Langit sadar, yang paling mengerti tentang diri kita adalah diri sendiri. Namun begitu Langit juga tahu ada Dinda yang selalu memahami dirinya tanpa diminta dan diberi penjelasan secara gamblang. Dinda lebih dewasa dari yang Langit kira. Selain statusnya yang janda, Dinda sudah ditimpa banyak masalah dalam hidupnya. Jadi wajar kalau wanita satu anak itu telah mengambik banyak pelajaran dari perjalanan di hidupnya."Ngapain?" tanya Dinda saat melihat Langit berdiri di depan pintu masuk apartemennya. "Kamu mau bikin suasana makin kacau?"Hari masih pagi. Mentari belum sepenuhnya menyinari bumi. Udara pagi hari di Malang segar dan sejuk. Yang bisa Langit lakukan hanyalah menunduk dan menggelengkan kepalanya atas tanya yang Dinda ajukan. Baru setelah beberapa menit dan menarik napasnya dalam-dalam, Langit memberanikan diri menautkan matanya pada Dinda."Aku udah biasa," kata Langit yang dibalas kerutan dahi oleh Dinda. "Tapi kali ini aku menolak menerimanya."Dinda makin nggak ngerti ke m
Kalau di kasih pilihan, semua orang di muka bumi ini maunya punya kisah yang bagus. Nggak ada satu pun di antara mereka yang mau kisahnya berakhir tragis. Jangankan tragis, putus dan berpisah dari orang yang selalu ada bareng kita di setiap harinya aja dunia udah runtuh. Apalagi dipisahkan dengan maut. Jadi kalau ada pilihan bagus buat berakhir indah maka jawabannya adalah ya.Tapi yang namanya takdir siapa yang tahu, sih? Jalannya aja udah nggak ketebak. Itu rahasia Tuhan dan selalu jadi misteri. Manusia itu cuma bidak-bidak dalam permainan catur. Dari awal bermain sampai akhirnya di mana Tuhan yang jadi penentunya. Jadi jangan terlalu sombong ketika mendapatkan sesuatu yang lebih."Kok ada, sih orang kayak gitu?" tanya Ratu kepada Ratu yang baru selesai bercerita. "Padahal mbak udah sebaik ini dan ngasih banyak fasilitas buat dia. Tapi kenapa balesannya bikin geleng-geleng kepala, sih?"Leora nggak mau ambil pusing soal karyawan yang membawa kabur uangnya. Leora cuma kecewa kenapa n
Langit tiba di Jakarta. Membawa Dinda dan anaknya. Meski Dinda terlihat ragu dan takut dalam langkahnya meninggalkan pelataran bandara, tapi Langit meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dinda percaya Langit, sepenuhnya tanpa rasa ragu.Yang jadi masalah adalah diri Dinda sendiri. Apakah Dinda orang yang tepat untuk Langit? Apakah semesta mau menerima hubungan mereka sedangkan Dinda banyak luka di masa lalu. Apakah mereka pantas untuk bersama? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Dinda dan belum ditemukan jawaban yang tepat."Kalau kamu ragu sama diri kamu sendiri, seenggaknya kamu lihat aku, Din." Langit genggam tangan Dinda saat masuk ke dalam mobil. "Ada aku yang mau sama kamu dan cukup kuatkan aku kalau kamu bakal selalu ada di samping aku. Kalau kamu ragu tapi pergi yang kesusahan itu aku, Din. Jadi, bisa, 'kan jangan ragukan perasaanku buat kamu?"Setulus itu Langit dalam mencintai Dinda dan nggak ada yang bisa Langit lakukan kalau Dinda nggak ada di sampingnya.
