Semalam itu … bencana.
Begitu Raja menanyai apakah Leora menginginkan dirinya dan ingin di puaskan, yang selanjutnya terjadi adalah teriakan histeris. Leora takut maksimal melihat Raja menurunkan celana tidurnya. Pun begitu lelaki itu sudah berbaring nyaman di samping dirinya yang tubunya kaku mendadak.Hampir saja jika tidak segera tersadar, sankis manis Leora menjadi sasaran. Yang sampai pagi ini masih membelenggu pikirannya; punya kamu kelihatannya kecil tapi nggak tahu kalau saya bongkar.Astagfirullah Akhi!Leora mengurut dadanya berkali-kali. Ia takut sekali melangkah keluar kamar padahal cacingnya berdemo. Di luar, dentingan sendok garpu beradu. Suara percakapan juga terdengar. Sesekali tawa perempuan bawaan Raja amat merdu di dengar. Entah apa yang mereka bicarakan sampai humor sepagi ini tergerus.Sedang dirinya?Status istri sah layak di pertanyakan jika begini. Tubuhnya sudah wangi, rambut tertata rapi, pakaian mewah mentereng. Tapi ketakutan masih saja melingkupi. Tapi bukan itu perkaranya. Leora terlihat seperti penguping karena acap kali telinganya ia tempelkan di daun pintu dan mendengarkan. Dengan maksud, apakah mereka sudah pergi.Aish, cara ini nggak elegan sekali. Justru sangat syalandd. D-nya double ya biar ketika di ucapkan terdengar syahdu aduhai indehoi. Oke skip.Sepertinya sudah selesai. Lima menit berselang setelah telinganya mempertajam terakhir kalinya. Wajahnya mendadak berbinar-binar. Liurnya akan menetes. Begitu pintu di buka, jantung Leora hendak melompat dari tempatnya.Sejak kapan tiang listrik pindah tempat di depan kamarnya?“Mau ke mana kamu?”Mengaduh setelah bokongnya bersalam ria dengan keramik yang keras, suami durhakanya memang tiada akhlak. Bukannya menolong malah nyelonong.“Siap-siap. Kita ke pantai.”Pantai endasmu!Dengkusan Leora di perdengarkan. Tanpa peduli si empu yang melirik dengan tajam.Teros! Lihat teros nyampe itu mata pindah tempat.Keturunan Barella Yuduntha sungguh bebal. Karena ibunda tercinta ratu bebal di seluruh kerajaan, maka Leora pantas menggantikan peran sang mami ketika pension nanti. Tanpa mengindahkan perintah mas suami yang aduhai seksinya, mulutnya sibuk mengunyah. Satu tangan menuang jus buah segar, satu tangan lagi mencomot apa-apa saja yang sekiranya cocok bercokol di perutnya.“Leora?!” Geraman panggilan yang tertahan Leora abaikan saja. Perutnya butuh asupan. Mulutnya sibuk mengunyah. “Saya minta kamu siap-siap.”“Agku laghie makhan. Buta?”Jawaban depan tidak jelas. Tapi yang terakhir sungguh mendatangkan perang bratayudha. Pasalnya, Raja ngamuk. Tanpa ampun membanting piring yang ada di dekat jangkauannya. Leora, sih, cuek saja. Dengan anteng makan.“Lu nggak bisa, ya, nurut? Sekali saja.”Oh tentu! Bukan gaya seorang Leora Yudantha untuk menurut dengan tunduk kepatuhan. Ada yang bisa mengaturnya; orangtuanya. Ada yang bisa mengendalikannya; orangtuanya. Jadi ketika perempuan murahan yang suaminya pakai semalam menegur dirinya, sudut bibir kananya terangkat ke atas.Tangannya bertopang dagu sedang mulutnya masih terus mengunyah. Mata kecilnya bernetra sebening air kali menelisik dari atas ke bawah. Penilaian yang akan Leora sematkan kepada seseorang ketika berani memberinya perintah.“Anda siapa?”Perempuan berambut grey dengan sentuhan violet di depan sana mendengus. Awalnya tertegun. Itu kentara dari ekspresinya.