora kalau tidak salah namanya, tersenyum dengan anggun, khas Ibu-ibu sosialita. "Udah kamu di sini aja, ya, Din," kata Langit penuh permohonan. "Kalau kamu pindah, nggak ada yang bantuin aku tahu!""Jadi babu kamu maksudnya?" Langit berdecak, Dinda mendengkus. Sedangkan Raja dan Leora saling bertatapan. "Di Jakarta mana enak sih, Din." Kembali Langit menggerecoki isi kepala Dinda yang tampak bimbang, bingung dan penuh pertimbangan. "Abang sekalinya datang ke sini kalau bikin kacau. Di mana-mana kalau nggak bikin gaduh bukan Abang kayaknya.""Ya gimana, dong. Udah ciri kha
"Namanya Era, Erlangga."Radit Anggoro menerima informasi dari orang kepercayaannya. Teror di depan rumah Raja, Radit anggap sebagai sesuatu yang meresahkan. Mobil hitam yang terus datang mengawasi membuat Radit khawatir. "Lanjutkan," perintah Radit dengan tegas.Orang yang berdiri di hadapannya menyerahkan sebuah amplop cokelat. Radit menerima dan membukanya."Catatan yang saya dapatkan sejauh itu tentang hubungan mereka."Ada surat nikah di dalamnya dan Radit terkejut karena Raja tidak pernah berbuat sejauh itu tanpa persetujuan darinya. Tapi menikah? Anehnya bukan nama Leora Yudantha yang tertulis di sana melainkan perempuan bernama Erlangga ini. Dan foto yang tercetak juga bukan Leora, namun Raja bersama Erlangga. Jangan katakan jika Raja telah menipunya selama ini?"Katakan semuanya secara rinci."Radit meminta sekali lagi dengan lebih tegas. Semua yang ada di tangannya terasa bahwa itu adalah bohong. Raja tidak mungkin seperti itu, 'kan? Raja tidak mungkin mencoreng nama baikny
Kehidupan yang tiap-tiap orang jalani itu berbeda-beda. Ada yang lahir maka ada yang mati. Ada pertemuan berarti ada perpisahan. Semua yang ada di dunia ini, baik yang sudah terjadi mau pun akan terjadi, punya takarannya masing-masing. Kita sebagai manusia tidak bisa memprediksi bahkan membuat rencana yang terlalu mulus. Tidak bisa! Kita bukan tangan kanan Tuhan yang akan dengan mudah mendapatkan apa yang kita mau. Kita hanyalah bidak-bidak di papan catur yang Tuhan mainkan.Dari kalimat ini saja seharusnya Era sadar jika perpisahannya dengan Raja juga bagian dari rencana Tuhan. Semuanya telah tertulis walau tidak adil. Namun sekali lagi jika menyadari, kesalahan itu bukankah lahir dari Era sendiri? Era yang mendorong Raja untuk pergi di saat lelaki itu dengan setia menemaninya. Jadi kalau di pikir-pikir lagi, bukan sepenuhnya salah Raja. Di samping garis takdir yang tidak mengizinkan mereka bersama, perilaku Era sendiri yang telah membuat dirinya kehilangan cintanya.Cih, cinta? Era