Here we go!
Setelah berkutat dengan kisah Langit dan Ratu yang sesuai judul kita kupas perlahan.Hari baru kembali milik Leora dan Raja.Pagi itu ... pekerjaan Leora begitu-begitu saja. Tidak ada yang spesial kecuali statusnya yang sudah berubah; istri. Dari belum kawin menjadi sudah kawin. Tapi Leora lupa pada beberapa ingatan masa lalunya. Yang entahlah menurutnya tidak ingin dirinya angkat menjadi topik cerita. Begini saja sudah cukup membuatnya bahagia. Cukup dengan melihat ramainya kedai kopi miliknya. Hilir mudik pengunjung di siang ini terbilang stabil tapi masih mampu menghiburnya.Ia sesap kopi Arabica kesukaannya dengan sepiring roti goreng yang menemani. Jari lentiknya selaras dengan ketikan di atas keyboard laptopnya. Matanya bergerak awas ketika lonceng bel di pintunya berbunyi.Pasangan muda mudi—mahasiswa mungkin—terlihat bergandengan tangan. Memilih tempat duduk yang memojok dekat jendela—pasti untuk menambah kesan romantis dengan latar mobil dan orang-orang yang berlalu lalang.“Mbak.” Leora menoleh. “Ini laporan bulanannya.” Aren namanya. Pemuda berumur dua puluh tahunan. Mahasiswa tingkat akhir yang Leora percayakan mengurus segala kebutuhan kedainya. “Bulan ini lumayan ada kenaikan di banding bulan lalu,” jelasnya. Leora memeriksa.“Makasih Ar. Kamu boleh pulang.” Ya, pergantian shift telah usai. Akan ada pengganti Aren yang bertugas usai ini. Leora juga bergegas. Ia akan menilik laporan di kedainya yang lain sebelum meluncur ke kantor papinya.Yang paling Leora benci dalam hidup ini adalah kepura-puraan. Dalam konteks apapun Leora membenci hal itu. Entah menutupi tangisnya dengan senyuman agar terlihat baik-baik saja. Atau tertawa lebar di kala masalah mendera tetap saja itu pura-pura. Dan yang namanya pura-pura tidak pernah masuk dalam daftar terijin Leora. Ketimbang pura-pura, Leora lebih suka pengungkapan penuh kejujuran. Bukan dirinya sok kuat atau berceramah mengenaik kejujuran. Leora bukan orang terbuka yang mudah menyatakan apa yang dirinya rasakan. Ia tipe pemendam. Menyelesaikan segalanya sendiri dalam diam.Sayangnya, seorang Raja Anggoro benar-benar manipulatif akut. Ia bisa berubah baik ketika di depan keluarganya. Berlagak harmonis pada hubungannya seolah-olah tidak ada yang terjadi sebelum dan sesudah ini. Itu kualifikasi pura-pura bagi Leora.“Jadi kapan mau ngasih papi cucu?”Siapa yang sangka kedatangan Leora di barengi dengan Raja yang tengah membicarakan bisnis. Tahu begitu, Leora hendaknya urung saja.“Secepatnya.”Leora berdecih tanpa ada yang mendengar. Raja sok-sok’an merangkul bahunya, meremasnya perlahan agar terlihat akur. Astaga! Leora ingin memuntahkan seluruh isi makanan dalam lambungnya.Hubungan ini, sudah Leora jamin sejak awal tidak akan berhasil. Baik sebelum maupun sesudah pada apa yang menimpa Raja. Sebelum kehilangan atau sesudah kehilangan. Ada banyak kegelapan yang belum Leora s***k. Memilih diam Leora jadikan sebuah jalan terbaik. Leora akan kembali menjadi bayangan. Menjaga Raja dari jauh. Memperhatikan dengan penuh kehati-hatian. Diam meski mendengar. Tersenyum meski sakit.“Kamu mau, kan sayang?”