Simpan maafmu agar kesalahanmu tidak terlihat. Kata-kata itu Leora camkan untuk Raja. Alih-alih harus banyak omong, ucapan tajamnya telah mewakili.
Leora tidak banyak berkutik. Ia hanya mengikuti keputusan yang di buat papinya. Bukan bermaksud durhaka. Pikirnya, sebagai seorang sulung, Leora hanya ingin menunjukkan sikap baik sebagai contoh adik-adiknya. Meski faktanya tidak demikian.Sejak kecil, Leora selalu mendapatkan apa yang dirinya mau. Bukan tidak mungkin kesempatan berleha-leha bisa dirinya rasakan. Sayangnya, kekeraskepalaan yang maminya turunkan menepiskan segala pemikiran untuk bersantai.Sejauh ini, Leora selalu berusaha mandiri. Tanpa melibatkan nama besar papinya atau keluarga besar Yudantha yang menaungi.Pernah mendengar jargon the power of orang dalam—itu sangat Leora hindari eksistensinya. Selama bersekolah hingga mengenyam Pendidikan tingkat tinggi pun namanya selalu ia sembunyikan. Syukur-syukur papinya tidak marah. Pengaruh maminya sangat besar.Pastinya banyak yang bertanya, kenapa akses sepenting itu bisa Leora singkirkan. Sederhana saja. Jika papinya sangat kekeuh untuk dirinya menyebutkan nama belakangnya maka maminya sebagai pawang untuk menghalau segala titah gila papinya. Nilailah bucin. Leora sampai seiri itu dengan kekuatan cinta kedua orang tuanya.Alasan klasik lainnya ialah; kebebasan tidak bisa di beli dengan materi sebesar apapun nominalnya.Kisah masa lalu menancap di relung Leora. Di mana maminya sangat kesakitan dalam bertahan. Hampir gila karena sebuah kenyataan. Dan sesayang itu seorang Barella Yudantha memertahankan kewarasan untuk Leora. Agar—katanya—putriku tidak boleh merasakan kerasnya hidup. Leora tergugu. Perkataan maminya tercurah arti: semakin dewasa seseorang, membuatnya belajar merelakan hal-hal yang sebatas angan.Dari situ Leora mengerti, berharap saja tidak cukup tanpa iringan doa dan usaha.Itu pun berlaku pada situasi yang saat ini dirinya alami. Lelaki itu Raja—Laraja Putra Anggoro. Perempuan mana pun akan bertekuk lutut di depannya. Leora tahu namun juga sesal bercokol di hatinya. Seandainya panjatan doa yang selalu dirinya rapalkan bisa sesuai dengan usahanya mungkin saja perjodohan ini takkan terjadi. Tapi, lagi-lagi ia berpikir, bukankah ini suatu jalan menuju kebaktian? Bukan bermaksud sok, Leora hanya tidak ingin menjadi durhaka. Toh selama ini, papinya selalu menuruti semua keinginannya.“Kamu nggak perlu masak, nggak perlu nyiapin apapun di rumah ini. Nggak perlu nyapa aku juga. Kita masing-masing ketika di dalam rumah.”Serumit itu cara pikir seorang Raja. Lelaki sempurna yang di detik pertama pertemuan menghipnotis Leora. Yang kejamnya dalam satu kali tarikan napas menancapkan belati tepat di dadanya. Darah Leora berdesir. Ubun-ubunnya panas.“Oke.” Yang sialnya hanya jawaban itu meluncur dari bibir mungilnya.Telaga bening matanya mengerjap begitu sepatu pantofel Raja beradu dengan lantai. Tubuh tegapnya menaiki tangga satu per satu.“Leora …” Sengaja menjeda. Raja belum membalikkan tubuhnya. “Maaf.”Oh, itu sesuatu sekali di pendengaran Leora. Lantas cepat tersadar, Leora membalas, “simpan saja maafmu. Setidaknya, ketika perasaan bersalah menaungi, jangan tunjukkan salahmu.”