Bisikan Raja memproteksi diri Leora. Dengan sigap, meloloskan diri dari dekapan yang sialannya nyaman, membuat benteng perbatasan dan berseru, “Ini batas negara kita. Jangan melewati batas!”Tentu jawaban Raja hanyalah dengusan. Tapi lebih dari itu semua ada segaris semili yang menempel di bibirnya. Leora takkan melihat itu padahal sangat langka. Bisa di bilang keajaiban dunia jika seorang Raja bisa membagi senyumnya ke orang lain.Fokus Leora benar-benar ada di bencana jilid II. Karena sangat takut dengan ancaman Raja: “Kamu nggak akan selamat besok.” Maka menjauh adalah caranya. Meski percuma. Setelahnya yang dilakukan Raja ialah, membuang batas dari bantal guling yang Leora ciptakan dan menyeret istri pembangkang ke dalam regupannya. Kedua kakinya melilit kaki Leora. Sudah di katakan percuma. Leora berontak pun tak ada hasilnya. Malah lebih parah ketika tangan Raja menepuki punggungnya. Yang terjadi selanjutnya lebih dari kiamat. Leora tertidur dengan nyenyak hingga pagi menjelang
Ratu rindu dengan maminya. Malam ini pikirannya kacau dan wajah maminya melintas tanpa di minta. Ada cerita bahagia yang Ratu ingat. Saat dirinya dan Raja lahir. Saat papinya tersenyum dengan bahagia. Dan Ratu ikut menarik ke belakang bibirnya. Hati Ratu hangat. Ratu bahagia dan senang.Pukul dua dini hari—tepat—tidak lebih apalagi kurang, Raja dan Ratu terlahir. Yang bisa Radit bisikkan pada kedua bayinya adalah; welcome to world, kids. Setelahnya ia adzani keduanya secara bergantian dan meletakkan kembali ke dalam inkubator. Seusai di bersihkan dan di susui oleh ibunya, keduanya memilih merapatkan kembali matanya. Keduanya pun terlihat sangat kompak. Si kakak—Raja—meletakkan tangan di atas kepala si adik—Ratu—seolah memberi perlindungan agar si bayi perempuan mungil itu nyaman. Radit bangga bukan main menyaksikan keduanya terlelap. “Kalian kesayangan papi. Terima kasih sudah baik-baik saja.” Radit terkekeh. Bahasanya berbeda. Terdengar sangat kaku dan formal. “Kalian harus cepat ged
“Urus segera!” Suara di seberang sana mengerang frustrasi. Sesiang ini waktunya terbuang untuk mengurusi titah Raja. Tapi siapa pun takkan bisa membantah si otoriter ganteng bak tiang listrik ini. “Sesuai alamat. Eksekusi. Selesaikan. Dan lapor!” Astaga! Bisakah manusia satu ini sadar akan kadar ketampanannya? Tidakkah ia lihat mata-mata yang melintas mengagumi, berdecak, berseru girang tanpa malu? Yang sebal maksimal justru Leora. Kafenya mendadak ramai. Tempatnya sesak. Pembeli antre. Hanya untuk memandang Raja dari radius terdekat.“Mbak …” Leora menoleh. Di belakang meja kasir kedua matanya bekerja sangat capet dan fokus. Satu sisi memerhatikan gerak-gerik Raja, satu sisi melayani customer yang ingin membayar. Dan panggilan dari sampingnya membuatnya meringis kala bisikan terdengar. “Dia itu ganteng banget. Coba aku punya suami kayak dia.”Ringisan berderet memperlihatkan gigi rapi Leora. Aldila namanya. Perempuan berumur dua puluhan semester empat jurusan manajemen bisnis melam
Dulu itu … begini ceritanya.Raja, 15 tahun sudah menduduki bangku SMA kelas satu. Lewat prestasinya yang cemerlang, ia dengan mudah menembus sekolah mana pun—baik negeri mau pun swasta. Di samping itu, sandingan nama belakangnya ‘Anggoro’ benar-benar berpengaruh untuk sebagian sekolah yang mendapat kucuran dana dari papinya. Maka berbangga sedikit dengan kondisi keluarganya patut Raja acungi jempol. Namun lama-kelamaan Raja sadar bahwa bersikap seperti itu bertolak belakang dengan nasihat maminya. Yang katanya: “Mami nggak suka kalau anak-anak mami pamer atau sesumbar.”Sejak itu, Raja membaur dengan siapa pun. Tanpa memilih lingkungan. Yang ia tahu, dirinya harus mengenal dunia luar yang luas ini. Mengenyampingkan berbagai tantangan buruk yang menunggu. Menjadi siswa baru di sekolahnya yang cukup tenar, Raja bisa cepat akrab dengan kakak tingkat. Tidak hanya lelaki, perempuan juga tidak jarang menyapanya. Sekadar berbasa-basi yang berujung: “Raja, ke kantin bareng yuk.” Jawaban R