“Eh?” Leora tergagap di tempatnya. Pikirannya berkelana sehingga acuh pada ucapan sang papi.“Kalian harus bulan madu. Harusnya pengantin baru seperti itu bukan malah kerja.”Sagitarius Yudantha sejak dulu tidak bisa ditentang maunya. Jangankan anak, istrinya saja sangat sulit mengendalikan kecuali ancaman ampuh di angkat ke permukaan. Barulah papinya itu anteng.“Kerjaan aku lumayan banyak pi. Kebetulan mau buka resto baru di Anyer. Jadi aku …”“Aku sudah pesan tiket dan semuanya. Kita tinggal berangkat.”Sagi bertepuk tangan. Alis Leora mengerut dalam.Apa-apaan lelaki ini? Kenapa mulutnya sangat lancar tanpa bisa memfilter segala tata letak rangkaian kalimat yang akan meluncur? Tidak bisakah dia berpikir jika kekecewaan seseorang adalah ketika di bohongi habis-habisan?Di mana letak otaknya?“Papi setuju.”Lebih sialan lagi untuk papinya. Kerang ajaib Spongebob saja tidak berkutik melihat tingkah ajaib sang papi. Perkara cucu apa sesenang ini? Proses membuatnya saja Leora enggan membayangkan.“Ayo, kita siap-siap.”Yang Raja ulurkan tangannya. Leora hendak menolak. Tapi wajah semringah sang papi mengurungkan niatnya untuk menolak. Yang amat terpaksa Leora terima lalu di lepaskan paksa begitu keluar ruangan.Ia kumpulkan kekuatan untuk berbicara dengan tenang. Degupan jantungnya menggila.“Lain kali, nggak perlu pakai topeng. Kita nikah saja …”“Siapa yang bilang itu pura-pura?”Syaland syekalee Kakanda Prabu ini. Membuat Leora mendengus sedemikian keras dan mual di perutnya tambah bergejolak.“Nggak ada, ya, bulan madu atau apalah itu!”“Nggak ada, ya, istri nolak apalagi ngatur suami.”Suami ndasmu! Yang Leora suarakan dalam hati saja.***Memang benar terlaksana dengan baik. Bulan madunya di Bali, dekat saja atau hemat biaya?Leora tidak peduli. Yang dirinya tolak kunci vila pemberian Raja. Dalihnya seperti ini: “Aku punya teman di sini. Mau nginap di sana.”Urus saja dirimu sendiri, jelas dalam hati. Leora terlalu banyak membatin sejak bersama Raja.Lagi pula, dirinya masih waras. Raja gilanya akar dua pangkat tiga. Membawa perempuan lain di malam pertama ke rumahnya, Leora sungguh biasa saja. Kini mendapati wanita lain yang nimbrung di acara bulan madunya … olala maaf saja. Yang hendak berzina, Leora melipir.Tidak akan sudi dirinya melihat kenistaan mereka secara live. Dirinya mungkin bukan suci layaknya Dewi-dewi kayangan. Karena itu ia enggan menimbuk dosa.“Kamu nggak bisa seenak hati pergi.” Raja mengejarnya. Mencekal tangannya dan menyeretnya masuk ke dalam vila. “Harus nurut sama aku. Ini perintah!”“Lepas sialan!”Kali ini Raja menggendongnya. Tidak ingin Leora lolos dalam jangkauannya.“Kamu harus di hukum buat selalu patuh.”“Aku bukan budak!”“Kamu istri saya. Tolong diingat.”Dengusan Leora tanpa di tutup-tutupi menyentil harga diri Raja. Ia lempar tubuh kecil Leora di atas ranjang. Sampai kepalanya terantuk kepala ranjang yang keras, rintihan sakit tidak Raja pedulikan. Biadab!“Kamu pilih. Diam di sini atau saya eksekusi sampai kaki kamu pincang.”Jika ada kesempatan untuk kabur, Leora akan segera berlari. Tidak sudi berada di sini. Satu atap dengan iblis berparas tampan aduhai Raja.