Semalam itu … bencana.
Begitu Raja menanyai apakah Leora menginginkan dirinya dan ingin di puaskan, yang selanjutnya terjadi adalah teriakan histeris. Leora takut maksimal melihat Raja menurunkan celana tidurnya. Pun begitu lelaki itu sudah berbaring nyaman di samping dirinya yang tubunya kaku mendadak.Hampir saja jika tidak segera tersadar, sankis manis Leora menjadi sasaran. Yang sampai pagi ini masih membelenggu pikirannya; punya kamu kelihatannya kecil tapi nggak tahu kalau saya bongkar.Astagfirullah Akhi!Leora mengurut dadanya berkali-kali. Ia takut sekali melangkah keluar kamar padahal cacingnya berdemo. Di luar, dentingan sendok garpu beradu. Suara percakapan juga terdengar. Sesekali tawa perempuan bawaan Raja amat merdu di dengar. Entah apa yang mereka bicarakan sampai humor sepagi ini tergerus.Sedang dirinya?Status istri sah layak di pertanyakan jika begini. Tubuhnya sudah wangi, rambut tertata rapi, pakaian mewah mentereng. Tapi ketakutan masih saja melingkupi. Tapi bukan itu perkaranya. Leora terlihat seperti penguping karena acap kali telinganya ia tempelkan di daun pintu dan mendengarkan. Dengan maksud, apakah mereka sudah pergi.Aish, cara ini nggak elegan sekali. Justru sangat syalandd. D-nya double ya biar ketika di ucapkan terdengar syahdu aduhai indehoi. Oke skip.Sepertinya sudah selesai. Lima menit berselang setelah telinganya mempertajam terakhir kalinya. Wajahnya mendadak berbinar-binar. Liurnya akan menetes. Begitu pintu di buka, jantung Leora hendak melompat dari tempatnya.Sejak kapan tiang listrik pindah tempat di depan kamarnya?“Mau ke mana kamu?”Mengaduh setelah bokongnya bersalam ria dengan keramik yang keras, suami durhakanya memang tiada akhlak. Bukannya menolong malah nyelonong.“Siap-siap. Kita ke pantai.”Pantai endasmu!Dengkusan Leora di perdengarkan. Tanpa peduli si empu yang melirik dengan tajam.Teros! Lihat teros nyampe itu mata pindah tempat.Keturunan Barella Yuduntha sungguh bebal. Karena ibunda tercinta ratu bebal di seluruh kerajaan, maka Leora pantas menggantikan peran sang mami ketika pension nanti. Tanpa mengindahkan perintah mas suami yang aduhai seksinya, mulutnya sibuk mengunyah. Satu tangan menuang jus buah segar, satu tangan lagi mencomot apa-apa saja yang sekiranya cocok bercokol di perutnya.“Leora?!” Geraman panggilan yang tertahan Leora abaikan saja. Perutnya butuh asupan. Mulutnya sibuk mengunyah. “Saya minta kamu siap-siap.”“Agku laghie makhan. Buta?”Jawaban depan tidak jelas. Tapi yang terakhir sungguh mendatangkan perang bratayudha. Pasalnya, Raja ngamuk. Tanpa ampun membanting piring yang ada di dekat jangkauannya. Leora, sih, cuek saja. Dengan anteng makan.“Lu nggak bisa, ya, nurut? Sekali saja.”Oh tentu! Bukan gaya seorang Leora Yudantha untuk menurut dengan tunduk kepatuhan. Ada yang bisa mengaturnya; orangtuanya. Ada yang bisa mengendalikannya; orangtuanya. Jadi ketika perempuan murahan yang suaminya pakai semalam menegur dirinya, sudut bibir kananya terangkat ke atas.Tangannya bertopang dagu sedang mulutnya masih terus mengunyah. Mata kecilnya bernetra sebening air kali menelisik dari atas ke bawah. Penilaian yang akan Leora sematkan kepada seseorang ketika berani memberinya perintah.“Anda siapa?”Perempuan berambut grey dengan sentuhan violet di depan sana mendengus. Awalnya tertegun. Itu kentara dari ekspresinya.“Terkadang, kamu perlu mengunci mulut untuk diam ketimbang membuang tenaga untuk bicara. Mau tahu sesuatu?” Sekali jalang … berbuat baik pun akan tetap jalang.“Kamu percaya diri sekali.”“Sure! Aku istrinya. Sah secara agama dan hukum. Kita legal.”“Yang tidak di sentuh sama sekali.”“Jauh lebih baik.” Aku bukan jalang sepertimu. Inginnya Leora sambungkan kalimat itu. Tapi hatinya tertohok. Entah terhimpit oleh apa, dadanya tertusuk sakit. Benda tak kasat mata sedang mengorek luka yang selama ini dirinya tutupi. Sembuh total saja belum. Namun kembali menganga oleh sebuah robekan.