“Terkadang, kamu perlu mengunci mulut untuk diam ketimbang membuang tenaga untuk bicara. Mau tahu sesuatu?” Sekali jalang … berbuat baik pun akan tetap jalang.“Kamu percaya diri sekali.”“Sure! Aku istrinya. Sah secara agama dan hukum. Kita legal.”“Yang tidak di sentuh sama sekali.”“Jauh lebih baik.” Aku bukan jalang sepertimu. Inginnya Leora sambungkan kalimat itu. Tapi hatinya tertohok. Entah terhimpit oleh apa, dadanya tertusuk sakit. Benda tak kasat mata sedang mengorek luka yang selama ini dirinya tutupi. Sembuh total saja belum. Namun kembali menganga oleh sebuah robekan.“Kenapa kamu keras kepala?”“Karena itulah mamiku malahirkanku.” Kamu pikir menjadi kuat terlahir dari perempuan lemah?“Cih!” Leora mendengarnya. “Kamu bermimpi terlalu tinggi. Tidurmu pasti nyenyak semalam.”“Ya … setidaknya tubuhku aman. Tidak babak belur, tidak sakit apalagi meninggalkan lebam.”Salah tingkah. Itu yang Leora tangkap. Secara sigap perempuan berambut grey violet itu menutupi pergelangan tangannya. Percuma! Leora sudah melihatnya.“Pasti servismu sangat oke. Aku melihat senyum menawan si wajah suamiku. Siapa pun namamu, terima kasih. Karena sudah mau bersakit-sakit ria menggantikan peranku. Oh, berapa nomor rekeningmu? Atau di mana aku bisa menghubungimu?”Terdengar sangat sarkas.Raja yang diam-diam mendengarkan sangat puas. Papinya tidak salah memilihkan jodoh. Istrinya sangat pandai tanpa bisa di intimidasi sedikit pun. Dalam batinnya meraung, membenarkan bahwa mereka pasangan serasi dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Nanti, anak-anak mereka akan mewarisi sifat kedua orangtuanya.Ah sialan!Cepat-cepat Raja lengser. Kian mendengarkan adu mulut istri dan jalangnya, otak Raja konslet. Pergeserannya bertambah parah. Dari lima senti meluncur ke serratus senti alias sepenuhnya gesrek. Itu tidak baik untuk kerja tubuhnya. Responnya akan begitu konyol seperti semalam.Melihat Leora yang bergerak gelisah di atas kasur, sesuatu terbangun dengan cepat. Tapi melakukan penyatuan bukan jalan terbaik atau Leora akan terkapar di bangkar rumah sakit.***Karena Raja seorang diktaktor, menyeret Leora menjadi suatu awalan yang akan dirinya jadikan sebuah kebiasaan.Perempuan mungil yang dirinya nikahi beberapa hari lalu itu sangat berkepala batu.“Kenapa nggak ngajak selingkuhan kamu saja, sih?!”Dia sangat cerewet. Batin Raja. Itu terbukti dengan ocehannya sepanjang jalan menuju butik.“Kita suami isti, lupa?”“Di atas kertas doang.”“Marah?”“Sudi banget!”Leora hendak kabur. Sayangnya, tangkapan Raja lebih gesit. Jadi para penonton, bayangkan saja apa akibatnya ketika dirinya di peluk di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Di Bali yang ramai selalu dan mata-mata para turis justru berdecak kagum. Ada bisikan jika cara Raja memeluk dirinya amatlah romantis. Penuh cinta.Yasalam.“Lepas!”“Janji jangan kabur lagi.”“Lu lebay.”“Itu nggak sopan Leora. Saya suami kamu.”Manusia satu ini mulutnya suka tergelincir dengan bebas, Kadang ‘aku’, kadang ‘saya’.“Kamu bau!”“Saya selalu wangi meski tanpa mandi.”“Dewa Yunani berdarah-darah mengetahui tingkat kepedean kamu.”“Bukannya kamu yang jatuh cinta?”Dahlah. Yo wes! Sudah. Leora kiceup. Diam.“Kita sampai.”Fokus dengan pelukan yang mendadak melingkupi tubuh mungilnya dengan aman, Leora di ajak berhenti di sebuah butik. Sudah berada di dalam ruangan dan para perempuan yang melayani melirik manja pada suaminya … yang sedater papan gerusan.Mampus! Rasain!