Karena sudah di wangsit untuk Leora tidak memasak maupun menyiapkan apapun yang bersangkutan dengan Raja. Ingat seberapa keras kepalanya Leora? Semua itu tidak berlaku. Di hari pertama kehidupan rumah tangganya. Pagi-pagi sekali setelah selesai mengurus dirinya sendiri, Leora memasak.
Bersahabat dengan dapur bukan hal sulit baginya. Hidup jauh dan mandiri dari kedua orangtuanya membuat Leora paham seluk beluk setiap kesibukan.Ada telur, alpokat dan roti yang bisa Leora olah menjadi Avocado egg toast. Ini menu mudah untuk mengganjal perutnya sebelum beraktivitas. Leora memotong alpokat menjadi empat bagian dan menaruh di atas roti seusai mengolesinya dengan margarin. Menyalakan kompor dan teplon untuk memanaskan.Sembari menunggu, secangkir kopi hitam pekat yang telah di raciknya ia legut. Merasai pahitnya menelusuri kerongkongannya sebelum sebuah heels mengusik rungunya.Perempuan berambut merah panjang sepinggang, bergaun ungu menyala tersenyum mengejek. Leora abai. Masakannya usai. Lantas memindahkannya ke atas piring.Sekali lagi Leora perhatikan. Sepertinya salah. Seharusnya ia patuh dengan keotoriteran Raja yang mengatakan ‘jangan membuat sarapan atau apapun.’ Hati Leora lemah karena justru membuat empat porsi sekaligus.“Gimana rasanya nikah di atas kertas?”Yang hendak Leora buang rotinya menjadi urung ia lakukan. Netra beningnya beradu dengan si rambut merah. Ia susuri perlahan wajah perempuan itu dengan teliti. Lalu turun ke lehernya yang jenjang. Ada jejak merah di sana. Belahan dadanya yang terlihat juga menampilkan jejak kepemilikan. Leora simpulkan itu perbuatan Raja. Terus turun, Leora dapati bercak ungu di pergelangan tangan perempuan itu. Hingga cepat-cepat di sembunyikan karena merasa di perhatikan.Bibir Leora tersungging mengejek. Pertanyaan serupa pernyataan yang di lemparkan perempuan tersebut bagai tak pernah Leora dengar.“Dia oke di ranjang.”Pergerakan tangan Leora kaku namun masih bisa di kendalikan.“Menyesal kalau sampai kamu nggak mencicipi.”Hanya wanita panggilan. Maafkan pikiran Leora yang terlampau kejam menilai.Perempuan itu terus mengoceh. Yang juga Leora acuhkan. Ia nikmati sarapan paginya, meneguk kopinya hingga tandas.“Kamu mau?” Leora sodorkan sepiring roti yang baru. “Aku biasa sarapan dalam jumlah banyak.” Yang detik itu juga Leora bangkit. Mencuci tangannya dan bertanya, “Oh ya, bagaimana rasanya suami di atas kertasku? Sepertinya benar. Dia oke—tidak—ganas lebih tepatnya. Kamu yakin nggak butuh dokter?”***Di mata Raja, Leora sangatlah suci. Sedang Raja terlalu gelap untuk—atau sudah—untuk menyentuh perempuan periang itu. Tangan-tangannya amatlah kotor. Hatinya kelam. Sampai ketika Raja hanya melihat adegan di depannya, sudut hatinya nyeri.“Selupa itukah dia?”“Secepat itukah untuk menutup bekas luka?”“Atau terapinya memang manjur?”Melihat salah satu pelacur yang dirinya panggil semalam untuk melayani, Raja tak bergeming di tempatnya—sampai eksistensinya menghilang—barulah Raja berjalan memasuki area dapur. Ada beberapa lembar roti di atas meja. Taruhan, itu sengaja Leora siapkan. Dan entah mengapa, hal itu membuatnya mendengus alih-alih sakit hatinya.Semili senyumnya terbit. Tangannya mengambil satu roti dan berjalan keluar. Agenda paginya padat. Selain rapat yang di gelar, hari ini banyak investor yang menentukan janji bersamanya. Perusahaan papinya tidak tanggung-tanggung dalam melebarkan sayapnya. Ia pikir, hanya sekedar kantor pemasaran dan percetakan yang merekrut beberapa penulis Indonesia. Sayangnya, hal mengejutkan membuat dirinya gigit jari setelah bergabung di bawah naungannya.“Gila lu ya?!” cecaran dari vocal yang frustasi melantun bersama kakinya yang menapaki lantai lobby kantornya. “Jelas-jelas malam pertama harus berkesan dan lu beneran bikin gue lebih dari berkesan. Sinting!”Namanya Arca Rambu. Satu tahun lebih muda dari Raja. Putra om Krisna—sahabat papinya.