Pada sebuah kisah, jangan berharap terlalu banyak. Sejatinya, menempatkan suatu harapan selain pada Tuhan bukan tidak mungkin berujung kekecewaan.Raja tidak menyukai gagasan pernikahan—pada awalnya. Baginya, cukup melihat kemesraan papi maminya di umurnya yang matang dan masa tua orangtuanya terjamin bahagia. Tapi sesaat ijab kabul dengan rentetan nama yang lancar keluar dari mulutnya mendadak merubah segala pandangannya. Bahwasannya kita manusia makhluk sosial tidak bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain. Pun sama halnya dengan menjalin suatu hubungan di mana di landaskan pada pasangan yang satu sama lain saling terikat.Sebelum ini dan bahkan setelah ini, Raja akan tetap menjadi sosok gelap tak tersentuh. Tidak untuk istri atau pun keluarga barunya. Hanya kepada keluarga aslinya saja sikap hangat itu terlihat. Selebihnya, tertinggal kekejaman yang akan Raja ciptakan.Kenapa?Sebelum sorot kecewa terpancar. Sebelum luka tertabur. Sebelum kristal bening meleleh. Gema peringata
Simpan maafmu agar kesalahanmu tidak terlihat. Kata-kata itu Leora camkan untuk Raja. Alih-alih harus banyak omong, ucapan tajamnya telah mewakili.Leora tidak banyak berkutik. Ia hanya mengikuti keputusan yang di buat papinya. Bukan bermaksud durhaka. Pikirnya, sebagai seorang sulung, Leora hanya ingin menunjukkan sikap baik sebagai contoh adik-adiknya. Meski faktanya tidak demikian.Sejak kecil, Leora selalu mendapatkan apa yang dirinya mau. Bukan tidak mungkin kesempatan berleha-leha bisa dirinya rasakan. Sayangnya, kekeraskepalaan yang maminya turunkan menepiskan segala pemikiran untuk bersantai.Sejauh ini, Leora selalu berusaha mandiri. Tanpa melibatkan nama besar papinya atau keluarga besar Yudantha yang menaungi.Pernah mendengar jargon the power of orang dalam—itu sangat Leora hindari eksistensinya. Selama bersekolah hingga mengenyam Pendidikan tingkat tinggi pun namanya selalu ia sembunyikan. Syukur-syukur papinya tidak marah. Pengaruh maminya sangat besar.Pastinya banyak y
Karena sudah di wangsit untuk Leora tidak memasak maupun menyiapkan apapun yang bersangkutan dengan Raja. Ingat seberapa keras kepalanya Leora? Semua itu tidak berlaku. Di hari pertama kehidupan rumah tangganya. Pagi-pagi sekali setelah selesai mengurus dirinya sendiri, Leora memasak. Bersahabat dengan dapur bukan hal sulit baginya. Hidup jauh dan mandiri dari kedua orangtuanya membuat Leora paham seluk beluk setiap kesibukan.Ada telur, alpokat dan roti yang bisa Leora olah menjadi Avocado egg toast. Ini menu mudah untuk mengganjal perutnya sebelum beraktivitas. Leora memotong alpokat menjadi empat bagian dan menaruh di atas roti seusai mengolesinya dengan margarin. Menyalakan kompor dan teplon untuk memanaskan. Sembari menunggu, secangkir kopi hitam pekat yang telah di raciknya ia legut. Merasai pahitnya menelusuri kerongkongannya sebelum sebuah heels mengusik rungunya.Perempuan berambut merah panjang sepinggang, bergaun ungu menyala tersenyum mengejek. Leora abai. Masakannya us
