Dan Dinda masih dengan keraguannya. Bimbang menyelimuti tekadnya untuk maju atau mundur atau tetap di sini saja. Di sisi lain, ada dorongan dari dalam dirinya untuk bergegas hengkang. Membawa serta anaknya yang sudah ada di depan mata lalu meninggalkan tempat ini. Hidupnya harus di mulai lagi dari awal, dari titik terendah dan melupakan yang pernah terjadi. Mengubur dalam-dalam harapan demi harapan yang tak kunjung datang. Biarkan angin membungkusnya dan terbang ke tempat yang seharusnya singgah. Sayang, semua ragu yang ada di hati Dinda lenyap. Saat kedua kakinya berdiri tegap di hadapan Langit yang mengulaskan senyum manisnya. Hendak memeluk namun langsung urung. Ada bocah perempuan kecil berusia tujuh tahun. Rambutnya kuncir kuda di sisi kanan dan kiri. Kulitnya putih bersih dan matanya bening. Ada wajah Dinda di sana. Sama-sama cantik dan menarik.Langit berjongkok masih dengan senyum yang belum luntur. Tangan kanannya terjulur mengusap kepala bocah perempuan itu."Aku Langit. Ka
Raja sampai Jakarta di tengah malam. Udaranya dingin maksimal karena ini sudah memasuki musim kemarau. Bersama Leora yang sedang memakan donatnya, Raja tunggu sopir pribadinya untuk segera meluncur setelah di beri tahu jika Raja telah berada di stasiun."Masih lama?" Adalah tanya dari Leora yang entah ke berapa kalinya. Raja hanya bisa memberinya gelengan sebagai jawaban paling ampuh. "Kamu sudah nggak nyaman banget, ya?" Raja elusi kepala Leora perlahan dan sedikit memberinya pijatan. "Kalau memang mual atau merasakan apa pun, bilang ya."Kalau tidak khawatir, bukan Laraja Putra Anggoro namanya. Lelaki yang berstatus sebagai suaminya ini selalu merespons segala sesuatunya tentang Leora secara berlebihan. Dan Leora hanya bisa memahami saja. "Aku pasti langsung bilang." Menelan donatnya cepat-cepat. "Kalau ayam goreng dengan kentang selalu enak. Di tambah dengan jasmine tea."Leora praktikkan caranya dalam meneguk teh yang lezat itu bagaimana."Oh, ini maksudnya mau minta sesuatu gi
Ratu akan menikah dengan Dewa. Itu yang membuat kepulangan Raja dan Leora ke Jakarta hari itu penuh dengan keterkejutan. Raja pikir kepulangannya akan disambut omelan oleh Papinya yang telah membahas perihal Era. Tapi ternyata ada masalah lain di mana ada Ratu dan Dewa yang duduk di kursi ruang tamu dengan wajah penuh binar. Dalam benak Raja merasa amat bersyukur karena Ratu mau menerima Dewa dan membuka lembaran baru. "Ini serius?" tanya Raja dengan kedua mata yang berkedip lucu. Menatap secara bergantian Ratu dan Dewa yang duduk bersisian di hadapan Raja. Bolak balik Raja pandangi kedua sejoli itu. Menelan ludahnya getir, Raja tidak akan menyangka jika prosesnya akan secepat ini. Raja tidak pernah memikirkan hal ini akan datang secepat laju meteor yang jatuh ke bumi."Iya, serius," jawab Dewa dengan mantap. Wajahnya yang semringah tidak lagi di tutup-tutupi pun dengan Ratu. Pipinya merah merona yang seumur-umur baru Raja lihat. "Kapan?" Raja masih ingin tahu lebih jelas. Tidak ped
Hidup itu lucu bukan?Mulai dari loncatan waktu yang tidak menentu, tahu-tahu sudah ada di sini, di sana dan melakukan aktivitas yang tidak disangka-sangka. Inginnya merenung dan bertanya apakah ini benar dan nyata? Sayangnya waktu terus menggerus. Hari demi hari berganti dan bulan berganti tahun. Maka pertanyaan semacam itu menguar tanpa disadari.Raja sedang duduk santai ditemani secangkir kopi. Sorenya tidak ada yang sama, seperti hari-hari biasa yang telah lewat. Raja menikmati seruputan kopi hitamnya buatan Leora dan koran pagi hari yang baru sempat di bacanya."Tumben pulang cepat?" tanya Leora yang datang membawa camilan kesukaan Raja, cookies. "Nggak ada meeting?""Ada tapi pagi. Siang cuma ketemu klien bentar. Kamu juga tumben pulang cepat dari kafe?" Raja mencomot cookiesnya dan rasanya selalu enak. "Buatan kamu tiada duanya."Leora tersenyum. Sudah sering Leora buatkan camilan untuk Raja dan pujian yang keluar dari mulut Raja tetap membuat debaran di dada Leora bertalu. Ane