“Jangan buat gue jantungan, please. Ini nggak sekali dua kali lu naruh bekas ‘pakai’ lu di bangsal rumah sakit gue.”Ah ya, dia seorang dokter sekaligus pemilik rumah sakit swasta yang ada di daerahnya. Sombongnya, seluruh keluarganya berteman baik dengan para petinggi—pemilik saham apapun yang ada di Indonesia—namun kehidupan sederhana telah tertanam dengan apik sejak kecil.“Berapa totalnya?”“bangsat!” Rambu mengumpat di pagi harinya yang buruk. “Rajungan sinting! Mikroba pintu neraka bakal nangis berdarah-darah dengan jawaban lu!”Yang Raja kerutkan dahinya. Rambu kenapa sih? Ngomong aja nggak jelas.Sedang jauh di benak Rambu, bukan jumlah nominal uang yang dirinya mau. Tapi—sedikitnya harapan—keinginan untuk Raja berubah. Dan Rambu pikir, dengan menikah sudah menjadi sebuah alasan untuk seorang Raja berhenti. Bertaubat dari dunia gelapnya. Membuka lembaran baru. Memulai segalanya dari awal.“Jadi?”“Apa?”Setelah hening yang cukup lama, Rambu coba tenangkan otaknya yang mendidih dan sialannya Raja tetaplah Raja. Lelaki tampan sejagat yang tidak pernah mau mengakui seberapa besar kesalahannya.“Kalau Leora cuma lu jadiin tameng, lepasin tolong. Gue siap nampung.”Omongan Rambu sering kali tidak terfilter. Mulutnya persis tong kosong yang memicu keadaan sekitar. Bahkan terlihat jelas satu tangan Raja yang mengepal kuat.“Dia nggak sekuat itu buat nahan sakitnya. Gue hampir gila buat nyembuhin dia.”Rambu terus melanjutkan. Iringan langkahnya sejajar dengan milik Raja. Sampai ruangan terbesar di lantai teratas milik Raja terlihat, belum ada tanda-tanda untuk mulutnya menanggapi ucapan Rambu.“Cuacanya cerah.” Pungkas Raja menghentikan langkah secara mendadak. Ia pandangi sang surya yang menembus kaca-kaca besar bangunannya. Matanya terpejam. “Hari ini padat. Jalang baru bisa lu kirim ke apartemen gue. Thanks sebelumnya.”Entah bagaimana dengan nasib Rambu yang mengumpat sepanjang hari ini. Antara berkah dan kiamat mempunyai teman sebangsat Raja. Tapi Rambu sayang. Gimana dong?***Jika tadi rajungan sinting yang Rambu umpatkan, kini demi kerang ajaib sedang dirinya serapahkan.Raja itu … jika tidak bisa berlaku kasar, minimal jangan membuat kegaduhan di rumah sakit yang menjadi langganan para pelacur berakhir di sana.Kelihatannya saja di rambut merah itu baik-baik saja. Pagi hari begitu menyapa istri seorang Raja yang berkutat dengan dapur wajahnya sombong maksimal. Dagunya terangkat ketika berbicara. Sinar wajahnya terpancar cerah seolah service yang dirinya berikan sungguh memuaskan.Sayangnya, bukan dirinya yang menjalankan tugasnya justru dirinya yang di buat babak belur. Pangkal pahanya nyeri tiada tanding. Kepalanya pening seakan ingin terlepas dari tempatnya. Kedua tangannya yang semalam terikat lebam. Cocok sekali dengan label korban penganiayaan.Ingatkah kalian dengan kekuasaan yang di miliki mampu mengalahkan segalanya?Polisi takkan bisa mengusut kasus ini jika harus di selidiki. Karena Raja bukan hanya seorang CEO muda di perusahaan mentereng. Namun juga pemilik bar, diskotek, pelacuran yang ada di Jakarta. Jadi, sudah sepatutnya si rambut merah menuruti titah sang tuan.