***Bukan tanpa alasan Leora membalas perkataan Raja sedikit sarkas.Raja yang meminta maaf bukan suatu keajaiban melainkan hal aneh di pendengaran Leora. Pun seseorang yang meminta maaf memiliki arti bahwa telah benar-benar melakukan kesalahan. Leora tidak suka pengucapan maaf apapun bentuknya.Entah Raja serius membuat kesalahan atau hanya perasaan tidak enaknya.Raja terkenal sangat dingin.Sudah sepatutnya menjadi dingin tanpa banyak kata. Itu membuang-buang tenaga. Lagi pula, Leora akan menjadi sangat asing di mata Raja demikian dengan dirinya yang tidak mengenal Raja—di dalam rumah mereka. Aneh, kan?Pernikahan mereka memang seaneh itu. Terjadi karena perjodohan, pemenuhan janji masa lalu dan entah alasan apa yang harus Leora jabarkan. Ingin menolak. Leora sangat ingin melakukan itu. Tapi lidahnya kelu padahal tidak bertulang. Setidaknya menggeleng ia jadikan sebuah alternatif. Sayangnya tidak bisa semudah bayangannya.Seakan sudah terdoktrin untuk dirinya patuh dan tunduk. Walaupun maminya berkata, “kalau nggak suka bisa di tolak. Mami sama papi nggak akan maksa.”Bodohnya Leora malah tersenyum sangat lebar dan menjawab, “Aku nggak kepaksa. Pasti berat buat mami pernah besarin aku sampai sekarang ini. Kalau nggak sekarang, aku bakal berbakti ke mami kapan lagi?”Kilasan-kilasan itu Leora rutukkan mala mini. Di dapur rumah Raja yang luas dan remang. Pintu yang menghubungkan langsung dengan taman belakang rumah terbuka lebar. Semilir angin memeluk tubuh Leora tanpa sadar netra seseorang yang memerhatikan.Raja telan ludahnya kelat. Rasanya sulit sekali. Tidak biasanya seperti ini. Tapi memandang Leora memercikkan sebuncah emosi yang terpendam, kesakitan yang nyalak bagaikan api di matanya. Raja … sepatutnya benci dengan perempuan ini. Menantang permintaan papinya bukan malah menerimanya.Karena siapa kekasihnya mati?Karena siapa dirinya sakit?Karena siapa dendam berkobar di hatinya?Leora …Satu nama itu Raja keramatkan dalam-dalam.Hukum menuliskan: darah di balas dengan darah. Nyawa di balas dengan nyawa.Seharusnya Raja mengambil nyawa Leora di hari itu juga. Bukan malah menikahinya.Lagi-lagi Raja menggeram marah. Kesakitannya memuncak. Tidak ada cara lain. Leora harus menderita di tangannya. Harus mati sama seperti kekasihnya.***Namanya … tidak perlu kita sebutkan.Hanya sebatas perempuan teman tidur yang akan Raja jadikan saluran sakitnya.Belum sepenuhnya memasuki area kamar tamu, tubuhnya limbung ke belakang. Tanpa aba-aba Raja mengikatnya. Menjambak rambutnya untuk mendongak. Dan begitu beringas Raja tunggangi. Mengabaikan teriakan ketidaksiapan si perempuan, pikir Raja itulah gunanya pelacur. Untuk ia siksa. Untuk ia lampiaskan seluruh napsu bejatnya.Siapa yang akan peduli jika seorang Raja sudah menggila. Bahkan ketika perempuan dalam kuasanya meninggal, tidak akan ada belas kasihan yang Raja tampakkan. Terpenting di sini, kesakitannya tersalurkan. Dendam kesumatnya memuncak.Seiring dengan tusukannya yang mematikan, jambakan pada rambut merah si perempuan menggila. Bukan desah kenikmatan yang keluar melainkan rintihan sakit. Tapi konsekuensi sebagai wanita panggilan benar-benar sedang berjalan.“Jalang tetaplah jalang.”Si rambut merah takkan tersinggung karena itu profesinya.“Pembunuh tetaplah pembunuh.”Agaknya racauan si klien membuat rambut merah menciutkan nyalinya. Kedua tangannya menggapai apa saja yang bisa dirinya raih. Mulutnya menggeram. Tenggorokannya sakit. Yang lebih parah lagi, entah sejak kapan ada kain yang menyumpal di mulutnya. Sehingga menyulitkan dirinya berteriak.Setidaknya, ia butuh menyalurkan teriakan guna meredam rasa sakit di intinya.