“Gaun yang sudah saya pesan.” Perkataan Raja segera di turuti sang pelayan. Dan kembali dengan bungkusan cantik berpita merah. “Coba sana.”Mata Leora mendelik. Perintah Raja nggak ada kalem-kalemnya.“Nggak mau!”“Leora?!”“Apa?!”“Ganti atau saya yang lucuti pakaian kamu di sini?”Bergidik negri, segera Leora sambar kotak berpita merah. Setelahnya mendumel sepanjang menuju ruang ganti yang rasanya punggunnya akan bolong.Mari sejenak beralih peran. Menyesuaikan judul yang telah tertera, ada beberapa tokoh yang harus kita ulas. Ada banyak kisah dari yang kelam sampai yang terang untuk kita simak. Hari ini, Ratu dan Langit akan memerankan panggungnya. Beralih dari Raja dan Leora yang sedang menikmati masa dingin pernikahannya.Pagi-pagi sekali di jam sarapan, Langit murka.Akan Langit kutuk setelah ini.Perbuatan Ratu sungguh keterlaluan. Di meja makan, saat Mami Papinya berkumpul bahkan membahas bisnis yang tengah di pasrahkan pada Langit, tangan Ratu menjadi pendukung mutlak. Terus melakukan hal terlarang yang membuat Langit mati-matian menahan. Hanya umpatan kecil yang Langit dengungkan. Ratu tidak tahu diri.Sialan-sialan-sialan.Cengkeraman pada sendoknya mengerat. Kepalanya kaku maksimal—sekadar mengangguk saja terasa sulit. Ratu benar-benar ulung dalam bermain dan mempermainkan dirinya. Menjadikan dirinya orang dungu bak kerbau di cucuk yang terus memuja dan mengagungkan. Tidak hanya sekali, ber
Pagi buta. Udara dingin berembus bersama angin yang tertiup. Tololnya, Bandung tidak bisa di samakan dengan Surabaya yang panas maksimal atau Jakarta yang polusi udara melepuhkan segala pernapasan. Sepadat apapun Bandung, kota lautan api itu masih terbilang bersih—itu mungkin alasan mami papinya menetap selama bertahun-tahun atau karena suasananya yang sama seperti Ungaran?Abaikan dulu menyoal nostalgia kisah cinta orangtuanya.Rungu Ratu terganggu dengan suara bel yang di pencet terus-menerus. Entah orang sopan mana yang bertamu di pukul enam pagi. Bahkan di saat semua pekerja di rumahnya belum datang. Sialan sekali.Dengan sentakan keras, meloloskan diri dari pelukan hangat Langit, tubuhnya bangkit. Memunguti semua pakaiannya yang bercecer dan bergegas turun. Menarik pintu hingga terbuka lebar. Bola matanya melebar. Sedetik kemudian emosinya membuncah. Perempuan sialan ini! Batinnya yang suci meraung.Pagi-pagi buta sudah di buat mengumpat.“Kakak?” panggilannya ceria tapi Ratu ba
Dalam hidup ini, yang paling Ratu benci adalah rapat.Mengikuti rapat dalam bentuk apapun jelas daftar yang harus Ratu coret. Di samping membosankan, penghitungan cepat pada bursa perusahaan bukan keahlian yang dirinya miliki. Otaknya lemah tidak seperti milik Raja—kembarannya—yang sangat jenius dan tindakannya cekatan. Sehingga bukan suatu hal mengherankan jika saudara beda lima menitnya itu di elu-elukan banyak perempuan.Tapi pagi ini akan Ratu kecualikan. Mendadak moodnya meningkat dengan sangat baik. Rapat membosankan yang Raja pimpin menjadi suatu hal yang dirinya tunggu-tunggu. Bagaimana tidak jika Langit ada di sana. Di sampingnya pula. Tolong di catat.Ratu akan gila sebentar lagi. Fokus mata dan rungunya ada di Raja yang tengah menerangkan berapa jumlah peningkatan sampai bulan ini untuk investasi yang tertanam. Dan pengumuman saham-saham perusahaan mana saja yang akan di incar usai ini.Kita lirik ke bawah, di mana tangan Ratu berada. Sangat tidak berakhlak membuat adik bu
