Kecil dulu Raja pernah berkata begini ke papinya.“Aja mau Ora.”Yang di balas senyuman oleh Radit Anggoro. Kelam matanya menatapi sang putra pertama penuh saksama. Minat yang di minta putranya tidak main-main. Lantaran begitu dekat dengan sang anak, Radit tahu binar apa saja yang akan anaknya pancarkan. Ekspresi serta raut yang di tunjukkan putranya tentu Radit pelajari sejak dini. Dan saat ini, tatapan putranya mengarah pada obsesi objeknya.Leora Yudantha. Yang takkan Radit sebutkan umurnya tapi putranya memang sudah berengsek sejak bayi. Bukan bermaksud tidak sopan mengatai darah dagingnya demikian, tapi—yeah—apakah pantas bocah umur lima tahun menyatakan cinta pada balita tiga tahun?Itu hanya anaknya saja pelakunya. “Mau berjanji sama Papi?” Bukan persetujuan yang Radit ucapkan. Ingat ketika Radit sampaikan janjinya bahwa masa depan anak-anaknya harus di gapai lewat jaminannya tapi penuh dengan kesungguhan untuk menggapainya? Detik ini sedang Radit jalankan perannya.“Apa?”Te
Tubuh Leora terbaring nyaman. Dengan infus yang terpasang di tangan kanannya.Tapi kondisi yang di rasakan tidak demikian. Matanya menatap luas hamparan padang ilalang di depannya. Rambut panjangnya tergoyang semilir angin. Matahari senja mulai menampakkan lukisan orange di langit barat. Suara gemerisik daun yang bergesekan bagaikan melodi lagu di pergantian hari.Begitu ia hirup bau segar bunga lavender yang entah dari mana datangnya dan kedua tangannya yang sulit untuk di gerakkan sebuah suara membuatnya terpaku.“Mami … Kakak mau pulang.”“Adik juga.”Kelopak mata Leora mengerjap. Mencoba mencerna pada apa yang di dengarnya. “Mami … di sini dingin.”Belum juga Leora sadar apa yang sedang terjadi. Sampai benar-benar dirinya rasakan dengan gerakan kepala yang menoleh. Mendapati satu wajah bocah lelaki yang tadi bersuara dan memanggil dirinya sendiri dengan sebutan kakak. Ukiran familiar nampak sempurna di wajah putihnya. Kedua bibirnya tertarik ke belakang mencetak dimple sebagai pe
Memulai. Dari situ ingin Raja ungkapkan makna bahagia yang sesungguhnya. Bahwa hatinya begitu terisi penuh oleh cinta. Bahwa jantungnya berdebar kencang tiap kali memandang wajah lelap di sampingnya. Bahwa inginnya terus bersama tanpa menepis jarak. Bahwa inginnya selalu mengukir kisah berdua untuk di kenang pada masa tuanya nanti. Bahwa harapan-harapan baru untuk memulai sedang di gaungkan dalam hatinya.Dan keinginan Leora pada pembicaraan: ‘Aku mau kamu’ di realisasikan lewat adegan suami istri pada umumnya. Entah perasaan siapa yang tumpang tindih, di bandingkan memikirkan itu, Raja lebih suka membayangkan tindakan Leora semalam.Yang begitu panas. Itu terekam jelas dalam ingatannya. Yang bergerak liar mengikuti irama pinggul Raja. Yang mendesahkan suaranya dengan sensual namun memekik penuh tahanan. Ini lingkup rumah sakit. Memang gila bisa melakukan hal senikmat itu di fasilitas umum.“Mikirin apa?” Pertanyaan Leora terdengar tidak selow di rungu Raja. “Mesum!” cibirnya.Yeah!