“Lo itu … serius keturunan Papi Radit?” pertanyaan Leora memancing percikan api yang memadam. “Papi Radit nggak sekasar ini untuk ukuran seorang lelaki.”“Tahu apa soal keluarga saya?” Tangan Raja terulur menarik rambut panjang Leora. Mata elangnya menelisik lebih dalam dan dewa batinnya bersuara cantik. Otaknya pasti geser lima puluh derajat. “Rambut kamu cantik.” Terlepas dan di elus dengan sayang. “Jangan di potong. Usahakan leher ini tidak ada yang meliriknya. Kamu milik saya seutuhnya.”***Tubuh Leora merinding secara keseluruhan. Ucapan Raja mempengaruhi sistem kerja dalam merespon. Ini pasti berlebihan. Karena sampai malam terus terngiang di telinganya. Sampai suara desahan di kamar sebelah—teriakan lebih tepatnya—terdengar otak Leora tumpul dalam berpikir.Ia tidak bisa memutuskan untuk pergi padahal kesempatan berlari sudah di depan mata. Bukankah ini waktunya? Raja sedang melampiaskan napsu binatangnya. Leora hanya perlu pergi—persetan dengan barang bawaannya. Uangnya lebih dari cukup untuk membeli kebutuhan yang baru.Hanya saja, setelah ini, apa yang akan terjadi?Raja akan membantai dirinya habis-habisan. Perkataan eksekusi saja sudah membuat otaknya blank. Apalagi jika terjadi secara nyata?“Kenapa kamu?”Pasalnya tubuh Leora bergerak gelisah entah karena apa. Sampai rungunya mendengar suara familiar yang menyapa tanpa peduli jika aktivitas kamar sebelah telah senyap.“Kamu … serius?”Astaga … saus tar-tar ini kenapa bicaranya sangat enteng?“Mau saya puasin?”Semalam itu … bencana.Begitu Raja menanyai apakah Leora menginginkan dirinya dan ingin di puaskan, yang selanjutnya terjadi adalah teriakan histeris. Leora takut maksimal melihat Raja menurunkan celana tidurnya. Pun begitu lelaki itu sudah berbaring nyaman di samping dirinya yang tubunya kaku mendadak.Hampir saja jika tidak segera tersadar, sankis manis Leora menjadi sasaran. Yang sampai pagi ini masih membelenggu pikirannya; punya kamu kelihatannya kecil tapi nggak tahu kalau saya bongkar.Astagfirullah Akhi!Leora mengurut dadanya berkali-kali. Ia takut sekali melangkah keluar kamar padahal cacingnya berdemo. Di luar, dentingan sendok garpu beradu. Suara percakapan juga terdengar. Sesekali tawa perempuan bawaan Raja amat merdu di dengar. Entah apa yang mereka bicarakan sampai humor sepagi ini tergerus.Sedang dirinya?Status istri sah layak di pertanyakan jika begini. Tubuhnya sudah wangi, rambut tertata rapi, pakaian mewah mentereng. Tapi ketakutan masih saja melingkupi. Tapi bu
Mari sejenak beralih peran. Menyesuaikan judul yang telah tertera, ada beberapa tokoh yang harus kita ulas. Ada banyak kisah dari yang kelam sampai yang terang untuk kita simak. Hari ini, Ratu dan Langit akan memerankan panggungnya. Beralih dari Raja dan Leora yang sedang menikmati masa dingin pernikahannya.Pagi-pagi sekali di jam sarapan, Langit murka.Akan Langit kutuk setelah ini.Perbuatan Ratu sungguh keterlaluan. Di meja makan, saat Mami Papinya berkumpul bahkan membahas bisnis yang tengah di pasrahkan pada Langit, tangan Ratu menjadi pendukung mutlak. Terus melakukan hal terlarang yang membuat Langit mati-matian menahan. Hanya umpatan kecil yang Langit dengungkan. Ratu tidak tahu diri.Sialan-sialan-sialan.Cengkeraman pada sendoknya mengerat. Kepalanya kaku maksimal—sekadar mengangguk saja terasa sulit. Ratu benar-benar ulung dalam bermain dan mempermainkan dirinya. Menjadikan dirinya orang dungu bak kerbau di cucuk yang terus memuja dan mengagungkan. Tidak hanya sekali, ber