Sekilas percakapannya seperti ini.“Gue bisa, ya, dandan sendiri!”“Saya sayang istri.”Leora mendengkus. Raja acuh.“Kanebo kering.”“Tapi suka, kan?”Lelaki itu punya segudang jawaban untuk membuat Leora skakmat.“Kamu mengerikan.”“Dalam hal?”“Bercinta.”“Oh, jadi itu yang bikin kamu deg-degan?” Raja manggut-manggut senang. Wajahnya sangat cerah di sore yang mataharinya condong ke barat. “Kamu tinggal minta, saya turuti.”Sangat tidak berattitude. Penata rambut yang sedang mengubek-ubek rambut Leora bahkan menahan tawa.“Aku penasaran.”“Apa?”Bukan Leora namanya jika mengalah dengan telak. Maka, memberi sinyal untuk para penata yang sedang merias hengkang. Berganti tubuhnya yang bergerak maju.“Kenapa kamu nggak pernah lepas baju.”Yang pada intinya, mereka saling melempar bom. Sampai pada acara yang akan di hadiri, raut wajah Raja masam maksimal. Berbanding terbalik dengan Leora yang semringah tiada tanding.Ah, secara mendadak saja ada satu ide yang melintas. Sangat tidak berak
Bisikan Raja memproteksi diri Leora. Dengan sigap, meloloskan diri dari dekapan yang sialannya nyaman, membuat benteng perbatasan dan berseru, “Ini batas negara kita. Jangan melewati batas!”Tentu jawaban Raja hanyalah dengusan. Tapi lebih dari itu semua ada segaris semili yang menempel di bibirnya. Leora takkan melihat itu padahal sangat langka. Bisa di bilang keajaiban dunia jika seorang Raja bisa membagi senyumnya ke orang lain.Fokus Leora benar-benar ada di bencana jilid II. Karena sangat takut dengan ancaman Raja: “Kamu nggak akan selamat besok.” Maka menjauh adalah caranya. Meski percuma. Setelahnya yang dilakukan Raja ialah, membuang batas dari bantal guling yang Leora ciptakan dan menyeret istri pembangkang ke dalam regupannya. Kedua kakinya melilit kaki Leora. Sudah di katakan percuma. Leora berontak pun tak ada hasilnya. Malah lebih parah ketika tangan Raja menepuki punggungnya. Yang terjadi selanjutnya lebih dari kiamat. Leora tertidur dengan nyenyak hingga pagi menjelang
Ratu rindu dengan maminya. Malam ini pikirannya kacau dan wajah maminya melintas tanpa di minta. Ada cerita bahagia yang Ratu ingat. Saat dirinya dan Raja lahir. Saat papinya tersenyum dengan bahagia. Dan Ratu ikut menarik ke belakang bibirnya. Hati Ratu hangat. Ratu bahagia dan senang.Pukul dua dini hari—tepat—tidak lebih apalagi kurang, Raja dan Ratu terlahir. Yang bisa Radit bisikkan pada kedua bayinya adalah; welcome to world, kids. Setelahnya ia adzani keduanya secara bergantian dan meletakkan kembali ke dalam inkubator. Seusai di bersihkan dan di susui oleh ibunya, keduanya memilih merapatkan kembali matanya. Keduanya pun terlihat sangat kompak. Si kakak—Raja—meletakkan tangan di atas kepala si adik—Ratu—seolah memberi perlindungan agar si bayi perempuan mungil itu nyaman. Radit bangga bukan main menyaksikan keduanya terlelap. “Kalian kesayangan papi. Terima kasih sudah baik-baik saja.” Radit terkekeh. Bahasanya berbeda. Terdengar sangat kaku dan formal. “Kalian harus cepat ged
