Langit kaget bukan main. Di jam kerja, Raja dan Leora datang tanpa memberi kabar. Maksudnya, ini sejak kapan ada di Malang sedangkan Mami bilang, Raja dan Leora sedang bulan madu di Semarang. Kenapa sekarang sudah di Malang saja?Raja memang menggemaskan. Selalu memberi kejutan kepada Langit yang jantungnya hampir merosot ke lambung. "Abang nggak ngasih kabar!" Dengkus Langit keras-keras dan menyalami tangan Raja dan Leora secara bergantian. "Kan aku bisa jemput, bisa siapin kamar dan yang Abang butuhin. Mbak apa kabar?" tanya Langit kepada Leora yang tersenyum kecil."Baik. Ponakan kamu juga semuanya baik." Leora lungsurkan oleh-oleh yang di bawanya dari Semarang. "Lumpia Mbak Lim, kesukaan kamu. Abang yang beliin.""Wah …" Awalnya semringah dan kembali mode biasa saja setelah tahu siapa yang membelikan itu. "Makasih, Abang." Tetap wajib dilakukan. Mengucapkan terima kasih adalah ajaran dari Maminya yang paling lumrah. Jadi tidak boleh di lupakan begitu saja. "Terus nginap di mana?"
Dinda syok berat. Kalau tidak sadar, bisa-bisa limbung itu tubuhnya. Raja memberondong, bukan memberondong, sih, lebih tepatnya apa, ya? Ah, pokoknya mah itu dan Dinda masih terkaget-kaget hingga di menit-menit berikutnya. Rasanya masih tidak percaya tapi ini memang terjadi. Dan ketiga orang yang duduk di hadapannya menampilkan ekspresi yang berbeda-beda.Langit tegang, Raja tenang sedangkan istri dari pimpinan, Leora kalau tidak salah namanya, tersenyum dengan anggun, khas Ibu-ibu sosialita. "Udah kamu di sini aja, ya, Din," kata Langit penuh permohonan. "Kalau kamu pindah, nggak ada yang bantuin aku tahu!""Jadi babu kamu maksudnya?" Langit berdecak, Dinda mendengkus. Sedangkan Raja dan Leora saling bertatapan. "Di Jakarta mana enak sih, Din." Kembali Langit menggerecoki isi kepala Dinda yang tampak bimbang, bingung dan penuh pertimbangan. "Abang sekalinya datang ke sini kalau bikin kacau. Di mana-mana kalau nggak bikin gaduh bukan Abang kayaknya.""Ya gimana, dong. Udah ciri kha
"Namanya Era, Erlangga."Radit Anggoro menerima informasi dari orang kepercayaannya. Teror di depan rumah Raja, Radit anggap sebagai sesuatu yang meresahkan. Mobil hitam yang terus datang mengawasi membuat Radit khawatir. "Lanjutkan," perintah Radit dengan tegas.Orang yang berdiri di hadapannya menyerahkan sebuah amplop cokelat. Radit menerima dan membukanya."Catatan yang saya dapatkan sejauh itu tentang hubungan mereka."Ada surat nikah di dalamnya dan Radit terkejut karena Raja tidak pernah berbuat sejauh itu tanpa persetujuan darinya. Tapi menikah? Anehnya bukan nama Leora Yudantha yang tertulis di sana melainkan perempuan bernama Erlangga ini. Dan foto yang tercetak juga bukan Leora, namun Raja bersama Erlangga. Jangan katakan jika Raja telah menipunya selama ini?"Katakan semuanya secara rinci."Radit meminta sekali lagi dengan lebih tegas. Semua yang ada di tangannya terasa bahwa itu adalah bohong. Raja tidak mungkin seperti itu, 'kan? Raja tidak mungkin mencoreng nama baikny
Kehidupan yang tiap-tiap orang jalani itu berbeda-beda. Ada yang lahir maka ada yang mati. Ada pertemuan berarti ada perpisahan. Semua yang ada di dunia ini, baik yang sudah terjadi mau pun akan terjadi, punya takarannya masing-masing. Kita sebagai manusia tidak bisa memprediksi bahkan membuat rencana yang terlalu mulus. Tidak bisa! Kita bukan tangan kanan Tuhan yang akan dengan mudah mendapatkan apa yang kita mau. Kita hanyalah bidak-bidak di papan catur yang Tuhan mainkan.Dari kalimat ini saja seharusnya Era sadar jika perpisahannya dengan Raja juga bagian dari rencana Tuhan. Semuanya telah tertulis walau tidak adil. Namun sekali lagi jika menyadari, kesalahan itu bukankah lahir dari Era sendiri? Era yang mendorong Raja untuk pergi di saat lelaki itu dengan setia menemaninya. Jadi kalau di pikir-pikir lagi, bukan sepenuhnya salah Raja. Di samping garis takdir yang tidak mengizinkan mereka bersama, perilaku Era sendiri yang telah membuat dirinya kehilangan cintanya.Cih, cinta? Era
