Dulu itu … begini ceritanya.Raja, 15 tahun sudah menduduki bangku SMA kelas satu. Lewat prestasinya yang cemerlang, ia dengan mudah menembus sekolah mana pun—baik negeri mau pun swasta. Di samping itu, sandingan nama belakangnya ‘Anggoro’ benar-benar berpengaruh untuk sebagian sekolah yang mendapat kucuran dana dari papinya. Maka berbangga sedikit dengan kondisi keluarganya patut Raja acungi jempol. Namun lama-kelamaan Raja sadar bahwa bersikap seperti itu bertolak belakang dengan nasihat maminya. Yang katanya: “Mami nggak suka kalau anak-anak mami pamer atau sesumbar.”Sejak itu, Raja membaur dengan siapa pun. Tanpa memilih lingkungan. Yang ia tahu, dirinya harus mengenal dunia luar yang luas ini. Mengenyampingkan berbagai tantangan buruk yang menunggu. Menjadi siswa baru di sekolahnya yang cukup tenar, Raja bisa cepat akrab dengan kakak tingkat. Tidak hanya lelaki, perempuan juga tidak jarang menyapanya. Sekadar berbasa-basi yang berujung: “Raja, ke kantin bareng yuk.” Jawaban R
Setelahnya, tidak ada obrolan yang keduanya angkat ke permukaan. Hari-hari berjalan dengan normal. Meski belum ada kesiapan dari jawaban Leora perkara perpisahan, Raja tetap berpikir bahwa semuanya baik-baik saja. Satu bulan berlalu dan Leora tidak menyinggung apapun lagi. Waktu yang melaju amatlah cepat. Detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Bulan ke tahun.Selama itu, hubungan Raja dan Leora baik-baik saja. Perihal perpisahan tidak di angkat ke permukaan. Seakan menyerah pada usia, keduanya memilih berdamai. Meski belum ada perubahan signifikan, setidaknya, Raja berani mengutarakan niatnya. Serius dengan perbuatannya. Membuktikan dengan tingkah konyolnya yang menghibur hati Leora.Perlahan, kesepian yang sempat menyambangi relungnya dulu pudar. Tawa yang Raja tawarkan lebih dari obat. Sekedar menjadi candu yang Leora simpan rapat-rapat dalam hatinya. Masa lalu yang buruk, terukir hingga jejak kaki yang melangkah akan terus mengikuti. Tapi Raja
Untuk Leora dari Raja dan dari Raja untuk Leora. Kata-kata romantis yang tersusun menjadi sebuah kalimat saja tidaklah cukup. Sikap Leora masih seperti biasa. Menyiapkan sarapan lebih untuk dirinya dan tidak peduli apakah Raja akan memakannya. Setelah kejadian itu, Raja kembali menggila. Membawa perempuan lain ke rumahnya. Bercinta di mana pun tanpa peduli etika. Di ruang tamu, ruang tengah, sesekali di dapur. Leora jijik. Tapi tak banyak yang bisa dirinya lakukan. Sampai dua garis merah di benda berwarna biru membuatnya tergugu; tertawa sekaligus menangis. Bak menguak kisah yang tak ingin diungkapkan oleh tabir. Leora bukan apa-apa di mata Raja maka diam menjadi jalan pilihannya.“Kamu hadir di saat yang tidak tepat.”Inginnya Leora sesali. Tapi ibarat kata: nasi sudah menjadi bubur. Semuanya tidak bisa kembali utuh. Piring yang sudah pecah mustahil bisa merekat.“Kenapa?”Yang langsung Leora tinggalkan. Menjinjing tas tangannya lantas memasuki garasi menuju mobilnya.Sejatinya, L
Kecil dulu Raja pernah berkata begini ke papinya.“Aja mau Ora.”Yang di balas senyuman oleh Radit Anggoro. Kelam matanya menatapi sang putra pertama penuh saksama. Minat yang di minta putranya tidak main-main. Lantaran begitu dekat dengan sang anak, Radit tahu binar apa saja yang akan anaknya pancarkan. Ekspresi serta raut yang di tunjukkan putranya tentu Radit pelajari sejak dini. Dan saat ini, tatapan putranya mengarah pada obsesi objeknya.Leora Yudantha. Yang takkan Radit sebutkan umurnya tapi putranya memang sudah berengsek sejak bayi. Bukan bermaksud tidak sopan mengatai darah dagingnya demikian, tapi—yeah—apakah pantas bocah umur lima tahun menyatakan cinta pada balita tiga tahun?Itu hanya anaknya saja pelakunya. “Mau berjanji sama Papi?” Bukan persetujuan yang Radit ucapkan. Ingat ketika Radit sampaikan janjinya bahwa masa depan anak-anaknya harus di gapai lewat jaminannya tapi penuh dengan kesungguhan untuk menggapainya? Detik ini sedang Radit jalankan perannya.“Apa?”Te