“Urus segera!” Suara di seberang sana mengerang frustrasi. Sesiang ini waktunya terbuang untuk mengurusi titah Raja. Tapi siapa pun takkan bisa membantah si otoriter ganteng bak tiang listrik ini. “Sesuai alamat. Eksekusi. Selesaikan. Dan lapor!” Astaga! Bisakah manusia satu ini sadar akan kadar ketampanannya? Tidakkah ia lihat mata-mata yang melintas mengagumi, berdecak, berseru girang tanpa malu? Yang sebal maksimal justru Leora. Kafenya mendadak ramai. Tempatnya sesak. Pembeli antre. Hanya untuk memandang Raja dari radius terdekat.“Mbak …” Leora menoleh. Di belakang meja kasir kedua matanya bekerja sangat capet dan fokus. Satu sisi memerhatikan gerak-gerik Raja, satu sisi melayani customer yang ingin membayar. Dan panggilan dari sampingnya membuatnya meringis kala bisikan terdengar. “Dia itu ganteng banget. Coba aku punya suami kayak dia.”Ringisan berderet memperlihatkan gigi rapi Leora. Aldila namanya. Perempuan berumur dua puluhan semester empat jurusan manajemen bisnis melam
Dulu itu … begini ceritanya.Raja, 15 tahun sudah menduduki bangku SMA kelas satu. Lewat prestasinya yang cemerlang, ia dengan mudah menembus sekolah mana pun—baik negeri mau pun swasta. Di samping itu, sandingan nama belakangnya ‘Anggoro’ benar-benar berpengaruh untuk sebagian sekolah yang mendapat kucuran dana dari papinya. Maka berbangga sedikit dengan kondisi keluarganya patut Raja acungi jempol. Namun lama-kelamaan Raja sadar bahwa bersikap seperti itu bertolak belakang dengan nasihat maminya. Yang katanya: “Mami nggak suka kalau anak-anak mami pamer atau sesumbar.”Sejak itu, Raja membaur dengan siapa pun. Tanpa memilih lingkungan. Yang ia tahu, dirinya harus mengenal dunia luar yang luas ini. Mengenyampingkan berbagai tantangan buruk yang menunggu. Menjadi siswa baru di sekolahnya yang cukup tenar, Raja bisa cepat akrab dengan kakak tingkat. Tidak hanya lelaki, perempuan juga tidak jarang menyapanya. Sekadar berbasa-basi yang berujung: “Raja, ke kantin bareng yuk.” Jawaban R
Langit tiba di Jakarta. Membawa Dinda dan anaknya. Meski Dinda terlihat ragu dan takut dalam langkahnya meninggalkan pelataran bandara, tapi Langit meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dinda percaya Langit, sepenuhnya tanpa rasa ragu.Yang jadi masalah adalah diri Dinda sendiri. Apakah Dinda orang yang tepat untuk Langit? Apakah semesta mau menerima hubungan mereka sedangkan Dinda banyak luka di masa lalu. Apakah mereka pantas untuk bersama? Semua pertanyaan itu terus berputar di kepala Dinda dan belum ditemukan jawaban yang tepat."Kalau kamu ragu sama diri kamu sendiri, seenggaknya kamu lihat aku, Din." Langit genggam tangan Dinda saat masuk ke dalam mobil. "Ada aku yang mau sama kamu dan cukup kuatkan aku kalau kamu bakal selalu ada di samping aku. Kalau kamu ragu tapi pergi yang kesusahan itu aku, Din. Jadi, bisa, 'kan jangan ragukan perasaanku buat kamu?"Setulus itu Langit dalam mencintai Dinda dan nggak ada yang bisa Langit lakukan kalau Dinda nggak ada di sampingnya.
Kalau di kasih pilihan, semua orang di muka bumi ini maunya punya kisah yang bagus. Nggak ada satu pun di antara mereka yang mau kisahnya berakhir tragis. Jangankan tragis, putus dan berpisah dari orang yang selalu ada bareng kita di setiap harinya aja dunia udah runtuh. Apalagi dipisahkan dengan maut. Jadi kalau ada pilihan bagus buat berakhir indah maka jawabannya adalah ya.Tapi yang namanya takdir siapa yang tahu, sih? Jalannya aja udah nggak ketebak. Itu rahasia Tuhan dan selalu jadi misteri. Manusia itu cuma bidak-bidak dalam permainan catur. Dari awal bermain sampai akhirnya di mana Tuhan yang jadi penentunya. Jadi jangan terlalu sombong ketika mendapatkan sesuatu yang lebih."Kok ada, sih orang kayak gitu?" tanya Ratu kepada Ratu yang baru selesai bercerita. "Padahal mbak udah sebaik ini dan ngasih banyak fasilitas buat dia. Tapi kenapa balesannya bikin geleng-geleng kepala, sih?"Leora nggak mau ambil pusing soal karyawan yang membawa kabur uangnya. Leora cuma kecewa kenapa n