“Kenapa kamu keras kepala?”“Karena itulah mamiku malahirkanku.” Kamu pikir menjadi kuat terlahir dari perempuan lemah?“Cih!” Leora mendengarnya. “Kamu bermimpi terlalu tinggi. Tidurmu pasti nyenyak semalam.”“Ya … setidaknya tubuhku aman. Tidak babak belur, tidak sakit apalagi meninggalkan lebam.”Salah tingkah. Itu yang Leora tangkap. Secara sigap perempuan berambut grey violet itu menutupi pergelangan tangannya. Percuma! Leora sudah melihatnya.“Pasti servismu sangat oke. Aku melihat senyum menawan si wajah suamiku. Siapa pun namamu, terima kasih. Karena sudah mau bersakit-sakit ria menggantikan peranku. Oh, berapa nomor rekeningmu? Atau di mana aku bisa menghubungimu?”Terdengar sangat sarkas.Raja yang diam-diam mendengarkan sangat puas. Papinya tidak salah memilihkan jodoh. Istrinya sangat pandai tanpa bisa di intimidasi sedikit pun. Dalam batinnya meraung, membenarkan bahwa mereka pasangan serasi dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Nanti, anak-anak mereka akan mewarisi sifat kedua orangtuanya.Ah sialan!Cepat-cepat Raja lengser. Kian mendengarkan adu mulut istri dan jalangnya, otak Raja konslet. Pergeserannya bertambah parah. Dari lima senti meluncur ke serratus senti alias sepenuhnya gesrek. Itu tidak baik untuk kerja tubuhnya. Responnya akan begitu konyol seperti semalam.Melihat Leora yang bergerak gelisah di atas kasur, sesuatu terbangun dengan cepat. Tapi melakukan penyatuan bukan jalan terbaik atau Leora akan terkapar di bangkar rumah sakit.***Karena Raja seorang diktaktor, menyeret Leora menjadi suatu awalan yang akan dirinya jadikan sebuah kebiasaan.Perempuan mungil yang dirinya nikahi beberapa hari lalu itu sangat berkepala batu.“Kenapa nggak ngajak selingkuhan kamu saja, sih?!”Dia sangat cerewet. Batin Raja. Itu terbukti dengan ocehannya sepanjang jalan menuju butik.“Kita suami isti, lupa?”“Di atas kertas doang.”“Marah?”“Sudi banget!”Leora hendak kabur. Sayangnya, tangkapan Raja lebih gesit. Jadi para penonton, bayangkan saja apa akibatnya ketika dirinya di peluk di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Di Bali yang ramai selalu dan mata-mata para turis justru berdecak kagum. Ada bisikan jika cara Raja memeluk dirinya amatlah romantis. Penuh cinta.Yasalam.“Lepas!”“Janji jangan kabur lagi.”“Lu lebay.”“Itu nggak sopan Leora. Saya suami kamu.”Manusia satu ini mulutnya suka tergelincir dengan bebas, Kadang ‘aku’, kadang ‘saya’.“Kamu bau!”“Saya selalu wangi meski tanpa mandi.”“Dewa Yunani berdarah-darah mengetahui tingkat kepedean kamu.”“Bukannya kamu yang jatuh cinta?”Dahlah. Yo wes! Sudah. Leora kiceup. Diam.“Kita sampai.”Fokus dengan pelukan yang mendadak melingkupi tubuh mungilnya dengan aman, Leora di ajak berhenti di sebuah butik. Sudah berada di dalam ruangan dan para perempuan yang melayani melirik manja pada suaminya … yang sedater papan gerusan.Mampus! Rasain!“Gaun yang sudah saya pesan.” Perkataan Raja segera di turuti sang pelayan. Dan kembali dengan bungkusan cantik berpita merah. “Coba sana.”Mata Leora mendelik. Perintah Raja nggak ada kalem-kalemnya.“Nggak mau!”“Leora?!”“Apa?!”“Ganti atau saya yang lucuti pakaian kamu di sini?”Bergidik negri, segera Leora sambar kotak berpita merah. Setelahnya mendumel sepanjang menuju ruang ganti yang rasanya punggunnya akan bolong.Mari sejenak beralih peran. Menyesuaikan judul yang telah tertera, ada beberapa tokoh yang harus kita ulas. Ada banyak kisah dari yang kelam sampai yang terang untuk kita simak. Hari ini, Ratu dan Langit akan memerankan panggungnya. Beralih dari Raja dan Leora yang sedang menikmati masa dingin pernikahannya.Pagi-pagi sekali di jam sarapan, Langit murka.Akan Langit kutuk setelah