Pulang ke rumah dalam keadaan kacau, Raja hentikan mobilnya di garasi. Melihat rumahnya yang sudah gelap. Sebagian lampu telah Leora redupkan meski waktu baru menunjukkan pukul delapan malam. Raja yakin, istrinya itu mulai terserang sindrom mengantuk dan malas. Dari sumber yang Raja baca melalui internet, kondisi ibu hamil tidak bisa disamakan. Satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Kasus Leora akan Raja anggap unik. Di samping pengalaman pertama perempuan muda itu, ini juga menjadi tantangan terbesar dalam diri Raja. Perasaan was-was acap kali menghampirinya. Takut-takut jika ‘monster’ dalam dirinya muncul. Belum lagi suasana hatinya yang memburuk perihal masalah kedua adiknya. Menjadi pukulan terbesar bagi Raja. Memisahkan keduanya hanya dalam sementara waktu. Sedang rencana jangka panjangnya belum Raja persiapkan. Tidak biasanya sikapnya sangat lembek begini.Ratu … bukan orang yang bisa Raja abaikan begitu saja. Mereka kembar. Tali ikatan yang terjalin diantara dirinya dan Ratu
Akhir hari setelah usai seluruh pekerjaannya, Raja tahu bagaimana lelahnya. Untuk itu, Raja bersiap kembali ke rumahnya. Membagi cerita hari ini kepada Leora yang selalu menyiapkan telinga untuk mendengarkan keluhan-keluhannya. Pelukan Leora selalu menjadi bagian di sesi pembagian cerita. Yang mampu meringankan bebannya. Dan ini yang terpenting; Leora tak pernah membiarkan Raja sendirian—karena Leora menjadi tempatnya berbagi pun dengan jalan pulangnya.Ah, pasti kesalahan Raja di masa lalu sangat indah sehingga Tuhan mengirimkan Leora untuk melengkapi hari-harinya. Kehadiran Leora menjadi salah satu anugerah terlepas dari dosa masa lalunya. Itu murni balas dendam di mana amat Raja benci Leora yang saat itu merecoki kehidupan percintaannya.Jadi, sampai pada waktu yang telah tepat dengan perhitungan yang aman, Raja melakukan hal gila yang tak sepatutnya dilakukan. Namun rasa bencinya sungguh mandarah daging. Tentu tak bisa lagi Raja bedakan mana yang baik dan buruk. Tindakannya tidak
Langit sedang berkemas. Di malam yang sudah larut dan pikirannya yang carut marut. Wajahnya kusut. Rambutnya awut-awutan. Kedua tangannya bergerak tak semangat. Tungkainya juga ogah-ogahan sekadar mencapai pintu ruang ganti pakaiannya. Jika bisa, Langit ingin menolak perintah Raja. Ketimbang menerima tapi tidak membuat hatinya senang. Raja benar-benar tidak bisa di tentang titahnya. Inginnya mengutuk. Namun Langit tidak punya kuasa untuk melakukannya. Di samping dirinya berstatus sebagai bungsu, maminya telah menanamkan sikap saling menghormati sejak dulu. Tidak peduli apakah itu saudara kandungnya atau orang lain. Yang lebih tua darimu, hormati selayaknya kamu menghormati ayah ibumu.Jadi ya sudah. Selain menerima, memangnya apalagi yang bisa Langit lakukan?“Sudah siap?” Vokal kakak iparnya—Leora Anggoro—putri satu-satunya papi Yudantha hadir menemani. Langit yakin, itu atas perintah Raja. Padahal perempuan mungil itu tengah mengandung. Tidak sepatutnya di ajak pergi tercemar udara
Tahun ini mengajarkan banyak hal untuk Raja. Tidak cuma belajar menjadi kepala keluarga yang baik dan bijak. Bukan juga cara menjadi pemimpin yang tegas namun tidak merendahkan. Bukan sekadar menjadikan dirinya contoh kepada adik-adiknya sebagai kakak yang baik. Tidak semudah itu.Tahun ini, ada banyak pelajaran yang Raja petik dari tiap perjalanan hidupnya. Mulai dari kehidupan pernikahannya yang terasa sangat cepat lesatannya. Mulai dari hari di mana harus membiasakan dirinya dengan kehadiran orang lain di rumahnya—Leora—yang pasti konyol bagi orang lain karena Raja menganggap istrinya sebagai orang asing. Yang harus bersabar hati menghadapi kekeras kepalaan Leora—yang sama batunya dengan miliknya. Membuat aturan-aturan baru di mana percuma lantaran Leora terus melanggarnya.Sampai di mana perpisahan akan—hampir—terjadi. Jika bukan kehamilan yang menghalanginya—Raja telusupkan tangan kekarnya ke dalam baju tidur Leora. Mengusapnya perlahan. Menghantarkan desiran bahagia di seluruh s