“Ini belum seberapa di banding dengan sebuah kematian. Menyiksa nggak akan bikin kamu mati. Tapi lihat! Penderitaan yang akan saya ciptakan. Kamu harus mati! Kamu harus mati!”Tusukan Raja kian menggila. Satu kali tempur tidak akan membuatnya puas. Raja terus melakukannya tanpa merasakan lelah. Mengabaikan keringat yang mengucur deras, Raja terus menunggangi. Ketika si rambut merah lunglai, dengan bengis akan Raja paksa untuk berdiri. Tunggangannya mengerikan.Esok … ranjang rumah sakit menambah satu pasien lagi karena Raja.Karena sudah di wangsit untuk Leora tidak memasak maupun menyiapkan apapun yang bersangkutan dengan Raja. Ingat seberapa keras kepalanya Leora? Semua itu tidak berlaku. Di hari pertama kehidupan rumah tangganya. Pagi-pagi sekali setelah selesai mengurus dirinya sendiri, Leora memasak. Bersahabat dengan dapur bukan hal sulit baginya. Hidup jauh dan mandiri dari kedua orangtuanya membuat Leora paham seluk beluk setiap kesibukan.Ada telur, alpokat dan roti yang bisa Leora olah menjadi Avocado egg toast. Ini menu mudah untuk mengganjal perutnya sebelum beraktivitas. Leora memotong alpokat menjadi empat bagian dan menaruh di atas roti seusai mengolesinya dengan margarin. Menyalakan kompor dan teplon untuk memanaskan. Sembari menunggu, secangkir kopi hitam pekat yang telah di raciknya ia legut. Merasai pahitnya menelusuri kerongkongannya sebelum sebuah heels mengusik rungunya.Perempuan berambut merah panjang sepinggang, bergaun ungu menyala tersenyum mengejek. Leora abai. Masakannya us
Here we go!Setelah berkutat dengan kisah Langit dan Ratu yang sesuai judul kita kupas perlahan. Hari baru kembali milik Leora dan Raja. Pagi itu ... pekerjaan Leora begitu-begitu saja. Tidak ada yang spesial kecuali statusnya yang sudah berubah; istri. Dari belum kawin menjadi sudah kawin. Tapi Leora lupa pada beberapa ingatan masa lalunya. Yang entahlah menurutnya tidak ingin dirinya angkat menjadi topik cerita. Begini saja sudah cukup membuatnya bahagia. Cukup dengan melihat ramainya kedai kopi miliknya. Hilir mudik pengunjung di siang ini terbilang stabil tapi masih mampu menghiburnya.Ia sesap kopi Arabica kesukaannya dengan sepiring roti goreng yang menemani. Jari lentiknya selaras dengan ketikan di atas keyboard laptopnya. Matanya bergerak awas ketika lonceng bel di pintunya berbunyi.Pasangan muda mudi—mahasiswa mungkin—terlihat bergandengan tangan. Memilih tempat duduk yang memojok dekat jendela—pasti untuk menambah kesan romantis dengan latar mobil dan orang-orang yang ber
Semalam itu … bencana.Begitu Raja menanyai apakah Leora menginginkan dirinya dan ingin di puaskan, yang selanjutnya terjadi adalah teriakan histeris. Leora takut maksimal melihat Raja menurunkan celana tidurnya. Pun begitu lelaki itu sudah berbaring nyaman di samping dirinya yang tubunya kaku mendadak.Hampir saja jika tidak segera tersadar, sankis manis Leora menjadi sasaran. Yang sampai pagi ini masih membelenggu pikirannya; punya kamu kelihatannya kecil tapi nggak tahu kalau saya bongkar.Astagfirullah Akhi!Leora mengurut dadanya berkali-kali. Ia takut sekali melangkah keluar kamar padahal cacingnya berdemo. Di luar, dentingan sendok garpu beradu. Suara percakapan juga terdengar. Sesekali tawa perempuan bawaan Raja amat merdu di dengar. Entah apa yang mereka bicarakan sampai humor sepagi ini tergerus.Sedang dirinya?Status istri sah layak di pertanyakan jika begini. Tubuhnya sudah wangi, rambut tertata rapi, pakaian mewah mentereng. Tapi ketakutan masih saja melingkupi. Tapi bu