“Kalau begini caranya, eksistensi jalang bakal berkurang. Pemasukan menurun.” Rambu mengomel. “Gue mesti cari jalang baru.”Here we go!Setelah berkutat dengan kisah Langit dan Ratu yang sesuai judul kita kupas perlahan. Hari baru kembali milik Leora dan Raja. Pagi itu ... pekerjaan Leora begitu-begitu saja. Tidak ada yang spesial kecuali statusnya yang sudah berubah; istri. Dari belum kawin menjadi sudah kawin. Tapi Leora lupa pada beberapa ingatan masa lalunya. Yang entahlah menurutnya tidak ingin dirinya angkat menjadi topik cerita. Begini saja sudah cukup membuatnya bahagia. Cukup dengan melihat ramainya kedai kopi miliknya. Hilir mudik pengunjung di siang ini terbilang stabil tapi masih mampu menghiburnya.Ia sesap kopi Arabica kesukaannya dengan sepiring roti goreng yang menemani. Jari lentiknya selaras dengan ketikan di atas keyboard laptopnya. Matanya bergerak awas ketika lonceng bel di pintunya berbunyi.Pasangan muda mudi—mahasiswa mungkin—terlihat bergandengan tangan. Memilih tempat duduk yang memojok dekat jendela—pasti untuk menambah kesan romantis dengan latar mobil dan orang-orang yang ber
Semalam itu … bencana.Begitu Raja menanyai apakah Leora menginginkan dirinya dan ingin di puaskan, yang selanjutnya terjadi adalah teriakan histeris. Leora takut maksimal melihat Raja menurunkan celana tidurnya. Pun begitu lelaki itu sudah berbaring nyaman di samping dirinya yang tubunya kaku mendadak.Hampir saja jika tidak segera tersadar, sankis manis Leora menjadi sasaran. Yang sampai pagi ini masih membelenggu pikirannya; punya kamu kelihatannya kecil tapi nggak tahu kalau saya bongkar.Astagfirullah Akhi!Leora mengurut dadanya berkali-kali. Ia takut sekali melangkah keluar kamar padahal cacingnya berdemo. Di luar, dentingan sendok garpu beradu. Suara percakapan juga terdengar. Sesekali tawa perempuan bawaan Raja amat merdu di dengar. Entah apa yang mereka bicarakan sampai humor sepagi ini tergerus.Sedang dirinya?Status istri sah layak di pertanyakan jika begini. Tubuhnya sudah wangi, rambut tertata rapi, pakaian mewah mentereng. Tapi ketakutan masih saja melingkupi. Tapi bu
Mari sejenak beralih peran. Menyesuaikan judul yang telah tertera, ada beberapa tokoh yang harus kita ulas. Ada banyak kisah dari yang kelam sampai yang terang untuk kita simak. Hari ini, Ratu dan Langit akan memerankan panggungnya. Beralih dari Raja dan Leora yang sedang menikmati masa dingin pernikahannya.Pagi-pagi sekali di jam sarapan, Langit murka.Akan Langit kutuk setelah ini.Perbuatan Ratu sungguh keterlaluan. Di meja makan, saat Mami Papinya berkumpul bahkan membahas bisnis yang tengah di pasrahkan pada Langit, tangan Ratu menjadi pendukung mutlak. Terus melakukan hal terlarang yang membuat Langit mati-matian menahan. Hanya umpatan kecil yang Langit dengungkan. Ratu tidak tahu diri.Sialan-sialan-sialan.Cengkeraman pada sendoknya mengerat. Kepalanya kaku maksimal—sekadar mengangguk saja terasa sulit. Ratu benar-benar ulung dalam bermain dan mempermainkan dirinya. Menjadikan dirinya orang dungu bak kerbau di cucuk yang terus memuja dan mengagungkan. Tidak hanya sekali, ber
Pagi buta. Udara dingin berembus bersama angin yang tertiup. Tololnya, Bandung tidak bisa di samakan dengan Surabaya yang panas maksimal atau Jakarta yang polusi udara melepuhkan segala pernapasan. Sepadat apapun Bandung, kota lautan api itu masih terbilang bersih—itu mungkin alasan mami papinya menetap selama bertahun-tahun atau karena suasananya yang sama seperti Ungaran?Abaikan dulu menyoal nostalgia kisah cinta orangtuanya.Rungu Ratu terganggu dengan suara bel yang di pencet terus-menerus. Entah orang sopan mana yang bertamu di pukul enam pagi. Bahkan di saat semua pekerja di rumahnya belum datang. Sialan sekali.Dengan sentakan keras, meloloskan diri dari pelukan hangat Langit, tubuhnya bangkit. Memunguti semua pakaiannya yang bercecer dan bergegas turun. Menarik pintu hingga terbuka lebar. Bola matanya melebar. Sedetik kemudian emosinya membuncah. Perempuan sialan ini! Batinnya yang suci meraung.Pagi-pagi buta sudah di buat mengumpat.“Kakak?” panggilannya ceria tapi Ratu ba