Pagi buta. Udara dingin berembus bersama angin yang tertiup. Tololnya, Bandung tidak bisa di samakan dengan Surabaya yang panas maksimal atau Jakarta yang polusi udara melepuhkan segala pernapasan. Sepadat apapun Bandung, kota lautan api itu masih terbilang bersih—itu mungkin alasan mami papinya menetap selama bertahun-tahun atau karena suasananya yang sama seperti Ungaran?Abaikan dulu menyoal nostalgia kisah cinta orangtuanya.Rungu Ratu terganggu dengan suara bel yang di pencet terus-menerus. Entah orang sopan mana yang bertamu di pukul enam pagi. Bahkan di saat semua pekerja di rumahnya belum datang. Sialan sekali.Dengan sentakan keras, meloloskan diri dari pelukan hangat Langit, tubuhnya bangkit. Memunguti semua pakaiannya yang bercecer dan bergegas turun. Menarik pintu hingga terbuka lebar. Bola matanya melebar. Sedetik kemudian emosinya membuncah. Perempuan sialan ini! Batinnya yang suci meraung.Pagi-pagi buta sudah di buat mengumpat.“Kakak?” panggilannya ceria tapi Ratu ba
Dalam hidup ini, yang paling Ratu benci adalah rapat.Mengikuti rapat dalam bentuk apapun jelas daftar yang harus Ratu coret. Di samping membosankan, penghitungan cepat pada bursa perusahaan bukan keahlian yang dirinya miliki. Otaknya lemah tidak seperti milik Raja—kembarannya—yang sangat jenius dan tindakannya cekatan. Sehingga bukan suatu hal mengherankan jika saudara beda lima menitnya itu di elu-elukan banyak perempuan.Tapi pagi ini akan Ratu kecualikan. Mendadak moodnya meningkat dengan sangat baik. Rapat membosankan yang Raja pimpin menjadi suatu hal yang dirinya tunggu-tunggu. Bagaimana tidak jika Langit ada di sana. Di sampingnya pula. Tolong di catat.Ratu akan gila sebentar lagi. Fokus mata dan rungunya ada di Raja yang tengah menerangkan berapa jumlah peningkatan sampai bulan ini untuk investasi yang tertanam. Dan pengumuman saham-saham perusahaan mana saja yang akan di incar usai ini.Kita lirik ke bawah, di mana tangan Ratu berada. Sangat tidak berakhlak membuat adik bu
Sekilas percakapannya seperti ini.“Gue bisa, ya, dandan sendiri!”“Saya sayang istri.”Leora mendengkus. Raja acuh.“Kanebo kering.”“Tapi suka, kan?”Lelaki itu punya segudang jawaban untuk membuat Leora skakmat.“Kamu mengerikan.”“Dalam hal?”“Bercinta.”“Oh, jadi itu yang bikin kamu deg-degan?” Raja manggut-manggut senang. Wajahnya sangat cerah di sore yang mataharinya condong ke barat. “Kamu tinggal minta, saya turuti.”Sangat tidak berattitude. Penata rambut yang sedang mengubek-ubek rambut Leora bahkan menahan tawa.“Aku penasaran.”“Apa?”Bukan Leora namanya jika mengalah dengan telak. Maka, memberi sinyal untuk para penata yang sedang merias hengkang. Berganti tubuhnya yang bergerak maju.“Kenapa kamu nggak pernah lepas baju.”Yang pada intinya, mereka saling melempar bom. Sampai pada acara yang akan di hadiri, raut wajah Raja masam maksimal. Berbanding terbalik dengan Leora yang semringah tiada tanding.Ah, secara mendadak saja ada satu ide yang melintas. Sangat tidak berak