Arra tidak bisa berbuat banyak. Hasratnya menghilang begitu saja entah ke mana. Ucapan Langit cukup meremas jantungnya dan meninggalkan rasa sakit yang tak berkesudahan. Ya, memang Arra bukan perempuan baik-baik seperti yang Langit mau. Tapi setidaknya Langit tahu siapa yang telah membuatnya menjadi seperti ini. Andai Langit mau menerima dirinya dan menjalin hubungan yang lebih serius daripada yang mereka bayangkan, mungkin Arra tidak akan sesakit ini. Lebih lagi, rasa sakit itu di barengi dengan fakta baru jika Langit sedang merajut tali kasih bersama perempuan lain. Kenapa Langit tidak bisa bersama dengan dirinya namun bisa dengan orang lain? Kenapa fakta ini tidak adil sekali untuk Arra ketahui? Kenapa hanya Arra yang mencintai saat keduanya sudah begitu dekat? Kenakan hanya Arra saja?"Beberapa hal bisa dilihat bahkan saat mereka tidak terlihat." Suara Langit kembali terdengar. Arra belum beranjak dari ruangan Langit meski harga dirinya baru saja di injak-injak. "Beberapa orang t
Ratu tahu, Dewa sedang melamarnya. Meski caranya tidak romantis seperti kebanyakan pasangan lainnya, Ratu senang saja dan tidak merasa terbebani. Toh Ratu tidak berharap yang muluk-muluk tentang lamaran dari Dewa. "Raja tahu?" tanya Ratu saat telah tiba di kafe yang menurut Dewa masuk ke dalam jajaran rekomendasi.Tempatnya lumayan jauh. Jarak tempuhnya sekitar satu jam. Namun semuanya terbayarkan dengan keindahan yang di suguhkan. Berada di tempat atas, Ratu bisa melihat pemandangan kota Semarang dengan kerlap-kerlip lampu. Jalanan kota Semarang terpampang dengan indahnya."Tahu tapi nggak tahu kalau secepat ini. Katakanlah aku terburu tapi kalau nggak dari sekarang aku ngomong ke kamu, takut kamu di ambil orang."Ratu tertawa kecil. Jenis tawa biasa yang tidak berunsur mengejek atau hinaan di dalamnya. Pure tawa yang tidak pernah Ratu perlihatkan kepada orang asing. Dewa yang Ratu pikir sempurna, tenyata sama saja seperti kebanyakan manusia pada umumnya."Emangnya aku mau ke mana?"
Raja patut berterima kasih kepada Leora. Karenanya, arti hidup yang sesungguhnya Raja temukan. Maknanya begitu mendalam sampai-sampai Raja takut kehilangan. Hm, jika sekali lagi harus melepaskan atau dilepaskan oleh Leora, rasanya Raja takkan sanggup. Bukan lebay tapi memang seperti itu kondisi hatinya. Di bawah guyuran air shower, Malang masih dingin walau hari beranjak siang. Benak Raja terus menggaung apa-apa saja yang harus dirinya lakukan pada hidupnya. Menyiapkan rencana untuk masa depan dirinya dan anaknya kelak. Bagaimana, ya menjelaskannya? Raja selalu bingung jika itu mengenai keinginnnya.Raja sudahi mandinya. Membungkus tubuhnya dengan handuk, Raja bergegas keluar dari kamar mandi dan mendapati Leora yang sedang menyiapkan sarapan untuk keduanya. "Terus ini makan pagi apa siang, Yang?" Raja bertanya. Ndagel seperti biasanya. "Aslinya aku kangen masakan kamu, Yang."Leora balas dengan cengiran. Pasangan ini kalau lagi sama-sama warasnya, hal-hal aneh akan mereka lakukan.
Akhirnya Raja putuskan untuk kembali ke Jakarta. Padahal dalam hati Raja masih berkeinginan untuk menjelajahi Malang. Masih ada banyak rencana yang harus Raja lakukan bersama Leora, mengunjunginya beberapa tempat wisata lagi dan pulang setelah di rasa cukup. Tapi manusia mana pernah punya rasa puas, 'kan? Selalu kurang dan ingin melakukan banyak hal lagi. "Siapa? Langit?" tanya Leora seraya menyodorkan minuman dingin untuk Raja. Makan pagi yang kesiangan mereka baru saja usai. "Mas kalau sama Adik sendiri kenapa suka banget ngeselin ngasih jawabannya?""Ngeselin gimana, Yang?" Raja teguk minuman yang Leora beri. Lalu memakan potongan buah yang ada di atas piring. "Langit juga suka ngeselin. Dia kalau minta apa-apa selalu dadakan. Kan aku juga kaget, Yang. Bingung mau mulai dari mana dulu. Susah banget dia tuh belajar tegas. Padahal demi dirinya sendiri.""Emang dia minta apa?" Leora kepo. "Coba nanti aku bantu." Leora hanyalah seorang Kakak ipar. Tapi Raja percaya jika Ratu mau pun