Here we go!Setelah berkutat dengan kisah Langit dan Ratu yang sesuai judul kita kupas perlahan. Hari baru kembali milik Leora dan Raja. Pagi itu ... pekerjaan Leora begitu-begitu saja. Tidak ada yang spesial kecuali statusnya yang sudah berubah; istri. Dari belum kawin menjadi sudah kawin. Tapi Leora lupa pada beberapa ingatan masa lalunya. Yang entahlah menurutnya tidak ingin dirinya angkat menjadi topik cerita. Begini saja sudah cukup membuatnya bahagia. Cukup dengan melihat ramainya kedai kopi miliknya. Hilir mudik pengunjung di siang ini terbilang stabil tapi masih mampu menghiburnya.Ia sesap kopi Arabica kesukaannya dengan sepiring roti goreng yang menemani. Jari lentiknya selaras dengan ketikan di atas keyboard laptopnya. Matanya bergerak awas ketika lonceng bel di pintunya berbunyi.Pasangan muda mudi—mahasiswa mungkin—terlihat bergandengan tangan. Memilih tempat duduk yang memojok dekat jendela—pasti untuk menambah kesan romantis dengan latar mobil dan orang-orang yang ber
Semalam itu … bencana.Begitu Raja menanyai apakah Leora menginginkan dirinya dan ingin di puaskan, yang selanjutnya terjadi adalah teriakan histeris. Leora takut maksimal melihat Raja menurunkan celana tidurnya. Pun begitu lelaki itu sudah berbaring nyaman di samping dirinya yang tubunya kaku mendadak.Hampir saja jika tidak segera tersadar, sankis manis Leora menjadi sasaran. Yang sampai pagi ini masih membelenggu pikirannya; punya kamu kelihatannya kecil tapi nggak tahu kalau saya bongkar.Astagfirullah Akhi!Leora mengurut dadanya berkali-kali. Ia takut sekali melangkah keluar kamar padahal cacingnya berdemo. Di luar, dentingan sendok garpu beradu. Suara percakapan juga terdengar. Sesekali tawa perempuan bawaan Raja amat merdu di dengar. Entah apa yang mereka bicarakan sampai humor sepagi ini tergerus.Sedang dirinya?Status istri sah layak di pertanyakan jika begini. Tubuhnya sudah wangi, rambut tertata rapi, pakaian mewah mentereng. Tapi ketakutan masih saja melingkupi. Tapi bu
Langit tiba di Jakarta. Membawa Dinda dan anaknya. Meski Dinda terlihat ragu dan takut dalam langkahnya meninggalkan pelataran bandara, tapi Langit meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dinda percaya Langit, sepenuhnya tanpa rasa ragu.Yang jadi masalah adalah diri Dinda sendiri. Apakah Dinda orang yang tepat untuk Langit? Apakah semesta mau menerima hubungan mereka sedangkan Dinda banyak luka di masa lalu. Apakah mereka pantas untuk bersama? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Dinda dan belum ditemukan jawaban yang tepat."Kalau kamu ragu sama diri kamu sendiri, seenggaknya kamu lihat aku, Din." Langit genggam tangan Dinda saat masuk ke dalam mobil. "Ada aku yang mau sama kamu dan cukup kuatkan aku kalau kamu bakal selalu ada di samping aku. Kalau kamu ragu tapi pergi yang kesusahan itu aku, Din. Jadi, bisa, 'kan jangan ragukan perasaanku buat kamu?"Setulus itu Langit dalam mencintai Dinda dan nggak ada yang bisa Langit lakukan kalau Dinda nggak ada di sampingnya.
Kalau di kasih pilihan, semua orang di muka bumi ini maunya punya kisah yang bagus. Nggak ada satu pun di antara mereka yang mau kisahnya berakhir tragis. Jangankan tragis, putus dan berpisah dari orang yang selalu ada bareng kita di setiap harinya aja dunia udah runtuh. Apalagi dipisahkan dengan maut. Jadi kalau ada pilihan bagus buat berakhir indah maka jawabannya adalah ya.Tapi yang namanya takdir siapa yang tahu, sih? Jalannya aja udah nggak ketebak. Itu rahasia Tuhan dan selalu jadi misteri. Manusia itu cuma bidak-bidak dalam permainan catur. Dari awal bermain sampai akhirnya di mana Tuhan yang jadi penentunya. Jadi jangan terlalu sombong ketika mendapatkan sesuatu yang lebih."Kok ada, sih orang kayak gitu?" tanya Ratu kepada Ratu yang baru selesai bercerita. "Padahal mbak udah sebaik ini dan ngasih banyak fasilitas buat dia. Tapi kenapa balesannya bikin geleng-geleng kepala, sih?"Leora nggak mau ambil pusing soal karyawan yang membawa kabur uangnya. Leora cuma kecewa kenapa n