Mari sejenak beralih peran. Menyesuaikan judul yang telah tertera, ada beberapa tokoh yang harus kita ulas. Ada banyak kisah dari yang kelam sampai yang terang untuk kita simak. Hari ini, Ratu dan Langit akan memerankan panggungnya. Beralih dari Raja dan Leora yang sedang menikmati masa dingin pernikahannya.Pagi-pagi sekali di jam sarapan, Langit murka.Akan Langit kutuk setelah ini.Perbuatan Ratu sungguh keterlaluan. Di meja makan, saat Mami Papinya berkumpul bahkan membahas bisnis yang tengah di pasrahkan pada Langit, tangan Ratu menjadi pendukung mutlak. Terus melakukan hal terlarang yang membuat Langit mati-matian menahan. Hanya umpatan kecil yang Langit dengungkan. Ratu tidak tahu diri.Sialan-sialan-sialan.Cengkeraman pada sendoknya mengerat. Kepalanya kaku maksimal—sekadar mengangguk saja terasa sulit. Ratu benar-benar ulung dalam bermain dan mempermainkan dirinya. Menjadikan dirinya orang dungu bak kerbau di cucuk yang terus memuja dan mengagungkan. Tidak hanya sekali, ber
Pagi buta. Udara dingin berembus bersama angin yang tertiup. Tololnya, Bandung tidak bisa di samakan dengan Surabaya yang panas maksimal atau Jakarta yang polusi udara melepuhkan segala pernapasan. Sepadat apapun Bandung, kota lautan api itu masih terbilang bersih—itu mungkin alasan mami papinya menetap selama bertahun-tahun atau karena suasananya yang sama seperti Ungaran?Abaikan dulu menyoal nostalgia kisah cinta orangtuanya.Rungu Ratu terganggu dengan suara bel yang di pencet terus-menerus. Entah orang sopan mana yang bertamu di pukul enam pagi. Bahkan di saat semua pekerja di rumahnya belum datang. Sialan sekali.Dengan sentakan keras, meloloskan diri dari pelukan hangat Langit, tubuhnya bangkit. Memunguti semua pakaiannya yang bercecer dan bergegas turun. Menarik pintu hingga terbuka lebar. Bola matanya melebar. Sedetik kemudian emosinya membuncah. Perempuan sialan ini! Batinnya yang suci meraung.Pagi-pagi buta sudah di buat mengumpat.“Kakak?” panggilannya ceria tapi Ratu ba
Dalam hidup ini, yang paling Ratu benci adalah rapat.Mengikuti rapat dalam bentuk apapun jelas daftar yang harus Ratu coret. Di samping membosankan, penghitungan cepat pada bursa perusahaan bukan keahlian yang dirinya miliki. Otaknya lemah tidak seperti milik Raja—kembarannya—yang sangat jenius dan tindakannya cekatan. Sehingga bukan suatu hal mengherankan jika saudara beda lima menitnya itu di elu-elukan banyak perempuan.Tapi pagi ini akan Ratu kecualikan. Mendadak moodnya meningkat dengan sangat baik. Rapat membosankan yang Raja pimpin menjadi suatu hal yang dirinya tunggu-tunggu. Bagaimana tidak jika Langit ada di sana. Di sampingnya pula. Tolong di catat.Ratu akan gila sebentar lagi. Fokus mata dan rungunya ada di Raja yang tengah menerangkan berapa jumlah peningkatan sampai bulan ini untuk investasi yang tertanam. Dan pengumuman saham-saham perusahaan mana saja yang akan di incar usai ini.Kita lirik ke bawah, di mana tangan Ratu berada. Sangat tidak berakhlak membuat adik bu