Langit sadar, yang paling mengerti tentang diri kita adalah diri sendiri. Namun begitu Langit juga tahu ada Dinda yang selalu memahami dirinya tanpa diminta dan diberi penjelasan secara gamblang. Dinda lebih dewasa dari yang Langit kira. Selain statusnya yang janda, Dinda sudah ditimpa banyak masalah dalam hidupnya. Jadi wajar kalau wanita satu anak itu telah mengambik banyak pelajaran dari perjalanan di hidupnya."Ngapain?" tanya Dinda saat melihat Langit berdiri di depan pintu masuk apartemennya. "Kamu mau bikin suasana makin kacau?"Hari masih pagi. Mentari belum sepenuhnya menyinari bumi. Udara pagi hari di Malang segar dan sejuk. Yang bisa Langit lakukan hanyalah menunduk dan menggelengkan kepalanya atas tanya yang Dinda ajukan. Baru setelah beberapa menit dan menarik napasnya dalam-dalam, Langit memberanikan diri menautkan matanya pada Dinda."Aku udah biasa," kata Langit yang dibalas kerutan dahi oleh Dinda. "Tapi kali ini aku menolak menerimanya."Dinda makin nggak ngerti ke m
"Sebenarnya aku punya banyak ketakutan," aku Leora malam itu pada Raja yang sedang membaca beberapa berkas kantor. Helaan napas Leora yang berat dan diembuskan dengan kasar membuat Raja paham jika istrinya sedang tidak baik-baik saja. Ada yang Leora rasakan dan hendak dibagi pada Raja. Maka menutup berkas dan sepenuhnya memfokuskan diri pada Leora segera Raja lakukan."Tentang apa?" balas Raja bertanya. Raja larikan jarinya ke kepala Leora dan mengusap rambutnya yang halus. "Kamu bisa memulainya dari hal yang paling ringan sampai nanti menemukan jawaban ketakutan apa yang membuatmu gelisah."Leora menoleh dengan senyum. Wajahnya ayu nan teduh. Sehingga siapa pun yang memandangnya akan suka dan terbuai. Raja tatapi dalam-dalam netra gelap Leora yang cerah."Banyak. Terlalu banyak sampai aku nggak bisa ngungkapin perasaan apa yang aku rasain. Aneh, 'kan istrimu ini?" kekeh Leora setelah menilai dirinya sendiri."Anggap aja itu kelebihanmu. Kalau kamu nggak unik, kita nggak ada terjebak
Dalam hidup apa benar-benar ada yang namanya akhir bahagia?Kalau pertanyaan itu ditujukan pada Langit, maka mulutnya akan terkunci rapat. Langit aja belum sepenuhnya mengerti tentang arti hidup kok malah ditanya soal kebahagiaan. Langit walaupun umurnya sudah terbilang matang buat nikah, ternyata nikah juga nggak segampang balikin tangan atau kayak yang orang lain lakukan. Mereka menikah setelah ketemu dan menjalani hubungan dengan orang yang menurutnya tepat. Lah Langit? Mubeng dulu kayak bianglala."Jadi kapan mau bawa Dinda ketemu mami sama papi, Lang?" Radit Anggoro semakin berumur semakin berkharisma. Aura kewibawaan bapak tiga anak itu terlihat dengan jelas. Langit yang ditanya kayak gitu cuma bisa nelen nasi dan ayamnya bulat-bulat. Untung nggak kesedak."Kalau udah di rasa siap, pi," jawaban Langit bukan jawaban tegas yang mau di dengar Radit. "Papi sendiri belum ngasih restu," lanjutannya bikin Radit diam. Langit ada benarnya juga."Kamu udah izin waktu itu. Papi izinin."
