Kehidupan yang tiap-tiap orang jalani itu berbeda-beda. Ada yang lahir maka ada yang mati. Ada pertemuan berarti ada perpisahan. Semua yang ada di dunia ini, baik yang sudah terjadi mau pun akan terjadi, punya takarannya masing-masing. Kita sebagai manusia tidak bisa memprediksi bahkan membuat rencana yang terlalu mulus. Tidak bisa! Kita bukan tangan kanan Tuhan yang akan dengan mudah mendapatkan apa yang kita mau. Kita hanyalah bidak-bidak di papan catur yang Tuhan mainkan.Dari kalimat ini saja seharusnya Era sadar jika perpisahannya dengan Raja juga bagian dari rencana Tuhan. Semuanya telah tertulis walau tidak adil. Namun sekali lagi jika menyadari, kesalahan itu bukankah lahir dari Era sendiri? Era yang mendorong Raja untuk pergi di saat lelaki itu dengan setia menemaninya. Jadi kalau di pikir-pikir lagi, bukan sepenuhnya salah Raja. Di samping garis takdir yang tidak mengizinkan mereka bersama, perilaku Era sendiri yang telah membuat dirinya kehilangan cintanya.Cih, cinta? Era
Arra tidak bisa berbuat banyak. Hasratnya menghilang begitu saja entah ke mana. Ucapan Langit cukup meremas jantungnya dan meninggalkan rasa sakit yang tak berkesudahan. Ya, memang Arra bukan perempuan baik-baik seperti yang Langit mau. Tapi setidaknya Langit tahu siapa yang telah membuatnya menjadi seperti ini. Andai Langit mau menerima dirinya dan menjalin hubungan yang lebih serius daripada yang mereka bayangkan, mungkin Arra tidak akan sesakit ini. Lebih lagi, rasa sakit itu di barengi dengan fakta baru jika Langit sedang merajut tali kasih bersama perempuan lain. Kenapa Langit tidak bisa bersama dengan dirinya namun bisa dengan orang lain? Kenapa fakta ini tidak adil sekali untuk Arra ketahui? Kenapa hanya Arra yang mencintai saat keduanya sudah begitu dekat? Kenakan hanya Arra saja?"Beberapa hal bisa dilihat bahkan saat mereka tidak terlihat." Suara Langit kembali terdengar. Arra belum beranjak dari ruangan Langit meski harga dirinya baru saja di injak-injak. "Beberapa orang t
Ratu tahu, Dewa sedang melamarnya. Meski caranya tidak romantis seperti kebanyakan pasangan lainnya, Ratu senang saja dan tidak merasa terbebani. Toh Ratu tidak berharap yang muluk-muluk tentang lamaran dari Dewa. "Raja tahu?" tanya Ratu saat telah tiba di kafe yang menurut Dewa masuk ke dalam jajaran rekomendasi.Tempatnya lumayan jauh. Jarak tempuhnya sekitar satu jam. Namun semuanya terbayarkan dengan keindahan yang di suguhkan. Berada di tempat atas, Ratu bisa melihat pemandangan kota Semarang dengan kerlap-kerlip lampu. Jalanan kota Semarang terpampang dengan indahnya."Tahu tapi nggak tahu kalau secepat ini. Katakanlah aku terburu tapi kalau nggak dari sekarang aku ngomong ke kamu, takut kamu di ambil orang."Ratu tertawa kecil. Jenis tawa biasa yang tidak berunsur mengejek atau hinaan di dalamnya. Pure tawa yang tidak pernah Ratu perlihatkan kepada orang asing. Dewa yang Ratu pikir sempurna, tenyata sama saja seperti kebanyakan manusia pada umumnya."Emangnya aku mau ke mana?"
Raja patut berterima kasih kepada Leora. Karenanya, arti hidup yang sesungguhnya Raja temukan. Maknanya begitu mendalam sampai-sampai Raja takut kehilangan. Hm, jika sekali lagi harus melepaskan atau dilepaskan oleh Leora, rasanya Raja takkan sanggup. Bukan lebay tapi memang seperti itu kondisi hatinya. Di bawah guyuran air shower, Malang masih dingin walau hari beranjak siang. Benak Raja terus menggaung apa-apa saja yang harus dirinya lakukan pada hidupnya. Menyiapkan rencana untuk masa depan dirinya dan anaknya kelak. Bagaimana, ya menjelaskannya? Raja selalu bingung jika itu mengenai keinginnnya.Raja sudahi mandinya. Membungkus tubuhnya dengan handuk, Raja bergegas keluar dari kamar mandi dan mendapati Leora yang sedang menyiapkan sarapan untuk keduanya. "Terus ini makan pagi apa siang, Yang?" Raja bertanya. Ndagel seperti biasanya. "Aslinya aku kangen masakan kamu, Yang."Leora balas dengan cengiran. Pasangan ini kalau lagi sama-sama warasnya, hal-hal aneh akan mereka lakukan.
