Raja tidak pernah menyangka. Melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kedua adiknya berperilaku. Inginnya mengatai kelakuan itu biadab karena memang benar adanya. Manusia mana yang melakukan hubungan inses padahal mereka berstatus satu darah, satu ibu, satu ayah bahkan satu persusuan. Belum lagi tentang rahim mereka berasal. Satu. Hana. Siji. One. Wahid.Yang ada dalam benak Raja saat ini hanyalah … apa seperti ini keluarga bahagia yang dibentuk oleh papinya? Yang sangat didukung oleh maminya? Kedua orangtuanya menciptakan anak-anaknya dengan kehidupan yang tidak dimiliki anak-anak lainnya. Tapi juga bobrok karena keintiman yang orangtuanya bentuk. Jika sudah begini siapa yang bisa Raja salahkan?Sejatinya, Radit dan Senja hanya berusaha memberikan keamanan bagi anak-anaknya. Memberikan kebebasan pada pilihan masing-masing. Yang sayang di salah gunakan. Pun dengan Raja yang tak sempurna sama sekali. Sudah rusak sejak remaja. Yang selalu Raja harapkan agar kedua adik-adiknya me
Pulang ke rumah dalam keadaan kacau, Raja hentikan mobilnya di garasi. Melihat rumahnya yang sudah gelap. Sebagian lampu telah Leora redupkan meski waktu baru menunjukkan pukul delapan malam. Raja yakin, istrinya itu mulai terserang sindrom mengantuk dan malas. Dari sumber yang Raja baca melalui internet, kondisi ibu hamil tidak bisa disamakan. Satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Kasus Leora akan Raja anggap unik. Di samping pengalaman pertama perempuan muda itu, ini juga menjadi tantangan terbesar dalam diri Raja. Perasaan was-was acap kali menghampirinya. Takut-takut jika ‘monster’ dalam dirinya muncul. Belum lagi suasana hatinya yang memburuk perihal masalah kedua adiknya. Menjadi pukulan terbesar bagi Raja. Memisahkan keduanya hanya dalam sementara waktu. Sedang rencana jangka panjangnya belum Raja persiapkan. Tidak biasanya sikapnya sangat lembek begini.Ratu … bukan orang yang bisa Raja abaikan begitu saja. Mereka kembar. Tali ikatan yang terjalin diantara dirinya dan Ratu
Akhir hari setelah usai seluruh pekerjaannya, Raja tahu bagaimana lelahnya. Untuk itu, Raja bersiap kembali ke rumahnya. Membagi cerita hari ini kepada Leora yang selalu menyiapkan telinga untuk mendengarkan keluhan-keluhannya. Pelukan Leora selalu menjadi bagian di sesi pembagian cerita. Yang mampu meringankan bebannya. Dan ini yang terpenting; Leora tak pernah membiarkan Raja sendirian—karena Leora menjadi tempatnya berbagi pun dengan jalan pulangnya.Ah, pasti kesalahan Raja di masa lalu sangat indah sehingga Tuhan mengirimkan Leora untuk melengkapi hari-harinya. Kehadiran Leora menjadi salah satu anugerah terlepas dari dosa masa lalunya. Itu murni balas dendam di mana amat Raja benci Leora yang saat itu merecoki kehidupan percintaannya.Jadi, sampai pada waktu yang telah tepat dengan perhitungan yang aman, Raja melakukan hal gila yang tak sepatutnya dilakukan. Namun rasa bencinya sungguh mandarah daging. Tentu tak bisa lagi Raja bedakan mana yang baik dan buruk. Tindakannya tidak
