Langit sedang berkemas. Di malam yang sudah larut dan pikirannya yang carut marut. Wajahnya kusut. Rambutnya awut-awutan. Kedua tangannya bergerak tak semangat. Tungkainya juga ogah-ogahan sekadar mencapai pintu ruang ganti pakaiannya. Jika bisa, Langit ingin menolak perintah Raja. Ketimbang menerima tapi tidak membuat hatinya senang. Raja benar-benar tidak bisa di tentang titahnya. Inginnya mengutuk. Namun Langit tidak punya kuasa untuk melakukannya. Di samping dirinya berstatus sebagai bungsu, maminya telah menanamkan sikap saling menghormati sejak dulu. Tidak peduli apakah itu saudara kandungnya atau orang lain. Yang lebih tua darimu, hormati selayaknya kamu menghormati ayah ibumu.Jadi ya sudah. Selain menerima, memangnya apalagi yang bisa Langit lakukan?“Sudah siap?” Vokal kakak iparnya—Leora Anggoro—putri satu-satunya papi Yudantha hadir menemani. Langit yakin, itu atas perintah Raja. Padahal perempuan mungil itu tengah mengandung. Tidak sepatutnya di ajak pergi tercemar udara
Tahun ini mengajarkan banyak hal untuk Raja. Tidak cuma belajar menjadi kepala keluarga yang baik dan bijak. Bukan juga cara menjadi pemimpin yang tegas namun tidak merendahkan. Bukan sekadar menjadikan dirinya contoh kepada adik-adiknya sebagai kakak yang baik. Tidak semudah itu.Tahun ini, ada banyak pelajaran yang Raja petik dari tiap perjalanan hidupnya. Mulai dari kehidupan pernikahannya yang terasa sangat cepat lesatannya. Mulai dari hari di mana harus membiasakan dirinya dengan kehadiran orang lain di rumahnya—Leora—yang pasti konyol bagi orang lain karena Raja menganggap istrinya sebagai orang asing. Yang harus bersabar hati menghadapi kekeras kepalaan Leora—yang sama batunya dengan miliknya. Membuat aturan-aturan baru di mana percuma lantaran Leora terus melanggarnya.Sampai di mana perpisahan akan—hampir—terjadi. Jika bukan kehamilan yang menghalanginya—Raja telusupkan tangan kekarnya ke dalam baju tidur Leora. Mengusapnya perlahan. Menghantarkan desiran bahagia di seluruh s
Pagi-pagi sekali begitu kedua matanya terbuka. Pikiran Raja merekam jejak wajah Leora yang tenang maksimal. Dalam alam mimpinya, pastilah istrinya itu tengah memimpikan hal-hal yang indah. Karena sudut bibirnya terangkat tipis dan kerutan di kedua alisnya tercipta persis seperti saat dirinya tertawa.Pagi ini, Raja ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Tuhan yang sudah membawa perempuan ini ke dalam dekapan tubuhnya. Yang bisa Raja peluk kapan pun waktunya kala dirinya rindu. Yang kapan pun bisa Raja tatapi wajahnya dengan lekat-lekat. Yang Raja kagumi ukiran senyumnya dengan eksotis. Perempuan ini, Leora, yang selama ini ada dalam doa-doanya. Raja merasa bangga menjadi lelaki yang luar biasa dengan memiliki Leora. Perempuan yang tidak pernah meminta apa pun yang tidak dirinya miliki. Perempuan yang kesabarannya tidak pernah habis untuk memahami dirinya. Perempuan tegas namun bukan pemarah. Perempuan yang mau bersetia dengan dirinya meski jarak pernah memisahkannya. Perempuan yan
Wajah Leora semringah. Sejak dari rumah sampai di pelataran rumah sakit bahkan dengan kedua tangan yang bergelayut manja di lengan Raja. Perempuan hamil itu tidak melunturkan ukiran senyumnya barang sedetik pun. Berbeda dengan Raja yang wajahnya keruh maksimal. Lelaki itu masih sangat kesal. Merasa harga dirinya mulai terkoyak dengan kekeras kepalaan sang istri. Tapi effort untuk melawan tak bisa Raja lakukan. Mengingat bagaimana kondisi Leora yang tengah mengandung dan kemungkinan-kemungkinan buruknya. Raja lebih banyak menahan ketimbang mengeluarkan.“Kamu tunggu sini.” Pintanya seraya mengecup kening Leora. Tidak peduli pada pandangan pasangan mata yang berdecak kagum dan berbisik-bisik manja. Raja tetap melancarkan aksinya. Meski tahu takkan suka dengan ekspresi Leora, Raja tetap tidak peduli.Mengambil nomor sesuai urutan dan menuliskan nama Leora di daftar kunjungan pasien. Setelahnya Raja kembali ke sisi sang istri dan mengulurkan tangannya untuk mengusapi perut Leora.“Masih m