Pagi-pagi sekali begitu kedua matanya terbuka. Pikiran Raja merekam jejak wajah Leora yang tenang maksimal. Dalam alam mimpinya, pastilah istrinya itu tengah memimpikan hal-hal yang indah. Karena sudut bibirnya terangkat tipis dan kerutan di kedua alisnya tercipta persis seperti saat dirinya tertawa.Pagi ini, Raja ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Tuhan yang sudah membawa perempuan ini ke dalam dekapan tubuhnya. Yang bisa Raja peluk kapan pun waktunya kala dirinya rindu. Yang kapan pun bisa Raja tatapi wajahnya dengan lekat-lekat. Yang Raja kagumi ukiran senyumnya dengan eksotis. Perempuan ini, Leora, yang selama ini ada dalam doa-doanya. Raja merasa bangga menjadi lelaki yang luar biasa dengan memiliki Leora. Perempuan yang tidak pernah meminta apa pun yang tidak dirinya miliki. Perempuan yang kesabarannya tidak pernah habis untuk memahami dirinya. Perempuan tegas namun bukan pemarah. Perempuan yang mau bersetia dengan dirinya meski jarak pernah memisahkannya. Perempuan yan
Wajah Leora semringah. Sejak dari rumah sampai di pelataran rumah sakit bahkan dengan kedua tangan yang bergelayut manja di lengan Raja. Perempuan hamil itu tidak melunturkan ukiran senyumnya barang sedetik pun. Berbeda dengan Raja yang wajahnya keruh maksimal. Lelaki itu masih sangat kesal. Merasa harga dirinya mulai terkoyak dengan kekeras kepalaan sang istri. Tapi effort untuk melawan tak bisa Raja lakukan. Mengingat bagaimana kondisi Leora yang tengah mengandung dan kemungkinan-kemungkinan buruknya. Raja lebih banyak menahan ketimbang mengeluarkan.“Kamu tunggu sini.” Pintanya seraya mengecup kening Leora. Tidak peduli pada pandangan pasangan mata yang berdecak kagum dan berbisik-bisik manja. Raja tetap melancarkan aksinya. Meski tahu takkan suka dengan ekspresi Leora, Raja tetap tidak peduli.Mengambil nomor sesuai urutan dan menuliskan nama Leora di daftar kunjungan pasien. Setelahnya Raja kembali ke sisi sang istri dan mengulurkan tangannya untuk mengusapi perut Leora.“Masih m
Menghirup udara panas yang menyapa kulitnya. Rea menikmati sejenak sebelum suara lain menyapanya. Decakan kesal Rea keluarkan sebagai tanda bahwa dirinya tak bisa diganggu.“Kita nggak lagi ngerencanain liburan. Lupa?” Pertanyaan sarkas itu menurunkan kaca mata Rea yang bertengger di hidung mancungnya.Wah, berapa tahun Rea tinggalkan tanah kelahirannya dan bergelut dengan negara asing? 10 tahun? 12 tahun? 15 tahun? Atau 5 tahun? Berapa pun jaraknya, pastinya kembali ke sini menjadi suatu kendala tersendiri bagi dirinya. Pertama. Negara ini adalah negara yang bernaung dengan hukum. Di mana semuanya tertera dalam Undang-undang bahkan untuk urusan menikah dan menjalin hubungan. Sedang dirinya sangat bebas mengenai itu semua. Bagi Rea, menjalin hubungan tanpa status sangatlah menyenangkan. Membuat dirinya bisa memilih sesuka hati pasangan mana yang hendak dirinya ajak untuk menghangatkan ranjangnya.Kedua. Tingkat kekepoan negara +62 sudah begitu mendunia. Sehingga Rea yang berada di uj
Leora tidak pernah suka dengan Era. Bukan karena wanita itu pernah menempati hati Raja. Bukan juga yang paling mengetahui tentang apa-apa saja yang Raja sukai dan yang tidak Raja sukai. Sama sekali bukan itu. Bagi Leora, Erlangga hanyalah masa lalu Raja yang saat ini telah Leora genggam. Baik jiwa raganya adalah mutlak milik Leora seorang. Baik kehidupan maupun cintanya. Semuanya sudah Leora gapai.Tapi Era sungguh menyebalkan. Wanita itu berani datang dan mengusik kehidupan rumah tangga Leora dan Raja. Membawa serta anak yang katanya darah daging Raja. Jika demikian, kenapa ada perpisahan yang di mulai dari Era?“Loh? Mami?” Seruan Raja menolehkan wajah cantik maminya—Senja Anggoro—yang tersenyum penuh arti. “Kapan datang? Kenapa nggak nelepon Raja?”Begitu lah Raja jika sedang di depan maminya. Sikap manjanya akan keluar tanpa di halangi gengsi. “Istri kamu tadi yang jemput.”Dan ngomong-ngomong soal istri, mata Raja mengerjap. Melihat Leora yang ada di pelukan Maminya dengan bahu