"Menurut kamu Tuhan itu baik nggak?" tanya Ratu pada Dewa yang bersiap untuk terlelap. "Kadang aku pengen marah sama Tuhan," sambung Ratu tanpa berkedip menatap ke depan.Malam sudah larut. Di usir dari apartemen Langit, Ratu dan Dewa nggak gagal pesta. Mereka minum wine sendiri di rumahnya dengan alunan musik lembut dan dansa ala kadarnya. Mereka tertawa bersama dan sesekali terbahak-bahak. Sekarang waktunya bagi mereka berbagi kisah untuk hari ini. Padahal mereka satu kantor, cuma beda ruangan. Tapi beban hari ini tetap jadi topik saat mau tidur."Bagiku Tuhan itu baik. Kenapa?" Dewa pandangi wajah istrinya yang ayu natural tanpa polesan make up. Memang dasarnya Ratu ini cantik dan anggun. Bermake up atau tidak, dasarnya ayu tetaplah ayu. "Kamu pasti punya alasan kenapa marah sama Tuhan."Ratu menarik napasnya dalam-dalam. Mengembuskan perlahan dan tersenyum kecil."Aku pernah punya rencana. Konyolnya aku selalu yakin kalau setiap rencana yang aku susun bakal berhasil. Aku selalu pe
Kalau wanita bisa patah hati, pria juga bisa bahkan bisa lebih hancur berkeping-keping lebih daripada wanita. Cinta pria itu nyata tulusnya walaupun banyak mulut-mulut bajingan di luar sana yang jual omongan. Bukan berarti semua pria berengsek dan bernilai sama. Ada istilah soal high value women maka pria juga punya harga yang sama untuk dirinya sendiri. Nggak cuma wanita doang yang punya nilai. Sayangnya ketutup sama para bajingan yang demen nyakitin wanita. Langit cuma tersenyum kecil mendengar curahan hatinya sang asisten. Nggak aneh kok kalau Yudha senang ngomel sana sini soal asmaranya. Padahal Langit juga butuh di say hallo untuk hari-harinya. Tapi buat apa, sih? Langit bukan remaja yang baru jatuh cinta kok. Langit sadar soal nilai yang ada di dalam dirinya. Itu semua nggak lepas dari didikan kedua orang tuanya."Hidup kenapa harus ada plot twistnya, sih?" Yudha bertanya setelah mondar-mandir kayak setrikaan panas. "Gue mau heran tapi nggak siap juga dengar jawaban: hidup ema
Tolok ukur kebahagiaan seseorang itu gimana, sih?Pertanyaan semacam itu kerap mampir ke benak Dewa. Termasuk hari ini saat dirinya akan menjemput Ratu untuk makan siang bersama. Dewa juga manusia biasa. Punya rasa penasaran dan keingintahuannya sering membludak. Kayak misalnya: Ratu bahagia nggak, ya sama aku? Ratu udah ngerasa cukup belum, ya sama aku? Aku ini pilihan yang Ratu mau atau cuma sekadar alat menutupi rasa cintanya kepada Langit dan masih banyak lagi. Misal diluapkan dalam sebuah obrolan, Dewa yakin sehari semalam nggak bakal kelar. Lawan bicaranya butuh waktu berhari-hari buat memecahkan masalah ini dan mencari tahu jawabannya. Belum lagi meyakinkan Dewa kalau itu cuma rasa takutnya aja yang sedang menyelimuti."Jadi orang pemikir emang nggak enak banget!" gerutu Dewa kepada dirinya sendiri yang sedang menyetir di tengah kepadatan kendaraan lain siang itu. "Udah sejauh ini kok gue bisa mikir Ratu bahagia apa enggak? Kalau orangnya denger bisa melayang ini kepala gue."
Hidup Raja ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang istimewa atau yang wajib dikepoi sama semua orang. Walau sebagai seorang suami bersikap hangat, Raja tetaplah Raja yang dingin dengan orang luar. Nggak pandang bulu siapa orangnya. Yang nggak Raja kenal atau terlalu akrab, Raja nggak mau terlalu banyak terlibat. Say hai saja sudah cukup. Selebihnya jalani kehidupan masing-masing tanpa saling merepotkan."Mami sama papi jadi dateng, Ra?" Raja bertanya pada Leora yang sedang menyiapkan kopinya. "Pasti rempong, deh."Raja duduk di kursinya dengan kedua tangan membuka koran paginya. Bukan asal Raja ngomong. Semua orang yang bekerja di rumahnya juga tahu gimana mami dan papinya kalau datang ke rumahnya. "Namanya juga orang tua ke anak, wajar," jawab Leora sambil meletakkan kopi dihadapan Raja. "Kamu kenapa sensi banget tiap mami sama papi ke sini? Nggak seneng orang tua kamu datang berkunjung? Kenapa nggak kamu aja yang pulang ke rumah mami papi?"Nah, salah satu keribetan yang Raja miliki