Menghirup udara panas yang menyapa kulitnya. Rea menikmati sejenak sebelum suara lain menyapanya. Decakan kesal Rea keluarkan sebagai tanda bahwa dirinya tak bisa diganggu.“Kita nggak lagi ngerencanain liburan. Lupa?” Pertanyaan sarkas itu menurunkan kaca mata Rea yang bertengger di hidung mancungnya.Wah, berapa tahun Rea tinggalkan tanah kelahirannya dan bergelut dengan negara asing? 10 tahun? 12 tahun? 15 tahun? Atau 5 tahun? Berapa pun jaraknya, pastinya kembali ke sini menjadi suatu kendala tersendiri bagi dirinya. Pertama. Negara ini adalah negara yang bernaung dengan hukum. Di mana semuanya tertera dalam Undang-undang bahkan untuk urusan menikah dan menjalin hubungan. Sedang dirinya sangat bebas mengenai itu semua. Bagi Rea, menjalin hubungan tanpa status sangatlah menyenangkan. Membuat dirinya bisa memilih sesuka hati pasangan mana yang hendak dirinya ajak untuk menghangatkan ranjangnya.Kedua. Tingkat kekepoan negara +62 sudah begitu mendunia. Sehingga Rea yang berada di uj
Leora tidak pernah suka dengan Era. Bukan karena wanita itu pernah menempati hati Raja. Bukan juga yang paling mengetahui tentang apa-apa saja yang Raja sukai dan yang tidak Raja sukai. Sama sekali bukan itu. Bagi Leora, Erlangga hanyalah masa lalu Raja yang saat ini telah Leora genggam. Baik jiwa raganya adalah mutlak milik Leora seorang. Baik kehidupan maupun cintanya. Semuanya sudah Leora gapai.Tapi Era sungguh menyebalkan. Wanita itu berani datang dan mengusik kehidupan rumah tangga Leora dan Raja. Membawa serta anak yang katanya darah daging Raja. Jika demikian, kenapa ada perpisahan yang di mulai dari Era?“Loh? Mami?” Seruan Raja menolehkan wajah cantik maminya—Senja Anggoro—yang tersenyum penuh arti. “Kapan datang? Kenapa nggak nelepon Raja?”Begitu lah Raja jika sedang di depan maminya. Sikap manjanya akan keluar tanpa di halangi gengsi. “Istri kamu tadi yang jemput.”Dan ngomong-ngomong soal istri, mata Raja mengerjap. Melihat Leora yang ada di pelukan Maminya dengan bahu
Ratu … jika boleh jujur tidak begitu paham dengan filosofi hidup yang sebenarnya. Sebelum jiwa liarnya terusik karena ketampanan Langit yang memesona. Ratu adalah seorang perempuan yang cuek dan enggak mau melihat kondisi sekitar.Yang Ratu tahu hanyalah bekerja sesuai waktu yang telah di tentukan dan bersenang-senang kala lelah mendera. Ratu bisa sangat egois dalam hal apapun namun juga bisa mengalah di kondisi genting sekali pun.Sayangnya semua itu sirna. Saat Langit hadir dan menyilaukan matanya. Ratu … menjadi gelap mata dan menunjukkan sisi lain dalam dirinya. Tidak banyak yang tahu tentang ini. Karena sejatinya, yang paling tahu tentang diri kita adalah diri sendiri. Sedekat apapun seorang Ibu terhadap anak-anaknya, takkan bisa sampai menyentuh di titik ini.Embusan napas Ratu terdengar bersamaan asap rokok yang mengepul dari mulutnya. Surabaya sangat membosankan. Karena tidak ada Langit di sini. Hatinya sangat sepi dan kegundahan hatinya terus meresahkan. Ratu butuh Langit. Ta
Ketika kamu membucin, dunia bisa saja diam. Hanya bumi yang berputar. Jajaran tata surya yang lainnya yang bekerja. Sedang pelaku ‘bucin’ hanya begitu-begitu saja. Bangun tidur, membuka matanya, melebarkan senyumnya, menyesap bibir pasangannya yang menjadi candu, dan sudah. Akan berulang kali kejadian seperti itu berputar. Bucin memang tidak tahu tempat dan waktu. Dunia dan seisinya bak milik sendiri sedang yang lainnya cuma ngontrak.Akhlakless sekali, 'kan?Kampret dan tepuk tangan bagi para jomblo yang ngiler.Raja juga salah satu pelaku bucin yang bertaubat.Kenapa demikian?Aduh, jika di kupas tuntas tentang siapa Laraja Putra Anggoro yang sesungguhnya. Berjilid-jilid kitab suci milik Biksu Tong nggak bakalan habis. Bisa-bisa mereka makin ke arah barat untuk memburu kitab-kitab yang baru.Oke, skip. Karena itu tidak penting.Pada dasarnya, inti dari semuanya Laraja Putra Anggoro sudah berada di pawang yang tepat. Yakni Leora Yudhistira. Putri tunggal Sagitarius Yudantha dan Bare