ini.Perbuatan Ratu sungguh keterlaluan. Di meja makan, saat Mami Papinya berkumpul bahkan membahas bisnis yang tengah di pasrahkan pada Langit, tangan Ratu menjadi pendukung mutlak. Terus melakukan hal terlarang yang membuat Langit mati-matian menahan. Hanya umpatan kecil yang Langit dengungkan. Ratu tidak tahu diri.Sialan-sialan-sialan.Cengkeraman pada sendoknya mengerat. Kepalanya kaku maksimal—sekadar mengangguk saja terasa sulit. Ratu benar-benar ulung dalam bermain dan mempermainkan dirinya. Menjadikan dirinya orang dungu bak kerbau di cucuk yang terus memuja dan mengagungkan. Tidak hanya sekali, ber
Pagi buta. Udara dingin berembus bersama angin yang tertiup. Tololnya, Bandung tidak bisa di samakan dengan Surabaya yang panas maksimal atau Jakarta yang polusi udara melepuhkan segala pernapasan. Sepadat apapun Bandung, kota lautan api itu masih terbilang bersih—itu mungkin alasan mami papinya menetap selama bertahun-tahun atau karena suasananya yang sama seperti Ungaran?Abaikan dulu menyoal nostalgia kisah cinta orangtuanya.Rungu Ratu terganggu dengan suara bel yang di pencet terus-menerus. Entah orang sopan mana yang bertamu di pukul enam pagi. Bahkan di saat semua pekerja di rumahnya belum datang. Sialan sekali.Dengan sentakan keras, meloloskan diri dari pelukan hangat Langit, tubuhnya bangkit. Memunguti semua pakaiannya yang bercecer dan bergegas turun. Menarik pintu hingga terbuka lebar. Bola matanya melebar. Sedetik kemudian emosinya membuncah. Perempuan sialan ini! Batinnya yang suci meraung.Pagi-pagi buta sudah di buat mengumpat.“Kakak?” panggilannya ceria tapi Ratu ba
Dalam hidup ini, yang paling Ratu benci adalah rapat.Mengikuti rapat dalam bentuk apapun jelas daftar yang harus Ratu coret. Di samping membosankan, penghitungan cepat pada bursa perusahaan bukan keahlian yang dirinya miliki. Otaknya lemah tidak seperti milik Raja—kembarannya—yang sangat jenius dan tindakannya cekatan. Sehingga bukan suatu hal mengherankan jika saudara beda lima menitnya itu di elu-elukan banyak perempuan.Tapi pagi ini akan Ratu kecualikan. Mendadak moodnya meningkat dengan sangat baik. Rapat membosankan yang Raja pimpin menjadi suatu hal yang dirinya tunggu-tunggu. Bagaimana tidak jika Langit ada di sana. Di sampingnya pula. Tolong di catat.Ratu akan gila sebentar lagi. Fokus mata dan rungunya ada di Raja yang tengah menerangkan berapa jumlah peningkatan sampai bulan ini untuk investasi yang tertanam. Dan pengumuman saham-saham perusahaan mana saja yang akan di incar usai ini.Kita lirik ke bawah, di mana tangan Ratu berada. Sangat tidak berakhlak membuat adik bu
Sekilas percakapannya seperti ini.“Gue bisa, ya, dandan sendiri!”“Saya sayang istri.”Leora mendengkus. Raja acuh.“Kanebo kering.”“Tapi suka, kan?”Lelaki itu punya segudang jawaban untuk membuat Leora skakmat.“Kamu mengerikan.”“Dalam hal?”“Bercinta.”“Oh, jadi itu yang bikin kamu deg-degan?” Raja manggut-manggut senang. Wajahnya sangat cerah di sore yang mataharinya condong ke barat. “Kamu tinggal minta, saya turuti.”Sangat tidak berattitude. Penata rambut yang sedang mengubek-ubek rambut Leora bahkan menahan tawa.“Aku penasaran.”“Apa?”Bukan Leora namanya jika mengalah dengan telak. Maka, memberi sinyal untuk para penata yang sedang merias hengkang. Berganti tubuhnya yang bergerak maju.“Kenapa kamu nggak pernah lepas baju.”Yang pada intinya, mereka saling melempar bom. Sampai pada acara yang akan di hadiri, raut wajah Raja masam maksimal. Berbanding terbalik dengan Leora yang semringah tiada tanding.Ah, secara mendadak saja ada satu ide yang melintas. Sangat tidak berak