Langit sadar, yang paling mengerti tentang diri kita adalah diri sendiri. Namun begitu Langit juga tahu ada Dinda yang selalu memahami dirinya tanpa diminta dan diberi penjelasan secara gamblang. Dinda lebih dewasa dari yang Langit kira. Selain statusnya yang janda, Dinda sudah ditimpa banyak masalah dalam hidupnya. Jadi wajar kalau wanita satu anak itu telah mengambik banyak pelajaran dari perjalanan di hidupnya."Ngapain?" tanya Dinda saat melihat Langit berdiri di depan pintu masuk apartemennya. "Kamu mau bikin suasana makin kacau?"Hari masih pagi. Mentari belum sepenuhnya menyinari bumi. Udara pagi hari di Malang segar dan sejuk. Yang bisa Langit lakukan hanyalah menunduk dan menggelengkan kepalanya atas tanya yang Dinda ajukan. Baru setelah beberapa menit dan menarik napasnya dalam-dalam, Langit memberanikan diri menautkan matanya pada Dinda."Aku udah biasa," kata Langit yang dibalas kerutan dahi oleh Dinda. "Tapi kali ini aku menolak menerimanya."Dinda makin nggak ngerti ke m
"Sebenarnya aku punya banyak ketakutan," aku Leora malam itu pada Raja yang sedang membaca beberapa berkas kantor. Helaan napas Leora yang berat dan diembuskan dengan kasar membuat Raja paham jika istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ada yang Leora rasakan dan hendak dibagi pada Raja. Maka menutup berkas dan sepenuhnya memfokuskan diri pada Leora segera Raja lakukan."Tentang apa?" balas Raja bertanya. Raja larikan jarinya ke kepala Leora dan mengusap rambutnya yang halus. "Kamu bisa memulainya dari hal yang paling ringan sampai nanti menemukan jawaban ketakutan apa yang membuatmu gelisah."Leora menoleh dengan senyum. Wajahnya ayu nan teduh. Sehingga siapa pun yang memandangnya akan suka dan terbuai. Raja tatapi dalam-dalam netra gelap Leora yang cerah."Banyak. Terlalu banyak sampai aku nggak bisa ngungkapin perasaan apa yang aku rasain. Aneh, 'kan istrimu ini?" kekeh Leora setelah menilai dirinya sendiri."Anggap aja itu kelebihanmu. Kalau kamu nggak unik, kita nggak ada terjebak
Dalam hidup apa benar-benar ada yang namanya akhir bahagia?Kalau pertanyaan itu ditujukan pada Langit, maka mulutnya akan terkunci rapat. Langit aja belum sepenuhnya mengerti tentang arti hidup kok malah ditanya soal kebahagiaan. Langit walaupun umurnya sudah terbilang matang buat nikah, ternyata nikah juga nggak segampang balikin tangan atau kayak yang orang lain lakukan. Mereka menikah setelah ketemu dan menjalani hubungan dengan orang yang menurutnya tepat. Lah Langit? Mubeng dulu kayak bianglala."Jadi kapan mau bawa Dinda ketemu mami sama papi, Lang?" Radit Anggoro semakin berumur semakin berkharisma. Aura kewibawaan bapak tiga anak itu terlihat dengan jelas. Langit yang ditanya kayak gitu cuma bisa nelen nasi dan ayamnya bulat-bulat. Untung nggak kesedak."Kalau udah di rasa siap, pi," jawaban Langit bukan jawaban tegas yang mau di dengar Radit. "Papi sendiri belum ngasih restu," lanjutannya bikin Radit diam. Langit ada benarnya juga."Kamu udah izin waktu itu. Papi izinin."