Setelahnya, tidak ada obrolan yang keduanya angkat ke permukaan. Hari-hari berjalan dengan normal. Meski belum ada kesiapan dari jawaban Leora perkara perpisahan, Raja tetap berpikir bahwa semuanya baik-baik saja. Satu bulan berlalu dan Leora tidak menyinggung apapun lagi. Waktu yang melaju amatlah cepat. Detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Bulan ke tahun.Selama itu, hubungan Raja dan Leora baik-baik saja. Perihal perpisahan tidak di angkat ke permukaan. Seakan menyerah pada usia, keduanya memilih berdamai. Meski belum ada perubahan signifikan, setidaknya, Raja berani mengutarakan niatnya. Serius dengan perbuatannya. Membuktikan dengan tingkah konyolnya yang menghibur hati Leora.Perlahan, kesepian yang sempat menyambangi relungnya dulu pudar. Tawa yang Raja tawarkan lebih dari obat. Sekedar menjadi candu yang Leora simpan rapat-rapat dalam hatinya. Masa lalu yang buruk, terukir hingga jejak kaki yang melangkah akan terus mengikuti. Tapi Raja
Untuk Leora dari Raja dan dari Raja untuk Leora. Kata-kata romantis yang tersusun menjadi sebuah kalimat saja tidaklah cukup. Sikap Leora masih seperti biasa. Menyiapkan sarapan lebih untuk dirinya dan tidak peduli apakah Raja akan memakannya. Setelah kejadian itu, Raja kembali menggila. Membawa perempuan lain ke rumahnya. Bercinta di mana pun tanpa peduli etika. Di ruang tamu, ruang tengah, sesekali di dapur. Leora jijik. Tapi tak banyak yang bisa dirinya lakukan. Sampai dua garis merah di benda berwarna biru membuatnya tergugu; tertawa sekaligus menangis. Bak menguak kisah yang tak ingin diungkapkan oleh tabir. Leora bukan apa-apa di mata Raja maka diam menjadi jalan pilihannya.“Kamu hadir di saat yang tidak tepat.”Inginnya Leora sesali. Tapi ibarat kata: nasi sudah menjadi bubur. Semuanya tidak bisa kembali utuh. Piring yang sudah pecah mustahil bisa merekat.“Kenapa?”Yang langsung Leora tinggalkan. Menjinjing tas tangannya lantas memasuki garasi menuju mobilnya.Sejatinya, L
Kecil dulu Raja pernah berkata begini ke papinya.“Aja mau Ora.”Yang di balas senyuman oleh Radit Anggoro. Kelam matanya menatapi sang putra pertama penuh saksama. Minat yang di minta putranya tidak main-main. Lantaran begitu dekat dengan sang anak, Radit tahu binar apa saja yang akan anaknya pancarkan. Ekspresi serta raut yang di tunjukkan putranya tentu Radit pelajari sejak dini. Dan saat ini, tatapan putranya mengarah pada obsesi objeknya.Leora Yudantha. Yang takkan Radit sebutkan umurnya tapi putranya memang sudah berengsek sejak bayi. Bukan bermaksud tidak sopan mengatai darah dagingnya demikian, tapi—yeah—apakah pantas bocah umur lima tahun menyatakan cinta pada balita tiga tahun?Itu hanya anaknya saja pelakunya. “Mau berjanji sama Papi?” Bukan persetujuan yang Radit ucapkan. Ingat ketika Radit sampaikan janjinya bahwa masa depan anak-anaknya harus di gapai lewat jaminannya tapi penuh dengan kesungguhan untuk menggapainya? Detik ini sedang Radit jalankan perannya.“Apa?”Te
Tubuh Leora terbaring nyaman. Dengan infus yang terpasang di tangan kanannya.Tapi kondisi yang di rasakan tidak demikian. Matanya menatap luas hamparan padang ilalang di depannya. Rambut panjangnya tergoyang semilir angin. Matahari senja mulai menampakkan lukisan orange di langit barat. Suara gemerisik daun yang bergesekan bagaikan melodi lagu di pergantian hari.Begitu ia hirup bau segar bunga lavender yang entah dari mana datangnya dan kedua tangannya yang sulit untuk di gerakkan sebuah suara membuatnya terpaku.“Mami … Kakak mau pulang.”“Adik juga.”Kelopak mata Leora mengerjap. Mencoba mencerna pada apa yang di dengarnya. “Mami … di sini dingin.”Belum juga Leora sadar apa yang sedang terjadi. Sampai benar-benar dirinya rasakan dengan gerakan kepala yang menoleh. Mendapati satu wajah bocah lelaki yang tadi bersuara dan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan kakak. Ukiran familiar nampak sempurna di wajah putihnya. Kedua bibirnya tertarik ke belakang mencetak dimple sebagai pe