Bisikan Raja memproteksi diri Leora. Dengan sigap, meloloskan diri dari dekapan yang sialannya nyaman, membuat benteng perbatasan dan berseru, “Ini batas negara kita. Jangan melewati batas!”Tentu jawaban Raja hanyalah dengusan. Tapi lebih dari itu semua ada segaris semili yang menempel di bibirnya. Leora takkan melihat itu padahal sangat langka. Bisa di bilang keajaiban dunia jika seorang Raja bisa membagi senyumnya ke orang lain.Fokus Leora benar-benar ada di bencana jilid II. Karena sangat takut dengan ancaman Raja: “Kamu nggak akan selamat besok.” Maka menjauh adalah caranya. Meski percuma. Setelahnya yang dilakukan Raja ialah, membuang batas dari bantal guling yang Leora ciptakan dan menyeret istri pembangkang ke dalam regupannya. Kedua kakinya melilit kaki Leora. Sudah di katakan percuma. Leora berontak pun tak ada hasilnya. Malah lebih parah ketika tangan Raja menepuki punggungnya. Yang terjadi selanjutnya lebih dari kiamat. Leora tertidur dengan nyenyak hingga pagi menjelang
Ratu rindu dengan maminya. Malam ini pikirannya kacau dan wajah maminya melintas tanpa di minta. Ada cerita bahagia yang Ratu ingat. Saat dirinya dan Raja lahir. Saat papinya tersenyum dengan bahagia. Dan Ratu ikut menarik ke belakang bibirnya. Hati Ratu hangat. Ratu bahagia dan senang.Pukul dua dini hari—tepat—tidak lebih apalagi kurang, Raja dan Ratu terlahir. Yang bisa Radit bisikkan pada kedua bayinya adalah; welcome to world, kids. Setelahnya ia adzani keduanya secara bergantian dan meletakkan kembali ke dalam inkubator. Seusai di bersihkan dan di susui oleh ibunya, keduanya memilih merapatkan kembali matanya. Keduanya pun terlihat sangat kompak. Si kakak—Raja—meletakkan tangan di atas kepala si adik—Ratu—seolah memberi perlindungan agar si bayi perempuan mungil itu nyaman. Radit bangga bukan main menyaksikan keduanya terlelap. “Kalian kesayangan papi. Terima kasih sudah baik-baik saja.” Radit terkekeh. Bahasanya berbeda. Terdengar sangat kaku dan formal. “Kalian harus cepat ged
“Urus segera!” Suara di seberang sana mengerang frustrasi. Sesiang ini waktunya terbuang untuk mengurusi titah Raja. Tapi siapa pun takkan bisa membantah si otoriter ganteng bak tiang listrik ini. “Sesuai alamat. Eksekusi. Selesaikan. Dan lapor!” Astaga! Bisakah manusia satu ini sadar akan kadar ketampanannya? Tidakkah ia lihat mata-mata yang melintas mengagumi, berdecak, berseru girang tanpa malu? Yang sebal maksimal justru Leora. Kafenya mendadak ramai. Tempatnya sesak. Pembeli antre. Hanya untuk memandang Raja dari radius terdekat.“Mbak …” Leora menoleh. Di belakang meja kasir kedua matanya bekerja sangat capet dan fokus. Satu sisi memerhatikan gerak-gerik Raja, satu sisi melayani customer yang ingin membayar. Dan panggilan dari sampingnya membuatnya meringis kala bisikan terdengar. “Dia itu ganteng banget. Coba aku punya suami kayak dia.”Ringisan berderet memperlihatkan gigi rapi Leora. Aldila namanya. Perempuan berumur dua puluhan semester empat jurusan manajemen bisnis melam
Dulu itu … begini ceritanya.Raja, 15 tahun sudah menduduki bangku SMA kelas satu. Lewat prestasinya yang cemerlang, ia dengan mudah menembus sekolah mana pun—baik negeri mau pun swasta. Di samping itu, sandingan nama belakangnya ‘Anggoro’ benar-benar berpengaruh untuk sebagian sekolah yang mendapat kucuran dana dari papinya. Maka berbangga sedikit dengan kondisi keluarganya patut Raja acungi jempol. Namun lama-kelamaan Raja sadar bahwa bersikap seperti itu bertolak belakang dengan nasihat maminya. Yang katanya: “Mami nggak suka kalau anak-anak mami pamer atau sesumbar.”Sejak itu, Raja membaur dengan siapa pun. Tanpa memilih lingkungan. Yang ia tahu, dirinya harus mengenal dunia luar yang luas ini. Mengenyampingkan berbagai tantangan buruk yang menunggu. Menjadi siswa baru di sekolahnya yang cukup tenar, Raja bisa cepat akrab dengan kakak tingkat. Tidak hanya lelaki, perempuan juga tidak jarang menyapanya. Sekadar berbasa-basi yang berujung: “Raja, ke kantin bareng yuk.” Jawaban R