Sekilas percakapannya seperti ini.“Gue bisa, ya, dandan sendiri!”“Saya sayang istri.”Leora mendengkus. Raja acuh.“Kanebo kering.”“Tapi suka, kan?”Lelaki itu punya segudang jawaban untuk membuat Leora skakmat.“Kamu mengerikan.”“Dalam hal?”“Bercinta.”“Oh, jadi itu yang bikin kamu deg-degan?” Raja manggut-manggut senang. Wajahnya sangat cerah di sore yang mataharinya condong ke barat. “Kamu tinggal minta, saya turuti.”Sangat tidak berattitude. Penata rambut yang sedang mengubek-ubek rambut Leora bahkan menahan tawa.“Aku penasaran.”“Apa?”Bukan Leora namanya jika mengalah dengan telak. Maka, memberi sinyal untuk para penata yang sedang merias hengkang. Berganti tubuhnya yang bergerak maju.“Kenapa kamu nggak pernah lepas baju.”Yang pada intinya, mereka saling melempar bom. Sampai pada acara yang akan di hadiri, raut wajah Raja masam maksimal. Berbanding terbalik dengan Leora yang semringah tiada tanding.Ah, secara mendadak saja ada satu ide yang melintas. Sangat tidak berak
Bisikan Raja memproteksi diri Leora. Dengan sigap, meloloskan diri dari dekapan yang sialannya nyaman, membuat benteng perbatasan dan berseru, “Ini batas negara kita. Jangan melewati batas!”Tentu jawaban Raja hanyalah dengusan. Tapi lebih dari itu semua ada segaris semili yang menempel di bibirnya. Leora takkan melihat itu padahal sangat langka. Bisa di bilang keajaiban dunia jika seorang Raja bisa membagi senyumnya ke orang lain.Fokus Leora benar-benar ada di bencana jilid II. Karena sangat takut dengan ancaman Raja: “Kamu nggak akan selamat besok.” Maka menjauh adalah caranya. Meski percuma. Setelahnya yang dilakukan Raja ialah, membuang batas dari bantal guling yang Leora ciptakan dan menyeret istri pembangkang ke dalam regupannya. Kedua kakinya melilit kaki Leora. Sudah di katakan percuma. Leora berontak pun tak ada hasilnya. Malah lebih parah ketika tangan Raja menepuki punggungnya. Yang terjadi selanjutnya lebih dari kiamat. Leora tertidur dengan nyenyak hingga pagi menjelang
Langit tiba di Jakarta. Membawa Dinda dan anaknya. Meski Dinda terlihat ragu dan takut dalam langkahnya meninggalkan pelataran bandara, tapi Langit meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dinda percaya Langit, sepenuhnya tanpa rasa ragu.Yang jadi masalah adalah diri Dinda sendiri. Apakah Dinda orang yang tepat untuk Langit? Apakah semesta mau menerima hubungan mereka sedangkan Dinda banyak luka di masa lalu. Apakah mereka pantas untuk bersama? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Dinda dan belum ditemukan jawaban yang tepat."Kalau kamu ragu sama diri kamu sendiri, seenggaknya kamu lihat aku, Din." Langit genggam tangan Dinda saat masuk ke dalam mobil. "Ada aku yang mau sama kamu dan cukup kuatkan aku kalau kamu bakal selalu ada di samping aku. Kalau kamu ragu tapi pergi yang kesusahan itu aku, Din. Jadi, bisa, 'kan jangan ragukan perasaanku buat kamu?"Setulus itu Langit dalam mencintai Dinda dan nggak ada yang bisa Langit lakukan kalau Dinda nggak ada di sampingnya.
Kalau di kasih pilihan, semua orang di muka bumi ini maunya punya kisah yang bagus. Nggak ada satu pun di antara mereka yang mau kisahnya berakhir tragis. Jangankan tragis, putus dan berpisah dari orang yang selalu ada bareng kita di setiap harinya aja dunia udah runtuh. Apalagi dipisahkan dengan maut. Jadi kalau ada pilihan bagus buat berakhir indah maka jawabannya adalah ya.Tapi yang namanya takdir siapa yang tahu, sih? Jalannya aja udah nggak ketebak. Itu rahasia Tuhan dan selalu jadi misteri. Manusia itu cuma bidak-bidak dalam permainan catur. Dari awal bermain sampai akhirnya di mana Tuhan yang jadi penentunya. Jadi jangan terlalu sombong ketika mendapatkan sesuatu yang lebih."Kok ada, sih orang kayak gitu?" tanya Ratu kepada Ratu yang baru selesai bercerita. "Padahal mbak udah sebaik ini dan ngasih banyak fasilitas buat dia. Tapi kenapa balesannya bikin geleng-geleng kepala, sih?"Leora nggak mau ambil pusing soal karyawan yang membawa kabur uangnya. Leora cuma kecewa kenapa n