Tubuh Leora terbaring nyaman. Dengan infus yang terpasang di tangan kanannya.Tapi kondisi yang di rasakan tidak demikian. Matanya menatap luas hamparan padang ilalang di depannya. Rambut panjangnya tergoyang semilir angin. Matahari senja mulai menampakkan lukisan orange di langit barat. Suara gemerisik daun yang bergesekan bagaikan melodi lagu di pergantian hari.Begitu ia hirup bau segar bunga lavender yang entah dari mana datangnya dan kedua tangannya yang sulit untuk di gerakkan sebuah suara membuatnya terpaku.“Mami … Kakak mau pulang.”“Adik juga.”Kelopak mata Leora mengerjap. Mencoba mencerna pada apa yang di dengarnya. “Mami … di sini dingin.”Belum juga Leora sadar apa yang sedang terjadi. Sampai benar-benar dirinya rasakan dengan gerakan kepala yang menoleh. Mendapati satu wajah bocah lelaki yang tadi bersuara dan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan kakak. Ukiran familiar nampak sempurna di wajah putihnya. Kedua bibirnya tertarik ke belakang mencetak dimple sebagai pe
Memulai. Dari situ ingin Raja ungkapkan makna bahagia yang sesungguhnya. Bahwa hatinya begitu terisi penuh oleh cinta. Bahwa jantungnya berdebar kencang tiap kali memandang wajah lelap di sampingnya. Bahwa inginnya terus bersama tanpa menepis jarak. Bahwa inginnya selalu mengukir kisah berdua untuk di kenang pada masa tuanya nanti. Bahwa harapan-harapan baru untuk memulai sedang di gaungkan dalam hatinya.Dan keinginan Leora pada pembicaraan: ‘Aku mau kamu’ di realisasikan lewat adegan suami istri pada umumnya. Entah perasaan siapa yang tumpang tindih, di bandingkan memikirkan itu, Raja lebih suka membayangkan tindakan Leora semalam.Yang begitu panas. Itu terekam jelas dalam ingatannya. Yang bergerak liar mengikuti irama pinggul Raja. Yang mendesahkan suaranya dengan sensual namun memekik penuh tahanan. Ini lingkup rumah sakit. Memang gila bisa melakukan hal senikmat itu di fasilitas umum.“Mikirin apa?” Pertanyaan Leora terdengar tidak selow di rungu Raja. “Mesum!” cibirnya.Yeah!
Malam itu Leora diam. Kesal maksimal dengan sikap Raja yang mengambil jalan tengah tanpa mau berunding dengannya. Tapi namanya dadakan, mau debat kusir di hadapan orangtua rasanya nggak etis sekali. Pikiran Raja hanya melintas bahwa; biarkan begini dulu. Sedang Leora tidak mau mengerti sama sekali.Yang telah Raja bujuk mati-matian, hasilnya tetap saja merajuk. Sudah Raja elusi kepalanya sesuai kebiasaan baru Leora sejak di rumah sakit, tidak juga ada perubahan. Yang perutnya telah Raja kecupi, tetap saja masam terpasang di wajah Leora. Lantas, Raja harus bagaimana?Bengek sekali kalau boleh jujur. Di diamkan istri sendiri nggak ada enak-enaknya sama sekali. Serba salah ini mematik perselisihan yang tiada akhir.“Kamu mau buah?” Tawarkan saja dulu. Hasilnya cukup di lihat nanti.“Nggak!” Nggak perlu lama-lama langsung di tolak. Raja lunglai di tempat.Meletakkan mangkok berisi potongan buah-buahan bersamaan dengan kepalanya di paha Leora.“Aku sedih.” Raja curahkan isi hatinya. “Ngga
“Mataku tertuju padamu. Hatiku untukmu. Jiwaku untukmu. Cintaku untukmu.” Yang Raja bacakan sebuah tulisan artikel ungkapan cinta untuk Leora dalam pangkuannya. Satu tangannya mengelusi kepala perempuan hamil itu sesuai keinginannya. Jujur saja, itu bukan dari dalam lubuk hatinya namun terasa pas didengar dan ditujukan untuk Leora.“Aku seperti di rumah di manapun kamu berada. Kamu adalah tempat amanku. Aku sangat terobsesi dengan dirimu. Impian terbesarku hanyalah menua bersamamu. Dan aku tidak menyangka kamu milikku selamanya.”Raja tutup ponselnya. Menyerapi susunan kalimat yang baru saja dirinya ungkapkan. Sekali pun sekadar contekan lewat media sosial, kata-kata itu menggambarkan jelas bagaimana perasaannya saat ini tertuju. Yang hanya fokus untuk menjaga dan menggapai Leora. Yang berdengung sumpah bahwa hanya Leora dan jabang bayinya yang akan Raja jaga hingga embusan napas terakhirnya. Yang telah Raja janjikan rasa aman dan nyaman untuk ke depannya.“Jangan berhenti!”Sejak ta