Langit sedang berkemas. Di malam yang sudah larut dan pikirannya yang carut marut. Wajahnya kusut. Rambutnya awut-awutan. Kedua tangannya bergerak tak semangat. Tungkainya juga ogah-ogahan sekadar mencapai pintu ruang ganti pakaiannya. Jika bisa, Langit ingin menolak perintah Raja. Ketimbang menerima tapi tidak membuat hatinya senang. Raja benar-benar tidak bisa di tentang titahnya. Inginnya mengutuk. Namun Langit tidak punya kuasa untuk melakukannya. Di samping dirinya berstatus sebagai bungsu, maminya telah menanamkan sikap saling menghormati sejak dulu. Tidak peduli apakah itu saudara kandungnya atau orang lain. Yang lebih tua darimu, hormati selayaknya kamu menghormati ayah ibumu.Jadi ya sudah. Selain menerima, memangnya apalagi yang bisa Langit lakukan?“Sudah siap?” Vokal kakak iparnya—Leora Anggoro—putri satu-satunya papi Yudantha hadir menemani. Langit yakin, itu atas perintah Raja. Padahal perempuan mungil itu tengah mengandung. Tidak sepatutnya di ajak pergi tercemar udara
Tahun ini mengajarkan banyak hal untuk Raja. Tidak cuma belajar menjadi kepala keluarga yang baik dan bijak. Bukan juga cara menjadi pemimpin yang tegas namun tidak merendahkan. Bukan sekadar menjadikan dirinya contoh kepada adik-adiknya sebagai kakak yang baik. Tidak semudah itu.Tahun ini, ada banyak pelajaran yang Raja petik dari tiap perjalanan hidupnya. Mulai dari kehidupan pernikahannya yang terasa sangat cepat lesatannya. Mulai dari hari di mana harus membiasakan dirinya dengan kehadiran orang lain di rumahnya—Leora—yang pasti konyol bagi orang lain karena Raja menganggap istrinya sebagai orang asing. Yang harus bersabar hati menghadapi kekeras kepalaan Leora—yang sama batunya dengan miliknya. Membuat aturan-aturan baru di mana percuma lantaran Leora terus melanggarnya.Sampai di mana perpisahan akan—hampir—terjadi. Jika bukan kehamilan yang menghalanginya—Raja telusupkan tangan kekarnya ke dalam baju tidur Leora. Mengusapnya perlahan. Menghantarkan desiran bahagia di seluruh s
Pagi-pagi sekali begitu kedua matanya terbuka. Pikiran Raja merekam jejak wajah Leora yang tenang maksimal. Dalam alam mimpinya, pastilah istrinya itu tengah memimpikan hal-hal yang indah. Karena sudut bibirnya terangkat tipis dan kerutan di kedua alisnya tercipta persis seperti saat dirinya tertawa.Pagi ini, Raja ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Tuhan yang sudah membawa perempuan ini ke dalam dekapan tubuhnya. Yang bisa Raja peluk kapan pun waktunya kala dirinya rindu. Yang kapan pun bisa Raja tatapi wajahnya dengan lekat-lekat. Yang Raja kagumi ukiran senyumnya dengan eksotis. Perempuan ini, Leora, yang selama ini ada dalam doa-doanya. Raja merasa bangga menjadi lelaki yang luar biasa dengan memiliki Leora. Perempuan yang tidak pernah meminta apa pun yang tidak dirinya miliki. Perempuan yang kesabarannya tidak pernah habis untuk memahami dirinya. Perempuan tegas namun bukan pemarah. Perempuan yang mau bersetia dengan dirinya meski jarak pernah memisahkannya. Perempuan yan
Wajah Leora semringah. Sejak dari rumah sampai di pelataran rumah sakit bahkan dengan kedua tangan yang bergelayut manja di lengan Raja. Perempuan hamil itu tidak melunturkan ukiran senyumnya barang sedetik pun. Berbeda dengan Raja yang wajahnya keruh maksimal. Lelaki itu masih sangat kesal. Merasa harga dirinya mulai terkoyak dengan kekeras kepalaan sang istri. Tapi effort untuk melawan tak bisa Raja lakukan. Mengingat bagaimana kondisi Leora yang tengah mengandung dan kemungkinan-kemungkinan buruknya. Raja lebih banyak menahan ketimbang mengeluarkan.