Hidup Raja ya begitu-begitu saja. Nggak ada yang istimewa atau yang wajib dikepoi sama semua orang. Walau sebagai seorang suami bersikap hangat, Raja tetaplah Raja yang dingin dengan orang luar. Nggak pandang bulu siapa orangnya. Yang nggak Raja kenal atau terlalu akrab, Raja nggak mau terlalu banyak terlibat. Say hai saja sudah cukup. Selebihnya jalani kehidupan masing-masing tanpa saling merepotkan."Mami sama papi jadi dateng, Ra?" Raja bertanya pada Leora yang sedang menyiapkan kopinya. "Pasti rempong, deh."Raja duduk di kursinya dengan kedua tangan membuka koran paginya. Bukan asal Raja ngomong. Semua orang yang bekerja di rumahnya juga tahu gimana mami dan papinya kalau datang ke rumahnya. "Namanya juga orang tua ke anak, wajar," jawab Leora sambil meletakkan kopi dihadapan Raja. "Kamu kenapa sensi banget tiap mami sama papi ke sini? Nggak seneng orang tua kamu datang berkunjung? Kenapa nggak kamu aja yang pulang ke rumah mami papi?"Nah, salah satu keribetan yang Raja miliki
Tolok ukur kebahagiaan seseorang itu gimana, sih?Pertanyaan semacam itu kerap mampir ke benak Dewa. Termasuk hari ini saat dirinya akan menjemput Ratu untuk makan siang bersama. Dewa juga manusia biasa. Punya rasa penasaran dan keingintahuannya sering membludak. Kayak misalnya: Ratu bahagia nggak, ya sama aku? Ratu udah ngerasa cukup belum, ya sama aku? Aku ini pilihan yang Ratu mau atau cuma sekadar alat menutupi rasa cintanya kepada Langit dan masih banyak lagi. Misal diluapkan dalam sebuah obrolan, Dewa yakin sehari semalam nggak bakal kelar. Lawan bicaranya butuh waktu berhari-hari buat memecahkan masalah ini dan mencari tahu jawabannya. Belum lagi meyakinkan Dewa kalau itu cuma rasa takutnya aja yang sedang menyelimuti."Jadi orang pemikir emang nggak enak banget!" gerutu Dewa kepada dirinya sendiri yang sedang menyetir di tengah kepadatan kendaraan lain siang itu. "Udah sejauh ini kok gue bisa mikir Ratu bahagia apa enggak? Kalau orangnya denger bisa melayang ini kepala gue."
Kalau wanita bisa patah hati, pria juga bisa bahkan bisa lebih hancur berkeping-keping lebih daripada wanita. Cinta pria itu nyata tulusnya walaupun banyak mulut-mulut bajingan di luar sana yang jual omongan. Bukan berarti semua pria berengsek dan bernilai sama. Ada istilah soal high value women maka pria juga punya harga yang sama untuk dirinya sendiri. Nggak cuma wanita doang yang punya nilai. Sayangnya ketutup sama para bajingan yang demen nyakitin wanita. Langit cuma tersenyum kecil mendengar curahan hatinya sang asisten. Nggak aneh kok kalau Yudha senang ngomel sana sini soal asmaranya. Padahal Langit juga butuh di say hallo untuk hari-harinya. Tapi buat apa, sih? Langit bukan remaja yang baru jatuh cinta kok. Langit sadar soal nilai yang ada di dalam dirinya. Itu semua nggak lepas dari didikan kedua orang tuanya."Hidup kenapa harus ada plot twistnya, sih?" Yudha bertanya setelah mondar-mandir kayak setrikaan panas. "Gue mau heran tapi nggak siap juga dengar jawaban: hidup ema
"Menurut kamu Tuhan itu baik nggak?" tanya Ratu pada Dewa yang bersiap untuk terlelap. "Kadang aku pengen marah sama Tuhan," sambung Ratu tanpa berkedip menatap ke depan.Malam sudah larut. Di usir dari apartemen Langit, Ratu dan Dewa nggak gagal pesta. Mereka minum wine sendiri di rumahnya dengan alunan musik lembut dan dansa ala kadarnya. Mereka tertawa bersama dan sesekali terbahak-bahak. Sekarang waktunya bagi mereka berbagi kisah untuk hari ini. Padahal mereka satu kantor, cuma beda ruangan. Tapi beban hari ini tetap jadi topik saat mau tidur."Bagiku Tuhan itu baik. Kenapa?" Dewa pandangi wajah istrinya yang ayu natural tanpa polesan make up. Memang dasarnya Ratu ini cantik dan anggun. Bermake up atau tidak, dasarnya ayu tetaplah ayu. "Kamu pasti punya alasan kenapa marah sama Tuhan."Ratu menarik napasnya dalam-dalam. Mengembuskan perlahan dan tersenyum kecil."Aku pernah punya rencana. Konyolnya aku selalu yakin kalau setiap rencana yang aku susun bakal berhasil. Aku selalu pe