Malam itu Leora diam. Kesal maksimal dengan sikap Raja yang mengambil jalan tengah tanpa mau berunding dengannya. Tapi namanya dadakan, mau debat kusir di hadapan orangtua rasanya nggak etis sekali. Pikiran Raja hanya melintas bahwa; biarkan begini dulu. Sedang Leora tidak mau mengerti sama sekali.Yang telah Raja bujuk mati-matian, hasilnya tetap saja merajuk. Sudah Raja elusi kepalanya sesuai kebiasaan baru Leora sejak di rumah sakit, tidak juga ada perubahan. Yang perutnya telah Raja kecupi, tetap saja masam terpasang di wajah Leora. Lantas, Raja harus bagaimana?Bengek sekali kalau boleh jujur. Di diamkan istri sendiri nggak ada enak-enaknya sama sekali. Serba salah ini mematik perselisihan yang tiada akhir.“Kamu mau buah?” Tawarkan saja dulu. Hasilnya cukup di lihat nanti.“Nggak!” Nggak perlu lama-lama langsung di tolak. Raja lunglai di tempat.Meletakkan mangkok berisi potongan buah-buahan bersamaan dengan kepalanya di paha Leora.“Aku sedih.” Raja curahkan isi hatinya. “Ngga
“Mataku tertuju padamu. Hatiku untukmu. Jiwaku untukmu. Cintaku untukmu.” Yang Raja bacakan sebuah tulisan artikel ungkapan cinta untuk Leora dalam pangkuannya. Satu tangannya mengelusi kepala perempuan hamil itu sesuai keinginannya. Jujur saja, itu bukan dari dalam lubuk hatinya namun terasa pas didengar dan ditujukan untuk Leora.“Aku seperti di rumah di manapun kamu berada. Kamu adalah tempat amanku. Aku sangat terobsesi dengan dirimu. Impian terbesarku hanyalah menua bersamamu. Dan aku tidak menyangka kamu milikku selamanya.”Raja tutup ponselnya. Menyerapi susunan kalimat yang baru saja dirinya ungkapkan. Sekali pun sekadar contekan lewat media sosial, kata-kata itu menggambarkan jelas bagaimana perasaannya saat ini tertuju. Yang hanya fokus untuk menjaga dan menggapai Leora. Yang berdengung sumpah bahwa hanya Leora dan jabang bayinya yang akan Raja jaga hingga embusan napas terakhirnya. Yang telah Raja janjikan rasa aman dan nyaman untuk ke depannya.“Jangan berhenti!”Sejak ta
Raja tidak pernah menyangka. Melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kedua adiknya berperilaku. Inginnya mengatai kelakuan itu biadab karena memang benar adanya. Manusia mana yang melakukan hubungan inses padahal mereka berstatus satu darah, satu ibu, satu ayah bahkan satu persusuan. Belum lagi tentang rahim mereka berasal. Satu. Hana. Siji. One. Wahid.Yang ada dalam benak Raja saat ini hanyalah … apa seperti ini keluarga bahagia yang dibentuk oleh papinya? Yang sangat didukung oleh maminya? Kedua orangtuanya menciptakan anak-anaknya dengan kehidupan yang tidak dimiliki anak-anak lainnya. Tapi juga bobrok karena keintiman yang orangtuanya bentuk. Jika sudah begini siapa yang bisa Raja salahkan?Sejatinya, Radit dan Senja hanya berusaha memberikan keamanan bagi anak-anaknya. Memberikan kebebasan pada pilihan masing-masing. Yang sayang di salah gunakan. Pun dengan Raja yang tak sempurna sama sekali. Sudah rusak sejak remaja. Yang selalu Raja harapkan agar kedua adik-adiknya me
Pulang ke rumah dalam keadaan kacau, Raja hentikan mobilnya di garasi. Melihat rumahnya yang sudah gelap. Sebagian lampu telah Leora redupkan meski waktu baru menunjukkan pukul delapan malam. Raja yakin, istrinya itu mulai terserang sindrom mengantuk dan malas. Dari sumber yang Raja baca melalui internet, kondisi ibu hamil tidak bisa disamakan. Satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Kasus Leora akan Raja anggap unik. Di samping pengalaman pertama perempuan muda itu, ini juga menjadi tantangan terbesar dalam diri Raja. Perasaan was-was acap kali menghampirinya. Takut-takut jika ‘monster’ dalam dirinya muncul. Belum lagi suasana hatinya yang memburuk perihal masalah kedua adiknya. Menjadi pukulan terbesar bagi Raja. Memisahkan keduanya hanya dalam sementara waktu. Sedang rencana jangka panjangnya belum Raja persiapkan. Tidak biasanya sikapnya sangat lembek begini.Ratu … bukan orang yang bisa Raja abaikan begitu saja. Mereka kembar. Tali ikatan yang terjalin diantara dirinya dan Ratu
Akhir hari setelah usai seluruh pekerjaannya, Raja tahu bagaimana lelahnya. Untuk itu, Raja bersiap kembali ke rumahnya. Membagi cerita hari ini kepada Leora yang selalu menyiapkan telinga untuk mendengarkan keluhan-keluhannya. Pelukan Leora selalu menjadi bagian di sesi pembagian cerita. Yang mampu meringankan bebannya. Dan ini yang terpenting; Leora tak pernah membiarkan Raja sendirian—karena Leora menjadi tempatnya berbagi pun dengan jalan pulangnya.Ah, pasti kesalahan Raja di masa lalu sangat indah sehingga Tuhan mengirimkan Leora untuk melengkapi hari-harinya. Kehadiran Leora menjadi salah satu anugerah terlepas dari dosa masa lalunya. Itu murni balas dendam di mana amat Raja benci Leora yang saat itu merecoki kehidupan percintaannya.Jadi, sampai pada waktu yang telah tepat dengan perhitungan yang aman, Raja melakukan hal gila yang tak sepatutnya dilakukan. Namun rasa bencinya sungguh mandarah daging. Tentu tak bisa lagi Raja bedakan mana yang baik dan buruk. Tindakannya tidak