“Kamu tunggu sini.” Pintanya seraya mengecup kening Leora. Tidak peduli pada pandangan pasangan mata yang berdecak kagum dan berbisik-bisik manja. Raja tetap melancarkan aksinya. Meski tahu takkan suka dengan ekspresi Leora, Raja tetap tidak peduli.Mengambil nomor sesuai urutan dan menuliskan nama Leora di daftar kunjungan pasien. Setelahnya Raja kembali ke sisi sang istri dan mengulurkan tangannya untuk mengusapi perut Leora.“Masih m
Menghirup udara panas yang menyapa kulitnya. Rea menikmati sejenak sebelum suara lain menyapanya. Decakan kesal Rea keluarkan sebagai tanda bahwa dirinya tak bisa diganggu.“Kita nggak lagi ngerencanain liburan. Lupa?” Pertanyaan sarkas itu menurunkan kaca mata Rea yang bertengger di hidung mancungnya.Wah, berapa tahun Rea tinggalkan tanah kelahirannya dan bergelut dengan negara asing? 10 tahun? 12 tahun? 15 tahun? Atau 5 tahun? Berapa pun jaraknya, pastinya kembali ke sini menjadi suatu kendala tersendiri bagi dirinya. Pertama. Negara ini adalah negara yang bernaung dengan hukum. Di mana semuanya tertera dalam Undang-undang bahkan untuk urusan menikah dan menjalin hubungan. Sedang dirinya sangat bebas mengenai itu semua. Bagi Rea, menjalin hubungan tanpa status sangatlah menyenangkan. Membuat dirinya bisa memilih sesuka hati pasangan mana yang hendak dirinya ajak untuk menghangatkan ranjangnya.Kedua. Tingkat kekepoan negara +62 sudah begitu mendunia. Sehingga Rea yang berada di uj
Langit tiba di Jakarta. Membawa Dinda dan anaknya. Meski Dinda terlihat ragu dan takut dalam langkahnya meninggalkan pelataran bandara, tapi Langit meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dinda percaya Langit, sepenuhnya tanpa rasa ragu.Yang jadi masalah adalah diri Dinda sendiri. Apakah Dinda orang yang tepat untuk Langit? Apakah semesta mau menerima hubungan mereka sedangkan Dinda banyak luka di masa lalu. Apakah mereka pantas untuk bersama? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Dinda dan belum ditemukan jawaban yang tepat."Kalau kamu ragu sama diri kamu sendiri, seenggaknya kamu lihat aku, Din." Langit genggam tangan Dinda saat masuk ke dalam mobil. "Ada aku yang mau sama kamu dan cukup kuatkan aku kalau kamu bakal selalu ada di samping aku. Kalau kamu ragu tapi pergi yang kesusahan itu aku, Din. Jadi, bisa, 'kan jangan ragukan perasaanku buat kamu?"Setulus itu Langit dalam mencintai Dinda dan nggak ada yang bisa Langit lakukan kalau Dinda nggak ada di sampingnya.
Kalau di kasih pilihan, semua orang di muka bumi ini maunya punya kisah yang bagus. Nggak ada satu pun di antara mereka yang mau kisahnya berakhir tragis. Jangankan tragis, putus dan berpisah dari orang yang selalu ada bareng kita di setiap harinya aja dunia udah runtuh. Apalagi dipisahkan dengan maut. Jadi kalau ada pilihan bagus buat berakhir indah maka jawabannya adalah ya.Tapi yang namanya takdir siapa yang tahu, sih? Jalannya aja udah nggak ketebak. Itu rahasia Tuhan dan selalu jadi misteri. Manusia itu cuma bidak-bidak dalam permainan catur. Dari awal bermain sampai akhirnya di mana Tuhan yang jadi penentunya. Jadi jangan terlalu sombong ketika mendapatkan sesuatu yang lebih."Kok ada, sih orang kayak gitu?" tanya Ratu kepada Ratu yang baru selesai bercerita. "Padahal mbak udah sebaik ini dan ngasih banyak fasilitas buat dia. Tapi kenapa balesannya bikin geleng-geleng kepala, sih?"Leora nggak mau ambil pusing soal karyawan yang membawa kabur uangnya. Leora cuma kecewa kenapa n