Langit sadar, yang paling mengerti tentang diri kita adalah diri sendiri. Namun begitu Langit juga tahu ada Dinda yang selalu memahami dirinya tanpa diminta dan diberi penjelasan secara gamblang. Dinda lebih dewasa dari yang Langit kira. Selain statusnya yang janda, Dinda sudah ditimpa banyak masalah dalam hidupnya. Jadi wajar kalau wanita satu anak itu telah mengambik banyak pelajaran dari perjalanan di hidupnya."Ngapain?" tanya Dinda saat melihat Langit berdiri di depan pintu masuk apartemennya. "Kamu mau bikin suasana makin kacau?"Hari masih pagi. Mentari belum sepenuhnya menyinari bumi. Udara pagi hari di Malang segar dan sejuk. Yang bisa Langit lakukan hanyalah menunduk dan menggelengkan kepalanya atas tanya yang Dinda ajukan. Baru setelah beberapa menit dan menarik napasnya dalam-dalam, Langit memberanikan diri menautkan matanya pada Dinda."Aku udah biasa," kata Langit yang dibalas kerutan dahi oleh Dinda. "Tapi kali ini aku menolak menerimanya."Dinda makin nggak ngerti ke m
"Sebenarnya aku punya banyak ketakutan," aku Leora malam itu pada Raja yang sedang membaca beberapa berkas kantor. Helaan napas Leora yang berat dan diembuskan dengan kasar membuat Raja paham jika istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ada yang Leora rasakan dan hendak dibagi pada Raja. Maka menutup berkas dan sepenuhnya memfokuskan diri pada Leora segera Raja lakukan."Tentang apa?" balas Raja bertanya. Raja larikan jarinya ke kepala Leora dan mengusap rambutnya yang halus. "Kamu bisa memulainya dari hal yang paling ringan sampai nanti menemukan jawaban ketakutan apa yang membuatmu gelisah."Leora menoleh dengan senyum. Wajahnya ayu nan teduh. Sehingga siapa pun yang memandangnya akan suka dan terbuai. Raja tatapi dalam-dalam netra gelap Leora yang cerah."Banyak. Terlalu banyak sampai aku nggak bisa ngungkapin perasaan apa yang aku rasain. Aneh, 'kan istrimu ini?" kekeh Leora setelah menilai dirinya sendiri."Anggap aja itu kelebihanmu. Kalau kamu nggak unik, kita nggak ada terjebak
Dalam hidup apa benar-benar ada yang namanya akhir bahagia?Kalau pertanyaan itu ditujukan pada Langit, maka mulutnya akan terkunci rapat. Langit aja belum sepenuhnya mengerti tentang arti hidup kok malah ditanya soal kebahagiaan. Langit walaupun umurnya sudah terbilang matang buat nikah, ternyata nikah juga nggak segampang balikin tangan atau kayak yang orang lain lakukan. Mereka menikah setelah ketemu dan menjalani hubungan dengan orang yang menurutnya tepat. Lah Langit? Mubeng dulu kayak bianglala."Jadi kapan mau bawa Dinda ketemu mami sama papi, Lang?" Radit Anggoro semakin berumur semakin berkharisma. Aura kewibawaan bapak tiga anak itu terlihat dengan jelas. Langit yang ditanya kayak gitu cuma bisa nelen nasi dan ayamnya bulat-bulat. Untung nggak kesedak."Kalau udah di rasa siap, pi," jawaban Langit bukan jawaban tegas yang mau di dengar Radit. "Papi sendiri belum ngasih restu," lanjutannya bikin Radit diam. Langit ada benarnya juga."Kamu udah izin waktu itu. Papi izinin."