Bisikan Raja memproteksi diri Leora. Dengan sigap, meloloskan diri dari dekapan yang sialannya nyaman, membuat benteng perbatasan dan berseru, “Ini batas negara kita. Jangan melewati batas!”Tentu jawaban Raja hanyalah dengusan. Tapi lebih dari itu semua ada segaris semili yang menempel di bibirnya. Leora takkan melihat itu padahal sangat langka. Bisa di bilang keajaiban dunia jika seorang Raja bisa membagi senyumnya ke orang lain.Fokus Leora benar-benar ada di bencana jilid II. Karena sangat takut dengan ancaman Raja: “Kamu nggak akan selamat besok.” Maka menjauh adalah caranya. Meski percuma. Setelahnya yang dilakukan Raja ialah, membuang batas dari bantal guling yang Leora ciptakan dan menyeret istri pembangkang ke dalam regupannya. Kedua kakinya melilit kaki Leora. Sudah di katakan percuma. Leora berontak pun tak ada hasilnya. Malah lebih parah ketika tangan Raja menepuki punggungnya. Yang terjadi selanjutnya lebih dari kiamat. Leora tertidur dengan nyenyak hingga pagi menjelang
Ratu rindu dengan maminya. Malam ini pikirannya kacau dan wajah maminya melintas tanpa di minta. Ada cerita bahagia yang Ratu ingat. Saat dirinya dan Raja lahir. Saat papinya tersenyum dengan bahagia. Dan Ratu ikut menarik ke belakang bibirnya. Hati Ratu hangat. Ratu bahagia dan senang.Pukul dua dini hari—tepat—tidak lebih apalagi kurang, Raja dan Ratu terlahir. Yang bisa Radit bisikkan pada kedua bayinya adalah; welcome to world, kids. Setelahnya ia adzani keduanya secara bergantian dan meletakkan kembali ke dalam inkubator. Seusai di bersihkan dan di susui oleh ibunya, keduanya memilih merapatkan kembali matanya. Keduanya pun terlihat sangat kompak. Si kakak—Raja—meletakkan tangan di atas kepala si adik—Ratu—seolah memberi perlindungan agar si bayi perempuan mungil itu nyaman. Radit bangga bukan main menyaksikan keduanya terlelap. “Kalian kesayangan papi. Terima kasih sudah baik-baik saja.” Radit terkekeh. Bahasanya berbeda. Terdengar sangat kaku dan formal. “Kalian harus cepat ged
“Urus segera!” Suara di seberang sana mengerang frustrasi. Sesiang ini waktunya terbuang untuk mengurusi titah Raja. Tapi siapa pun takkan bisa membantah si otoriter ganteng bak tiang listrik ini. “Sesuai alamat. Eksekusi. Selesaikan. Dan lapor!” Astaga! Bisakah manusia satu ini sadar akan kadar ketampanannya? Tidakkah ia lihat mata-mata yang melintas mengagumi, berdecak, berseru girang tanpa malu? Yang sebal maksimal justru Leora. Kafenya mendadak ramai. Tempatnya sesak. Pembeli antre. Hanya untuk memandang Raja dari radius terdekat.“Mbak …” Leora menoleh. Di belakang meja kasir kedua matanya bekerja sangat capet dan fokus. Satu sisi memerhatikan gerak-gerik Raja, satu sisi melayani customer yang ingin membayar. Dan panggilan dari sampingnya membuatnya meringis kala bisikan terdengar. “Dia itu ganteng banget. Coba aku punya suami kayak dia.”Ringisan berderet memperlihatkan gigi rapi Leora. Aldila namanya. Perempuan berumur dua puluhan semester empat jurusan manajemen bisnis melam