Langit sadar, yang paling mengerti tentang diri kita adalah diri sendiri. Namun begitu Langit juga tahu ada Dinda yang selalu memahami dirinya tanpa diminta dan diberi penjelasan secara gamblang. Dinda lebih dewasa dari yang Langit kira. Selain statusnya yang janda, Dinda sudah ditimpa banyak masalah dalam hidupnya. Jadi wajar kalau wanita satu anak itu telah mengambik banyak pelajaran dari perjalanan di hidupnya."Ngapain?" tanya Dinda saat melihat Langit berdiri di depan pintu masuk apartemennya. "Kamu mau bikin suasana makin kacau?"Hari masih pagi. Mentari belum sepenuhnya menyinari bumi. Udara pagi hari di Malang segar dan sejuk. Yang bisa Langit lakukan hanyalah menunduk dan menggelengkan kepalanya atas tanya yang Dinda ajukan. Baru setelah beberapa menit dan menarik napasnya dalam-dalam, Langit memberanikan diri menautkan matanya pada Dinda."Aku udah biasa," kata Langit yang dibalas kerutan dahi oleh Dinda. "Tapi kali ini aku menolak menerimanya."Dinda makin nggak ngerti ke m
"Sebenarnya aku punya banyak ketakutan," aku Leora malam itu pada Raja yang sedang membaca beberapa berkas kantor. Helaan napas Leora yang berat dan diembuskan dengan kasar membuat Raja paham jika istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ada yang Leora rasakan dan hendak dibagi pada Raja. Maka menutup berkas dan sepenuhnya memfokuskan diri pada Leora segera Raja lakukan."Tentang apa?" balas Raja bertanya. Raja larikan jarinya ke kepala Leora dan mengusap rambutnya yang halus. "Kamu bisa memulainya dari hal yang paling ringan sampai nanti menemukan jawaban ketakutan apa yang membuatmu gelisah."Leora menoleh dengan senyum. Wajahnya ayu nan teduh. Sehingga siapa pun yang memandangnya akan suka dan terbuai. Raja tatapi dalam-dalam netra gelap Leora yang cerah."Banyak. Terlalu banyak sampai aku nggak bisa ngungkapin perasaan apa yang aku rasain. Aneh, 'kan istrimu ini?" kekeh Leora setelah menilai dirinya sendiri."Anggap aja itu kelebihanmu. Kalau kamu nggak unik, kita nggak ada terjebak
Dalam hidup apa benar-benar ada yang namanya akhir bahagia?Kalau pertanyaan itu ditujukan pada Langit, maka mulutnya akan terkunci rapat. Langit aja belum sepenuhnya mengerti tentang arti hidup kok malah ditanya soal kebahagiaan. Langit walaupun umurnya sudah terbilang matang buat nikah, ternyata nikah juga nggak segampang balikin tangan atau kayak yang orang lain lakukan. Mereka menikah setelah ketemu dan menjalani hubungan dengan orang yang menurutnya tepat. Lah Langit? Mubeng dulu kayak bianglala."Jadi kapan mau bawa Dinda ketemu mami sama papi, Lang?" Radit Anggoro semakin berumur semakin berkharisma. Aura kewibawaan bapak tiga anak itu terlihat dengan jelas. Langit yang ditanya kayak gitu cuma bisa nelen nasi dan ayamnya bulat-bulat. Untung nggak kesedak."Kalau udah di rasa siap, pi," jawaban Langit bukan jawaban tegas yang mau di dengar Radit. "Papi sendiri belum ngasih restu," lanjutannya bikin Radit diam. Langit ada benarnya juga."Kamu udah izin waktu itu. Papi izinin."