Hidup Raja ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang istimewa atau yang wajib dikepoi sama semua orang. Walau sebagai seorang suami bersikap hangat, Raja tetaplah Raja yang dingin dengan orang luar. Nggak pandang bulu siapa orangnya. Yang nggak Raja kenal atau terlalu akrab, Raja nggak mau terlalu banyak terlibat. Say hai saja sudah cukup. Selebihnya jalani kehidupan masing-masing tanpa saling merepotkan."Mami sama papi jadi dateng, Ra?" Raja bertanya pada Leora yang sedang menyiapkan kopinya. "Pasti rempong, deh."Raja duduk di kursinya dengan kedua tangan membuka koran paginya. Bukan asal Raja ngomong. Semua orang yang bekerja di rumahnya juga tahu gimana mami dan papinya kalau datang ke rumahnya. "Namanya juga orang tua ke anak, wajar," jawab Leora sambil meletakkan kopi dihadapan Raja. "Kamu kenapa sensi banget tiap mami sama papi ke sini? Nggak seneng orang tua kamu datang berkunjung? Kenapa nggak kamu aja yang pulang ke rumah mami papi?"Nah, salah satu keribetan yang Raja miliki
Tolok ukur kebahagiaan seseorang itu gimana, sih?Pertanyaan semacam itu kerap mampir ke benak Dewa. Termasuk hari ini saat dirinya akan menjemput Ratu untuk makan siang bersama. Dewa juga manusia biasa. Punya rasa penasaran dan keingintahuannya sering membludak. Kayak misalnya: Ratu bahagia nggak, ya sama aku? Ratu udah ngerasa cukup belum, ya sama aku? Aku ini pilihan yang Ratu mau atau cuma sekadar alat menutupi rasa cintanya kepada Langit dan masih banyak lagi. Misal diluapkan dalam sebuah obrolan, Dewa yakin sehari semalam nggak bakal kelar. Lawan bicaranya butuh waktu berhari-hari buat memecahkan masalah ini dan mencari tahu jawabannya. Belum lagi meyakinkan Dewa kalau itu cuma rasa takutnya aja yang sedang menyelimuti."Jadi orang pemikir emang nggak enak banget!" gerutu Dewa kepada dirinya sendiri yang sedang menyetir di tengah kepadatan kendaraan lain siang itu. "Udah sejauh ini kok gue bisa mikir Ratu bahagia apa enggak? Kalau orangnya denger bisa melayang ini kepala gue."
Kalau wanita bisa patah hati, pria juga bisa bahkan bisa lebih hancur berkeping-keping lebih daripada wanita. Cinta pria itu nyata tulusnya walaupun banyak mulut-mulut bajingan di luar sana yang jual omongan. Bukan berarti semua pria berengsek dan bernilai sama. Ada istilah soal high value women maka pria juga punya harga yang sama untuk dirinya sendiri. Nggak cuma wanita doang yang punya nilai. Sayangnya ketutup sama para bajingan yang demen nyakitin wanita. Langit cuma tersenyum kecil mendengar curahan hatinya sang asisten. Nggak aneh kok kalau Yudha senang ngomel sana sini soal asmaranya. Padahal Langit juga butuh di say hallo untuk hari-harinya. Tapi buat apa, sih? Langit bukan remaja yang baru jatuh cinta kok. Langit sadar soal nilai yang ada di dalam dirinya. Itu semua nggak lepas dari didikan kedua orang tuanya."Hidup kenapa harus ada plot twistnya, sih?" Yudha bertanya setelah mondar-mandir kayak setrikaan panas. "Gue mau heran tapi nggak siap juga dengar jawaban: hidup ema
"Menurut kamu Tuhan itu baik nggak?" tanya Ratu pada Dewa yang bersiap untuk terlelap. "Kadang aku pengen marah sama Tuhan," sambung Ratu tanpa berkedip menatap ke depan.Malam sudah larut. Di usir dari apartemen Langit, Ratu dan Dewa nggak gagal pesta. Mereka minum wine sendiri di rumahnya dengan alunan musik lembut dan dansa ala kadarnya. Mereka tertawa bersama dan sesekali terbahak-bahak. Sekarang waktunya bagi mereka berbagi kisah untuk hari ini. Padahal mereka satu kantor, cuma beda ruangan. Tapi beban hari ini tetap jadi topik saat mau tidur."Bagiku Tuhan itu baik. Kenapa?" Dewa pandangi wajah istrinya yang ayu natural tanpa polesan make up. Memang dasarnya Ratu ini cantik dan anggun. Bermake up atau tidak, dasarnya ayu tetaplah ayu. "Kamu pasti punya alasan kenapa marah sama Tuhan."Ratu menarik napasnya dalam-dalam. Mengembuskan perlahan dan tersenyum kecil."Aku pernah punya rencana. Konyolnya aku selalu yakin kalau setiap rencana yang aku susun bakal berhasil. Aku selalu pe