Dalam hidup ini, yang paling Ratu benci adalah rapat.Mengikuti rapat dalam bentuk apapun jelas daftar yang harus Ratu coret. Di samping membosankan, penghitungan cepat pada bursa perusahaan bukan keahlian yang dirinya miliki. Otaknya lemah tidak seperti milik Raja—kembarannya—yang sangat jenius dan tindakannya cekatan. Sehingga bukan suatu hal mengherankan jika saudara beda lima menitnya itu di elu-elukan banyak perempuan.Tapi pagi ini akan Ratu kecualikan. Mendadak moodnya meningkat dengan sangat baik. Rapat membosankan yang Raja pimpin menjadi suatu hal yang dirinya tunggu-tunggu. Bagaimana tidak jika Langit ada di sana. Di sampingnya pula. Tolong di catat.Ratu akan gila sebentar lagi. Fokus mata dan rungunya ada di Raja yang tengah menerangkan berapa jumlah peningkatan sampai bulan ini untuk investasi yang tertanam. Dan pengumuman saham-saham perusahaan mana saja yang akan di incar usai ini.Kita lirik ke bawah, di mana tangan Ratu berada. Sangat tidak berakhlak membuat adik bu
Sekilas percakapannya seperti ini.“Gue bisa, ya, dandan sendiri!”“Saya sayang istri.”Leora mendengkus. Raja acuh.“Kanebo kering.”“Tapi suka, kan?”Lelaki itu punya segudang jawaban untuk membuat Leora skakmat.“Kamu mengerikan.”“Dalam hal?”“Bercinta.”“Oh, jadi itu yang bikin kamu deg-degan?” Raja manggut-manggut senang. Wajahnya sangat cerah di sore yang mataharinya condong ke barat. “Kamu tinggal minta, saya turuti.”Sangat tidak berattitude. Penata rambut yang sedang mengubek-ubek rambut Leora bahkan menahan tawa.“Aku penasaran.”“Apa?”Bukan Leora namanya jika mengalah dengan telak. Maka, memberi sinyal untuk para penata yang sedang merias hengkang. Berganti tubuhnya yang bergerak maju.“Kenapa kamu nggak pernah lepas baju.”Yang pada intinya, mereka saling melempar bom. Sampai pada acara yang akan di hadiri, raut wajah Raja masam maksimal. Berbanding terbalik dengan Leora yang semringah tiada tanding.Ah, secara mendadak saja ada satu ide yang melintas. Sangat tidak berak
Bisikan Raja memproteksi diri Leora. Dengan sigap, meloloskan diri dari dekapan yang sialannya nyaman, membuat benteng perbatasan dan berseru, “Ini batas negara kita. Jangan melewati batas!”Tentu jawaban Raja hanyalah dengusan. Tapi lebih dari itu semua ada segaris semili yang menempel di bibirnya. Leora takkan melihat itu padahal sangat langka. Bisa di bilang keajaiban dunia jika seorang Raja bisa membagi senyumnya ke orang lain.Fokus Leora benar-benar ada di bencana jilid II. Karena sangat takut dengan ancaman Raja: “Kamu nggak akan selamat besok.” Maka menjauh adalah caranya. Meski percuma. Setelahnya yang dilakukan Raja ialah, membuang batas dari bantal guling yang Leora ciptakan dan menyeret istri pembangkang ke dalam regupannya. Kedua kakinya melilit kaki Leora. Sudah di katakan percuma. Leora berontak pun tak ada hasilnya. Malah lebih parah ketika tangan Raja menepuki punggungnya. Yang terjadi selanjutnya lebih dari kiamat. Leora tertidur dengan nyenyak hingga pagi menjelang
Ratu rindu dengan maminya. Malam ini pikirannya kacau dan wajah maminya melintas tanpa di minta. Ada cerita bahagia yang Ratu ingat. Saat dirinya dan Raja lahir. Saat papinya tersenyum dengan bahagia. Dan Ratu ikut menarik ke belakang bibirnya. Hati Ratu hangat. Ratu bahagia dan senang.Pukul dua dini hari—tepat—tidak lebih apalagi kurang, Raja dan Ratu terlahir. Yang bisa Radit bisikkan pada kedua bayinya adalah; welcome to world, kids. Setelahnya ia adzani keduanya secara bergantian dan meletakkan kembali ke dalam inkubator. Seusai di bersihkan dan di susui oleh ibunya, keduanya memilih merapatkan kembali matanya. Keduanya pun terlihat sangat kompak. Si kakak—Raja—meletakkan tangan di atas kepala si adik—Ratu—seolah memberi perlindungan agar si bayi perempuan mungil itu nyaman. Radit bangga bukan main menyaksikan keduanya terlelap. “Kalian kesayangan papi. Terima kasih sudah baik-baik saja.” Radit terkekeh. Bahasanya berbeda. Terdengar sangat kaku dan formal. “Kalian harus cepat ged