Hidup Raja ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang istimewa atau yang wajib dikepoi sama semua orang. Walau sebagai seorang suami bersikap hangat, Raja tetaplah Raja yang dingin dengan orang luar. Nggak pandang bulu siapa orangnya. Yang nggak Raja kenal atau terlalu akrab, Raja nggak mau terlalu banyak terlibat. Say hai saja sudah cukup. Selebihnya jalani kehidupan masing-masing tanpa saling merepotkan."Mami sama papi jadi dateng, Ra?" Raja bertanya pada Leora yang sedang menyiapkan kopinya. "Pasti rempong, deh."Raja duduk di kursinya dengan kedua tangan membuka koran paginya. Bukan asal Raja ngomong. Semua orang yang bekerja di rumahnya juga tahu gimana mami dan papinya kalau datang ke rumahnya. "Namanya juga orang tua ke anak, wajar," jawab Leora sambil meletakkan kopi dihadapan Raja. "Kamu kenapa sensi banget tiap mami sama papi ke sini? Nggak seneng orang tua kamu datang berkunjung? Kenapa nggak kamu aja yang pulang ke rumah mami papi?"Nah, salah satu keribetan yang Raja miliki
Tolok ukur kebahagiaan seseorang itu gimana, sih?Pertanyaan semacam itu kerap mampir ke benak Dewa. Termasuk hari ini saat dirinya akan menjemput Ratu untuk makan siang bersama. Dewa juga manusia biasa. Punya rasa penasaran dan keingintahuannya sering membludak. Kayak misalnya: Ratu bahagia nggak, ya sama aku? Ratu udah ngerasa cukup belum, ya sama aku? Aku ini pilihan yang Ratu mau atau cuma sekadar alat menutupi rasa cintanya kepada Langit dan masih banyak lagi. Misal diluapkan dalam sebuah obrolan, Dewa yakin sehari semalam nggak bakal kelar. Lawan bicaranya butuh waktu berhari-hari buat memecahkan masalah ini dan mencari tahu jawabannya. Belum lagi meyakinkan Dewa kalau itu cuma rasa takutnya aja yang sedang menyelimuti."Jadi orang pemikir emang nggak enak banget!" gerutu Dewa kepada dirinya sendiri yang sedang menyetir di tengah kepadatan kendaraan lain siang itu. "Udah sejauh ini kok gue bisa mikir Ratu bahagia apa enggak? Kalau orangnya denger bisa melayang ini kepala gue."
Kalau wanita bisa patah hati, pria juga bisa bahkan bisa lebih hancur berkeping-keping lebih daripada wanita. Cinta pria itu nyata tulusnya walaupun banyak mulut-mulut bajingan di luar sana yang jual omongan. Bukan berarti semua pria berengsek dan bernilai sama. Ada istilah soal high value women maka pria juga punya harga yang sama untuk dirinya sendiri. Nggak cuma wanita doang yang punya nilai. Sayangnya ketutup sama para bajingan yang demen nyakitin wanita. Langit cuma tersenyum kecil mendengar curahan hatinya sang asisten. Nggak aneh kok kalau Yudha senang ngomel sana sini soal asmaranya. Padahal Langit juga butuh di say hallo untuk hari-harinya. Tapi buat apa, sih? Langit bukan remaja yang baru jatuh cinta kok. Langit sadar soal nilai yang ada di dalam dirinya. Itu semua nggak lepas dari didikan kedua orang tuanya."Hidup kenapa harus ada plot twistnya, sih?" Yudha bertanya setelah mondar-mandir kayak setrikaan panas. "Gue mau heran tapi nggak siap juga dengar jawaban: hidup ema
"Menurut kamu Tuhan itu baik nggak?" tanya Ratu pada Dewa yang bersiap untuk terlelap. "Kadang aku pengen marah sama Tuhan," sambung Ratu tanpa berkedip menatap ke depan.Malam sudah larut. Di usir dari apartemen Langit, Ratu dan Dewa nggak gagal pesta. Mereka minum wine sendiri di rumahnya dengan alunan musik lembut dan dansa ala kadarnya. Mereka tertawa bersama dan sesekali terbahak-bahak. Sekarang waktunya bagi mereka berbagi kisah untuk hari ini. Padahal mereka satu kantor, cuma beda ruangan. Tapi beban hari ini tetap jadi topik saat mau tidur."Bagiku Tuhan itu baik. Kenapa?" Dewa pandangi wajah istrinya yang ayu natural tanpa polesan make up. Memang dasarnya Ratu ini cantik dan anggun. Bermake up atau tidak, dasarnya ayu tetaplah ayu. "Kamu pasti punya alasan kenapa marah sama Tuhan."Ratu menarik napasnya dalam-dalam. Mengembuskan perlahan dan tersenyum kecil."Aku pernah punya rencana. Konyolnya aku selalu yakin kalau setiap rencana yang aku susun bakal berhasil. Aku selalu pe