Hidup Raja ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang istimewa atau yang wajib dikepoi sama semua orang. Walau sebagai seorang suami bersikap hangat, Raja tetaplah Raja yang dingin dengan orang luar. Nggak pandang bulu siapa orangnya. Yang nggak Raja kenal atau terlalu akrab, Raja nggak mau terlalu banyak terlibat. Say hai saja sudah cukup. Selebihnya jalani kehidupan masing-masing tanpa saling merepotkan."Mami sama papi jadi dateng, Ra?" Raja bertanya pada Leora yang sedang menyiapkan kopinya. "Pasti rempong, deh."Raja duduk di kursinya dengan kedua tangan membuka koran paginya. Bukan asal Raja ngomong. Semua orang yang bekerja di rumahnya juga tahu gimana mami dan papinya kalau datang ke rumahnya. "Namanya juga orang tua ke anak, wajar," jawab Leora sambil meletakkan kopi dihadapan Raja. "Kamu kenapa sensi banget tiap mami sama papi ke sini? Nggak seneng orang tua kamu datang berkunjung? Kenapa nggak kamu aja yang pulang ke rumah mami papi?"Nah, salah satu keribetan yang Raja miliki
Tolok ukur kebahagiaan seseorang itu gimana, sih?Pertanyaan semacam itu kerap mampir ke benak Dewa. Termasuk hari ini saat dirinya akan menjemput Ratu untuk makan siang bersama. Dewa juga manusia biasa. Punya rasa penasaran dan keingintahuannya sering membludak. Kayak misalnya: Ratu bahagia nggak, ya sama aku? Ratu udah ngerasa cukup belum, ya sama aku? Aku ini pilihan yang Ratu mau atau cuma sekadar alat menutupi rasa cintanya kepada Langit dan masih banyak lagi. Misal diluapkan dalam sebuah obrolan, Dewa yakin sehari semalam nggak bakal kelar. Lawan bicaranya butuh waktu berhari-hari buat memecahkan masalah ini dan mencari tahu jawabannya. Belum lagi meyakinkan Dewa kalau itu cuma rasa takutnya aja yang sedang menyelimuti."Jadi orang pemikir emang nggak enak banget!" gerutu Dewa kepada dirinya sendiri yang sedang menyetir di tengah kepadatan kendaraan lain siang itu. "Udah sejauh ini kok gue bisa mikir Ratu bahagia apa enggak? Kalau orangnya denger bisa melayang ini kepala gue."
Kalau wanita bisa patah hati, pria juga bisa bahkan bisa lebih hancur berkeping-keping lebih daripada wanita. Cinta pria itu nyata tulusnya walaupun banyak mulut-mulut bajingan di luar sana yang jual omongan. Bukan berarti semua pria berengsek dan bernilai sama. Ada istilah soal high value women maka pria juga punya harga yang sama untuk dirinya sendiri. Nggak cuma wanita doang yang punya nilai. Sayangnya ketutup sama para bajingan yang demen nyakitin wanita. Langit cuma tersenyum kecil mendengar curahan hatinya sang asisten. Nggak aneh kok kalau Yudha senang ngomel sana sini soal asmaranya. Padahal Langit juga butuh di say hallo untuk hari-harinya. Tapi buat apa, sih? Langit bukan remaja yang baru jatuh cinta kok. Langit sadar soal nilai yang ada di dalam dirinya. Itu semua nggak lepas dari didikan kedua orang tuanya."Hidup kenapa harus ada plot twistnya, sih?" Yudha bertanya setelah mondar-mandir kayak setrikaan panas. "Gue mau heran tapi nggak siap juga dengar jawaban: hidup ema
"Menurut kamu Tuhan itu baik nggak?" tanya Ratu pada Dewa yang bersiap untuk terlelap. "Kadang aku pengen marah sama Tuhan," sambung Ratu tanpa berkedip menatap ke depan.Malam sudah larut. Di usir dari apartemen Langit, Ratu dan Dewa nggak gagal pesta. Mereka minum wine sendiri di rumahnya dengan alunan musik lembut dan dansa ala kadarnya. Mereka tertawa bersama dan sesekali terbahak-bahak. Sekarang waktunya bagi mereka berbagi kisah untuk hari ini. Padahal mereka satu kantor, cuma beda ruangan. Tapi beban hari ini tetap jadi topik saat mau tidur."Bagiku Tuhan itu baik. Kenapa?" Dewa pandangi wajah istrinya yang ayu natural tanpa polesan make up. Memang dasarnya Ratu ini cantik dan anggun. Bermake up atau tidak, dasarnya ayu tetaplah ayu. "Kamu pasti punya alasan kenapa marah sama Tuhan."Ratu menarik napasnya dalam-dalam. Mengembuskan perlahan dan tersenyum kecil."Aku pernah punya rencana. Konyolnya aku selalu yakin kalau setiap rencana yang aku susun bakal berhasil. Aku selalu pe