Akhirnya Raja putuskan untuk kembali ke Jakarta. Padahal dalam hati Raja masih berkeinginan untuk menjelajahi Malang. Masih ada banyak rencana yang harus Raja lakukan bersama Leora, mengunjunginya beberapa tempat wisata lagi dan pulang setelah di rasa cukup. Tapi manusia mana pernah punya rasa puas, 'kan? Selalu kurang dan ingin melakukan banyak hal lagi. "Siapa? Langit?" tanya Leora seraya menyodorkan minuman dingin untuk Raja. Makan pagi yang kesiangan mereka baru saja usai. "Mas kalau sama Adik sendiri kenapa suka banget ngeselin ngasih jawabannya?""Ngeselin gimana, Yang?" Raja teguk minuman yang Leora beri. Lalu memakan potongan buah yang ada di atas piring. "Langit juga suka ngeselin. Dia kalau minta apa-apa selalu dadakan. Kan aku juga kaget, Yang. Bingung mau mulai dari mana dulu. Susah banget dia tuh belajar tegas. Padahal demi dirinya sendiri.""Emang dia minta apa?" Leora kepo. "Coba nanti aku bantu." Leora hanyalah seorang Kakak ipar. Tapi Raja percaya jika Ratu mau pun
Sejak bersama dengan Dewa, Ratu lebih banyak stay di kost lelaki tersebut. Pulang ke rumah menjadi hal yang malas untuk Ratu lakukan. Selain sepi dan sunyi, Dewa tidak bisa tinggal di sana lantaran peraturan dari komplek. Jadi lebih baik dirinya saja yang ngungsi ke sini. Bebas dan banyak pasangan yang tinggal bersama. Di tambah kost ini adalah milik Dewa yang dikelolanya sejak dulu. Ratu adalah calon Ibu kost. Yang sesekali telah Dewa kenalkan kepada penghuni kost lainnya.Malu, sih, tapi mau bagaimana lagi. Dewa bukan orang yang mudah di tolak keinginnnya. Jika sudah berkata A maka selamanya akan seperti itu. Tidak mudah berubah apa pun yang terjadi. Bagusnya karena Dewa bukan lelaki yang gampang terpengaruh. Dewa tipe orang yang lebih mengutamakan penjelasan ketimbang mengedepankan emosi. Didikan Om Krisna tidak ada yang gagal. Kedua anaknya menjadi lelaki yang penuh tanggung jawab."Yakin nggak mau aku jemput?" Ratu menggeleng. Sudah paling benar pulang sendiri karena Dewa ada uru
Acara ngidam telah selesai. Tutup buku dan Raja harus menghela napas lega. Leora anteng kembali bak bayi dalam gendongan Ibunya. Jika sudah terlelap begini, kecantikan alaminya terpancar. Keanggunannya menguar, berbanding terbalik saat sudah terbuka kedua matanya. Raja ibaratkan sebagai malaikat pencabut nyawa. Kepala Raja menggeleng. Itu candaan dan entah mengapa enak saja kalau mengatai Leora yang aneh-aneh itu. Dasarnya memang suka ndagel, misalnya Leora mendengar, Raja jamin tidak ada kemarahan melainkan tawa yang tak berkesudahan. Toh itu juga alasan kenapa Raja jatuh cinta terus-menerus kepada Leora. Helaan napas Raja terembus. Memasok udara sebanyak mungkin untuk masuk ke dalam rongga dadanya. Pemandangan di luar sana gelap karena malam hari tidak terlihat. Raja kembali mengingat deretan isi pesan dengan Papinya yang intinya menunggu kepulangannya. Belum lagi soal Era yang diketahui Papinya. Raja harus menyiapkan jawaban paling logis karena Papinya tidak mudah di kecoh. Raja
Dan Dinda masih dengan keraguannya. Bimbang menyelimuti tekadnya untuk maju atau mundur atau tetap di sini saja. Di sisi lain, ada dorongan dari dalam dirinya untuk bergegas hengkang. Membawa serta anaknya yang sudah ada di depan mata lalu meninggalkan tempat ini. Hidupnya harus di mulai lagi dari awal, dari titik terendah dan melupakan yang pernah terjadi. Mengubur dalam-dalam harapan demi harapan yang tak kunjung datang. Biarkan angin membungkusnya dan terbang ke tempat yang seharusnya singgah. Sayang, semua ragu yang ada di hati Dinda lenyap. Saat kedua kakinya berdiri tegap di hadapan Langit yang mengulaskan senyum manisnya. Hendak memeluk namun langsung urung. Ada bocah perempuan kecil berusia tujuh tahun. Rambutnya kuncir kuda di sisi kanan dan kiri. Kulitnya putih bersih dan matanya bening. Ada wajah Dinda di sana. Sama-sama cantik dan menarik.Langit berjongkok masih dengan senyum yang belum luntur. Tangan kanannya terjulur mengusap kepala bocah perempuan itu."Aku Langit. Ka